Selasa, 30 Juli 2013

(9)

TIARACITRA

Semalam sehabis salat isya aku berdoa, Ya Allah, aku tidak ingin melalui masa mengerjakan TA ini sendirian. Iya sih, ada beberapa teman… tapi bisakah Kau memberiku teman-teman yang cukup waras?

Aku terpikir beberapa nama yang seangkatan di jurusan. Astaga. Apa cuman aku cewek yang tersisa? Aku mengingat-ingat beberapa nama lagi, masih satu jurusan namun satu angkatan di bawahku. Mayoritas dari mereka juga sudah lulus. Bagaimana aku bisa bergabung dengan yang tersisa. Aku mengingat-ingat juga mereka yang satu angkatan namun beda jurusan, beda fakultas. Bagaimana kabar mereka. Mereka sudah lulus atau belum sih, jarang lihat di kampus. Aduh… Aduh aduh. Ini menyakitkan. Apalagi kemajuanku dalam mengerjakan TA juga sangat lamban. Oh tidak, ini lebih dari menyakitkan, ini mengerikan!

Aku terpikir Hayat, seolah aku sudah lupa dengan segala perlakuannya yang tidak mengenakkan kepadaku. Seharusnya aku dan dia bisa saling mendukung kan. Dosen pembimbing sama. Bahan yang harus kami ambil juga sama. Jurusan dan angkatan, apalagi. Tapi ia seperti ogah-ogahan dengan TA, juga denganku.

Aku terpikir Cecilia juga. Sempat kubayangkan untuk berteman dengannya. Tapi, apa aku bisa tahan menghadapi sikapnya yang… entahlah, aku rada prihatin sebenarnya…

Aaah…

maLem nenG, meT bUbU…

Sms dari mas-mas alay sudah tidak begitu merisaukanku lagi. Selamat, Anda sudah terbiasa.

Saat salat subuh kuulangi doaku.

Aku tidak mengharapkan apa-apa ketika tiba di kampus. Aku tidak melihat Hayat di atap. Aku tidak melihat Cecilia menaiki tangga. Aku nyalakan laptopku, menahan pedih di mata ketika meninjau lagi coret-coretan Pak Bambang di print-out-ku. Mengembuskan napas berkali-kali. Aku pasti bisa mengatasi semua dan menghadapinya, kukutip lagu Citra Skolastika, “Pasti Bisa”, yang jadi favoritku akhir-akhir ini.

Laptopku menangkap sinyal wi fi.

Apa yang harus aku lakukan…

Masuk ke Facebook tentu saja. Memperbarui statusku. Berbagi semangat untuk mengerjakan TA. Setidaknya untuk memberi kesan kalau aku tidak mengabaikannya. Seketika muncul pemberitahuan, Pak Bambang mengomentari statusku. Ia memang dosen yang perhatian. Aku membalas. Ia membalas lagi. Aku membalas. Ia membuatku harus mengirim sms ke Hayat, semoga dibalas. Hayat jarang membalas.

Tapi siang itu ia datang juga ke kantor Pak Bambang. Bukan pertemuan yang “menghasilkan”, karena memang tak satupun dari kami berdua yang sudah membuat kemajuan berarti. Pak Bambang menyarankan kami untuk bergabung dengan grup “Bimbingan Pak Bambang” di Facebook. Anak-anak angkatan di bawah kami yang membuatnya, saking banyak yang dibimbing Pak Bambang. Walau awalnya Pak Bambang juga yang menyarankan agar sesama bimbingannya bisa saling membantu satu sama lain. Terima kasih, Pak. Kamipun undur diri.

“Mau ke mana habis ini?”

Aduh! Seharusnya aku tidak usah menanyakannya! Lidahku!

“Nonton,” katanya.

Ikut atau tidak. Ikut atau tidak. Ikut atau tidak. Aku menghitung kancing di terusanku yang jumlahnya hanya tiga. Ugh. Seharusnya aku mulai dengan kata “Tidak”! Seolah aku tidak punya pilihan lain(!), aku mengikutinya ke perpustakaan.

Baru aku sadari ranselnya tampak kempis. Sepertinya ia tidak bawa laptop.

Ia masuk ke American Corner, mengempaskan diri ke sofa lalu menyalakan TV. Ia duduk di pojok kanan, aku di pojok kiri. Ia meletakkan remot begitu saja di antara kami. Saluran FX. Ada semacam teaser untuk sebuah serial, yang sesekali diselingi adegan orang begituan. Ih. Aku mengernyit tiap potongan-potongan itu muncul, walau singkat saja. Lalu sebuah serial dimulai. Aku coba mengikuti ceritanya. Aku tidak begitu doyan menonton yang begini.

Sikut kanan Hayat bertumpu pada lengan sofa, sementara jemarinya tertekuk menopang pelipisnya. Rambutnya tampak rancung-rancung ke depan. Ekspresinya datar.

Tahu-tahu satu episode usai. Teaser lagi dari serial berbeda. Masih saja diselingi potongan adegan yang bikin aku kurang nyaman.

“Kenapa sih suka ada adegan gituannya,” aku tidak dapat menahan diri untuk tidak menyampaikan komentarku. Walaupun aku sudah punya perkiraan seperti apa ia bakal bereaksi. Siap-siap jijik lagi, Tiaracitra…

“Iya, gue juga enggak suka,” ucapnya.

Membuatku menoleh padanya hingga dua kali.

“Sejak kapan lo enggak suka?”

“Sejak nyokap gue ngambek dan enggak ngisi rekening gue dan jadinya gue harus puasa.” Ia sama sekali tidak menoleh padaku.

Aku harus menyampaikan terima kasih sama mamanya Hayat!

[]

Terlelap sebelum jam tiga dan terjaga sebelum jam delapan itu anugrah. Hayat merasa masih agak mengantuk, sekaligus terlalu segar untuk kembali tidur. Ia membuka jendela lebar-lebar. Cerah merajah. Diterjang sejuk, ia mencari-cari lagu yang kira-kira pas untuk mendukung suasana pagi itu. Di antara tumpukan CD berisi koleksi mp3, yang ia kumpulkan semasa SMA. Bibirnya mengapit rokok, asapnya meliuk tipis. It was a fine bright day, Hayat teringat pembuka suatu cerpen yang pernah ia baca namun tidak pasti akan judulnya. Sesuatu in the park dan pada Sunday[1], tapi ini in the room dan pada… hari apa ini? Rasanya sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melihat kalender. Yaitu pada hari wisuda Ayudh. Aduh. Hari wisuda atau hari tunangan, ia juga tidak pasti. Ia tengadah sejenak. Langit terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulutnya terlalu tawar untuk dicemari rokok. Hayat tersengal. Apa ini, epifani lagi? Ia menyeret asbak lalu memadamkan bara.

Selang sejam kemudian Tiaracitra menapaki tangga perpustakaan. Di belokan yang dibatasi dinding kaca, ia berhenti. Kepalanya terangkat sedikit. Terpikat langit. Begitu jernih. Semoga pikirannya juga, saat mengerjakan TA nanti. Dan hatinya, kalau-kalau ada orang kurang waras yang harus ia hadapi. Setelah desahan panjang yang optimis, ia melanjutkan langkah dengan senyum tipis. Ia akan memilih bangku di pinggir jendela, supaya tetap terpapar cerahnya hari.

Baru saja ia merapikan barang-barangnya di meja, lalu pandangannya tak sengaja menyapu puncak gedung di seberang perpustakaan.

Langit terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulut terlalu tawar… Hayat masih saja terpana. Ia kini bersila di atap gedung seberang perpustakaan. Bahkan angin dengan ramah membelai-belai rambutnya yang sekaku ijuk. Jemarinya sudah mengepit puntung, tapi, ia masukkan lagi ke kotaknya di saku kemeja flanel yang ia kenakan. Sekali lagi meringis. Sepertinya ini hari yang baik… untuk bertemu Ayah.

Sepertinya ini hari yang baik… untuk mengingatkan Hayat pada TA. Suasana mendukung begini sangat sayang untuk diabaikan. Sekadar tanya saja, Yat, TA lo udah sampe mana?

Ke atap, Cit.

Tatapan Hayat menyambutnya saat ia sampai. Bersila di tengah atap seraya bersidekap. Bahkan cowok itu pun tersenyum! Oh! Puja-puji bagi semesta alam.

“Hari ini lo mau ngapain, Cit?”

Ngapain? Ya ngerjain TA-lah, ngapain lagi?

“Jalan yuk. Bosen ngampus mulu.”

Tiaracitra terperangah, lalu menyambut dengan semringah. “Ayuk, jalan-jalan!”

Mereka pun menaiki angkot. Sepanjang jalan Tiaracitra bertanya-tanya ke mana cowok itu akan membawanya. Cowok itu diam saja, tapi ekspresinya menyenangkan. Ternyata mereka berhenti di tepi jalan menuju kosan Hayat.. Cowok itu hendak mengambil kendaraannya. Motor bebek biasa. Ia menyodorkan helm kulit bermodel vintage pada Tiaracitra, sedang ia sendiri mengenakan helm full face. Lalu mereka berkendara ke utara kota, melalui jalan menanjak. Kepadatan bangunan di kiri-kanan mulai berkurang. Angkot semakin jarang. Udara semakin sejuk segar. Tiaracitra kembali menduga-duga… minum susu murni?, mengudap ketan bakar?, perkebunan stroberi?, kebun bunga?, peternakan sapi?, atau sekadar mengamati cekungan yang mewadahi kota?

“Lu mau jadi seniman kan, Cit?” sayup-sayup suara Hayat disabet angin. “Lu mesti ketemu ayah gue.”

…ketemu ayah?

Lahan terbuka semakin luas mengisi kiri-kanan jalan yang disusuri Hayat. Tiaracitra sama sekali tidak menyangka di mana mereka akan berhenti. Tahu-tahu saja Hayat menarik rem. Di sebelah kiri mereka kini terdapat bangunan bernuansa saung-saungan, dengan dinding kayu dan atap ijuk. Warna hitam mendominasi. Dari balik semak-semak yang tumbuh di halaman bangunan tersebut, berdiri seorang pria bertubuh tegap. Rambutnya panjang bergelombang. Mukanya yang dirimbuni kumis dan cambang tidak sedikitpun menutupi keramahannya. Sebelah tangannya menggenggam sabit.

“Hai, Matahari!”

Hayat hanya menjawab dengan senyum, lalu menyuruh Tiaracitra untuk turun. Sementara Hayat dengan motornya melalui jalan berbatu yang mengarah ke bagian belakang rumah tersebut, Tiaracitra memerhatikan kotak besar di muka jalan. Warna cat tulisan itu sudah memudar. Yang jelas terbaca hanya “Galeri”, lalu selebihnya ia harus mengeja. Tapi Hayat keburu memanggilnya.

Hayat dan pria itu bersalaman, hanya jabat tangan yang kencang. Malah sepertinya hanya tangan pria itu yang kukuh. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Hayat. Ternyata ada beberapa baris uban di rambutnya, tadi tidak begitu terlihat. “Ini, temen,” Hayat menunjuk Tiaracitra dengan sebelah tangan. Pria itu juga menjabat tangan Tiaracitra kuat-kuat. Tiaracitra berusaha untuk tidak meringis.

“Udah makan belum?” tanya pria itu yang sepertinya hendak beranjak lagi.     

“Belum,” jawab Hayat pelan.

“Makan dulu gih.” Lalu ia kembali ke tempatnya semula, jongkok dan menyiangi rumput. Di bibirnya sudah terapit rokok, yang sebelumnya terselip di balik telinga dan tersembunyikan oleh rambut gondrongnya. Tiaracitra baru menyadari.

Mereka masuk melalui pintu di samping rumah tersebut, menuju sebuah area terbuka. Pandangan Tiaracitra mengitari suasana natural tersebut. Lumut mewarnai beberapa bagian dinding. Barisan genteng yang menghitam di bawahnya. Tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitarnya. Aroma tanah yang begitu gelap dan lembap meruap. Seonggok sepeda roda tiga di pojok yang satu. Sebatang pohon rindang di pojok yang lain. Hampir Tiaracitra menabrak tiang jemuran dari kayu, kawat-kawat merintang membentuk jalur-jalur dari puncak satu ke puncak yang lain. Seorang wanita paruh baya di pojok yang lain sedang menyapu dedaunan dengan sapu lidi, berhenti sejenak untuk menyambut Hayat dengan tatapannya. Tiaracitra tidak melihat senyum. “Makan, Bik,” kata Hayat. Wanita itu malah lanjut menyapu, tapi tidak lama. Rupanya ia hanya merapikan pekerjaannya, sebelum memasuki ruangan gelap yang sepertinya dapur. Kepala Tiaracitra bergerak-gerak, mencoba untuk melihat isi ruangan tersebut dari jauh. Ia takjub ketika mendapati tungku. Karena Hayat duduk di kursi di sebelah luar ruangan tersebut, Tiaracitra pun turut. Pandangannya masih mencuri-curi. Sempat ditangkapnya tangan Hayat yang menempel dekat bibir. Ia kira Hayat bakal merokok, tapi ternyata tangan cowok itu kosong saja. Menyadari gelagat Tiaracitra, “Masuk aja,” katanya. Tiaracitra mengangkat kepala, lalu menggeleng dengan malu, “Enggak ah.”

Beberapa lama Tiaracitra hanya mengamati induk ayam yang tengah mengajari anak-anaknya mematuki tanah, dilatari ciak-ciak dan krik-krik yang entah berasal dari mana. Nyaris tertidur, tapi nasi goreng sudah datang. Lengkap dengan dua gelas air bening di meja di samping Hayat. Tiaracitra bahkan sampai lupa bilang tadi kalau ia sudah makan. Selamat menambah lemak, cewek itu kurang bersemangat. Ia mengangkat dedaunan yang menghiasi tepian piring. Hayat meliriknya. “Nasi goreng, pake lalap.” Tiaracitra mengangguk, lalu mulai melumat jatahnya pelan-pelan.

Hayat menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu menaruh piring yang sudah kosong di meja di sampingnya. Tiaracitra masih separuh. “Boleh dilanjutin nanti, enggak?” Cowok itu mengambil piring Tiaracitra, lalu meletakkannya di atas piring yang sebelumnya. Hayat segera menandaskan minumannya, lalu beranjak. Tiaracitra juga mengambil jatahnya di meja yang berjarak satu kursi darinya itu, lalu menenggaknya buru-buru sebelum mengejar Hayat.

Ada pintu lagi di pojok bagian belakang rumah itu, yang sedari tadi terbuka. Hamparan kebun di baliknya. “Waah…” Tiaracitra tercengang. Cewek itu mengekor Hayat menyusuri pematang.

“Ini punya kamu, eh, keluarga kamu?”

Cowok itu mengerutkan kening. “Bukanlah.”

Tiaracitra merasa suara mereka begitu lepas di tempat yang sangat terbuka ini. Langit seakan tak berbatas. Beberapa bangunan tampak kecil saja di seberang.

“Tadi itu… ayah kamu?”

Gumaman Hayat mengiyakan.

“Tadi ayah kamu manggil kamu Matahari…”

“Nama gue kan artinya matahari…”

Mulut Tiaracitra membulat.

“Kalau kakak gue, bulan. Namanya Lunamun Chandra. Terserah lu mau panggil dia apa, Luna, Mumun, apa Chandra.”

“Ya ya.” Cewek itu mengangguk-angguk. Diamatinya tanaman-tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan yang telah ia lalui. Ia mengira-ngira. Wortel. Kentang. Tomat. Kubis. Loncang. Lalu geli sendiri dengan terkaannya, kalau-kalau tidak tepat. Di depannya Hayat berjongkok.

Cowok itu menggenggam segumpal tanah. “Ini tanah apa coba?” Tiaracitra menjawabnya dengan cengiran. “Kuliah di jurusan apa lo, nama-nama tanah aja enggak hapal.” Ya ampun ini kan dasar banget. Ia ingin melemparkan gumpalan tersebut ke rok terusan Tiaracitra, tapi sepertinya cewek itu malah bakal menangis. Mereka kan tidak seakrab itu, Hayat seolah baru menyadarinya. Cuman intim di alam mimpi. Sekarang pun Hayat sudah (atau mungkin hanya sedang) terbebas dari gangguan itu. “Kirain keluarga lo enggak di sini. Lo enggak tinggal bareng ayah lo?” terdengar suara cewek itu sementara Hayat berpikir. “Kejauhan dari kampus, ya?” kata cewek itu lagi seolah menanggapi sendiri yang sebelumnya tidak digubris Hayat. Hayat pun duduk di pematang itu. Dengan ragu-ragu, Tiaracitra membenahi roknya lalu duduk juga di samping cowok itu. Sesekali ia mengecek seberapa parah tanah mengotori pakaiannya. Tidak begitu menempel sih. Biarkan saja deh.

“Ceritanya… dulu orangtua gue kawinnya cepet. Di kampus situ juga. Ayah di Kriya, nyokap gue di jurusan yang lebih basah. Tipikal pasangan nekat gitulah. Orangtuanya nyokap gue enggak setuju. Tadinya mau kawin lari, tapi enggak jadi. Akhirnya dinikahin aja. Terus selagi hamil kakak gue gitu, nyokap gue kuliah… selesai… kerja… mapan… terus enggak bareng lagi sama bokap. Selesai.”

“Oh… orangtua kamu udah… cerai?” tanya Tiaracitra dengan pelan sekaligus tak enak hati.

Hayat tidak menjawab, tapi tampang cowok itu biasa saja.

Tiaracitra merasa matahari sudah menyengat kulitnya. Alamak. Makin gosong saja nanti. Ia bersyukur ketika Hayat akhirnya mengajaknya kembali ke rumah. Ia dibawa ke sebuah ruangan besar di tengah rumah yang adem sekali. Sesaat begitu mengempaskan tubuh ke sofa, beragam warna menyerbu pandangan Tiaracitra berganti-ganti. Hayat memberinya sekaleng soft drink. Titik-titik air  memenuhi permukaannya yang belum terjamah tangan. “Lemes banget,” komentar Hayat. “Capek,” tanggap Tiaracitra. “Lu ada penyakit?” tanya cowok itu lagi. “Anemia.” Cowok itu menenggak minumannya. “Yah, kirain…” Terus kenapa, apa cowok ini mengharapkannya mengidap penyakit yang lebih serius. Tiaracitra menatap Hayat dengan sebal, tapi cowok itu tidak melihat.

Masih di ruangan itu, mereka duduk berdampingan sambil mengudap nasi timbel. Sembari membuka helai demi helai daun yang melapisi nasinya, tanya Tiaracitra, “Ini bikin sendiri?” Hayat menjawab dengan gumaman. “Sepi.” Sekilas mata Tiaracitra menyapu instalasi-instalasi besar yang mengisi bagian tengah ruangan. Terasa begitu lapang, dan gelap. Walau matahari dapat meneroboskan cahayanya dengan leluasa. Barisan bohlam tersaput debu melekat di langit-langit. Tegel berwarna kelam, namun yang menyusun tepi ruangan berhiaskan corak bernuansa etnik. “Biasanya ada cewek,” kata Hayat setelah jeda lama. “Cewek?” ulang Tiaracitra. “Siapa?” Hayat menjawab, “Enggak tahu. Suka ada aja, cewek.” Tahu-tahu Tiaracitra merasa dingin. “Lo bisa ngeliat, Yat?” Cowok itu tampak mencibir, dengan gelas dipegang tangannya. “Ya bisalah. Gue punya mata.” Tukas Tiaracitra, “Maksud gue, ngeliat yang gitu-gitu…!” Cowok itu mengernyit. “Manusia,” tegasnya. “Manusia?” ulang Tiaracitra. “Iya, ceweknya manusia.” Tiaracitra tertegun. “Terus siapa?” Cowok itu mengedikkan bahu. “Males tanya, gue.” Tanya Tiaracitra lagi, “Pencuri? Orang gila? Berbagai kecurigaan segera mengisi benak cewek itu. “Pelacur.” Hayat meletakkan gelas di meja. Tiaracitra enggan bertanya-tanya lagi. Cowok itu benar-benar suka asal kalau bicara.

Sisa siang mereka habiskan di ruangan itu juga. Tiaracitra sempat menjelajah ke ruangan-ruangan lain yang lebih kecil. Hayat bilang ayahnya suka menggunakan bahan-bahan dari alam. Maka cewek itu memerhatikan bagaimana instalasi-instalasi itu dirakit, menerka-nerka apakah ia bisa membuat yang semacam itu dengan kreasinya sendiri. Sesekali ia mengamati suatu instalasi lama-lama, lalu menyadari bentuk-bentuk tertentu dari benda itu yang membuatnya malu. Ini pasti gara-gara bergaul dengan Hayat. Hih. Bapak-anak sama saja! Perhatian Tiaracitra tidak meluputkan lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, terutama pada ruangan-ruangan lain yang lebih kecil tersebut. Bahkan lukisan pun… hm… Tiaracitra tidak bisa melanjutkan. Ia beralih ke lukisan lain, yang semoga lebih aman bagi matanya.

Dari ambang pintu Tiaracitra bisa melihat Hayat tiduran saja di sofa, sambil membaca buku. Seharian ini ia sama sekali tidak melihat Hayat mengeluarkan rokok, walau ia tahu kotak itu tersimpan di saku kemeja flanel cowok itu. Ini memang hari yang bagus, senyum Tiaracitra, walau akibatnya tidak ada kemajuan untuk TA, perasaannya jadi agak kecut.

Sesekali tatapan Hayat berpindah, dari barisan kata-kata ke atas halaman yang terbentang. Cewek itu betah juga melihat-lihat. Ia sih sudah bosan. Biasanya ia kemari sendirian, dalam suasana hati yang buruk. Bengong sampai petang. Tapi ia sedang butuh uang. Sampai mana tadi. Hayat mengulang baca dari pojok kiri halaman. Novel ini, berkali-kali dibaca, tetap saja tidak dimengertinya. Ibunya membeli novel itu dalam suatu perjalanan bisnis ke Swiss. Sekadar oleh-oleh yang tampak berbudaya bagi putranya, ia sendiri tidak baca. Judulnya Ulysses. Kenapa novel sejelimet ini harus tercipta di muka bumi, Hayat tak habis pikir.

Cewek itu sepertinya hendak duduk di sofa. Hayat melipat kaki. Setelah beberapa paragraf, dilihatnya cewek itu termenung saja. Hayat menengok arloji yang semula terpendam di saku celana.

“Kalau enggak lama sekalian, dikasihnya juga kurang banyak.”

Tiaracitra tidak mengerti.

“Lu enggak pingin jadi seniman juga, Yat, kayak ayah lu?”

Hayat tergelak, seakan itu pikiran yang bodoh. “Enggaklah.”

Tiaracitra bungkam lagi.

“Eh tapi pernah deng,” suara Hayat menggema dalam hening. “Gue pernah bercita-cita pingin film gitu, pokoknya film-film nyeni gitulah.”

“Seni erotika,” Tiaracitra berusaha untuk tidak muntah saat mengucapkannya.

“Bener.” Kepala Hayat mengangguk sedikit. “Tapi yang main orang Indonesia lah. Emangnya cuman Eropa aja yang bisa.”

“Semoga mimpi lo enggak pernah terwujud.”

Cowok itu tersenyum saja, disertai gumaman pelan. Matanya pada bacaan. 

Menjelang jam lima barulah anak dan ayah bertatap muka lagi. Mereka duduk di ruang depan. Tiaracitra di samping Hayat. Ayah Hayat di hadapan mereka. Selama obrolan yang secara mengejutkan hanya sebentar itu, Tiaracitra mengamat-amati Ayah Hayat dengan saksama. Mungkin begitu juga rupa Hayat kalau berbulan-bulan tidak cukuran. Bahkan daun telinga mereka sama bulatnya. Wajah berseri-seri milik pria itu nantinya terus terbayang-bayang di kepala Tiaracitra, bahkan ketika cewek itu sudah sampai di rumah. Perpisahan pun terjadi. Ayah Hayat menarik lipatan uang dari saku celana pendek yang ia kenakan. Hayat menerimanya. Pria itu menepuk-nepuk kepala Hayat. “Baik-baik, ya.”

Pria itu telah kembali ke dalam rumah, atau galeri. Dengan tampak depan seperti itu, siapapun tidak akan menyangka kalau bagian dalam rumah itu begitu luasnya. Motor Hayat sudah di tepi jalan. Helm sudah membungkus masing-masing kepala. Tapi Hayat masih menghitung. “Bokap gue tuh kayaknya suka ngitungin gitu, berapa jam gue ada di rumahnya, terus dikaliin deh…” Ia menyerahkan selembar yang berwarna biru pada Tiaracitra. “Gantinya kopi. Enggak usah kembali.” Cewek itu bahkan sudah lupa.

Hayat menurunkannya di kampus. Tiaracitra sebetulnya ingin cowok itu mengantarnya sampai ke depan rumah Nenek. Tapi ia sungkan meminta. Biarlah. Anggap saja kelebihan dari gantinya kopi ini sebagai pengganti ongkos angkot.

nen9 Qo lUm pul9? uD Q tnGGuin l0h

Tiaracitra mendesah.

Ia menghitung. Goban dikurang kopi dikurang ongkos angkot… ting-ting-ting… dikurang ongkos angkot ke toko buku… sepertinya cukup untuk buku setipis itu. Baiklah. Toh ini demi kebaikan bersama, kepentingan bangsa. Begitu lewat mas-mas alay itu nanti, ia akan berjalan cepat-cepat sambil melempar buku itu—Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.



[1] Ingatan Hayat merujuk pada  cerpen Bel Kaufman, “Sunday in the Park”, yang sebenarnya redaksinya tidak persis seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain