TIARACITRA
Semalam
sehabis salat isya aku berdoa, Ya Allah, aku tidak ingin melalui masa
mengerjakan TA ini sendirian. Iya sih, ada beberapa teman… tapi bisakah Kau
memberiku teman-teman yang cukup waras?
Aku
terpikir beberapa nama yang seangkatan di jurusan. Astaga. Apa cuman aku cewek
yang tersisa? Aku mengingat-ingat beberapa nama lagi, masih satu jurusan namun
satu angkatan di bawahku. Mayoritas dari mereka juga sudah lulus. Bagaimana aku
bisa bergabung dengan yang tersisa. Aku mengingat-ingat juga mereka yang satu
angkatan namun beda jurusan, beda fakultas. Bagaimana kabar mereka. Mereka
sudah lulus atau belum sih, jarang lihat di kampus. Aduh… Aduh aduh. Ini
menyakitkan. Apalagi kemajuanku dalam mengerjakan TA juga sangat lamban. Oh
tidak, ini lebih dari menyakitkan, ini mengerikan!
Aku
terpikir Hayat, seolah aku sudah lupa dengan segala perlakuannya yang tidak
mengenakkan kepadaku. Seharusnya aku dan dia bisa saling mendukung kan. Dosen
pembimbing sama. Bahan yang harus kami ambil juga sama. Jurusan dan angkatan,
apalagi. Tapi ia seperti ogah-ogahan dengan TA, juga denganku.
Aku
terpikir Cecilia juga. Sempat kubayangkan untuk berteman dengannya. Tapi, apa
aku bisa tahan menghadapi sikapnya yang… entahlah, aku rada prihatin
sebenarnya…
Aaah…
maLem nenG,
meT bUbU…
Sms dari
mas-mas alay sudah tidak begitu merisaukanku lagi. Selamat, Anda sudah
terbiasa.
Saat salat
subuh kuulangi doaku.
Aku tidak
mengharapkan apa-apa ketika tiba di kampus. Aku tidak melihat Hayat di atap.
Aku tidak melihat Cecilia menaiki tangga. Aku nyalakan laptopku, menahan pedih
di mata ketika meninjau lagi coret-coretan Pak Bambang di print-out-ku. Mengembuskan napas berkali-kali. Aku pasti bisa
mengatasi semua dan menghadapinya, kukutip lagu Citra Skolastika, “Pasti Bisa”,
yang jadi favoritku akhir-akhir ini.
Laptopku
menangkap sinyal wi fi.
Apa yang
harus aku lakukan…
Masuk ke
Facebook tentu saja. Memperbarui statusku. Berbagi semangat untuk mengerjakan
TA. Setidaknya untuk memberi kesan kalau aku tidak mengabaikannya. Seketika
muncul pemberitahuan, Pak Bambang mengomentari statusku. Ia memang dosen yang
perhatian. Aku membalas. Ia membalas lagi. Aku membalas. Ia membuatku harus
mengirim sms ke Hayat, semoga dibalas. Hayat jarang membalas.
Tapi siang
itu ia datang juga ke kantor Pak Bambang. Bukan pertemuan yang “menghasilkan”,
karena memang tak satupun dari kami berdua yang sudah membuat kemajuan berarti.
Pak Bambang menyarankan kami untuk bergabung dengan grup “Bimbingan Pak
Bambang” di Facebook. Anak-anak angkatan di bawah kami yang membuatnya, saking
banyak yang dibimbing Pak Bambang. Walau awalnya Pak Bambang juga yang
menyarankan agar sesama bimbingannya bisa saling membantu satu sama lain.
Terima kasih, Pak. Kamipun undur diri.
“Mau ke
mana habis ini?”
Aduh!
Seharusnya aku tidak usah menanyakannya! Lidahku!
“Nonton,”
katanya.
Ikut atau
tidak. Ikut atau tidak. Ikut atau tidak. Aku menghitung kancing di terusanku
yang jumlahnya hanya tiga. Ugh. Seharusnya aku mulai dengan kata “Tidak”!
Seolah aku tidak punya pilihan lain(!), aku mengikutinya ke perpustakaan.
Baru aku
sadari ranselnya tampak kempis. Sepertinya ia tidak bawa laptop.
Ia masuk ke
American Corner, mengempaskan diri ke sofa lalu menyalakan TV. Ia duduk di
pojok kanan, aku di pojok kiri. Ia meletakkan remot begitu saja di antara kami.
Saluran FX. Ada semacam teaser untuk
sebuah serial, yang sesekali diselingi adegan orang begituan. Ih. Aku
mengernyit tiap potongan-potongan itu muncul, walau singkat saja. Lalu sebuah
serial dimulai. Aku coba mengikuti ceritanya. Aku tidak begitu doyan menonton
yang begini.
Sikut kanan
Hayat bertumpu pada lengan sofa, sementara jemarinya tertekuk menopang
pelipisnya. Rambutnya tampak rancung-rancung ke depan. Ekspresinya datar.
Tahu-tahu
satu episode usai. Teaser lagi dari
serial berbeda. Masih saja diselingi potongan adegan yang bikin aku kurang
nyaman.
“Kenapa sih
suka ada adegan gituannya,” aku tidak dapat menahan diri untuk tidak
menyampaikan komentarku. Walaupun aku sudah punya perkiraan seperti apa ia
bakal bereaksi. Siap-siap jijik lagi, Tiaracitra…
“Iya, gue
juga enggak suka,” ucapnya.
Membuatku
menoleh padanya hingga dua kali.
“Sejak
kapan lo enggak suka?”
“Sejak
nyokap gue ngambek dan enggak ngisi rekening gue dan jadinya gue harus puasa.”
Ia sama sekali tidak menoleh padaku.
Aku harus
menyampaikan terima kasih sama mamanya Hayat!
[]
Terlelap
sebelum jam tiga dan terjaga sebelum jam delapan itu anugrah. Hayat merasa
masih agak mengantuk, sekaligus terlalu segar untuk kembali tidur. Ia membuka
jendela lebar-lebar. Cerah merajah. Diterjang sejuk, ia mencari-cari lagu yang
kira-kira pas untuk mendukung suasana pagi itu. Di antara tumpukan CD berisi
koleksi mp3, yang ia kumpulkan semasa SMA. Bibirnya mengapit rokok, asapnya
meliuk tipis. It was a fine bright day,
Hayat teringat pembuka suatu cerpen yang pernah ia baca namun tidak pasti akan
judulnya. Sesuatu in the park dan pada Sunday[1],
tapi ini in the room dan pada… hari
apa ini? Rasanya sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melihat kalender. Yaitu pada hari wisuda Ayudh. Aduh. Hari
wisuda atau hari tunangan, ia juga tidak pasti. Ia tengadah sejenak. Langit
terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulutnya terlalu tawar untuk dicemari
rokok. Hayat tersengal. Apa ini, epifani lagi? Ia menyeret asbak lalu
memadamkan bara.
Selang
sejam kemudian Tiaracitra menapaki tangga perpustakaan. Di belokan yang
dibatasi dinding kaca, ia berhenti. Kepalanya terangkat sedikit. Terpikat
langit. Begitu jernih. Semoga pikirannya juga, saat mengerjakan TA nanti. Dan
hatinya, kalau-kalau ada orang kurang waras yang harus ia hadapi. Setelah
desahan panjang yang optimis, ia melanjutkan langkah dengan senyum tipis. Ia
akan memilih bangku di pinggir jendela, supaya tetap terpapar cerahnya hari.
Baru saja
ia merapikan barang-barangnya di meja, lalu pandangannya tak sengaja menyapu
puncak gedung di seberang perpustakaan.
Langit
terlalu biru, udara terlalu murni, dan mulut terlalu tawar… Hayat masih saja
terpana. Ia kini bersila di atap gedung seberang perpustakaan. Bahkan angin
dengan ramah membelai-belai rambutnya yang sekaku ijuk. Jemarinya sudah
mengepit puntung, tapi, ia masukkan lagi ke kotaknya di saku kemeja flanel yang
ia kenakan. Sekali lagi meringis. Sepertinya ini hari yang baik… untuk bertemu
Ayah.
Sepertinya
ini hari yang baik… untuk mengingatkan Hayat pada TA. Suasana mendukung begini
sangat sayang untuk diabaikan. Sekadar tanya saja, Yat, TA lo udah sampe mana?
Ke atap, Cit.
Tatapan
Hayat menyambutnya saat ia sampai. Bersila di tengah atap seraya bersidekap.
Bahkan cowok itu pun tersenyum! Oh! Puja-puji bagi semesta alam.
“Hari ini
lo mau ngapain, Cit?”
Ngapain? Ya ngerjain
TA-lah, ngapain lagi?
“Jalan yuk.
Bosen ngampus mulu.”
Tiaracitra
terperangah, lalu menyambut dengan semringah. “Ayuk, jalan-jalan!”
Mereka pun
menaiki angkot. Sepanjang jalan Tiaracitra bertanya-tanya ke mana cowok itu
akan membawanya. Cowok itu diam saja, tapi ekspresinya menyenangkan. Ternyata
mereka berhenti di tepi jalan menuju kosan Hayat.. Cowok itu hendak mengambil
kendaraannya. Motor bebek biasa. Ia menyodorkan helm kulit bermodel vintage pada Tiaracitra, sedang ia
sendiri mengenakan helm full face.
Lalu mereka berkendara ke utara kota, melalui jalan menanjak. Kepadatan
bangunan di kiri-kanan mulai berkurang. Angkot semakin jarang. Udara semakin
sejuk segar. Tiaracitra kembali menduga-duga… minum susu murni?, mengudap ketan
bakar?, perkebunan stroberi?, kebun bunga?, peternakan sapi?, atau sekadar
mengamati cekungan yang mewadahi kota?
“Lu mau
jadi seniman kan, Cit?” sayup-sayup suara Hayat disabet angin. “Lu mesti ketemu
ayah gue.”
…ketemu ayah?
Lahan
terbuka semakin luas mengisi kiri-kanan jalan yang disusuri Hayat. Tiaracitra
sama sekali tidak menyangka di mana mereka akan berhenti. Tahu-tahu saja Hayat
menarik rem. Di sebelah kiri mereka kini terdapat bangunan bernuansa
saung-saungan, dengan dinding kayu dan atap ijuk. Warna hitam mendominasi. Dari
balik semak-semak yang tumbuh di halaman bangunan tersebut, berdiri seorang
pria bertubuh tegap. Rambutnya panjang bergelombang. Mukanya yang dirimbuni
kumis dan cambang tidak sedikitpun menutupi keramahannya. Sebelah tangannya
menggenggam sabit.
“Hai, Matahari!”
Hayat hanya
menjawab dengan senyum, lalu menyuruh Tiaracitra untuk turun. Sementara Hayat
dengan motornya melalui jalan berbatu yang mengarah ke bagian belakang rumah
tersebut, Tiaracitra memerhatikan kotak besar di muka jalan. Warna cat tulisan
itu sudah memudar. Yang jelas terbaca hanya “Galeri”, lalu selebihnya ia harus
mengeja. Tapi Hayat keburu memanggilnya.
Hayat dan
pria itu bersalaman, hanya jabat tangan yang kencang. Malah sepertinya hanya
tangan pria itu yang kukuh. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Hayat. Ternyata
ada beberapa baris uban di rambutnya, tadi tidak begitu terlihat. “Ini, temen,”
Hayat menunjuk Tiaracitra dengan sebelah tangan. Pria itu juga menjabat tangan
Tiaracitra kuat-kuat. Tiaracitra berusaha untuk tidak meringis.
“Udah makan
belum?” tanya pria itu yang sepertinya hendak beranjak lagi.
“Belum,”
jawab Hayat pelan.
“Makan dulu
gih.” Lalu ia kembali ke tempatnya semula, jongkok dan menyiangi rumput. Di
bibirnya sudah terapit rokok, yang sebelumnya terselip di balik telinga dan
tersembunyikan oleh rambut gondrongnya. Tiaracitra baru menyadari.
Mereka
masuk melalui pintu di samping rumah tersebut, menuju sebuah area terbuka.
Pandangan Tiaracitra mengitari suasana natural tersebut. Lumut mewarnai
beberapa bagian dinding. Barisan genteng yang menghitam di bawahnya.
Tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitarnya. Aroma tanah yang begitu gelap dan lembap
meruap. Seonggok sepeda roda tiga di pojok yang satu. Sebatang pohon rindang di
pojok yang lain. Hampir Tiaracitra menabrak tiang jemuran dari kayu,
kawat-kawat merintang membentuk jalur-jalur dari puncak satu ke puncak yang
lain. Seorang wanita paruh baya di pojok yang lain sedang menyapu dedaunan
dengan sapu lidi, berhenti sejenak untuk menyambut Hayat dengan tatapannya.
Tiaracitra tidak melihat senyum. “Makan, Bik,” kata Hayat. Wanita itu malah
lanjut menyapu, tapi tidak lama. Rupanya ia hanya merapikan pekerjaannya,
sebelum memasuki ruangan gelap yang sepertinya dapur. Kepala Tiaracitra
bergerak-gerak, mencoba untuk melihat isi ruangan tersebut dari jauh. Ia takjub
ketika mendapati tungku. Karena Hayat duduk di kursi di sebelah luar ruangan
tersebut, Tiaracitra pun turut. Pandangannya masih mencuri-curi. Sempat
ditangkapnya tangan Hayat yang menempel dekat bibir. Ia kira Hayat bakal
merokok, tapi ternyata tangan cowok itu kosong saja. Menyadari gelagat
Tiaracitra, “Masuk aja,” katanya. Tiaracitra mengangkat kepala, lalu menggeleng
dengan malu, “Enggak ah.”
Beberapa
lama Tiaracitra hanya mengamati induk ayam yang tengah mengajari anak-anaknya
mematuki tanah, dilatari ciak-ciak dan krik-krik yang entah berasal dari mana.
Nyaris tertidur, tapi nasi goreng sudah datang. Lengkap dengan dua gelas air
bening di meja di samping Hayat. Tiaracitra bahkan sampai lupa bilang tadi
kalau ia sudah makan. Selamat menambah lemak, cewek itu kurang bersemangat. Ia
mengangkat dedaunan yang menghiasi tepian piring. Hayat meliriknya. “Nasi
goreng, pake lalap.” Tiaracitra mengangguk, lalu mulai melumat jatahnya
pelan-pelan.
Hayat
menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu menaruh piring yang sudah kosong di
meja di sampingnya. Tiaracitra masih separuh. “Boleh dilanjutin nanti, enggak?”
Cowok itu mengambil piring Tiaracitra, lalu meletakkannya di atas piring yang
sebelumnya. Hayat segera menandaskan minumannya, lalu beranjak. Tiaracitra juga
mengambil jatahnya di meja yang berjarak satu kursi darinya itu, lalu
menenggaknya buru-buru sebelum mengejar Hayat.
Ada pintu
lagi di pojok bagian belakang rumah itu, yang sedari tadi terbuka. Hamparan
kebun di baliknya. “Waah…” Tiaracitra tercengang. Cewek itu mengekor Hayat
menyusuri pematang.
“Ini punya
kamu, eh, keluarga kamu?”
Cowok itu
mengerutkan kening. “Bukanlah.”
Tiaracitra
merasa suara mereka begitu lepas di tempat yang sangat terbuka ini. Langit
seakan tak berbatas. Beberapa bangunan tampak kecil saja di seberang.
“Tadi itu…
ayah kamu?”
Gumaman
Hayat mengiyakan.
“Tadi ayah
kamu manggil kamu Matahari…”
“Nama gue
kan artinya matahari…”
Mulut
Tiaracitra membulat.
“Kalau
kakak gue, bulan. Namanya Lunamun Chandra. Terserah lu mau panggil dia apa,
Luna, Mumun, apa Chandra.”
“Ya ya.”
Cewek itu mengangguk-angguk. Diamatinya tanaman-tanaman yang tumbuh di
sepanjang jalan yang telah ia lalui. Ia mengira-ngira. Wortel. Kentang. Tomat.
Kubis. Loncang. Lalu geli sendiri dengan terkaannya, kalau-kalau tidak tepat.
Di depannya Hayat berjongkok.
Cowok itu
menggenggam segumpal tanah. “Ini tanah apa coba?” Tiaracitra menjawabnya dengan
cengiran. “Kuliah di jurusan apa lo, nama-nama tanah aja enggak hapal.” Ya ampun ini kan dasar banget. Ia ingin
melemparkan gumpalan tersebut ke rok terusan Tiaracitra, tapi sepertinya cewek
itu malah bakal menangis. Mereka kan tidak seakrab itu, Hayat seolah baru
menyadarinya. Cuman intim di alam mimpi. Sekarang pun Hayat sudah (atau mungkin
hanya sedang) terbebas dari gangguan
itu. “Kirain keluarga lo enggak di sini. Lo enggak tinggal bareng ayah lo?”
terdengar suara cewek itu sementara Hayat berpikir. “Kejauhan dari kampus, ya?”
kata cewek itu lagi seolah menanggapi sendiri yang sebelumnya tidak digubris
Hayat. Hayat pun duduk di pematang itu. Dengan ragu-ragu, Tiaracitra membenahi
roknya lalu duduk juga di samping cowok itu. Sesekali ia mengecek seberapa
parah tanah mengotori pakaiannya. Tidak begitu menempel sih. Biarkan saja deh.
“Ceritanya…
dulu orangtua gue kawinnya cepet. Di kampus situ juga. Ayah di Kriya, nyokap
gue di jurusan yang lebih basah. Tipikal pasangan nekat gitulah. Orangtuanya
nyokap gue enggak setuju. Tadinya mau kawin lari, tapi enggak jadi. Akhirnya
dinikahin aja. Terus selagi hamil kakak gue gitu, nyokap gue kuliah… selesai…
kerja… mapan… terus enggak bareng lagi sama bokap. Selesai.”
“Oh…
orangtua kamu udah… cerai?” tanya Tiaracitra dengan pelan sekaligus tak enak
hati.
Hayat tidak
menjawab, tapi tampang cowok itu biasa saja.
Tiaracitra
merasa matahari sudah menyengat kulitnya. Alamak. Makin gosong saja nanti. Ia
bersyukur ketika Hayat akhirnya mengajaknya kembali ke rumah. Ia dibawa ke
sebuah ruangan besar di tengah rumah yang adem sekali. Sesaat begitu mengempaskan
tubuh ke sofa, beragam warna menyerbu pandangan Tiaracitra berganti-ganti.
Hayat memberinya sekaleng soft drink.
Titik-titik air memenuhi permukaannya
yang belum terjamah tangan. “Lemes banget,” komentar Hayat. “Capek,” tanggap
Tiaracitra. “Lu ada penyakit?” tanya cowok itu lagi. “Anemia.” Cowok itu
menenggak minumannya. “Yah, kirain…” Terus kenapa, apa cowok ini
mengharapkannya mengidap penyakit yang lebih serius. Tiaracitra menatap Hayat
dengan sebal, tapi cowok itu tidak melihat.
Masih di
ruangan itu, mereka duduk berdampingan sambil mengudap nasi timbel. Sembari
membuka helai demi helai daun yang melapisi nasinya, tanya Tiaracitra, “Ini
bikin sendiri?” Hayat menjawab dengan gumaman. “Sepi.” Sekilas mata Tiaracitra
menyapu instalasi-instalasi besar yang mengisi bagian tengah ruangan. Terasa
begitu lapang, dan gelap. Walau matahari dapat meneroboskan cahayanya dengan
leluasa. Barisan bohlam tersaput debu melekat di langit-langit. Tegel berwarna
kelam, namun yang menyusun tepi ruangan berhiaskan corak bernuansa etnik.
“Biasanya ada cewek,” kata Hayat setelah jeda lama. “Cewek?” ulang Tiaracitra.
“Siapa?” Hayat menjawab, “Enggak tahu. Suka ada aja, cewek.” Tahu-tahu
Tiaracitra merasa dingin. “Lo bisa ngeliat,
Yat?” Cowok itu tampak mencibir, dengan gelas dipegang tangannya. “Ya bisalah.
Gue punya mata.” Tukas Tiaracitra, “Maksud gue, ngeliat yang gitu-gitu…!” Cowok
itu mengernyit. “Manusia,” tegasnya. “Manusia?” ulang Tiaracitra. “Iya,
ceweknya manusia.” Tiaracitra tertegun. “Terus siapa?” Cowok itu mengedikkan
bahu. “Males tanya, gue.” Tanya Tiaracitra lagi, “Pencuri? Orang gila? Berbagai
kecurigaan segera mengisi benak cewek itu. “Pelacur.” Hayat meletakkan gelas di
meja. Tiaracitra enggan bertanya-tanya lagi. Cowok itu benar-benar suka asal
kalau bicara.
Sisa siang
mereka habiskan di ruangan itu juga. Tiaracitra sempat menjelajah ke
ruangan-ruangan lain yang lebih kecil. Hayat bilang ayahnya suka menggunakan
bahan-bahan dari alam. Maka cewek itu memerhatikan bagaimana
instalasi-instalasi itu dirakit, menerka-nerka apakah ia bisa membuat yang
semacam itu dengan kreasinya sendiri. Sesekali ia mengamati suatu instalasi
lama-lama, lalu menyadari bentuk-bentuk tertentu dari benda itu yang membuatnya
malu. Ini pasti gara-gara bergaul dengan Hayat. Hih. Bapak-anak sama saja!
Perhatian Tiaracitra tidak meluputkan lukisan-lukisan yang tergantung di
dinding, terutama pada ruangan-ruangan lain yang lebih kecil tersebut. Bahkan
lukisan pun… hm… Tiaracitra tidak bisa melanjutkan. Ia beralih ke lukisan lain,
yang semoga lebih aman bagi matanya.
Dari ambang
pintu Tiaracitra bisa melihat Hayat tiduran saja di sofa, sambil membaca buku.
Seharian ini ia sama sekali tidak melihat Hayat mengeluarkan rokok, walau ia
tahu kotak itu tersimpan di saku kemeja flanel cowok itu. Ini memang hari yang
bagus, senyum Tiaracitra, walau akibatnya tidak ada kemajuan untuk TA,
perasaannya jadi agak kecut.
Sesekali
tatapan Hayat berpindah, dari barisan kata-kata ke atas halaman yang
terbentang. Cewek itu betah juga melihat-lihat. Ia sih sudah bosan. Biasanya ia
kemari sendirian, dalam suasana hati yang buruk. Bengong sampai petang. Tapi ia
sedang butuh uang. Sampai mana tadi. Hayat mengulang baca dari pojok kiri
halaman. Novel ini, berkali-kali dibaca, tetap saja tidak dimengertinya. Ibunya
membeli novel itu dalam suatu perjalanan bisnis ke Swiss. Sekadar oleh-oleh
yang tampak berbudaya bagi putranya,
ia sendiri tidak baca. Judulnya Ulysses.
Kenapa novel sejelimet ini harus tercipta di muka bumi, Hayat tak habis pikir.
Cewek itu
sepertinya hendak duduk di sofa. Hayat melipat kaki. Setelah beberapa paragraf,
dilihatnya cewek itu termenung saja. Hayat menengok arloji yang semula
terpendam di saku celana.
“Kalau
enggak lama sekalian, dikasihnya juga kurang banyak.”
Tiaracitra
tidak mengerti.
“Lu enggak
pingin jadi seniman juga, Yat, kayak ayah lu?”
Hayat
tergelak, seakan itu pikiran yang bodoh. “Enggaklah.”
Tiaracitra
bungkam lagi.
“Eh tapi
pernah deng,” suara Hayat menggema dalam hening. “Gue pernah bercita-cita
pingin film gitu, pokoknya film-film nyeni gitulah.”
“Seni
erotika,” Tiaracitra berusaha untuk tidak muntah saat mengucapkannya.
“Bener.”
Kepala Hayat mengangguk sedikit. “Tapi yang main orang Indonesia lah. Emangnya
cuman Eropa aja yang bisa.”
“Semoga
mimpi lo enggak pernah terwujud.”
Cowok itu
tersenyum saja, disertai gumaman pelan. Matanya pada bacaan.
Menjelang
jam lima barulah anak dan ayah bertatap muka lagi. Mereka duduk di ruang depan.
Tiaracitra di samping Hayat. Ayah Hayat di hadapan mereka. Selama obrolan yang
secara mengejutkan hanya sebentar itu, Tiaracitra mengamat-amati Ayah Hayat
dengan saksama. Mungkin begitu juga rupa Hayat kalau berbulan-bulan tidak
cukuran. Bahkan daun telinga mereka sama bulatnya. Wajah berseri-seri milik
pria itu nantinya terus terbayang-bayang di kepala Tiaracitra, bahkan ketika
cewek itu sudah sampai di rumah. Perpisahan pun terjadi. Ayah Hayat menarik
lipatan uang dari saku celana pendek yang ia kenakan. Hayat menerimanya. Pria
itu menepuk-nepuk kepala Hayat. “Baik-baik, ya.”
Pria itu
telah kembali ke dalam rumah, atau galeri. Dengan tampak depan seperti itu,
siapapun tidak akan menyangka kalau bagian dalam rumah itu begitu luasnya.
Motor Hayat sudah di tepi jalan. Helm sudah membungkus masing-masing kepala.
Tapi Hayat masih menghitung. “Bokap gue tuh kayaknya suka ngitungin gitu,
berapa jam gue ada di rumahnya, terus dikaliin deh…” Ia menyerahkan selembar
yang berwarna biru pada Tiaracitra. “Gantinya kopi. Enggak usah kembali.” Cewek
itu bahkan sudah lupa.
Hayat
menurunkannya di kampus. Tiaracitra sebetulnya ingin cowok itu mengantarnya
sampai ke depan rumah Nenek. Tapi ia sungkan meminta. Biarlah. Anggap saja
kelebihan dari gantinya kopi ini sebagai pengganti ongkos angkot.
nen9 Qo lUm
pul9? uD Q tnGGuin l0h
Tiaracitra
mendesah.
Ia
menghitung. Goban dikurang kopi dikurang ongkos angkot… ting-ting-ting…
dikurang ongkos angkot ke toko buku… sepertinya cukup untuk buku setipis itu.
Baiklah. Toh ini demi kebaikan bersama, kepentingan bangsa. Begitu lewat
mas-mas alay itu nanti, ia akan berjalan cepat-cepat sambil melempar buku itu—Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.
[1]
Ingatan Hayat merujuk pada cerpen Bel
Kaufman, “Sunday in the Park”, yang
sebenarnya redaksinya tidak persis seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar