HAYAT
Tiaracitra.
Aku ingin memelukmu. Kenapa kamu tidak di kamarku. Kenapa hanya guling yang di
kamarku.
Hari ini
dia memakai terusan lagi, sepertinya, bagian atasnya tertutup kardigan, tapi
aku yakin itu terusan. Panjangnya sedikit di bawah lutut. Agak tersingkap tadi,
waktu dia marah-marah dan mau turun ke bawah. Aku lihat bilur-bilur putih di
pangkal betisnya. Kontras dengan kulitnya yang cokelat.
Stretchmark. Musuh para gadis.
Tapi
kepalaku langsung pening. Serius. Aku ingin menyentuhnya, mengelusnya. Aku
sampai gelagapan. Serius. Aku ingin tahu apa ia suka masturbasi. Cewek buluan
katanya libido tinggi.
Aku ingin
membuatnya megap-megap setiap malam, setiap saat.
Tiara,
citra.
Di sisa sore
itu aku hanya memeluk guling.
[]
Masih
banyak yang harus dibicarakan dengan Tiaracitra. Tapi Hayat tidak tahan pening
terus-terusan.
Ia masih
bisa ditemukan mengasap di atap, di mana suatu ketika ia melihat seorang cewek
berdiri di atap gedung yang lain. Cewek itu mungkin setinggi Tiaracitra.
Rambutnya lurus melampaui bahu. Kepalanya menunduk dalam sekali, Hayat tidak
bisa melihat wajahnya. Pakaian cewek itu longgar—jumper ungu dan celana panjang yang seperti bagian dari piama.
Hanya terlihat tangannya yang pucat. Gumpalan awan kelam seolah terpusat
padanya, mungkin sebentar lagi sampai ke tempat Hayat dan menumpahkan derasnya.
Hayat memiringkan kepala. Sejenak termenung.
Tiaracitra
baru saja menaiki angkot yang menuju ke kawasan di mana rumah neneknya berada.
Walau hari itu tidak panas, tapi ia merasa sudah sangat lemas. Ia telah
melewatkan jam makan-siang, lebih ingin menyantap sayuran-hijau olahan Nenek
saja. Toh kalaupun ia sudah makan-siang di kampus, ia pasti disuruh makan lagi
oleh Nenek sesampainya di rumah. Ia tidak mau memasukkan kalori yang tidak
perlu ke dalam tubuhnya. Ketika mendadak ponselnya berdering. Mata Tiaracitra
menyipit begitu melihat nama yang tertera di layar.
“BURUAN KE
SINI! ASAP!”
“Ke sini
tuh ke mana?” Kepala Tiaracitra celingukan, sebelum menghadap ke kaca belakang
angkot. Memandang jarak yang semakin menjauh dari area kampus. Asap? Asap apa?
Baru kemudian ia menyadari ada jeritan perempuan melatari panggilan dari Hayat.
“GEDUNG—!”
Mati.
Sekitar
setengah jam kemudian Tiaracitra mengamati pergantian angka di lift dengan
waswas. Bapak-bapak di sebelahnya mungkin berpikir kalau ia sedang kebelet
kencing. Tapi selain itu dadanya juga bergemuruh, tepian rambutnya yang
mengikal menempel di pelipis. Sampai di angka tertinggi, Tiaracitra segera
berlari. Terengah-engah dulu di tangga. Kenapa ia harus begitu terburu-buru, ia
juga tidak mengerti. Ia terbawa nada suara Hayat tadi, yang sepertinya tengah
berada dalam situasi genting atau apa. Menahan-nahan pingsan, Tiaracitra pun sampai
di atap. Ia tidak menemukan apapun selain embusan angin. Ia terlalu capek untuk
geram, tapi bagaimanapun ia tetap geram. Jangan-jangan Hayat mengerjainya. Dan
jeritan tadi hanya jeritan seseorang yang kebetulan Hayat lewati. Sesaat ia
mematung saja dalam kehampaan, sebelum melihat sosok-sosok di atap gedung yang
lain. Ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Tapi sepertinya
tidak salah lagi. Bergegas ia menuruni tangga, menunggui lift. Kembali
mengamati pergantian angka dengan waswas. Lalu berlari ke gedung yang lain.
Mendekati
atap gedung itu, Tiaracitra samar-samar mendengar Hayat menyentak.
“Siapapun
Tuhan lo, nyebut!”
Seorang
cewek berbaring, Hayat berlutut di sampingnya. Tiaracitra bergidik ketika
tangan Hayat menghantam pipi cewek itu dengan keras. Tidak cuman mesum, cowok
ini juga sadis. Apa ia disuruh kemari hanya untuk menyaksikan kesadisan?
Tiaracitra mendekat perlahan. Cewek itu tersedu-sedan tidak kalah keras. Ia
berusaha bangkit dan pergi, tapi cengkeraman Hayat menguat di lengannya.
Lunglai, iapun meringkuk lagi di lantai semen. Tidak membiarkan Tiaracitra
melihat wajahnya.
Tiaracitra
dan Hayat saling menatap, sama-sama tidak tahu harus berbuat apa. Yang mana
mengherankan Tiaracitra. Iapun bersimpuh di samping cewek itu. “Hei,” tegurnya
hati-hati, “mau minum?”
Cewek itu
meringkuk semakin rapat. Tangisnya memilukan, Tiaracitra merasa sesak.
“Lu sih
pake acara nampar segala,” apapun masalahnya. Tiaracitra berucap sepelan
mungkin.
Hayat
melipat kakinya. Matanya terarah pada punggung yang bergetar karena
sesenggukan. Tiaracitra juga. Bagai menunggui api unggun.
“Jadi gue
lagi di atap,” Hayat bercerita.
“Meratapi
nasib seperti biasa,” sela Tiaracitra.
Hayat
tersenyum sinis. “Terus gue liat dia. Gue pikir dia mau bunuh diri. Gue udah
ngarepin gitu… Ya, lu pingin bunuh diri, ya?” Pandangannya menuding punggung
cewek itu (yang posisinya memang membelakangi Hayat). Telunjuknya menusuk-nusuk
pinggang dengan pelan. Dijawab erangan yang semakin kencang. “Gue mau nemenin
dia. Tapi dia enggak mau.”
Tiaracitra
mengernyit. Hayat bukan untuk dipercaya.
Garis-garis
miring dari cakrawala mulai menghunjam. Hati-hati Tiaracitra menyentuh bahu
cewek itu. “Udah mulai ujan. Kita ke dalam yuk…” Cewek itu menarik bahunya.
Seketika Tiaracitra memandang Hayat, yang seolah ingin berkata, “Ya udah
terserah dia lah.” Maka Tiaracitra mengeluarkan payung dari ransel, yang hanya
cukup untuk meneduhi dirinya dan cewek itu. Hayat, biar saja kehujanan. Toh
cowok itupun bergeming saja. “Yuk. Entar kamu sakit,” Tiaracitra terus berusaha
membujuk cewek itu dengan lembut. Tapi sekonyong-konyong ia terjungkal karena
cewek itu bangkit dan mendorongnya. Masih kaget dengan apa yang terjadi,
Tiaracitra melihat Hayat sudah menangkap pinggang cewek yang berusaha melarikan
diri itu. Tenaga yang cukup kuat, cewek itu berhasil menjatuhkan Hayat.
“HEI!”
teriak Hayat.
Tergopoh-gopoh
Tiaracitra mengikuti cewek yang menuju ke tepi gedung itu.
“Jangan—“
suara Tiaracitra teredam deras hujan.
“…KENAL AKU
JUGA ENGGAK!” hanya itu yang bisa Tiaracitra tangkap.
Tirai air
itu mendadak tersingkap. Pencahayaan yang semula kelabu diganti oranye. Cerah.
Burung-burung berciap. Tiaracitra bisa melihat tampak samping cewek itu. Putih
dan bermata sipit. Tatapannya seperti menantang matahari.
Tiaracitra
bingung apa yang harus dikatakan. Sepatu kets yang dikenakan cewek itu hanya
berjarak sekitar sepuluh senti dari tepi gedung. Ia bisa saja menjatuhkan diri
sewaktu-waktu. Harus dicegah dengan apa.
Tapi
sementara cewek itu bergeming saja, Hayat melangkah ke sampingnya hingga mereka
berdiri sejajar.
“Kenapa sih
lo enggak mau ditemenin? Emang lo tahu di alam sana kayak gimana? Gue juga
enggak tahu. Seenggaknya kita bisa saling nemenin kalau nyasar…”
Tiaracitra
terperangah, lalu menjerit saat cewek itu mendorong dada Hayat. Ia menutup
mata, lalu jemarinya terbuka. Melalui celah-celah yang lantas terbuka sama
sekali, ia bersyukur cowok itu tidak jatuh. Tapi cewek itu terus memukuli dada
Hayat.
“MATI! MATI
KAMU!” suara cewek itu serak.
Tiaracitra
merasa kuduknya dingin karena Hayat tampak mulai goyah.
“Gue emang
mau mati!” sahut Hayat tidak kalah lantang.
Cepat-cepat
Tiaracitra meraih tangan Hayat, lalu menariknya sekuat mungkin. “Udah! Kalian
ini pada kenapa sih? Kalau ada masalah kita omongin baik-baik! Saling bantu!”
racau Tiaracitra. Langkah Hayat pun bergeser menjauhi tepian dengan
terseret-seret. Sempat Tiaracitra kaget saat tangan Hayat seperti akan lepas
dari pegangannya. Tapi ternyata Hayat hanya sedang berusaha menangkap tangan
cewek itu, lalu menariknya dengan kuat pula. Cewek itu terjatuh. Tiaracitra
terjatuh. Hayat terjatuh. “BERAT…!” jerit Tiaracitra. Untung Hayat segera
bangkit untuk menangkap tangan cewek itu, yang berusaha menjauhkan diri lagi.
Hayat memeluk lengan cewek itu erat-erat. “Aku mau pulang! Aku mau pulang!”
raung cewek itu sembari menggelepar-gelepar. Tiaracitra yang telah berdiri pun
mengikuti, agak tidak tega dengan cara Hayat memperlakukan cewek itu.
“Pulang ke
alam baka? Lu kalau mau gue lempar, gue lempar sekarang juga!”
“Hayat!”
“Mau
pulang! Mau pulaaang…! Huhuhuuu…”
Tiaracitra
mendekap cewek itu. Ketika pandangannya bertemu Hayat, cowok itu menangkupkan
kedua belah tangannya. “Audzubillahiminasyaitonirradzim…”
Kontan
cewek itu tertawa. Tiaracitra melonggarkan dekapannya. Hayat tetap membaca
ayat-ayat namun dengan tempo yang melambat.
“Kamu lucu!
Aku bukan muslim. Doanya enggak bakal ngaruh.”
“Emang
kenapa? Keyakinan, keyakinan gue,” sahut Hayat.
“Kamu juga
tolol!” Tiaracitra khawatir cewek itu akan menerkam Hayat. Ia terus memegangi
lengan cewek itu supaya tubuhnya tidak terlalu condong. “Gimana kalau ternyata
aku cuman pura-pura, terus kamu jatuh sendirian?”
“Enggak
masalah.” Hayat menggeleng.
“Kamu mau
mati?!”
“Semua
manusia pasti mati. Emang kenapa kalau mati muda? Jimi Hendrix. Kurt Cobain.
Soe Hok Gie? Ibu kita Kartini?”
“Gila!”
“Iya. Hayat
tuh emang gila. Udah, enggak usah dengerin dia.” Tiaracitra berupaya menahan
tubuh cewek itu yang mendadak seperti sangat bertenaga, sementara matanya
memohon Hayat agar membaca ayat-ayat lagi.
Tapi mata
Hayat malah terpusat pada cewek itu, “Lu kalau mau mati, mati aja. Enggak usah
setengah-setengah kayak gitu.”
Yang balas
menyolot dengan tajam. “Kamu sendiri—“
“Kalau gue
emang iya, gue ragu-ragu, soalnya gue belum pernah—“
Tiaracitra
sengaja menjerit supaya dua konsonan itu tidak didengarnya. Hayat pun bungkam.
Kembali menatap cewek itu dalam-dalam. Cewek itu malah tergelak-gelak. Matanya
melengkung ke bawah, membentuk bulan sabit. Lalu hening lagi. Tiaracitra
berkali-kali melirik Hayat, yang tampak putus asa. Cowok itu beringsut mundur,
mencari sandaran terdekat untuk punggungnya. Jemari naik ke kepala,
menarik-narik sejumput rambut.
Tiba-tiba
cewek itu melepaskan diri dari Tiaracitra. Ia tidak mengarah ke tepi gedung
lagi. Ia masuk ke dalam bangunan, menuruni tangga. Tiaracitra sontak mengejar,
disusul Hayat.
“Jangan
ikut!” Cewek itu berbalik. Matanya mendelik. “Aku mau pulang!”
Tiaracitra
dan Hayat mematung.
[]
Pemandangan
kembali abu-abu. Gerimis menerjang ubin dan aspal. Satu-dua orang kebasahan
atau melintas di bawah payung. Tiaracitra dan Hayat duduk di depan kafe kopi di
dalam kampus mereka. Tangan mereka yang dingin menyerap kehangatan yang
diuarkan gelas kertas. Sesekali Tiaracitra masih memeras rambut dan bajunya
dengan sebelah tangan. Gigi Hayat mulai bergemeletukan. Iapun menyulut sebatang
rokok. Tiaracitra mengamatinya. Hayat menyodorkan kotak rokoknya. Kedua belah
tangan Tiaracitra tetap memeluk gelas, tak satupun menyambut.
“Ambil aja.
Anggap aja sebagai gantinya kopi.”
“Enak aja.
Kamu tetep harus bayar gantinya kopi.”
Hayat
memasukkan lagi kotak rokoknya ke dalam saku jaket, lalu meminjam ponsel
Tiaracitra.
“Jadi tadi
itu apa?”
Hayat
menengok sekilas dari layar. “Enggak tahu.” Tiaracitra masih menatapnya.
“Entahlah. Gue juga enggak tahu apa yang mesti gue lakuin. Cewek itu juga
enggak tahu apa yang mesti dia lakuin. Dan elo juga enggak tahu apa yang mesti
elo lakuin. Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin.” Tiaracitra
mengernyit. “Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin dengan hidup
kita. Kadang-kadang kita kebingungan gara-gara itu. Simpel kan? Itu penjelasan
paling fundamental.”
“Aku tadi
udah naik angkot tahu,” tukas Tiaracitra sebal.
“Gue pikir
cewek bisa ngatasin cewek. Who knows?
Ya gue kepikiran aja sama elo.”
Tiaracitra
terdiam. Hayat memikirkannya, oh, manis banget. Walau mungkin konteks
sebetulnya tidak semanis itu.
“Dan pulsa
gue habis gara-gara nelepon lo.”
Demi apa,
Hayat manis?
“Jadi apa dia
tadi bener-bener mau bunuh diri?”
“Keliatannya
sih gitu. Makanya gue deketin aja tadi. Kalaupun kedatangan gue enggak bikin
dia batal buat ngapainlah itu, gue penasaran pingin liat kematian dari deket.”
“Lo seolah
ngedorong dia buat bunuh diri. Tadi lo bilang lo mau nemenin dia atau apa
gitu…”
“Itu
hidupnya dia, ya terserah dia mau ngapain—”
“Tapi lo
enggak usah pake nampar—“
“Dia
nyerang gue kayak kesurupan! Gue mesti ngapain? Lo liat nih cakaran dia,” Hayat
menarik lengan jaketnya, lalu mengangkat kepala untuk memperlihatkan lehernya.
Tiaracitra mendengus. Hayat kembali melihat ponsel. “Lo namain gue ‘Pangeran
Kegelapan’?!”
Tiaracitra
merampas ponselnya. “Numpang sms ya numpang sms aja, enggak usah liat-liat yang
lain!”
“Gue cuman
ngecek sms-nya kekirim apa enggak!”
Cowok itu
lalu bersin-bersin, mengusap bagian bawah hidung, lalu berdiri dan ber… lalu.
HAYAT
Cewek gila
itu bikin kacau saja. Masih terasa perih di beberapa bagian tubuhku. Memar di
perutku bahkan mulai membiru. Amoi setan, sialan.
Eh. Tapi
aku sama sekali tidak merasakan libido karena Tiaracitra, selama itu. Bagus
juga.
Aku kembali
tidur dua belas jam. Aku baru benar-benar bisa melek menjelang jam dua belas.
Begitu
kubuka jendela, kucing betina bermata besar itu menapakkan kaki-kakinya di
lantai kamarku. Semula ia meloncat ke kasurnya, bersandar pada gumpalan
selimutku. Tubuhnya meninggalkan butiran-butiran hitam yang entah apa. Aku
menjauhkan selimutku darinya. Ia terbangun. Mestinya ia terganggu dengan musik
yang kusetel keras-keras. Tapi kenapa aku harus peduli. Ia menjilat-jilat
tubuhnya. Tiaracitra. Aduh. Kucing itu merangkak menuju celana jins yang
terhampar di karpet entah sejak kapan. Bagian luar celana jins itu berada di
sebelah dalam, tahu maksudku kan? Saat berganti pakaian, aku suka melemparkan
yang bekas kupakai ke sembarang arah.
Aku
menyeret kursi hingga sejajar dengan jendela, membiarkan sinar bintang terbesar
di Bimasakti merengkuh tubuhku yang sempat diguyur hujan kemarin petang. Buku
tentang Guevara kubaca sambil membungkuk. Sesekali aku coba menulis sesuatu.
Kadang aku suka menulis, tapi aku tidak tahu menulis untuk apa. Belum lama, aku
letakkan lagi buku itu. Kuremas juga kertas yang telah tercoreng, lalu kulempar
ke mana entahlah aku harap mengenai kucing itu. Tapi tidak. Aku tidak tahu apa
gunanya membaca. Slogan-slogan itu tidak berarti untukku. Aku suka merokok, dan
tidur. Hanya itu yang ada gunanya, untuk melupakan hal-hal lain yang tidak ada
gunanya.
Aku
beringsut, ikut meringkuk di samping kucing yang suka bau celana jinsku. Ia
menggeliat, lalu berguling hingga menempelku. Sebelah kakinya bahkan mendarat
di dadaku. Kukunya mengait di kaosku. Perlahan aku mengubah posisi menjadi
lurus seperti dia. Kuangkat sebelah lenganku, kulipat untuk menopang kepalaku.
Wajahnya menghadapku. Matanya terpejam rapat, membentuk dua garis diagonal yang
berlawanan arah. Perutnya bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang
teratur, terasakan oleh perutku. “Sok akrab lu ye,” ujarku. Tapi ia tidak diam
saja. Entah mendengar atau tidak. Entah mengerti kata-kataku apa tidak. Ia
bahkan tidak terusik sekali dengan aroma ketiakku. (Terakhir kali aku mandi
adalah saat hujan kemarin.) Kamu juga kecokelatan dan berbulu, batinku, tapi
kamu bukan Tiaracitra. Tapi sekarang aku tidak begitu merasakannya,
menginginkannya. Hanya teringat saja. Kenapa aku bukannya teringat Ayudh, aku
tidak mengerti. Mungkin aku memang berhasil melupakannya. Aku masih ingin
mengungkit-ungkitnya kalau bicara dengan orang lain, juga menapaktilasi kenanganku
dengannya. Tapi sepertinya hanya untuk menguji apa itu masih ada rasanya
bagiku. Perjalanan itu memang berhasil. Aku melupakan Ayudh. Aku melupakan
segalanya—
Taik. Aku
paling tidak suka kalau ketenanganku diinterupsi. Kuraih ponsel yang dari tadi
tidak berhenti bergetar. Bukan sekadar sms rupanya.
“Rahayy
kenapa sih kamu jarang bales sms Mama…”
Aku malas,
Mama. Kalau ada topik selain TA, bereskan kamar, atau semacam itu, aku mau deh
relakan jariku untuk mengetik balasan, tapi memang ada?
“…gitu ya
kamu hubungin Mama cuman buat minta duit—”
Aku matikan
ponsel, lalu aku taruh di bawah kasur.
Kembali aku
berbaring di samping kucing. Sebelumnya aku taruh bantal di bawah kepalaku,
tapi tetap kualasi lagi dengan kedua lenganku. Sore ini begitu cerah. Matahari
menyorotkan hangatnya kepadaku. Begitu nyaman. Dan aku tidak sendiri. Sampai di
mana tadi? Seolah-olah sedari tadi aku bicara padanya. Kucing ini harus kuberi
nama. Tiaracitra sepertinya nama yang bagus, dan aku tidak akan memperpendeknya
jadi Tiara saja, atau Citra saja hahaha. Nama macam apa itu. Mungkin anaknya
besok akan dinamai Ayusrirejeki atau Rizkiramadhan atau Rizkamalia.
—sampai aku
tidak memiliki apa-apa lagi, menginginkan apa-apa lagi.
Lalu aliran
pikiranku putus begitu saja.
Aku bangkit
lagi. Bisa kurasakan separuh rambutku yang menempel dengan karpet tadi
melayang. Sebelah kaki depan kucing itu terjulur. Aku menggenggamnya dengan
ujung jemari kanan. “Selamat,” kataku, selamat karena hidupmu hanya seekor
kucing, tanpa akal untuk berpikir, berpikir itu rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar