Senin, 22 Juli 2013

(4)

TIARACITRA

Sistem kebut semalam berhasil. Aku hampir seperti Hayat, baru bisa tidur jam tiga, tapi aku tidak bablas sampai jam dua belas, tidak mungkin. Begitu Nenek bangun pada jam lima, seketika aku membuka mata. Jam biologisku di sini memang ajaib. Kalau di rumah sendiri mungkin aku bakal benar-benar seperti Hayat.

Kunci lainnya adalah… aku bikin janji bertemu Pak Bambang kemarin, padahal aku belum berhasil membuat kemajuan. Begitu Pak Bambang mengajak bertemu hari ini, dan pagi-pagi, aku jadi lebih terpacu untuk mengerjakan. Rasanya seperti mengerjakan jurnal praktikum saja. Baru ditugaskan hari ini, eh, sudah harus dikumpul besok. Biasa begitu kan.

Karena Pak Bambang masih ada tamu, aku duduk dulu di sofa depan ruangannya. Sinyal wi fi di sini bagus sekali. Aku nyalakan tablet, pasang headset, dan memainkan Guess The Song supaya wawasan musikku bertambah.

Akhirnya aku ngeh kalau tamu yang barusan menghadap Pak Bambang itu Hayat. Kok bisa sih dia bangun sepagi ini? Ia duduk di sampingku sembari memasukkan print out-nya ke ransel. Kubiarkan ia meminjam tabletku sementara aku masuk ke dalam ruangan.

Dan keluar dengan gondok.

Aku tidak berguna. Ah. Aku memang tidak bisa bikin kalimat. Pak Bambang menyuruhku mengingat-ingat pelajaran Bahasa Indonesia semasa SD.

Hayat memainkan tabletku dengan punggung agak membungkuk. Aku beringsut, ingin tahu selera cowok ini sama game. Guess The Song juga. Wow. Ia menebak lagu dengan tepat. Lagi. Wow! WOW. WOW! Memang ada kata “Wow” di layar setiap kali sebuah lagu berhasil ditebak. Seandainya saja kami berada di tempat yang lebih sunyi dan privat, akan terdengar gemerincing terus-menerus di sela-sela potongan lagu. Aku bahkan tidak yakin dia benar-benar mendengarkan lagunya. Tebakannya mantap dalam waktu kurang dari tiga detik. Begitu tablet dikembalikan padaku, ia telah mengumpulkan ribuan koin.

Ia bangkit begitu saja tanpa berkata apa-apa padaku. Sebelum ia menjauh, buru-buru aku menyusul. “Eh, lo mau ke mana habis ini, Yat?” Ia tidak tahu mau ke mana. Aku tanya lagi apa punyanya harus direvisi, apa ia mau langsung merevisi…

“Nyantei aja kali…” sahutnya.

Hampir saja aku tertinggal langkahnya, segera kukejar lagi. Aku tidak mau begitu saja kehilangan teman! Ia menembus keriuhan lorong yang di kanan-kirinya terdapat sekretariat himpunan berbagai jurusan, seolah tidak rikuh berbaur dengan anak-anak yang lebih muda. Ya mereka juga tidak akan mengenaliku sih. Lagipula sekretariat himpunan jurusan kami terletak di bangunan lain. Tapi tetap saja aku jengah, dan agak menghindari tatapan. Tempat ini rasanya bukan milikku lagi.

Sampai di luar, ia menyusuri dinding bangunan. Begitu sadar bahwa kami hanya mengitari bangunan tersebut, lalu ia melangkah lagi ke bangunan lain di sampingnya, aku lantas bertanya, “Lo mau ke mana sih?” Ternyata repot juga menyesuaikan dengan langkah-langkahnya yang panjang. Ia cuman menoleh sekilas dengan pandangan matanya yang, uh, bikin aku geregetan tidak keruan. Kalau saja bukan aku yang ada di posisiku, maksudnya, aku hanya menjadi penonton gadis bodoh yang sedang mengejar-ngejar cowok sengak macam dia, geregetanku ini bakal lain artinya.

Di bangunan yang satu ini, ia juga masuk ke lewat pintu utama, membelah dari dalam, lalu keluar, ke kanan dulu, pasti hendak berputar lagi deh. Kamu aneh! Aku ingin berteriak begitu di belakang punggungnya. Tapi lebih aneh lagi aku yang mengekor saja perbuatan aneh ini. Aku pun berhenti. Aku biarkan dia berputar sendiri. Gila.

Lebih baik aku ke perpustakaan saja dan langsung mengerjakan revisi supaya TA cepat selesai.

Perpustakaan mungkin tinggal sekitar sepuluhan meter lagi ketika aku lihat Hayat datang dari arah yang berbeda. Ekspresinya seperti yang mau muntah.

“Mau ngerjain?”

“Ya,” aku menjawab dengan nada sama judesnya.

Di perpustakaan kami duduk di bangku yang biasa. Ekspresinya sudah berubah lagi. Seperti yang rada sendu. Rambutnya yang biasanya ringan melambai-lambai, kali ini tampak berat dan kuyu (dan berminyak, mungkin dia cuman belum keramas). Ini cowok kenapa sih. Lagi PMS jangan-jangan. Hihi.

“Banyak enggak revisian lo?” dan harus selalu aku yang menegur duluan. Aku sudah meletakkan print out-ku yang berdarah-darah. Dia masih menatap dinding kaca sambil menopang dahi dengan tangan.

“Kurang daftar pustaka, gue,” lengannya menimpa meja dengan lunglai. “Bacaan lo banyak enggak?” Ujung jemarinya menyeret punyaku, membukanya, lalu tangannya seperti yang kepanasan begitu melihat hasil kreasi Pak Bambang.

“Biasa aja kali!” sungutku.

“Kalau aja lu dateng lebih pagi, Pak Bambang masih punya pulpen item.” Hayat menjulurkan punyanya. Coretan di print out Hayat lebih banyak berupa lingkaran di akhir kalimat, dan tidak begitu kentara karena tintanya hitam. Sedang punyaku, hampir tiap kalimat digarisbawahi. Dan hitam dengan merah itu kontras sekali dong. Malu deh kalau sampai ada yang memerhatikan. Iapun menelusuri daftar pustaka milikku. “Ah, punya lo juga sama aja.” Lalu meninjau halaman-halaman awal. “Pantesan aja. Boro-boro ngoreksi dapus, punya lo mah…”

Aku tidak berminat mendengarkan kata-katanya lebih lanjut.

“Gue kan ngerjainnya cuman semalem…”

“Sama, gue juga.”

“Kirain lo ngerjain udah dari kapan. Katanya lebih konsen di kosan…” kalimat terakhir aku ucapkan dengan pelan sekaligus sinis. Peduli amat deh kalau dia mau sombong.

“Lu kalo nulis kayak ginian jangan pake stream of consciousness…”

Ngomong apa sih dia…

“Kayaknya kalimat lo beres-beres aja ya. Kenapa lo enggak ajarin gue aja?”

Ia tidak menjawab. Punyaku sudah tergeletak lagi di meja. Ganti ia meneliti punyanya sendiri.

Huh bukannya aku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Aku hanya perlu menonton BINAR[1] di TVRI bareng Nenek nanti malam, atau kapan, aku tidak tahu acara tersebut tayang tiap malam apa. Juga membuka-buka catatan kuliah tentang penulisan ilmiah di semester awal. Seharusnya aku mengedit dulu ketikanku sebelum di-print. Aku bisa kok bikin kalimat! Akan kubuktikan pada diriku sendiri. Kalau cuman menata kalimat sih…

“Yat, tapi kalo software lo bisa ngajarin gue kan?”

Aku betulan lemah di komputer. Sekali dua kali diajari mungkin aku langsung bisa. Tapi kalau tidak pernah dipakai, aku pasti lupa. Kuliahku banyak sekali memakai software, apalagi praktikum. Ada beberapa software khusus, di antaranya yang akan dipakai untuk TA ini, yang pikiranku sepertinya bakal sudah terlalu keruh untuk menjalankannya. Aku bahkan tidak pernah bisa ingat persis apa nama software-software itu! Aku kira cowok lebih terampil untuk urusan ini.

“Mau-mau aja sih gue ngerjain software punya lo asal lo ngerjain teks yang gue, tapi liat teks lo kayak gitu…”

Aku merengek.

Tapi ia benar-benar tiada ada peduli padaku. Ia bangkit begitu saja dengan meninggalkan barang-barangnya di meja, lalu terjun ke dalam deretan rak. Memilah-milih buku.

Ponselku berbunyi. Setidaknya masih ada yang peduli padaku. Aku cepat-cepat meresponsnya karena tidak kusetel dalam mode silent. Aku suka lupa, soalnya aku suka ringtone ini. Lucu banget.

Tapi sms yang datang sama sekali tidak lucu.

uDa mæm l0m nenX?

Semakin memperburuk hariku.

HAYAT

Aku sepi. Tidak tahu sampai kapan sepi ini berlanjut…

Aku mencoret kata terakhir.

...membayang

Coret lagi.

…menggentayang

Memangnya kunti.

 Di sini aku duduk mencangkung di kosen jendela, dengan notes dan pulpen bertinta sama hitam dengan langit yang melatariku. Tsah! Aku sudah kembali ke kamarku, sudah tidak terganggu dengan aroma feromon terkutuk. Bukan berarti aku sudah mengepel lantai kamar dengan seember karbol. Sudah terbiasa saja.

Aku tengok lagi tulisanku di notes yang cuman sebaris itu.

Seperti puisinya Chairil Anwar. Bahkan lebih buruk dari puisinya Chairil Anwar.

Kurobek. Kuremas dengan kedua tangan. Lalu kulempar sejauh mungkin namun hanya tersangkut di pohon cengkeh di halaman kos.

Bahkan untuk menjadi atlet tolak peluru(-kertas) saja aku tidak punya potensi.

Dasar tidak berguna.

Dan kututup jendela.

Kutulis itu dalam notes. Tidak kurobek lagi. Biar saja puisiku hanya sebaris.

Teringat Ayudh. Sesaat aku seperti Majnun pada Laila, atau protagonis pria di roman-roman Balai Pustaka. 

TIARACITRA

Pagi yang biasa. Kapan hari-hari yang memuakkan ini akan berakhir, ya Tuhan. Setiap pagi aku ke kampus hanya untuk memprediksi bahwa sore aku akan pulang dengan hampa.

Kemarin Hayat menemukan setumpuk buku “bagus”. Pokoknya semua tebal dan berbahasa Inggris. Lima tahun kuliah di kampus bonafide, seharusnya bahasa Inggrisku baik. Seringkali aku diberi tugas membuat resume dari ceramah para dosen berbahasa Inggris di kampus antah berantah yang bisa diakses di Youtube, jelas tidak ada subtitle-nya. Kuliah (dosen) dan praktikum (asisten) pun sama-sama mewajibkan mahasiswa untuk merangkum sari dari textbook. Justru ini yang bikin aku frustasi. Lima tahun seperti itu, tapi masih saja ketika harus berhadapan dengan teks berbahasa Inggris aku kepingin muntah. Sementara Hayat dengan enteng memindahkan kalimat-kalimat dari buku, menambah coretan di print out-nya dengan pensil. Seolah dia mengerti saja.

Tentu saja dia mengerti!

Suatu waktu, ketika dia sedang sibuk mengetik di hadapanku di perpustakaan lalu kutanya TA-nya sudah sampai mana dan dia bilang belum jadi (entah sudah berapa ratus kali percakapan semacam ini terjadi), akhirnya kutanya dia sebetulnya mengetik apa. Dia bilang dia sedang bikin subtitle bahasa Indonesia untuk film yang tidak akan pernah sudi aku tonton. Yeah. Aku pernah suatu kali mengintip film yang sedang ia tonton. Sejak itu aku tahu kalau ia penggemar film-film yang ada adegan telanjangnya.

“Erotika itu beda sama pornografi. Lo perlu kuliah empat belas kali pertemuan lagi apa?” seolah dia ahli dalam begituan. Dia ini produser film erotis atau apa. Telanjang ya telanjang!

“Kenapa sih cowok tuh sukanya yang gituan?”

“Gue liat, gue suka, dan gue cari lebih banyak. Kayak lo enggak gitu aja.”

“Enggak!”

“Taruhan, di laptop lu pasti banyak drama koreanya.”

“Tapi itu enggak porno!”

Berdebat sama dia itu menyebalkan. Bukan karena tidak ada habisnya. Justru karena dia suka menghabiskan dengan seenaknya. Seolah kalau bicara lama-lama denganku dia bakal tertular penyakit atau apa.

Baru beberapa meter melewati gerbang belakang, aku melihat sosok itu di atap gedung seberang perpustakaan. Seolah ada kekuatan gaib yang menyuruh kepalaku untuk mendongak. Ke sana atau tidak. Sementara mukaku disengat matahari, masih hangat sih, belum panas, aku menimbang-nimbang.

Karena aku percaya pada kekuatan gaib, sekitar seperempat jam kemudian aku sudah bersama Hayat di atap. Jadi sekarang lo udah bisa bangun pagi ya, aku ingin sekali mengatakan itu padanya. Tapi paling-paling ia tidak akan merespons. Padahal langkahku terdengar jelas, tapi ia tidak menoleh sama sekali. Pandangannya tetap ke langit. Memang lumayan cerah sih. Birunya segar. Awan putih bersemburat bagai kapas. Kuempaskan diri di sampingnya. Pada celah jemari tangannya yang menopang pipi, terdapat puntung yang membara. Sekarang peristiwa dengan rokok kapan itu terasa omong kosong saja. Tapi kali ini aku sudah tidak begitu berminat mencoba rokok.

“Ke mana aja lo…” tanyanya sebelum menyeruput asap. Tapi pandangannya masih ke arah yang sama.

Aku agak terkesima. Seolah dia selama ini sedang menungguku atau apa.

“Enggak ke mana-mana. Dari rumah… aja…”

Ia menggaruk pelan kepalanya seraya berpaling padaku. “Enggak. Maksud gue, ke mana aja lo kok baru ngerjain TA sekarang?”

“Oh.” Aku bertingkah seakan yang tadi itu aku pura-pura telmi. Aku mengerti. Rata-rata mahasiswa di kampus kami mulai mengerjakan TA pada tahun ketiga, sehingga mereka bisa lulus dalam waktu empat tahun kurang sedikit, empat tahun pas, atau empat tahun lebih sedikit. Yang empat tahun lebih-banyak juga banyak sih, aku di antaranya. Karena aku perlu waktu lima tahun untuk mencapai IPK tiga koma. Ya aku sebodoh itu. Tapi aku bilang saja pada Hayat, “Ngulangnya banyak.” Aku diam sebentar. “Eh, kayaknya kita udah pernah ngelakuin percakapan ini deh.”

“Akh, gue lupa…” tampangnya jelek sekali saat bilang begitu. Apalagi ia mendadak menutup muka… Terserah deh. Ia seperti yang mabuk atau bagaimana. Mungkin aku salah mengira ia telah berhasil bangun pagi, ya, selain yang ketemu sama Pak Bambang kemarin itu karena Pak Bambang ingin jam segitu—mungkin malah ia tidak tidur sama sekali. “Oh,” ia berucap lagi sambil menekuri lantai dan menghirup rokoknya.

“Kalo lo kenapa baru TA sekarang, Yat?”

“Gue… Main, gue. Travelling. Ngabisin duit tabungan.”

“Oh,” aku tertawa sedikit. Di tahun keempat, ketika sebagian demi sebagian anak-anak di jurusan mulai mentas, kami menjadi makin peduli pada kabar satu sama lain. Si ini sudah kerja di mana. Si itu sudah tunangan sama siapa. Semacam itulah. Banyak juga yang belum lulus tapi sudah menghilang. Hayat di antaranya. Lalu tersiar semacam gosip kalau dia lagi depresi karena ditinggal Ayudh. Entah kenapa aku geli saja tiap kali teringat ini. Maksudnya, kami selalu membicarakannya dengan nada olok-olok. Sambungku, “Main ke mana aja?”

Hari itu TA sama sekali tidak tersentuh. Aku dan Hayat mengobrol sampai siang. Dia tidak begitu ganteng hari ini. Tapi aku pulang tanpa merasa hampa. Mas-mas alay masih mengirim sms padaku, tapi ia tidak terlihat sama sekali dalam perjalanan ke rumah. What a good day! (Aku ingin melompat tinggi-tinggi sambil merentangkan lengan saat mengucapkan ini.)

Aku tidak tahu kenapa tiap kali aku ketemu cowok yang mengesankan aku suka membayangkan masa depan dengannya. Hayat yang baru pulang saat petang dengan seragam eksekutifnya. Aku yang sedang memasak makanan kesukaannya cepat-cepat mematikan kompor, menaruh spatula, dan melepaskan celemek. Lalu aku membantunya melepaskan jas dan dasi, membuatnya merasa terbebaskan dari beban yang dipikulnya selama di kantor. Saat makan malam aku siap mendengarkannya dengan sabar, kalau-kalau ia mau menumpahkan keluh-kesahnya. Tapi ia tidak mampu. Begitu melihatku segala kelelahannya sirna. Apalagi setelah ia mencicipi masakanku. Ia dapat tidur dengan pulas di kasur sembari mendekapku dalam kehangatannya. Hah…

HAYAT

Setelah pisah dengan cewek itu di gerbang belakang, aku ke taman balaikota. Tapi sesampainya di sana aku tidak tahu mau apa. Jadi aku hanya duduk di salah satu bangku beberapa lama, lalu mencari pohon kihujan. Kapan ya… kemarin mungkin… sehabis dari bimbingan TA sama Pak Bambang aku mengitari tempat-tempat di mana aku pernah punya momen sama Ayudh. Aku ingin tahu apa “rasa” itu masih ada. Awalnya aku merasa akan tergetar atau apa, tapi ternyata biasa saja. Lalu tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu saat melihat bangku di mana aku dan Ayudh pernah duduk, lalu tahu-tahu si jahanam itu lewat. Ayudh meninggalkanku dan menggandeng…—aku tidak lihat. Aku merasa enek tiba-tiba. Kali ini di bawah pohon kihujan aku bermaksud meraba-raba perasaan yang sama. Aku tidak punya momen sama Ayudh dengan pohon itu, ataupun di taman balaikota. Hanya, di bawah pohon itu aku pernah mengalami semacam epifani. Setelah itu aku tidak begitu sedih lagi. Harus ada kesedihan yang menyaingi kesedihanku karena Ayudh, saat itu kupikir begitu. Kehabisan uang tabungan misalnya, yang aku kumpulkan susah payah dari SMA dengan kerja freelance kecil-kecilan. Tidak sesusah dan tidak sepayah itu juga sih, aku malah jadi senang dan cakap. Lalu aku ingat waktu itu aku mengambil uang dari rekening sampai saldo mininal, lalu aku habiskan untuk ke Bunaken terus ke mana lagi aku lupa, oh ya, Lombok, terus.... Masih ditambah sama Kakak sih. Tapi itu juga jadinya senang-senang. Aku tidak tahu kapan aku bisa benar-benar pensiun dari hedonis.

Begitu mulai gelap aku pulang. Kosan ramai. Roni akhirnya menggoreng nasi yang entah sudah berapa lama di kulkas. Semua orang ditawari. Namanya anak kos, biarpun ada kamar mandi di kamar masing-masing. Huh. Justru itulah fungsinya. Tidak mesti antri kalau kenapa-kenapa. Aku dikasih juga satu piring. Payah. Cuman bumbu instan. Begitu ganti baju dan mencicip beberapa sendok, aku keluar kamar lagi sambil bawa piring. Dapur masih riuh. “Lembek, Brur,” komentarku. Lalu aku ikut mengobrol di sana, sampai tidak terasa kalau nasi di piring sudah habis. Kok anak-anak pada mau tambah sih. Yang di wajan juga ludes. Padahal langu begitu. Tipe macam Tiaracitra itu, kalau masak pasti hasilnya begitu. Dia susah konsentrasi waktu masak, karena anaknya banyak. Rewel. Rambutnya berantakan. Mukanya cemong. Lalu aku lembur tiap malam. Itu juga masih belum menutupi biaya ini-itu… apalagi kuliah si bungsu… Tadi siang waktu mengobrol sama dia di atap, aku cuman memerhatikan tangannya. Bergerak-gerak saat dia bicara. Ampun deh cewek kok rambut di tangannya bisa sebanyak itu ya. Enggak nahan. Kalau sama dia pasti bawaannya kepingin bikin anak terus.

Tuh kan. Mulai pening lagi nih kepala.

HAYAT

Yang terbayang Tiaracitra tapi yang terbilang, “Ayudh… Ayudh…”

Kenapa sih aku ini.

Aku harus berhenti sebelum mandul.

HAYAT

Sepertinya Roni membubuhkan terlalu banyak terasi… Eh, tadi aku bilang bumbu instan ya. Ya, selain bumbu instan, ia juga membubuhkan terasi. Pokoknya ini salah Roni. Sialan kamu Roni. Aku pening dan mual sekali. Meski aku sudah melepaskan bebanku. Sekarang aku hanya bisa telungkup di kasur seperti bayi-(tidak)-sehat, hanya sebagian tubuhku kututup selimut.

Merokok lagi.

Brengsek. Aku tidak putus-putus dari lingkaran setan ini. Rokok. Insomnia. Masturbasi.

Aku tidak tahu kenapa ada manusia yang begitu hina, di sisi lain ada manusia yang begitu mulia. Di mana adilnya dunia. Tanyakan sama yang menderita. Keadilan cuman milik segelintir, yang jelas bukan milik yang nista.

Tiaracitra tidak salah waktu bilang aku suka pornografi. Erotika tidak sama dengan pornografi, betulan deh, coba cek Kamus Besar Bahasa Indonesia. Erotika dan pornografi adalah dua hal berbeda, dan aku suka keduanya. Menurutku erotika terasa lebih sungguhan, sedang pornografi terlalu eksplisit; erotika adalah seni, sedang pornografi cuman bikin kamu dikatai mesum.

Tapi ada saat di mana aku hanya butuh pornografi. Itu hiburan yang betul-betul tidak perlu berpikir. (Meskipun sering juga aku berpikir kok orang itu mau melakukan itu, apa enak dibegitukan, dan sebagainya.) Adegannya begitu-begitu saja. Cuman gonta-ganti pemain. Tergantung pemain, malah. Aku pun tidak doyan kalau ceweknya jelek, terlalu perek, atau terlalu sadar diri.

Aku paling suka kalau cewek diewe rame-rame. Aku tidak kasihan karena cewek itu harus melayani banyak laki-laki. Aku malah melihat kenikmatan karena cewek itu dipuaskan banyak laki-laki. (Tergantung situasi juga sih.) Tapi aku sendiri tidak pernah membayangkan diri sebagai salah satu laki-laki yang menggangbang, atau terlibat dalam orgy.

 Maka malam, eh salah, dini hari ini aku nyalakan laptop lagi. Ah huh huh huh yeah ah yeah. Menonton seseorang mengocok barangnya di mulut seseorang dengan jemu, aku, maksudnya, yang jemu.

Aku cuman perlu hiburan. Tidak perlu yang bermutu. Apa itu mutu. Mutu hanya dimiliki orang tertentu, dan bukan aku.

Satu lagi. Kadang aku melakukannya hanya karena aku perlu menghangatkan badan. Udara akhir-akhir ini dingin sekali.



[1] Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain