Rabu, 24 Juli 2013

(6)

HAYAT

Tiaracitra. Aku ingin memelukmu. Kenapa kamu tidak di kamarku. Kenapa hanya guling yang di kamarku.

Hari ini dia memakai terusan lagi, sepertinya, bagian atasnya tertutup kardigan, tapi aku yakin itu terusan. Panjangnya sedikit di bawah lutut. Agak tersingkap tadi, waktu dia marah-marah dan mau turun ke bawah. Aku lihat bilur-bilur putih di pangkal betisnya. Kontras dengan kulitnya yang cokelat.

Stretchmark. Musuh para gadis.

Tapi kepalaku langsung pening. Serius. Aku ingin menyentuhnya, mengelusnya. Aku sampai gelagapan. Serius. Aku ingin tahu apa ia suka masturbasi. Cewek buluan katanya libido tinggi.

Aku ingin membuatnya megap-megap setiap malam, setiap saat.

Tiara, citra.                       

Di sisa sore itu aku hanya memeluk guling.

[]

Masih banyak yang harus dibicarakan dengan Tiaracitra. Tapi Hayat tidak tahan pening terus-terusan.             

Ia masih bisa ditemukan mengasap di atap, di mana suatu ketika ia melihat seorang cewek berdiri di atap gedung yang lain. Cewek itu mungkin setinggi Tiaracitra. Rambutnya lurus melampaui bahu. Kepalanya menunduk dalam sekali, Hayat tidak bisa melihat wajahnya. Pakaian cewek itu longgar—jumper ungu dan celana panjang yang seperti bagian dari piama. Hanya terlihat tangannya yang pucat. Gumpalan awan kelam seolah terpusat padanya, mungkin sebentar lagi sampai ke tempat Hayat dan menumpahkan derasnya. Hayat memiringkan kepala. Sejenak termenung.

Tiaracitra baru saja menaiki angkot yang menuju ke kawasan di mana rumah neneknya berada. Walau hari itu tidak panas, tapi ia merasa sudah sangat lemas. Ia telah melewatkan jam makan-siang, lebih ingin menyantap sayuran-hijau olahan Nenek saja. Toh kalaupun ia sudah makan-siang di kampus, ia pasti disuruh makan lagi oleh Nenek sesampainya di rumah. Ia tidak mau memasukkan kalori yang tidak perlu ke dalam tubuhnya. Ketika mendadak ponselnya berdering. Mata Tiaracitra menyipit begitu melihat nama yang tertera di layar.

“BURUAN KE SINI! ASAP!”

“Ke sini tuh ke mana?” Kepala Tiaracitra celingukan, sebelum menghadap ke kaca belakang angkot. Memandang jarak yang semakin menjauh dari area kampus. Asap? Asap apa? Baru kemudian ia menyadari ada jeritan perempuan melatari panggilan dari Hayat.

“GEDUNG—!”

Mati.

Sekitar setengah jam kemudian Tiaracitra mengamati pergantian angka di lift dengan waswas. Bapak-bapak di sebelahnya mungkin berpikir kalau ia sedang kebelet kencing. Tapi selain itu dadanya juga bergemuruh, tepian rambutnya yang mengikal menempel di pelipis. Sampai di angka tertinggi, Tiaracitra segera berlari. Terengah-engah dulu di tangga. Kenapa ia harus begitu terburu-buru, ia juga tidak mengerti. Ia terbawa nada suara Hayat tadi, yang sepertinya tengah berada dalam situasi genting atau apa. Menahan-nahan pingsan, Tiaracitra pun sampai di atap. Ia tidak menemukan apapun selain embusan angin. Ia terlalu capek untuk geram, tapi bagaimanapun ia tetap geram. Jangan-jangan Hayat mengerjainya. Dan jeritan tadi hanya jeritan seseorang yang kebetulan Hayat lewati. Sesaat ia mematung saja dalam kehampaan, sebelum melihat sosok-sosok di atap gedung yang lain. Ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Tapi sepertinya tidak salah lagi. Bergegas ia menuruni tangga, menunggui lift. Kembali mengamati pergantian angka dengan waswas. Lalu berlari ke gedung yang lain.

Mendekati atap gedung itu, Tiaracitra samar-samar mendengar Hayat menyentak.

“Siapapun Tuhan lo, nyebut!”

Seorang cewek berbaring, Hayat berlutut di sampingnya. Tiaracitra bergidik ketika tangan Hayat menghantam pipi cewek itu dengan keras. Tidak cuman mesum, cowok ini juga sadis. Apa ia disuruh kemari hanya untuk menyaksikan kesadisan? Tiaracitra mendekat perlahan. Cewek itu tersedu-sedan tidak kalah keras. Ia berusaha bangkit dan pergi, tapi cengkeraman Hayat menguat di lengannya. Lunglai, iapun meringkuk lagi di lantai semen. Tidak membiarkan Tiaracitra melihat wajahnya.

Tiaracitra dan Hayat saling menatap, sama-sama tidak tahu harus berbuat apa. Yang mana mengherankan Tiaracitra. Iapun bersimpuh di samping cewek itu. “Hei,” tegurnya hati-hati, “mau minum?”

Cewek itu meringkuk semakin rapat. Tangisnya memilukan, Tiaracitra merasa sesak.

“Lu sih pake acara nampar segala,” apapun masalahnya. Tiaracitra berucap sepelan mungkin.

Hayat melipat kakinya. Matanya terarah pada punggung yang bergetar karena sesenggukan. Tiaracitra juga. Bagai menunggui api unggun.

“Jadi gue lagi di atap,” Hayat bercerita.

“Meratapi nasib seperti biasa,” sela Tiaracitra.

Hayat tersenyum sinis. “Terus gue liat dia. Gue pikir dia mau bunuh diri. Gue udah ngarepin gitu… Ya, lu pingin bunuh diri, ya?” Pandangannya menuding punggung cewek itu (yang posisinya memang membelakangi Hayat). Telunjuknya menusuk-nusuk pinggang dengan pelan. Dijawab erangan yang semakin kencang. “Gue mau nemenin dia. Tapi dia enggak mau.”

Tiaracitra mengernyit. Hayat bukan untuk dipercaya.

Garis-garis miring dari cakrawala mulai menghunjam. Hati-hati Tiaracitra menyentuh bahu cewek itu. “Udah mulai ujan. Kita ke dalam yuk…” Cewek itu menarik bahunya. Seketika Tiaracitra memandang Hayat, yang seolah ingin berkata, “Ya udah terserah dia lah.” Maka Tiaracitra mengeluarkan payung dari ransel, yang hanya cukup untuk meneduhi dirinya dan cewek itu. Hayat, biar saja kehujanan. Toh cowok itupun bergeming saja. “Yuk. Entar kamu sakit,” Tiaracitra terus berusaha membujuk cewek itu dengan lembut. Tapi sekonyong-konyong ia terjungkal karena cewek itu bangkit dan mendorongnya. Masih kaget dengan apa yang terjadi, Tiaracitra melihat Hayat sudah menangkap pinggang cewek yang berusaha melarikan diri itu. Tenaga yang cukup kuat, cewek itu berhasil menjatuhkan Hayat.

“HEI!” teriak Hayat.

Tergopoh-gopoh Tiaracitra mengikuti cewek yang menuju ke tepi gedung itu.

“Jangan—“ suara Tiaracitra teredam deras hujan.

“…KENAL AKU JUGA ENGGAK!” hanya itu yang bisa Tiaracitra tangkap.

Tirai air itu mendadak tersingkap. Pencahayaan yang semula kelabu diganti oranye. Cerah. Burung-burung berciap. Tiaracitra bisa melihat tampak samping cewek itu. Putih dan bermata sipit. Tatapannya seperti menantang matahari.

Tiaracitra bingung apa yang harus dikatakan. Sepatu kets yang dikenakan cewek itu hanya berjarak sekitar sepuluh senti dari tepi gedung. Ia bisa saja menjatuhkan diri sewaktu-waktu. Harus dicegah dengan apa.

Tapi sementara cewek itu bergeming saja, Hayat melangkah ke sampingnya hingga mereka berdiri sejajar.

“Kenapa sih lo enggak mau ditemenin? Emang lo tahu di alam sana kayak gimana? Gue juga enggak tahu. Seenggaknya kita bisa saling nemenin kalau nyasar…”

Tiaracitra terperangah, lalu menjerit saat cewek itu mendorong dada Hayat. Ia menutup mata, lalu jemarinya terbuka. Melalui celah-celah yang lantas terbuka sama sekali, ia bersyukur cowok itu tidak jatuh. Tapi cewek itu terus memukuli dada Hayat.

“MATI! MATI KAMU!” suara cewek itu serak.

Tiaracitra merasa kuduknya dingin karena Hayat tampak mulai goyah.

“Gue emang mau mati!” sahut Hayat tidak kalah lantang.

Cepat-cepat Tiaracitra meraih tangan Hayat, lalu menariknya sekuat mungkin. “Udah! Kalian ini pada kenapa sih? Kalau ada masalah kita omongin baik-baik! Saling bantu!” racau Tiaracitra. Langkah Hayat pun bergeser menjauhi tepian dengan terseret-seret. Sempat Tiaracitra kaget saat tangan Hayat seperti akan lepas dari pegangannya. Tapi ternyata Hayat hanya sedang berusaha menangkap tangan cewek itu, lalu menariknya dengan kuat pula. Cewek itu terjatuh. Tiaracitra terjatuh. Hayat terjatuh. “BERAT…!” jerit Tiaracitra. Untung Hayat segera bangkit untuk menangkap tangan cewek itu, yang berusaha menjauhkan diri lagi. Hayat memeluk lengan cewek itu erat-erat. “Aku mau pulang! Aku mau pulang!” raung cewek itu sembari menggelepar-gelepar. Tiaracitra yang telah berdiri pun mengikuti, agak tidak tega dengan cara Hayat memperlakukan cewek itu.

“Pulang ke alam baka? Lu kalau mau gue lempar, gue lempar sekarang juga!”

“Hayat!”

“Mau pulang! Mau pulaaang…! Huhuhuuu…”

Tiaracitra mendekap cewek itu. Ketika pandangannya bertemu Hayat, cowok itu menangkupkan kedua belah tangannya. “Audzubillahiminasyaitonirradzim…”

Kontan cewek itu tertawa. Tiaracitra melonggarkan dekapannya. Hayat tetap membaca ayat-ayat namun dengan tempo yang melambat.

“Kamu lucu! Aku bukan muslim. Doanya enggak bakal ngaruh.”

“Emang kenapa? Keyakinan, keyakinan gue,” sahut Hayat.

“Kamu juga tolol!” Tiaracitra khawatir cewek itu akan menerkam Hayat. Ia terus memegangi lengan cewek itu supaya tubuhnya tidak terlalu condong. “Gimana kalau ternyata aku cuman pura-pura, terus kamu jatuh sendirian?”

“Enggak masalah.” Hayat menggeleng.

“Kamu mau mati?!”

“Semua manusia pasti mati. Emang kenapa kalau mati muda? Jimi Hendrix. Kurt Cobain. Soe Hok Gie? Ibu kita Kartini?”

“Gila!”

“Iya. Hayat tuh emang gila. Udah, enggak usah dengerin dia.” Tiaracitra berupaya menahan tubuh cewek itu yang mendadak seperti sangat bertenaga, sementara matanya memohon Hayat agar membaca ayat-ayat lagi.

Tapi mata Hayat malah terpusat pada cewek itu, “Lu kalau mau mati, mati aja. Enggak usah setengah-setengah kayak gitu.”

Yang balas menyolot dengan tajam. “Kamu sendiri—“

“Kalau gue emang iya, gue ragu-ragu, soalnya gue belum pernah—“

Tiaracitra sengaja menjerit supaya dua konsonan itu tidak didengarnya. Hayat pun bungkam. Kembali menatap cewek itu dalam-dalam. Cewek itu malah tergelak-gelak. Matanya melengkung ke bawah, membentuk bulan sabit. Lalu hening lagi. Tiaracitra berkali-kali melirik Hayat, yang tampak putus asa. Cowok itu beringsut mundur, mencari sandaran terdekat untuk punggungnya. Jemari naik ke kepala, menarik-narik sejumput rambut.

Tiba-tiba cewek itu melepaskan diri dari Tiaracitra. Ia tidak mengarah ke tepi gedung lagi. Ia masuk ke dalam bangunan, menuruni tangga. Tiaracitra sontak mengejar, disusul Hayat.

“Jangan ikut!” Cewek itu berbalik. Matanya mendelik. “Aku mau pulang!”

Tiaracitra dan Hayat mematung.

[]

Pemandangan kembali abu-abu. Gerimis menerjang ubin dan aspal. Satu-dua orang kebasahan atau melintas di bawah payung. Tiaracitra dan Hayat duduk di depan kafe kopi di dalam kampus mereka. Tangan mereka yang dingin menyerap kehangatan yang diuarkan gelas kertas. Sesekali Tiaracitra masih memeras rambut dan bajunya dengan sebelah tangan. Gigi Hayat mulai bergemeletukan. Iapun menyulut sebatang rokok. Tiaracitra mengamatinya. Hayat menyodorkan kotak rokoknya. Kedua belah tangan Tiaracitra tetap memeluk gelas, tak satupun menyambut.

“Ambil aja. Anggap aja sebagai gantinya kopi.”

“Enak aja. Kamu tetep harus bayar gantinya kopi.”

Hayat memasukkan lagi kotak rokoknya ke dalam saku jaket, lalu meminjam ponsel Tiaracitra.

“Jadi tadi itu apa?”

Hayat menengok sekilas dari layar. “Enggak tahu.” Tiaracitra masih menatapnya. “Entahlah. Gue juga enggak tahu apa yang mesti gue lakuin. Cewek itu juga enggak tahu apa yang mesti dia lakuin. Dan elo juga enggak tahu apa yang mesti elo lakuin. Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin.” Tiaracitra mengernyit. “Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin dengan hidup kita. Kadang-kadang kita kebingungan gara-gara itu. Simpel kan? Itu penjelasan paling fundamental.”

“Aku tadi udah naik angkot tahu,” tukas Tiaracitra sebal.

“Gue pikir cewek bisa ngatasin cewek. Who knows? Ya gue kepikiran aja sama elo.”

Tiaracitra terdiam. Hayat memikirkannya, oh, manis banget. Walau mungkin konteks sebetulnya tidak semanis itu.

“Dan pulsa gue habis gara-gara nelepon lo.”

Demi apa, Hayat manis?

“Jadi apa dia tadi bener-bener mau bunuh diri?”

“Keliatannya sih gitu. Makanya gue deketin aja tadi. Kalaupun kedatangan gue enggak bikin dia batal buat ngapainlah itu, gue penasaran pingin liat kematian dari deket.”

“Lo seolah ngedorong dia buat bunuh diri. Tadi lo bilang lo mau nemenin dia atau apa gitu…”

“Itu hidupnya dia, ya terserah dia mau ngapain—”

“Tapi lo enggak usah pake nampar—“

“Dia nyerang gue kayak kesurupan! Gue mesti ngapain? Lo liat nih cakaran dia,” Hayat menarik lengan jaketnya, lalu mengangkat kepala untuk memperlihatkan lehernya. Tiaracitra mendengus. Hayat kembali melihat ponsel. “Lo namain gue ‘Pangeran Kegelapan’?!”

Tiaracitra merampas ponselnya. “Numpang sms ya numpang sms aja, enggak usah liat-liat yang lain!”

“Gue cuman ngecek sms-nya kekirim apa enggak!”

Cowok itu lalu bersin-bersin, mengusap bagian bawah hidung, lalu berdiri dan ber… lalu.

HAYAT

Cewek gila itu bikin kacau saja. Masih terasa perih di beberapa bagian tubuhku. Memar di perutku bahkan mulai membiru. Amoi setan, sialan.

Eh. Tapi aku sama sekali tidak merasakan libido karena Tiaracitra, selama itu. Bagus juga.

Aku kembali tidur dua belas jam. Aku baru benar-benar bisa melek menjelang jam dua belas.

Begitu kubuka jendela, kucing betina bermata besar itu menapakkan kaki-kakinya di lantai kamarku. Semula ia meloncat ke kasurnya, bersandar pada gumpalan selimutku. Tubuhnya meninggalkan butiran-butiran hitam yang entah apa. Aku menjauhkan selimutku darinya. Ia terbangun. Mestinya ia terganggu dengan musik yang kusetel keras-keras. Tapi kenapa aku harus peduli. Ia menjilat-jilat tubuhnya. Tiaracitra. Aduh. Kucing itu merangkak menuju celana jins yang terhampar di karpet entah sejak kapan. Bagian luar celana jins itu berada di sebelah dalam, tahu maksudku kan? Saat berganti pakaian, aku suka melemparkan yang bekas kupakai ke sembarang arah.

Aku menyeret kursi hingga sejajar dengan jendela, membiarkan sinar bintang terbesar di Bimasakti merengkuh tubuhku yang sempat diguyur hujan kemarin petang. Buku tentang Guevara kubaca sambil membungkuk. Sesekali aku coba menulis sesuatu. Kadang aku suka menulis, tapi aku tidak tahu menulis untuk apa. Belum lama, aku letakkan lagi buku itu. Kuremas juga kertas yang telah tercoreng, lalu kulempar ke mana entahlah aku harap mengenai kucing itu. Tapi tidak. Aku tidak tahu apa gunanya membaca. Slogan-slogan itu tidak berarti untukku. Aku suka merokok, dan tidur. Hanya itu yang ada gunanya, untuk melupakan hal-hal lain yang tidak ada gunanya.

Aku beringsut, ikut meringkuk di samping kucing yang suka bau celana jinsku. Ia menggeliat, lalu berguling hingga menempelku. Sebelah kakinya bahkan mendarat di dadaku. Kukunya mengait di kaosku. Perlahan aku mengubah posisi menjadi lurus seperti dia. Kuangkat sebelah lenganku, kulipat untuk menopang kepalaku. Wajahnya menghadapku. Matanya terpejam rapat, membentuk dua garis diagonal yang berlawanan arah. Perutnya bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang teratur, terasakan oleh perutku. “Sok akrab lu ye,” ujarku. Tapi ia tidak diam saja. Entah mendengar atau tidak. Entah mengerti kata-kataku apa tidak. Ia bahkan tidak terusik sekali dengan aroma ketiakku. (Terakhir kali aku mandi adalah saat hujan kemarin.) Kamu juga kecokelatan dan berbulu, batinku, tapi kamu bukan Tiaracitra. Tapi sekarang aku tidak begitu merasakannya, menginginkannya. Hanya teringat saja. Kenapa aku bukannya teringat Ayudh, aku tidak mengerti. Mungkin aku memang berhasil melupakannya. Aku masih ingin mengungkit-ungkitnya kalau bicara dengan orang lain, juga menapaktilasi kenanganku dengannya. Tapi sepertinya hanya untuk menguji apa itu masih ada rasanya bagiku. Perjalanan itu memang berhasil. Aku melupakan Ayudh. Aku melupakan segalanya—

Taik. Aku paling tidak suka kalau ketenanganku diinterupsi. Kuraih ponsel yang dari tadi tidak berhenti bergetar. Bukan sekadar sms rupanya.

“Rahayy kenapa sih kamu jarang bales sms Mama…”

Aku malas, Mama. Kalau ada topik selain TA, bereskan kamar, atau semacam itu, aku mau deh relakan jariku untuk mengetik balasan, tapi memang ada?

“…gitu ya kamu hubungin Mama cuman buat minta duit—”

Aku matikan ponsel, lalu aku taruh di bawah kasur.

Kembali aku berbaring di samping kucing. Sebelumnya aku taruh bantal di bawah kepalaku, tapi tetap kualasi lagi dengan kedua lenganku. Sore ini begitu cerah. Matahari menyorotkan hangatnya kepadaku. Begitu nyaman. Dan aku tidak sendiri. Sampai di mana tadi? Seolah-olah sedari tadi aku bicara padanya. Kucing ini harus kuberi nama. Tiaracitra sepertinya nama yang bagus, dan aku tidak akan memperpendeknya jadi Tiara saja, atau Citra saja hahaha. Nama macam apa itu. Mungkin anaknya besok akan dinamai Ayusrirejeki atau Rizkiramadhan atau Rizkamalia.

—sampai aku tidak memiliki apa-apa lagi, menginginkan apa-apa lagi.

Lalu aliran pikiranku putus begitu saja.               

Aku bangkit lagi. Bisa kurasakan separuh rambutku yang menempel dengan karpet tadi melayang. Sebelah kaki depan kucing itu terjulur. Aku menggenggamnya dengan ujung jemari kanan. “Selamat,” kataku, selamat karena hidupmu hanya seekor kucing, tanpa akal untuk berpikir, berpikir itu rumit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain