Kamis, 18 Juli 2013

(1)

HAYAT

Hari ini tidak dibuka dengan matahari. Aku baru buka gorden sekitar jam dua siang, dan mendung. Begitu terjaga aku langsung berguling bangkit menatap tiga monyet itu. Yang pertama menutup mata. Yang kedua menutup telinga. Yang ketiga menutup mulut. Andai hidup bisa begitu terus. Tidak melihat. Tidak mendengar. Tidak bicara. Mereka bukan Three Wise Monkeys. Mereka Three Lazy Monkeys. Hari ini sama dengan kemarin. Berkat sebelas jam yang aku habiskan untuk mengelana belantara mimpi.

Angin terus keluar dari bokong ketika aku berjongkok membereskan buku-buku yang berserakan di sekitarku. Setelah berjaket, bercelana panjang, aku meninggalkan kos.

Tadi aku mimpi aneh sekali. Aku main ke rumah teman. Lalu aku menumpang ke kamar mandi. Mau kencing. Kamar mandinya berantakan sekali. Pandanganku sudah memburam ketika lenganku terjulur, aku kira tidak akan sampai, untuk menyingkirkan tongkat pel, sapu, dan entah apa lagi ke pojokan. Mungkin mereka habis bersih-bersih rumah. Entahlah. Akhirnya aku melihat kloset. Seekor vampir seolah mengintil dekat leherku, menghisap darah sampai habis. Aku semakin kliyengan. Mataku susah terbuka. Apa ini waktuku, kupikir…. Bagus. Kurasakan maut mulai menggerayangi kakiku. Tapi aku tidak mau ditemukan tergeletak—mati—di kamar mandi. Tidak sehina itu. Aku ingin mundur, tapi seperti tubuhku tidak ke mana-mana. Aku berusaha agar mataku tetap terbuka, tapi segera menutup dengan sendirinya. Aku menyerah. Semua gelap. Sebelum pandanganku kembali menangkap ubin krem yang menyusun dinding kamar mandi. Mataku masih berat. Tertutup sesekali.

Sudah sampai di warung terdekat. Segumpal nasi. Segumpal bayam. Kuah beningnya menggenang piring hingga satu senti dari tepian. Sepotong tempe-tahu. Mama akan bertanya-tanya kenapa aku suka berlagak seperti anak kos melarat, belakangan ini. Tapi ia tidak akan mengirim lebih banyak ke rekeningku.

Semua terasa tawar.

Kantong jaketku bergetar, lagi. Sepanjang jalan tadi sudah berkali-kali. Beberapa hari lalu juga. Beberapa minggu lalu juga. Kucengkeram gelas plastik entah sejak berapa detik lalu.

Mataku beralih ke TV. Buset. Ratusan kali makan di sini aku baru ngeh ada BBC Knowledge. Tangan Jeremy Clarkson membentuk huruf L di dahi, mengarahkannya pada tim Top Gear Australia yang tengah mereka pecundangi… pecundang… i.

Kurogoh kantong. Heh. Bagus. Sekarang dia pakai nomor lain?

Atau mungkin bukan dia.

Kumatikan. Kubenamkan lagi benda itu.             

[]

Hayat yang mujur menopang tangan pada bingkai jendela bis, yang melaju menuju Garut, katanya sih ke Garut, menangkup pipinya, bersanding dengan earphone yang menyumpal lubang telinga. Deru mesin masih dapat menyusup, padahal konon headset model begitu dapat mengisolasi suara. Yang penting ocehan The Arcade Fire yang bertajuk “Rebellion (Lies)” masih tertangkap indra, walau sayup-sayup. Sejoli mata kompak menghanyutkan perhatian lebih pada panorama toko-toko-toko-toko-anjing-sawah-toko-toko-toko-sawah-rumah-anjing-bukan anjing yang sebenarnya-Hayat hanya teringat Jeki-anjing-toko-sawah-gunung-rumah-rumah-rumah-rumah-rumah. Hayat mulai tersedu karena tercetus ingatan yang lebih tidak menyenangkan ketimbang Jeki, huks, kalem, Rahayy, kalem, di sudut yang berjejalan penumpang dari rupa-rupa daerah di sepanjang Bandung-Garut ini elo harus kalem, please!

“ANJEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEENG….!”

“Auk! Auk!” Makhluk di tepi jalan itu menyapanya balik.

[]

Kembali gasing berputar dalam tengkorak Hayat. Hayat geleng-geleng kepala, menuruti genjrengan gitar dalam tembang “Coffee and TV”. Pundaknya menjelma gelombang. Ia kotak susu yang tengah mencari seorang pemuda. Potret pemuda itu tercetak di tubuhnya, mukanya. Telah lama hilang. Dicari orangtuanya. Ia menggoyang-goyangkan tangannya, mengikuti tarian si kotak susu dalam videoklip. So give me coffee and TV. “Entar, Yat, kalau udah dapet tempat enak buat nge-camp,” seseorang menyahut. …please marry me, so we can start over again… dendang Hayat dalam nuansa emo. Seorang cewek melayangkan kernyitan, sebelum kembali menapaki tanah perkebunan itu. …we can start over again… erang Hayat, berangan suatu saat Dashboard Confessional menggubah cover lagu milik Blur tersebut. Matanya terpejam-pejam. Ia terjungkal. Kawan-kawan menengok. Hampir semua menyorotkan senter di tangan—ada juga yang di dahi—masing-masing ke arah tempat kejadian perkara, agar Hayat menemukan jalannya. Tangan Hayat menapak-napak tanah, menopang sisa tubuh untuk bangkit, dan berkata dengan renyah, “Gua oke, gue oke,” serpih-serpih tanah berjatuhan dari telapak tangan. Tanpa lebih banyak petunjuk, setiap orang dalam rombongan tersebut telah mafhum bahwa satu-satunya sumber cahaya yang Hayat bawa hanya ponselnya, yang tersimpan saja di kantong celana.

Sejurus Hayat memandang hamparan tumbuhan setinggi pinggangnya. Sosok-sosok yang digelapkan malam menyembul di sela-sela. Imaji kotak susu dalam benaknya telah lenyap, terbang ke langit bersama pasangannya, kotak susu betina. Hayat merasakan hembusan napasnya sendiri yang hangat. Dingin mencengkeram kakinya yang terbalut sandal gunung, tanpa sarung[1]. Ia ingin meneriakkan nama Ayudh sekencang mungkin, hingga dinding perbukitan yang berupa siluet ungu itu memantulkannya balik, dan merobohkan orang-orang, hingga hanya tampak ia seorang dalam gulita, sebagai pembuktian akan keteguhannya tanpa Ayudh, walaupun (Ayudh) hanya berupa gema.

“Son, deketin tuh si Hayat, bisi kesurupan,” celetuk sebuah suara.

Yang hendak mendekat mengkeret kena tatap Hayat.

“Gua oke, gua oke,” ulang Hayat bak mesin soak.

“Kayaknya ada yang perlu lebih dikhawatirin,” ucap yang lain.

Lelaki berempat itu menoleh ke kejauhan. Sepucuk warna melambung-lambung, kelam kerana tertimpa malam, cerah apabila yang menjamah mentari, berasal dari topi ala Sinterklas yang dikenakan seorang gadis, semua yakin gadis itu masih “gadis”.

“Semangat banget si Citra.”

“Aaah… Jangan mau kalah… Susul!” Yang berkata demikian, kedua belah tangannya menggenggam tali ransel erat-erat dan menyerbu. Seolah jadi komando bagi beberapa orang lain. Udara yang bergesek dengan tubuh-tubuh mereka terempas ke Hayat. Hayat memutar leher beberapa derajat ke belakang. Masih sisa sejoli, berbeda jenis kemaluan. Shit. Bibir Hayat maju ke atas. Ia lanjut berjalan, agak menunduk, makin menunduk, kembali tegak, para lelaki itu telah dekat dengan si gadis yang semula memimpin, menyamai, melewati, sebuah tangan mencabut topi panjang itu, si gadis berteriak, berkejaran, kenapa segala interaksi cowok-cewek ini begitu memuakkan? Tidak jauh dari Hayat dua cewek mengobrol dalam pelan. Seandainya saja mereka lebih rupawan Hayat akan dengan senang hati mengkhayalkan mereka sebagai lesbian, dalam pemanasan menuju aksi sesungguhnya di ruang terbuka... Hayat mendesah.

Beberapa jam kemudian rombongan tersebut telah mendirikan tenda di bidang yang berkerikil dan tidak begitu datar. Tapi yang penting api unggun dan oper rantang berisi cairan kopi. Petikan gitar menuai alunan akustik, sebuah lagu yang berkomposisikan suara beberapa laki dan perempuan, buka mata, hati, telinga… masih ada yang lebih penting, dari sekadar kata cinta…[2] Hayat menyeruput ramuan pahit-pahit manis itu dari sudut rantang, dengan tatapan yang terisi kerikil-kerikil kaki Gunung Guntur. Yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggungnya. “Gua oke, gua oke,” senyum Hayat dengan sendirinya.

“SOL-MA-TA!” teriak ketua rombongan yang juga ketua himpunan tingkat fakultas sekaligus ketua badan eksekutif, walau dua yang terakhir itu sudah eks, sembari mengangkat rantang—telah sampai pada gilirannya. “Solidaritas Mahasiswa Tua,” yang menyambung terkekeh-kekeh, disambut kikih-kikih para putri, yang di antaranya merajuk, “Enggak enak banget ih namanya…”

Malam itu mereka tidur berjajar dalam tenda yang cukup besar. Satu tenda untuk putra, tenda lain untuk putri. Hayat menatap langit-langit tenda beberapa saat, grafik yang menunjukkan intensitas berpikirnya berupa garis datar, sebelum segalanya hilang. Cakap-cakap di luar tenda, warna di sekelilingnya mulai terang, Hayat membuka mata. Tadi itu apa… Perjalanan dilanjutkan usai sarapan, usai mentari merangkak ke singgasana, Teman Hayat membasahi handuk Good Morning dengan air dari botol, lalu memakainya untuk menutupi kepala. Semua melangkah dengan mata terpicing-picing. Sepatu maupun sandal lapangan menyepak tanah yang kian atas kian berbulir-bulir. Rumput kian jarang dan kering. Derajat kemiringan medan kian besar. Yang berada di depan, di atas, menjulurkan potongan kayu pada yang di belakangnya, di bawah, merambat pelan-pelan. Air mencurah ke kerongkongan, mengucur pula di sepanjang pelipis.

“Capeeek…”

Langkah Hayat terhenti. Kesempatan untuk istirahat sejenak, menambah jumlah kesempatan yang telah ia curi sebelumnya di sepanjang pendakian. Seorang cewek berselonjor memunggungi puncak.

“…kemarin paling depan sendiri…” potongan komentar seseorang yang menghampiri cewek itu. Hayat memalingkan wajah ke puncak. Anjing, jauh pisan. Bibirnya maju tanpa disadari. Hayat bisa merasakan aliran di ceruk dadanya, tepian lehernya.

“…lemeees…” rajuk cewek itu, sebagaimanapun temannya membujuk untuk meneruskan lagi.

“Udah biar sama gue aja,” kata Hayat. Tiga orang terakhir dalam rombongan itu telah melalui mereka. Teman cewek itu akhirnya lanjut melangkah juga. Sejurus angin lewat. Hayat pun duduk, membelakangi cewek itu, yang sempat menoleh-noleh padanya tanpa ia sadari. Mata Hayat terpejam begitu angin lalu lagi. Enak. Sayang matahari terlalu terik. Kombinasi yang setengah hati.

Kesadaran Hayat sempat lenyap, sekonyong-konyong dihela cewek itu, suaranya seperti merengek, “…mau pipis.”

Terus gue mesti cebokin gitu? Kernyitan Hayat tak sampai pada cewek itu, yang menanggalkan ranselnya, menjauhi Hayat dengan menenteng benda kuning menyala. Hayat mencolokkan earphone ke lubang telinga, lalu mencari lagu di ponsel yang kira-kira pas untuk mengiringi bunyi semburan air kencing.

TIARACITRA

Tahu begini aku tidak usah ikut. Panas gila! Aku bisa merasakan aliran air di punggungku, dari belahan dada turun ke perut. Kulitku bakal tambah keling. Pandanganku mulai gelap, titik-titik cerah mengerjap-ngerjap. Aku ambruk di dekat ransel. Meraih botol minum berhiaskan bunga-bunga hijau, meneguk berliter-liter air, uwah, mendingan. Tahu begini aku minum obat pas sarapan tadi.

Apa merokok tidak bikin dia makin gerah?

Aku bersandar di ranselku yang besar, sedang dia duduk di batu. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali mulutnya mengepulkan asap. Titik-titik keringat di pelipisnya yang cerah.

Dia sepertinya bukan cowok yang enak diajak kerja sama.

Kenapa hidup susah sekali… Aku melipat kaki, lalu bertopang dagu pada tangan, bertopang tangan pada lutut. Apa aku kerjakan saja TA ini sendiri… Tapi Pak Bambang ingin aku mengajak yang lain… Masih ada beberapa anak sejurusan yang belum lulus. Susah deh kalau punya dosen pembimbing TA yang sekaligus dosen pembimbing akademik yang sekaligus ketua jurusan.

“Yat, lu udah TA belum?” keluar juga pertanyaan itu dari mulutku. Kutahan-tahan sejak di awal perjalanan. Entah kenapa aku begitu antusias ketika melihatnya ikut berkumpul di parkiran utara kampus, tapi dia seperti mengeluarkan aura yang bikin aku segan untuk mendekatinya. Aku sempat ketar-ketir dia tidak bakal ikut perjalanan ini, soalnya dia cuman bawa ransel kecil. Tapi lalu dia ikut jalan, naik angkot, naik bis, kyaaa… senang sekali. Aku merasa lebih tenang. Maksudku, aku tidak usah buru-buru mengatakannya. Aku bisa menunggu saat yang tepat, asalkan masih selama perjalanan, kalau tidak, wah, tahu deh bagaimana bisa ketemu dia lagi. Dia kan jarang kelihatan di kampus. 

“Udah.”

Hoh. Baguslah.

 “Udah tiga kali ganti judul gua, hahaha,” lanjutnya, “bangsat.”

“Oh. TA lu emang tentang apa?” Aku taruh perhatian lagi padanya. Dia sama sekali tidak memandangku. Seolah masih lebih indah langit yang membentang jauh di sana, padahal kan aku dan langit sama-sama ciptaan Tuhan, hu-uh.

“Entahlah. Taik.” Dia menggerus pasir dengan ujung puntung.

“TA-ik, huhu…” aku tertawa sendiri.

“Lu mau ikutan proyeknya Pak Bambang enggak? Tinggal ngambil contoh lempung aja di hutan belakang kampus, terus ke lab, terus…” uh apa saja kata Pak Bambang kemarin?, aku harus buka notes lagi, ingatan PA-YAH!, “ya pokoknya gitulah. Katanya sih bisa cepet.”

“Hm.”

“Mau enggak?”

Dia malah menyulut rokok baru, lalu berlagak menatap cakrawala lagi seolah-olah aku tidak ada di dekatnya.

Aku enggan menawarkannya lagi. Begitu Pak Bambang menyebut nama Hayat kapan itu, aku memikirkan kemungkinan berpasangan dengan dia dalam mengerjakan TA ini, lalu aku merasa tipe cowok sepertinya tidak akan cocok denganku. Lalu kisah kami bakal berakhir seperti di teenlit atau FTV, dari lawan, jadi kawan, jadi pasangan, wahahahahaha…..

HAYAT

Dia itu… tipe cewek naif dan polos yang bisa diajak ML di akhir cerita. Hmhmhm…

Dan setelah itu aku bisa mengakhiri hidup dengan tenang.

     TIARACITRA

Kosan Hayat terdiri dari dua tingkat, tiap jendela di lantai dua dilengkapi balkon kecil. Seandainya ini kosan cewek, aku ingin jadi salah satu penghuni di lantai dua. Lalu suatu malam ada cowok membawa rombongan pemusik berdiri di tempat kakiku sekarang berpijak, membawakan balada yang menyebut-nyebut namaku. Tersipu malu, aku membuka jendela, membiarkan gorden dikibar-kibarkan angin. Cowok itu menjulurkan setangkai mawar…

Hampir saja cowok itu menutup pintu. Aku buru-buru menanyakan Hayat. Cowok itu mengangguk. Bisa kudengar langkah kakinya menaiki tangga, beruntungnya Hayat yang ternyata menghuni lantai dua. Untung ada cowok itu, kalau tidak, entah aku harus menunggu berapa kali setengah jam lagi. Selama itu sudah kukirim sms dan kutelepon Hayat berkali-kali, sampai aku tidak yakin nomor yang diberikan si ketua angkatan ini benar apa tidak. Orang itu juga yang memberitahuku alamat ini.

Ya. Kalau dihubungi lewat ponsel tidak bisa, ya aku datangi saja langsung. Tinggal sekali naik angkot, terus bayar tiga ribu (BBM naik!)—oh tentu saja cowok itu tidak akan mau menggantinya. Apa yang kamu harapkan sih, Tiaracitra?

Terdengar gerendel dibuka. Aku mundur dari naungan genteng yang menjembatani balkon-balkon di lantai dua. Seketika matahari menyengat ubun-ubunku. Di jendela nomor tiga dari sebelah kiriku, gorden tersibak, lalu Hayat melongok. Mukanya kusut banget, hahaha, rambutnya kecokelatan berdiri, hihihi, lucu, kaosnya putih kumal. “Apaan?” tanyanya ketus.

“Mau ngomongin TA.”

Pembicaraan di gunung kemarin tidak berlanjut. Kenapa sih cowok-cowok itu suka pelit bicara?

Ia masuk lagi. Jendela dan gorden dibiarkan terbuka. Akupun duduk lagi di kursi yang tersedia.

Total dua kali setengah jam aku menunggu, menurut jam di tabletku. Setidaknya sinyal wi fi kosan ini tertangkap tabletku, jadi aku bisa sambil memainkan game online

Cowok itu sudah tampak lebih segar ketika membuka pintu depan. Aroma sabun terhirup olehku saat ia duduk di kursi di hadapanku. Ia mengenakan sweter hitam, celana panjangnya putih, atau cokelat, atau abu-abu, ah tahu deh warna apa itu, pucat begitulah. Rambutnya rada rapi, dan basah.

Tadinya aku mau mengerjakan TA sendiri. Tapi setelah kemarin pagi aku menghadap Pak Bambang, lalu dia menjelaskan lebih lanjut mengenai topik yang bisa kuambil, metode kerjanya, dan aku bengong saja. Aku tidak mengerti sama sekali dia ngomong apa. Kepalaku benar-benar kosong. Dia corat-coret, tapi tidak segaris pun yang bisa aku cerna. Pakai software ini, software itu. Aku coba mengingat-ingat salah satunya, lalu kuutarakan padanya. “Loh, kamu udah ngambil mata kuliah (bla bla bla) kan?” Heu, Pak, itu kan sudah dua tahun lalu, tapi aku tidak bilang. Apa yang kupelajari selama semester biasanya segera musnah begitu semester berikutnya tiba. Aku kira aku mengidap semacam short-term memory atau apa gitu.

Jadi aku membuka lipatan A4 itu, beberapa lembar A4 maksudku, memperlihatkannya pada Hayat. “Gua enggak ngerti.

Alisnya tertekuk dan mulutnya terbuka. Aku meringis. Siapa lagi yang bisa kutanya coba? Adik angkatan? Setahun belakangan aku memang ikut kuliah dan mengerjakan tugas kelompok bareng mereka, tapi… sudah cukup aku menunjukkan kebebalanku pada mereka. Mereka tidak boleh dibiarkan lebih jemawa. Semua orang yang kukenal di jurusan tampaknya sudah bekerja dan menerima gaji berjuta-juta, atau sedang berpesta-pora menikmati masa bahagia sehabis wisuda berbulan-bulan lalu, aku tidak mau mengusik mereka, dan aku ragu mereka bakal sudi mengingat-ingat materi. Maksudku, setidaknya Hayat dalam posisi sama sepertiku, masih berkutat dengan TA, mestinya dia masih ingat materi kuliah sedikit-sedikitlah. Iya kan, Hayat, iya kan?

Aku tahu Hayat juga mandek dengan TA-nya, makanya ia frustasi dan jarang kelihatan di kampus, hahaha, yah kupikir sih begitu.

“Lo emang enggak pingin lulus, Yat?”

Kutembak saja deh langsung.

Dia mengangkat coret-coretan itu, meninjaunya dari jarak yang lebih dekat.

“Lo bisa pilih mau ngitung tegangan susutnya atau pergeserannya, mana aja deh yang… yang… gue yang gampang aja, gue enggak ngerti, heu,” ucapku putus asa. “Atau seenggaknya ada software yang elo ngerti, elo ajarin gua…”

Dengan lemparan pelan Hayat meletakkan lagi kertas-kertas itu di meja yang memisahkan kami. Sebelah lengannya merangkul sandaran kursi. Ia diam agak lama. Aku menanti bantuannya. Akhirnya ia bicara, “Asal lo dari mana sih?”

“Mm… somewhere in Java?” gumamku pelan.

Central Java atau East Java?”

“Jadi lo mau TA lagi apa ENGGAK?” sergahku lebih seperti merengek. “Serius, Yat, dosen lu tuh nyariin lu terus, katanya tiap ngehubungin elo enggak pernah diangkat, sampai nanya-nanya ke dosen gue…”

Bibirnya tersungging miring. Serius deh, dari awal aku tahu aku tidak akan bisa sama cowok ini, terlalu sengak, peduli amat.

Medhok lu tuh masih kedengeran, hahaha…” gelaknya seakan ada yang sangat-sangat-sangat kocak pada diriku.

Aku diam saja sambil menunduk. Biar ia salah tingkah.

“Males ah, Cit,” suaranya lagi. Aku mendongak, uh, kenapa aku mendongak? Terjadi begitu saja! “Eh bener kan nama lu… Citra?”

“Tiaracitra.”

Dia bahkan tidak ingat persis namaku. Sedih. Teman sejurusan macam apa dia.

Kami memang tidak pernah saling bicara sebelumnya—yang di gunung itu tidak terhitung.

Aku pulang dengan lesu. Sepertinya aku gagal membujuk Hayat.

“Eh, si Neng udah pulang? Cemberut aja sih?”

Suara medhok itu lagi! Hih! Aku sudah berkali-kali mengingatkan diri untuk tidak melewati rental komputer itu, yang searah dengan rumah nenekku, walau akibatnya aku harus ambil jalan yang memutar. Tapi sering kali pula aku pikir, ah, paling dia lagi enggak ada, dan tertipu. Aku semakin merundukkan kepala, mempercepat langkah. Jangan sampai sosoknya tertangkap ekor mataku walau cuman setitik!

HAYAT

 Dulu, bertahun-tahun lalu, aku bukan perokok. Malam ini aku merokok tidak henti-henti. Malam ini dimulai lebih awal. Biasanya aku baru memantik lighter di atas jam dua belas. Hanya cahaya dari luar jendela yang menyorot. Tapi kali ini kamarku masih benderang. Aku tidur sehabis salat magrib, berharap tidak bangun lagi sampai subuh. Aku tidak tahu kenapa aku begitu gugup. Kupikir-pikir, mimpi kapan itu, aku mengalaminya tidak hanya sekali. Aku tidur sehingga bermimpi, dan di dalam mimpi itu aku merasa sangat mengantuk sampai tertidur. Seperti di film Inception, kan? Tapi aku tidak punya misi apapun. Entah aku memiliki kekacauan pikiran atau apa… Selama ini aku menganggap mimpi sebagai pertunjukan pikiran-pikiran terpendam. Dengan mimpi mengantuk seperti itu seolah ada yang menekan pikiran-pikiran itu supaya tidak bangkit. Hei, dia benar-benar lelah. Biarkan dia beristirahat. Biarkan dia hanyut dalam kantuk yang dalam…

Mengepul tidak habis-habis. Napasku sesekali tidak teratur, seiring dengan jakunku naik-turun bak menimba air sumur, air di dasar tenggorokanku, aku mendeguk berkali-kali. Aku coba membaca. Aku coba menulis. Aku coba menangkap suara-suara di luar kamar. Aku coba menghayati liukan asap yang membumbung tinggi-tinggi, lenyap sebelum mencapai langit-langit.

Aku tidak sendiri. Aku bersama dingin. Tiba-tiba napasku berat. Aku taruh puntung di asbak. Aku benahi kain sarung yang menyelubungi tubuhku, seperti kain oranye para biksu. Kota ini dingin belakangan ini, hingga ujung-ujung jemari kaki. Kulipat kaki di atas kursi.

Apa? Apa? Apa?



[1] Sebab kenapa apabila digunakan di tangan disebut sarung tangan, bukan kaos tangan, apabila digunakan di kaki disebut kaos kaki, bukan sarung kaki, padahal sama-sama berfungsi sebagai pembungkus.

[2] Maliq and D’Essentials – “Mata, Hati, Telinga”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain