TIARACITRA
Sistem
kebut semalam berhasil. Aku hampir seperti Hayat, baru bisa tidur jam tiga,
tapi aku tidak bablas sampai jam dua belas, tidak mungkin. Begitu Nenek bangun
pada jam lima, seketika aku membuka mata. Jam biologisku di sini memang ajaib.
Kalau di rumah sendiri mungkin aku bakal benar-benar seperti Hayat.
Kunci
lainnya adalah… aku bikin janji bertemu Pak Bambang kemarin, padahal aku belum
berhasil membuat kemajuan. Begitu Pak Bambang mengajak bertemu hari ini, dan
pagi-pagi, aku jadi lebih terpacu untuk mengerjakan. Rasanya seperti
mengerjakan jurnal praktikum saja. Baru ditugaskan hari ini, eh, sudah harus
dikumpul besok. Biasa begitu kan.
Karena Pak
Bambang masih ada tamu, aku duduk dulu di sofa depan ruangannya. Sinyal wi fi di sini bagus sekali. Aku nyalakan
tablet, pasang headset, dan memainkan
Guess The Song supaya wawasan musikku
bertambah.
Akhirnya
aku ngeh kalau tamu yang barusan menghadap Pak Bambang itu Hayat. Kok bisa sih
dia bangun sepagi ini? Ia duduk di sampingku sembari memasukkan print out-nya ke ransel. Kubiarkan ia
meminjam tabletku sementara aku masuk ke dalam ruangan.
Dan keluar
dengan gondok.
Aku tidak
berguna. Ah. Aku memang tidak bisa bikin kalimat. Pak Bambang menyuruhku
mengingat-ingat pelajaran Bahasa Indonesia semasa SD.
Hayat
memainkan tabletku dengan punggung agak membungkuk. Aku beringsut, ingin tahu
selera cowok ini sama game. Guess The Song juga. Wow. Ia menebak
lagu dengan tepat. Lagi. Wow! WOW. WOW! Memang ada kata “Wow” di layar setiap
kali sebuah lagu berhasil ditebak. Seandainya saja kami berada di tempat yang
lebih sunyi dan privat, akan terdengar gemerincing terus-menerus di sela-sela
potongan lagu. Aku bahkan tidak yakin dia benar-benar mendengarkan lagunya.
Tebakannya mantap dalam waktu kurang dari tiga detik. Begitu tablet
dikembalikan padaku, ia telah mengumpulkan ribuan koin.
Ia bangkit
begitu saja tanpa berkata apa-apa padaku. Sebelum ia menjauh, buru-buru aku
menyusul. “Eh, lo mau ke mana habis ini, Yat?” Ia tidak tahu mau ke mana. Aku
tanya lagi apa punyanya harus direvisi, apa ia mau langsung merevisi…
“Nyantei
aja kali…” sahutnya.
Hampir saja
aku tertinggal langkahnya, segera kukejar lagi. Aku tidak mau begitu saja
kehilangan teman! Ia menembus keriuhan lorong yang di kanan-kirinya terdapat
sekretariat himpunan berbagai jurusan, seolah tidak rikuh berbaur dengan
anak-anak yang lebih muda. Ya mereka juga tidak akan mengenaliku sih. Lagipula
sekretariat himpunan jurusan kami terletak di bangunan lain. Tapi tetap saja
aku jengah, dan agak menghindari tatapan. Tempat ini rasanya bukan milikku
lagi.
Sampai di
luar, ia menyusuri dinding bangunan. Begitu sadar bahwa kami hanya mengitari
bangunan tersebut, lalu ia melangkah lagi ke bangunan lain di sampingnya, aku
lantas bertanya, “Lo mau ke mana sih?” Ternyata repot juga menyesuaikan dengan
langkah-langkahnya yang panjang. Ia cuman menoleh sekilas dengan pandangan
matanya yang, uh, bikin aku geregetan tidak keruan. Kalau saja bukan aku yang
ada di posisiku, maksudnya, aku hanya menjadi penonton gadis bodoh yang sedang
mengejar-ngejar cowok sengak macam dia, geregetanku ini bakal lain artinya.
Di bangunan
yang satu ini, ia juga masuk ke lewat pintu utama, membelah dari dalam, lalu
keluar, ke kanan dulu, pasti hendak berputar lagi deh. Kamu aneh! Aku ingin berteriak begitu di belakang punggungnya. Tapi
lebih aneh lagi aku yang mengekor saja perbuatan aneh ini. Aku pun berhenti.
Aku biarkan dia berputar sendiri. Gila.
Lebih baik
aku ke perpustakaan saja dan langsung mengerjakan revisi supaya TA cepat
selesai.
Perpustakaan
mungkin tinggal sekitar sepuluhan meter lagi ketika aku lihat Hayat datang dari
arah yang berbeda. Ekspresinya seperti yang mau muntah.
“Mau
ngerjain?”
“Ya,” aku
menjawab dengan nada sama judesnya.
Di
perpustakaan kami duduk di bangku yang biasa. Ekspresinya sudah berubah lagi.
Seperti yang rada sendu. Rambutnya yang biasanya ringan melambai-lambai, kali
ini tampak berat dan kuyu (dan berminyak, mungkin dia cuman belum keramas). Ini
cowok kenapa sih. Lagi PMS jangan-jangan. Hihi.
“Banyak
enggak revisian lo?” dan harus selalu aku yang menegur duluan. Aku sudah
meletakkan print out-ku yang
berdarah-darah. Dia masih menatap dinding kaca sambil menopang dahi dengan
tangan.
“Kurang
daftar pustaka, gue,” lengannya menimpa meja dengan lunglai. “Bacaan lo banyak
enggak?” Ujung jemarinya menyeret punyaku, membukanya, lalu tangannya seperti
yang kepanasan begitu melihat hasil kreasi Pak Bambang.
“Biasa aja
kali!” sungutku.
“Kalau aja
lu dateng lebih pagi, Pak Bambang masih punya pulpen item.” Hayat menjulurkan
punyanya. Coretan di print out Hayat
lebih banyak berupa lingkaran di akhir kalimat, dan tidak begitu kentara karena
tintanya hitam. Sedang punyaku, hampir tiap kalimat digarisbawahi. Dan hitam
dengan merah itu kontras sekali dong. Malu deh kalau sampai ada yang
memerhatikan. Iapun menelusuri daftar pustaka milikku. “Ah, punya lo juga sama
aja.” Lalu meninjau halaman-halaman awal. “Pantesan aja. Boro-boro ngoreksi
dapus, punya lo mah…”
Aku tidak
berminat mendengarkan kata-katanya lebih lanjut.
“Gue kan
ngerjainnya cuman semalem…”
“Sama, gue
juga.”
“Kirain lo
ngerjain udah dari kapan. Katanya lebih konsen di kosan…” kalimat terakhir aku
ucapkan dengan pelan sekaligus sinis. Peduli amat deh kalau dia mau sombong.
“Lu kalo nulis
kayak ginian jangan pake stream of
consciousness…”
Ngomong apa
sih dia…
“Kayaknya
kalimat lo beres-beres aja ya. Kenapa lo enggak ajarin gue aja?”
Ia tidak
menjawab. Punyaku sudah tergeletak lagi di meja. Ganti ia meneliti punyanya
sendiri.
Huh bukannya
aku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Aku hanya perlu
menonton BINAR[1]
di TVRI bareng Nenek nanti malam, atau kapan, aku tidak tahu acara tersebut
tayang tiap malam apa. Juga membuka-buka catatan kuliah tentang penulisan
ilmiah di semester awal. Seharusnya aku mengedit dulu ketikanku sebelum di-print. Aku bisa kok bikin kalimat! Akan
kubuktikan pada diriku sendiri. Kalau cuman menata kalimat sih…
“Yat, tapi
kalo software lo bisa ngajarin gue
kan?”
Aku betulan
lemah di komputer. Sekali dua kali diajari mungkin aku langsung bisa. Tapi
kalau tidak pernah dipakai, aku pasti lupa. Kuliahku banyak sekali memakai software, apalagi praktikum. Ada
beberapa software khusus, di
antaranya yang akan dipakai untuk TA ini, yang pikiranku sepertinya bakal sudah
terlalu keruh untuk menjalankannya. Aku bahkan tidak pernah bisa ingat persis
apa nama software-software itu! Aku kira cowok lebih
terampil untuk urusan ini.
“Mau-mau
aja sih gue ngerjain software punya
lo asal lo ngerjain teks yang gue, tapi liat teks lo kayak gitu…”
Aku
merengek.
Tapi ia
benar-benar tiada ada peduli padaku. Ia bangkit begitu saja dengan meninggalkan
barang-barangnya di meja, lalu terjun ke dalam deretan rak. Memilah-milih buku.
Ponselku
berbunyi. Setidaknya masih ada yang peduli padaku. Aku cepat-cepat meresponsnya
karena tidak kusetel dalam mode silent.
Aku suka lupa, soalnya aku suka ringtone
ini. Lucu banget.
Tapi sms
yang datang sama sekali tidak lucu.
uDa mæm l0m
nenX?
Semakin
memperburuk hariku.
HAYAT
Aku sepi.
Tidak tahu sampai kapan sepi ini berlanjut…
Aku
mencoret kata terakhir.
...membayang…
Coret lagi.
…menggentayang…
Memangnya
kunti.
Di sini aku duduk mencangkung di kosen
jendela, dengan notes dan pulpen bertinta sama hitam dengan langit yang
melatariku. Tsah! Aku sudah kembali ke kamarku, sudah tidak terganggu dengan
aroma feromon terkutuk. Bukan berarti aku sudah mengepel lantai kamar dengan
seember karbol. Sudah terbiasa saja.
Aku tengok
lagi tulisanku di notes yang cuman sebaris itu.
Seperti
puisinya Chairil Anwar. Bahkan lebih buruk dari puisinya Chairil Anwar.
Kurobek.
Kuremas dengan kedua tangan. Lalu kulempar sejauh mungkin namun hanya
tersangkut di pohon cengkeh di halaman kos.
Bahkan
untuk menjadi atlet tolak peluru(-kertas) saja aku tidak punya potensi.
Dasar tidak
berguna.
Dan kututup
jendela.
Kutulis itu
dalam notes. Tidak kurobek lagi. Biar saja puisiku hanya sebaris.
Teringat
Ayudh. Sesaat aku seperti Majnun pada Laila, atau protagonis pria di
roman-roman Balai Pustaka.
TIARACITRA
Pagi yang
biasa. Kapan hari-hari yang memuakkan ini akan berakhir, ya Tuhan. Setiap pagi
aku ke kampus hanya untuk memprediksi bahwa sore aku akan pulang dengan hampa.
Kemarin
Hayat menemukan setumpuk buku “bagus”. Pokoknya semua tebal dan berbahasa
Inggris. Lima tahun kuliah di kampus bonafide, seharusnya bahasa Inggrisku
baik. Seringkali aku diberi tugas membuat resume
dari ceramah para dosen berbahasa Inggris di kampus antah berantah yang bisa
diakses di Youtube, jelas tidak ada subtitle-nya.
Kuliah (dosen) dan praktikum (asisten) pun sama-sama mewajibkan mahasiswa untuk
merangkum sari dari textbook. Justru
ini yang bikin aku frustasi. Lima tahun seperti itu, tapi masih saja ketika
harus berhadapan dengan teks berbahasa Inggris aku kepingin muntah. Sementara
Hayat dengan enteng memindahkan kalimat-kalimat dari buku, menambah coretan di print out-nya dengan pensil. Seolah dia
mengerti saja.
Tentu saja
dia mengerti!
Suatu
waktu, ketika dia sedang sibuk mengetik di hadapanku di perpustakaan lalu
kutanya TA-nya sudah sampai mana dan dia bilang belum jadi (entah sudah berapa
ratus kali percakapan semacam ini terjadi), akhirnya kutanya dia sebetulnya
mengetik apa. Dia bilang dia sedang bikin subtitle
bahasa Indonesia untuk film yang tidak akan pernah sudi aku tonton. Yeah. Aku
pernah suatu kali mengintip film yang sedang ia tonton. Sejak itu aku tahu
kalau ia penggemar film-film yang ada adegan telanjangnya.
“Erotika
itu beda sama pornografi. Lo perlu kuliah empat belas kali pertemuan lagi apa?”
seolah dia ahli dalam begituan. Dia ini produser film erotis atau apa.
Telanjang ya telanjang!
“Kenapa sih
cowok tuh sukanya yang gituan?”
“Gue liat,
gue suka, dan gue cari lebih banyak. Kayak lo enggak gitu aja.”
“Enggak!”
“Taruhan,
di laptop lu pasti banyak drama koreanya.”
“Tapi itu
enggak porno!”
Berdebat
sama dia itu menyebalkan. Bukan karena tidak ada habisnya. Justru karena dia
suka menghabiskan dengan seenaknya.
Seolah kalau bicara lama-lama denganku dia bakal tertular penyakit atau apa.
Baru
beberapa meter melewati gerbang belakang, aku melihat sosok itu di atap gedung
seberang perpustakaan. Seolah ada kekuatan gaib yang menyuruh kepalaku untuk
mendongak. Ke sana atau tidak. Sementara mukaku disengat matahari, masih hangat
sih, belum panas, aku menimbang-nimbang.
Karena aku
percaya pada kekuatan gaib, sekitar seperempat jam kemudian aku sudah bersama
Hayat di atap. Jadi sekarang lo udah bisa
bangun pagi ya, aku ingin sekali mengatakan itu padanya. Tapi paling-paling
ia tidak akan merespons. Padahal langkahku terdengar jelas, tapi ia tidak
menoleh sama sekali. Pandangannya tetap ke langit. Memang lumayan cerah sih.
Birunya segar. Awan putih bersemburat bagai kapas. Kuempaskan diri di
sampingnya. Pada celah jemari tangannya yang menopang pipi, terdapat puntung
yang membara. Sekarang peristiwa dengan rokok kapan itu terasa omong kosong
saja. Tapi kali ini aku sudah tidak begitu berminat mencoba rokok.
“Ke mana
aja lo…” tanyanya sebelum menyeruput asap. Tapi pandangannya masih ke arah yang
sama.
Aku agak
terkesima. Seolah dia selama ini sedang menungguku atau apa.
“Enggak ke
mana-mana. Dari rumah… aja…”
Ia
menggaruk pelan kepalanya seraya berpaling padaku. “Enggak. Maksud gue, ke mana
aja lo kok baru ngerjain TA sekarang?”
“Oh.” Aku
bertingkah seakan yang tadi itu aku pura-pura telmi. Aku mengerti. Rata-rata
mahasiswa di kampus kami mulai mengerjakan TA pada tahun ketiga, sehingga
mereka bisa lulus dalam waktu empat tahun kurang sedikit, empat tahun pas, atau
empat tahun lebih sedikit. Yang empat
tahun lebih-banyak juga banyak sih, aku di antaranya. Karena aku perlu
waktu lima tahun untuk mencapai IPK tiga koma. Ya aku sebodoh itu. Tapi aku
bilang saja pada Hayat, “Ngulangnya banyak.” Aku diam sebentar. “Eh, kayaknya
kita udah pernah ngelakuin percakapan ini deh.”
“Akh, gue
lupa…” tampangnya jelek sekali saat bilang begitu. Apalagi ia mendadak menutup
muka… Terserah deh. Ia seperti yang mabuk atau bagaimana. Mungkin aku salah
mengira ia telah berhasil bangun pagi, ya, selain yang ketemu sama Pak Bambang
kemarin itu karena Pak Bambang ingin jam segitu—mungkin malah ia tidak tidur
sama sekali. “Oh,” ia berucap lagi sambil menekuri lantai dan menghirup
rokoknya.
“Kalo lo
kenapa baru TA sekarang, Yat?”
“Gue… Main,
gue. Travelling. Ngabisin duit
tabungan.”
“Oh,” aku
tertawa sedikit. Di tahun keempat, ketika sebagian demi sebagian anak-anak di
jurusan mulai mentas, kami menjadi makin peduli pada kabar satu sama lain. Si
ini sudah kerja di mana. Si itu sudah tunangan sama siapa. Semacam itulah. Banyak
juga yang belum lulus tapi sudah menghilang. Hayat di antaranya. Lalu tersiar
semacam gosip kalau dia lagi depresi karena ditinggal Ayudh. Entah kenapa aku
geli saja tiap kali teringat ini. Maksudnya, kami selalu membicarakannya dengan
nada olok-olok. Sambungku, “Main ke mana aja?”
Hari itu TA
sama sekali tidak tersentuh. Aku dan Hayat mengobrol sampai siang. Dia tidak
begitu ganteng hari ini. Tapi aku pulang tanpa merasa hampa. Mas-mas alay masih
mengirim sms padaku, tapi ia tidak terlihat sama sekali dalam perjalanan ke
rumah. What a good day! (Aku ingin
melompat tinggi-tinggi sambil merentangkan lengan saat mengucapkan ini.)
Aku tidak
tahu kenapa tiap kali aku ketemu cowok yang mengesankan aku suka membayangkan
masa depan dengannya. Hayat yang baru pulang saat petang dengan seragam
eksekutifnya. Aku yang sedang memasak makanan kesukaannya cepat-cepat mematikan
kompor, menaruh spatula, dan melepaskan celemek. Lalu aku membantunya
melepaskan jas dan dasi, membuatnya merasa terbebaskan dari beban yang
dipikulnya selama di kantor. Saat makan malam aku siap mendengarkannya dengan
sabar, kalau-kalau ia mau menumpahkan keluh-kesahnya. Tapi ia tidak mampu.
Begitu melihatku segala kelelahannya sirna. Apalagi setelah ia mencicipi
masakanku. Ia dapat tidur dengan pulas di kasur sembari mendekapku dalam
kehangatannya. Hah…
HAYAT
Setelah
pisah dengan cewek itu di gerbang belakang, aku ke taman balaikota. Tapi
sesampainya di sana aku tidak tahu mau apa. Jadi aku hanya duduk di salah satu
bangku beberapa lama, lalu mencari pohon kihujan. Kapan ya… kemarin mungkin…
sehabis dari bimbingan TA sama Pak Bambang aku mengitari tempat-tempat di mana
aku pernah punya momen sama Ayudh. Aku ingin tahu apa “rasa” itu masih ada.
Awalnya aku merasa akan tergetar atau apa, tapi ternyata biasa saja. Lalu
tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu saat melihat bangku di mana aku dan Ayudh
pernah duduk, lalu tahu-tahu si jahanam itu lewat. Ayudh meninggalkanku dan
menggandeng…—aku tidak lihat. Aku merasa enek tiba-tiba. Kali ini di bawah pohon
kihujan aku bermaksud meraba-raba perasaan yang sama. Aku tidak punya momen
sama Ayudh dengan pohon itu, ataupun di taman balaikota. Hanya, di bawah pohon
itu aku pernah mengalami semacam epifani.
Setelah itu aku tidak begitu sedih lagi. Harus ada kesedihan yang menyaingi
kesedihanku karena Ayudh, saat itu kupikir begitu. Kehabisan uang tabungan
misalnya, yang aku kumpulkan susah payah dari SMA dengan kerja freelance kecil-kecilan. Tidak sesusah
dan tidak sepayah itu juga sih, aku malah jadi senang dan cakap. Lalu aku ingat
waktu itu aku mengambil uang dari rekening sampai saldo mininal, lalu aku
habiskan untuk ke Bunaken terus ke mana lagi aku lupa, oh ya, Lombok, terus....
Masih ditambah sama Kakak sih. Tapi itu juga jadinya senang-senang.
Aku tidak tahu kapan aku bisa benar-benar pensiun dari hedonis.
Begitu
mulai gelap aku pulang. Kosan ramai. Roni akhirnya menggoreng nasi yang entah
sudah berapa lama di kulkas. Semua orang ditawari. Namanya anak kos, biarpun
ada kamar mandi di kamar masing-masing. Huh. Justru itulah fungsinya. Tidak
mesti antri kalau kenapa-kenapa. Aku dikasih juga satu piring. Payah. Cuman
bumbu instan. Begitu ganti baju dan mencicip beberapa sendok, aku keluar kamar
lagi sambil bawa piring. Dapur masih riuh. “Lembek, Brur,” komentarku. Lalu aku
ikut mengobrol di sana, sampai tidak terasa kalau nasi di piring sudah habis.
Kok anak-anak pada mau tambah sih. Yang di wajan juga ludes. Padahal langu
begitu. Tipe macam Tiaracitra itu, kalau masak pasti hasilnya begitu. Dia susah
konsentrasi waktu masak, karena anaknya banyak. Rewel. Rambutnya berantakan.
Mukanya cemong. Lalu aku lembur tiap malam. Itu juga masih belum menutupi biaya
ini-itu… apalagi kuliah si bungsu… Tadi siang waktu mengobrol sama dia di atap,
aku cuman memerhatikan tangannya. Bergerak-gerak saat dia bicara. Ampun deh
cewek kok rambut di tangannya bisa sebanyak itu ya. Enggak nahan. Kalau sama
dia pasti bawaannya kepingin bikin anak terus.
Tuh kan.
Mulai pening lagi nih kepala.
HAYAT
Yang
terbayang Tiaracitra tapi yang terbilang, “Ayudh… Ayudh…”
Kenapa sih
aku ini.
Aku harus
berhenti sebelum mandul.
HAYAT
Sepertinya
Roni membubuhkan terlalu banyak terasi… Eh, tadi aku bilang bumbu instan ya.
Ya, selain bumbu instan, ia juga membubuhkan terasi. Pokoknya ini salah Roni. Sialan
kamu Roni. Aku pening dan mual sekali. Meski aku sudah melepaskan bebanku.
Sekarang aku hanya bisa telungkup di kasur seperti bayi-(tidak)-sehat, hanya
sebagian tubuhku kututup selimut.
Merokok
lagi.
Brengsek.
Aku tidak putus-putus dari lingkaran setan ini. Rokok. Insomnia. Masturbasi.
Aku tidak
tahu kenapa ada manusia yang begitu hina, di sisi lain ada manusia yang begitu
mulia. Di mana adilnya dunia. Tanyakan sama yang menderita. Keadilan cuman
milik segelintir, yang jelas bukan milik yang nista.
Tiaracitra
tidak salah waktu bilang aku suka pornografi. Erotika tidak sama dengan
pornografi, betulan deh, coba cek Kamus Besar Bahasa Indonesia. Erotika dan
pornografi adalah dua hal berbeda, dan aku suka keduanya. Menurutku erotika
terasa lebih sungguhan, sedang pornografi terlalu eksplisit; erotika adalah
seni, sedang pornografi cuman bikin kamu dikatai mesum.
Tapi ada
saat di mana aku hanya butuh pornografi. Itu hiburan yang betul-betul tidak
perlu berpikir. (Meskipun sering juga aku berpikir kok orang itu mau melakukan
itu, apa enak dibegitukan, dan sebagainya.) Adegannya begitu-begitu saja. Cuman
gonta-ganti pemain. Tergantung pemain, malah. Aku pun tidak doyan kalau
ceweknya jelek, terlalu perek, atau terlalu sadar diri.
Aku paling
suka kalau cewek diewe rame-rame. Aku tidak kasihan karena cewek itu harus
melayani banyak laki-laki. Aku malah melihat kenikmatan karena cewek itu
dipuaskan banyak laki-laki. (Tergantung situasi juga sih.) Tapi aku sendiri
tidak pernah membayangkan diri sebagai salah satu laki-laki yang menggangbang,
atau terlibat dalam orgy.
Maka malam, eh salah, dini hari ini aku
nyalakan laptop lagi. Ah huh huh huh yeah
ah yeah. Menonton seseorang mengocok barangnya di mulut seseorang dengan
jemu, aku, maksudnya, yang jemu.
Aku cuman
perlu hiburan. Tidak perlu yang bermutu. Apa itu mutu. Mutu hanya dimiliki
orang tertentu, dan bukan aku.
Satu lagi.
Kadang aku melakukannya hanya karena aku perlu menghangatkan badan. Udara
akhir-akhir ini dingin sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar