HAYAT
Hari ini
tidak dibuka dengan matahari. Aku baru buka gorden sekitar jam dua siang, dan
mendung. Begitu terjaga aku langsung berguling bangkit menatap tiga monyet itu.
Yang pertama menutup mata. Yang kedua menutup telinga. Yang ketiga menutup mulut.
Andai hidup bisa begitu terus. Tidak melihat. Tidak mendengar. Tidak bicara.
Mereka bukan Three Wise Monkeys.
Mereka Three Lazy Monkeys. Hari ini
sama dengan kemarin. Berkat sebelas jam yang aku habiskan untuk mengelana
belantara mimpi.
Angin terus
keluar dari bokong ketika aku berjongkok membereskan buku-buku yang berserakan
di sekitarku. Setelah berjaket, bercelana panjang, aku meninggalkan kos.
Tadi aku
mimpi aneh sekali. Aku main ke rumah teman. Lalu aku menumpang ke kamar mandi.
Mau kencing. Kamar mandinya berantakan sekali. Pandanganku sudah memburam
ketika lenganku terjulur, aku kira tidak akan sampai, untuk menyingkirkan
tongkat pel, sapu, dan entah apa lagi ke pojokan. Mungkin mereka habis
bersih-bersih rumah. Entahlah. Akhirnya aku melihat kloset. Seekor vampir
seolah mengintil dekat leherku, menghisap darah sampai habis. Aku semakin
kliyengan. Mataku susah terbuka. Apa ini waktuku, kupikir…. Bagus. Kurasakan
maut mulai menggerayangi kakiku. Tapi aku tidak mau ditemukan
tergeletak—mati—di kamar mandi. Tidak sehina itu. Aku ingin mundur, tapi
seperti tubuhku tidak ke mana-mana. Aku berusaha agar mataku tetap terbuka,
tapi segera menutup dengan sendirinya. Aku menyerah. Semua gelap. Sebelum
pandanganku kembali menangkap ubin krem yang menyusun dinding kamar mandi.
Mataku masih berat. Tertutup sesekali.
Sudah
sampai di warung terdekat. Segumpal nasi. Segumpal bayam. Kuah beningnya
menggenang piring hingga satu senti dari tepian. Sepotong tempe-tahu. Mama akan
bertanya-tanya kenapa aku suka berlagak seperti anak kos melarat, belakangan
ini. Tapi ia tidak akan mengirim lebih banyak ke rekeningku.
Semua
terasa tawar.
Kantong
jaketku bergetar, lagi. Sepanjang jalan tadi sudah berkali-kali. Beberapa hari
lalu juga. Beberapa minggu lalu juga. Kucengkeram gelas plastik entah sejak
berapa detik lalu.
Mataku
beralih ke TV. Buset. Ratusan kali makan di sini aku baru ngeh ada BBC
Knowledge. Tangan Jeremy Clarkson membentuk huruf L di dahi, mengarahkannya
pada tim Top Gear Australia yang tengah mereka pecundangi… pecundang… i.
Kurogoh
kantong. Heh. Bagus. Sekarang dia pakai nomor lain?
Atau
mungkin bukan dia.
Kumatikan.
Kubenamkan lagi benda itu.
[]
Hayat yang
mujur menopang tangan pada bingkai jendela bis, yang melaju menuju Garut,
katanya sih ke Garut, menangkup pipinya, bersanding dengan earphone yang menyumpal lubang telinga. Deru mesin masih dapat
menyusup, padahal konon headset model
begitu dapat mengisolasi suara. Yang penting ocehan The Arcade Fire yang
bertajuk “Rebellion (Lies)” masih tertangkap indra, walau sayup-sayup. Sejoli
mata kompak menghanyutkan perhatian lebih pada panorama
toko-toko-toko-toko-anjing-sawah-toko-toko-toko-sawah-rumah-anjing-bukan anjing
yang sebenarnya-Hayat hanya teringat Jeki-anjing-toko-sawah-gunung-rumah-rumah-rumah-rumah-rumah.
Hayat mulai tersedu karena tercetus ingatan yang lebih tidak menyenangkan
ketimbang Jeki, huks, kalem, Rahayy, kalem, di
sudut yang berjejalan penumpang dari rupa-rupa daerah di sepanjang
Bandung-Garut ini elo harus kalem, please!
“ANJEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEENG….!”
“Auk! Auk!”
Makhluk di tepi jalan itu menyapanya balik.
[]
Kembali
gasing berputar dalam tengkorak Hayat. Hayat geleng-geleng kepala, menuruti
genjrengan gitar dalam tembang “Coffee and TV”. Pundaknya menjelma gelombang.
Ia kotak susu yang tengah mencari seorang pemuda. Potret pemuda itu tercetak di
tubuhnya, mukanya. Telah lama hilang. Dicari orangtuanya. Ia
menggoyang-goyangkan tangannya, mengikuti tarian si kotak susu dalam videoklip.
So give me coffee and TV. “Entar,
Yat, kalau udah dapet tempat enak buat nge-camp,”
seseorang menyahut. …please marry me, so
we can start over again… dendang Hayat dalam nuansa emo. Seorang cewek melayangkan kernyitan, sebelum kembali menapaki
tanah perkebunan itu. …we can start over
again… erang Hayat, berangan suatu saat Dashboard Confessional menggubah cover lagu milik Blur tersebut. Matanya
terpejam-pejam. Ia terjungkal. Kawan-kawan menengok. Hampir semua menyorotkan
senter di tangan—ada juga yang di dahi—masing-masing ke arah tempat kejadian
perkara, agar Hayat menemukan jalannya. Tangan Hayat menapak-napak tanah,
menopang sisa tubuh untuk bangkit, dan berkata dengan renyah, “Gua oke, gue
oke,” serpih-serpih tanah berjatuhan dari telapak tangan. Tanpa lebih banyak
petunjuk, setiap orang dalam rombongan tersebut telah mafhum bahwa satu-satunya
sumber cahaya yang Hayat bawa hanya ponselnya, yang tersimpan saja di kantong
celana.
Sejurus
Hayat memandang hamparan tumbuhan setinggi pinggangnya. Sosok-sosok yang
digelapkan malam menyembul di sela-sela. Imaji kotak susu dalam benaknya telah
lenyap, terbang ke langit bersama pasangannya, kotak susu betina. Hayat
merasakan hembusan napasnya sendiri yang hangat. Dingin mencengkeram kakinya
yang terbalut sandal gunung, tanpa sarung[1]. Ia ingin meneriakkan nama Ayudh sekencang mungkin, hingga
dinding perbukitan yang berupa siluet ungu itu memantulkannya balik, dan
merobohkan orang-orang, hingga hanya tampak ia seorang dalam gulita, sebagai
pembuktian akan keteguhannya tanpa Ayudh, walaupun (Ayudh) hanya berupa gema.
“Son, deketin tuh si Hayat, bisi kesurupan,” celetuk sebuah suara.
Yang hendak mendekat mengkeret kena tatap Hayat.
“Gua oke, gua oke,” ulang Hayat bak mesin soak.
“Kayaknya ada yang perlu lebih dikhawatirin,” ucap yang lain.
Lelaki berempat itu menoleh ke kejauhan. Sepucuk warna
melambung-lambung, kelam kerana tertimpa malam, cerah apabila yang menjamah
mentari, berasal dari topi ala Sinterklas yang dikenakan seorang gadis, semua
yakin gadis itu masih “gadis”.
“Semangat banget si Citra.”
“Aaah… Jangan mau kalah… Susul!” Yang berkata
demikian, kedua belah tangannya menggenggam tali ransel
erat-erat dan menyerbu. Seolah
jadi komando bagi beberapa orang lain. Udara yang bergesek dengan tubuh-tubuh
mereka terempas ke
Hayat. Hayat memutar leher beberapa derajat ke belakang. Masih sisa sejoli,
berbeda jenis kemaluan. Shit. Bibir Hayat maju ke atas. Ia lanjut berjalan, agak
menunduk, makin menunduk, kembali tegak, para lelaki itu telah dekat dengan si
gadis yang semula
memimpin, menyamai, melewati, sebuah tangan mencabut topi panjang itu, si
gadis berteriak, berkejaran, kenapa segala interaksi cowok-cewek ini begitu
memuakkan? Tidak jauh dari Hayat dua cewek mengobrol dalam pelan. Seandainya
saja mereka lebih rupawan Hayat akan dengan senang hati mengkhayalkan mereka sebagai lesbian,
dalam pemanasan menuju aksi sesungguhnya di ruang terbuka... Hayat mendesah.
Beberapa jam kemudian rombongan tersebut telah
mendirikan tenda di bidang yang berkerikil dan tidak begitu datar. Tapi yang penting api unggun dan
oper rantang berisi cairan kopi. Petikan gitar menuai alunan akustik, sebuah
lagu yang berkomposisikan suara beberapa laki dan perempuan, buka
mata, hati, telinga… masih ada yang lebih penting, dari sekadar kata cinta…[2] Hayat menyeruput ramuan pahit-pahit manis itu dari
sudut rantang, dengan tatapan yang terisi kerikil-kerikil kaki Gunung Guntur.
Yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk punggungnya. “Gua oke, gua oke,” senyum
Hayat dengan sendirinya.
“SOL-MA-TA!” teriak ketua rombongan yang juga ketua himpunan tingkat
fakultas sekaligus
ketua badan eksekutif, walau dua yang terakhir itu sudah eks, sembari
mengangkat rantang—telah sampai pada gilirannya. “Solidaritas Mahasiswa Tua,”
yang menyambung terkekeh-kekeh, disambut kikih-kikih para putri, yang di
antaranya merajuk, “Enggak enak banget ih namanya…”
Malam itu mereka tidur berjajar dalam tenda yang cukup
besar. Satu tenda untuk putra, tenda lain untuk putri. Hayat menatap
langit-langit tenda beberapa saat, grafik yang menunjukkan intensitas berpikirnya
berupa garis datar, sebelum segalanya hilang. Cakap-cakap di luar tenda, warna
di sekelilingnya mulai terang, Hayat membuka mata. Tadi itu apa…
Perjalanan dilanjutkan usai sarapan, usai mentari merangkak ke singgasana, Teman Hayat membasahi handuk Good
Morning dengan air dari botol, lalu memakainya untuk menutupi kepala. Semua
melangkah dengan mata terpicing-picing. Sepatu maupun sandal lapangan menyepak
tanah yang kian atas kian berbulir-bulir. Rumput kian jarang dan kering. Derajat kemiringan medan kian
besar. Yang berada di depan, di atas, menjulurkan potongan kayu pada yang di
belakangnya, di bawah, merambat pelan-pelan. Air mencurah ke kerongkongan,
mengucur pula di sepanjang pelipis.
“Capeeek…”
Langkah Hayat terhenti. Kesempatan untuk istirahat
sejenak, menambah jumlah kesempatan yang telah ia curi sebelumnya di sepanjang
pendakian. Seorang cewek berselonjor memunggungi puncak.
“…kemarin paling depan sendiri…” potongan komentar
seseorang yang
menghampiri cewek itu. Hayat memalingkan wajah ke puncak. Anjing, jauh pisan.
Bibirnya maju tanpa disadari. Hayat bisa merasakan aliran di ceruk dadanya,
tepian lehernya.
“…lemeees…” rajuk cewek itu, sebagaimanapun temannya
membujuk untuk meneruskan
lagi.
“Udah biar sama gue aja,” kata Hayat. Tiga orang
terakhir dalam rombongan itu telah melalui mereka. Teman cewek itu akhirnya
lanjut melangkah juga. Sejurus angin lewat. Hayat pun duduk, membelakangi
cewek itu, yang sempat menoleh-noleh padanya tanpa ia sadari. Mata Hayat terpejam begitu angin
lalu lagi. Enak. Sayang matahari terlalu terik. Kombinasi yang setengah hati.
Kesadaran Hayat sempat lenyap, sekonyong-konyong
dihela cewek itu, suaranya seperti merengek, “…mau pipis.”
Terus
gue mesti cebokin gitu? Kernyitan
Hayat tak sampai pada cewek itu, yang menanggalkan ranselnya, menjauhi Hayat
dengan menenteng benda kuning menyala. Hayat mencolokkan earphone ke
lubang telinga, lalu mencari lagu di ponsel yang kira-kira pas untuk mengiringi bunyi semburan air kencing.
TIARACITRA
Tahu begini aku tidak usah ikut. Panas gila! Aku bisa
merasakan aliran air di punggungku, dari belahan dada turun ke perut. Kulitku
bakal tambah keling. Pandanganku mulai gelap, titik-titik cerah mengerjap-ngerjap. Aku ambruk di dekat ransel. Meraih
botol minum berhiaskan bunga-bunga hijau, meneguk berliter-liter air, uwah,
mendingan. Tahu begini aku minum obat pas
sarapan tadi.
Apa merokok tidak bikin dia makin gerah?
Aku bersandar di ranselku yang besar, sedang dia duduk di batu.
Pandangannya lurus ke depan. Sesekali mulutnya mengepulkan asap. Titik-titik
keringat di pelipisnya yang cerah.
Dia sepertinya bukan cowok yang enak diajak kerja
sama.
Kenapa hidup susah sekali… Aku melipat kaki, lalu bertopang dagu pada tangan, bertopang
tangan pada lutut. Apa aku kerjakan saja TA ini sendiri… Tapi Pak Bambang
ingin aku mengajak yang lain… Masih ada
beberapa anak sejurusan yang belum lulus. Susah deh kalau punya dosen pembimbing TA yang sekaligus dosen pembimbing akademik yang sekaligus
ketua jurusan.
“Yat, lu udah TA belum?” keluar juga pertanyaan itu
dari mulutku. Kutahan-tahan sejak di awal perjalanan. Entah kenapa aku begitu
antusias ketika melihatnya ikut berkumpul di parkiran utara kampus, tapi dia seperti mengeluarkan aura yang
bikin aku segan untuk mendekatinya. Aku sempat ketar-ketir dia tidak bakal
ikut perjalanan ini, soalnya dia cuman bawa ransel kecil. Tapi lalu dia ikut
jalan, naik angkot, naik bis, kyaaa… senang sekali. Aku merasa lebih tenang. Maksudku, aku tidak usah
buru-buru mengatakannya. Aku bisa menunggu saat yang tepat, asalkan masih
selama perjalanan, kalau tidak, wah, tahu deh bagaimana bisa ketemu dia lagi.
Dia kan jarang kelihatan di kampus.
“Udah.”
Hoh.
Baguslah.
“Udah tiga kali
ganti judul gua, hahaha,” lanjutnya, “bangsat.”
“Oh. TA lu emang tentang apa?” Aku taruh perhatian
lagi padanya. Dia sama sekali tidak memandangku. Seolah masih lebih indah
langit yang membentang jauh di sana, padahal kan aku dan langit sama-sama ciptaan Tuhan, hu-uh.
“Entahlah. Taik.” Dia menggerus pasir dengan ujung
puntung.
“TA-ik, huhu…” aku tertawa sendiri.
“Lu mau ikutan proyeknya Pak Bambang enggak? Tinggal
ngambil contoh lempung aja di hutan belakang kampus, terus ke lab, terus…” uh apa saja kata Pak Bambang
kemarin?, aku harus buka notes lagi, ingatan PA-YAH!, “ya pokoknya gitulah.
Katanya sih bisa cepet.”
“Hm.”
“Mau enggak?”
Dia malah menyulut rokok baru, lalu berlagak menatap
cakrawala lagi seolah-olah aku tidak ada di dekatnya.
Aku enggan
menawarkannya lagi. Begitu Pak Bambang menyebut nama Hayat kapan itu, aku
memikirkan kemungkinan berpasangan dengan dia dalam mengerjakan TA ini, lalu
aku merasa tipe cowok sepertinya tidak akan cocok denganku. Lalu kisah kami bakal berakhir seperti di teenlit atau
FTV, dari lawan, jadi kawan, jadi pasangan,
wahahahahaha…..
HAYAT
Dia itu… tipe cewek naif dan polos yang bisa diajak ML
di akhir cerita. Hmhmhm…
Dan setelah itu aku bisa mengakhiri hidup dengan tenang.
TIARACITRA
Kosan Hayat terdiri dari dua tingkat, tiap jendela di
lantai dua dilengkapi balkon
kecil. Seandainya ini kosan cewek, aku ingin jadi salah satu penghuni di
lantai dua. Lalu suatu malam ada cowok membawa rombongan pemusik berdiri di tempat kakiku sekarang
berpijak, membawakan balada yang menyebut-nyebut namaku. Tersipu malu, aku
membuka jendela, membiarkan gorden dikibar-kibarkan angin. Cowok itu
menjulurkan setangkai mawar…
Hampir saja cowok itu menutup pintu. Aku buru-buru menanyakan Hayat. Cowok itu
mengangguk. Bisa kudengar langkah kakinya menaiki tangga, beruntungnya Hayat
yang ternyata menghuni lantai dua. Untung ada cowok itu, kalau tidak, entah
aku harus menunggu berapa kali setengah jam lagi.
Selama itu sudah kukirim sms dan kutelepon Hayat berkali-kali, sampai aku tidak
yakin nomor yang diberikan si ketua angkatan ini benar apa tidak. Orang itu
juga yang memberitahuku alamat ini.
Ya. Kalau dihubungi lewat ponsel tidak bisa, ya aku
datangi saja
langsung. Tinggal sekali naik angkot, terus bayar tiga ribu (BBM naik!)—oh
tentu saja cowok itu tidak akan mau menggantinya. Apa yang kamu harapkan sih,
Tiaracitra?
Terdengar gerendel dibuka. Aku mundur dari naungan
genteng yang menjembatani balkon-balkon di
lantai dua. Seketika matahari menyengat ubun-ubunku. Di jendela nomor tiga
dari sebelah kiriku, gorden tersibak, lalu Hayat melongok. Mukanya kusut
banget, hahaha, rambutnya kecokelatan berdiri, hihihi, lucu, kaosnya putih
kumal. “Apaan?” tanyanya
ketus.
“Mau ngomongin TA.”
Pembicaraan di gunung kemarin tidak berlanjut. Kenapa
sih cowok-cowok itu suka pelit bicara?
Ia masuk lagi. Jendela dan gorden dibiarkan terbuka.
Akupun duduk lagi di kursi yang tersedia.
Total dua kali setengah jam aku menunggu, menurut jam di tabletku.
Setidaknya sinyal wi fi kosan ini tertangkap
tabletku, jadi aku bisa sambil memainkan game
online
Cowok itu sudah tampak lebih segar ketika membuka
pintu depan. Aroma sabun terhirup olehku saat ia duduk di kursi di hadapanku. Ia mengenakan sweter hitam, celana panjangnya putih, atau cokelat, atau
abu-abu, ah tahu deh warna apa itu, pucat begitulah. Rambutnya rada rapi, dan
basah.
Tadinya aku mau mengerjakan TA sendiri. Tapi setelah
kemarin pagi aku menghadap
Pak Bambang, lalu dia menjelaskan lebih lanjut mengenai topik yang bisa
kuambil, metode kerjanya, dan aku bengong saja. Aku tidak mengerti sama sekali
dia ngomong apa. Kepalaku benar-benar kosong. Dia corat-coret, tapi tidak
segaris pun yang bisa aku
cerna. Pakai software
ini, software itu.
Aku coba mengingat-ingat salah satunya, lalu kuutarakan padanya. “Loh, kamu
udah ngambil mata kuliah (bla bla bla) kan?” Heu, Pak, itu kan sudah dua tahun
lalu, tapi aku tidak bilang. Apa yang kupelajari selama semester biasanya segera musnah begitu
semester berikutnya tiba. Aku kira aku mengidap semacam short-term memory atau
apa gitu.
Jadi aku membuka lipatan A4 itu, beberapa lembar A4
maksudku, memperlihatkannya pada Hayat. “Gua enggak ngerti.”
Alisnya tertekuk dan mulutnya terbuka. Aku meringis.
Siapa lagi yang bisa kutanya coba? Adik angkatan? Setahun
belakangan aku memang ikut
kuliah dan mengerjakan tugas kelompok bareng mereka, tapi…
sudah cukup aku menunjukkan kebebalanku pada mereka. Mereka
tidak boleh dibiarkan lebih jemawa. Semua orang yang kukenal di jurusan tampaknya sudah
bekerja dan menerima gaji berjuta-juta, atau sedang
berpesta-pora menikmati masa bahagia sehabis wisuda berbulan-bulan lalu, aku tidak
mau mengusik mereka,
dan aku ragu mereka bakal sudi mengingat-ingat materi. Maksudku, setidaknya
Hayat dalam posisi sama sepertiku, masih berkutat dengan TA, mestinya dia
masih ingat materi kuliah sedikit-sedikitlah. Iya kan, Hayat, iya kan?
Aku tahu Hayat juga mandek dengan TA-nya, makanya ia frustasi dan jarang kelihatan
di kampus, hahaha, yah kupikir sih begitu.
“Lo emang enggak pingin lulus, Yat?”
Kutembak saja deh langsung.
Dia mengangkat coret-coretan itu, meninjaunya dari
jarak yang lebih dekat.
“Lo bisa pilih mau ngitung tegangan susutnya atau
pergeserannya, mana aja deh yang… yang… gue yang gampang aja, gue enggak
ngerti, heu,” ucapku putus asa. “Atau seenggaknya ada software yang
elo ngerti, elo ajarin gua…”
Dengan lemparan pelan Hayat meletakkan lagi kertas-kertas itu di meja yang memisahkan
kami. Sebelah lengannya merangkul sandaran kursi. Ia diam agak lama. Aku
menanti bantuannya. Akhirnya ia bicara, “Asal lo dari mana sih?”
“Mm… somewhere in Java?”
gumamku pelan.
“Central Java atau East Java?”
“Jadi lo mau TA lagi apa ENGGAK?” sergahku lebih
seperti merengek. “Serius, Yat, dosen lu tuh nyariin lu terus, katanya tiap
ngehubungin elo enggak pernah diangkat, sampai nanya-nanya ke dosen gue…”
Bibirnya tersungging miring. Serius deh, dari awal aku tahu aku tidak akan bisa
sama cowok ini, terlalu sengak, peduli amat.
“Medhok lu
tuh masih kedengeran, hahaha…” gelaknya seakan ada yang sangat-sangat-sangat
kocak pada diriku.
Aku diam saja sambil menunduk. Biar ia salah tingkah.
“Males ah,
Cit,” suaranya lagi. Aku mendongak, uh, kenapa aku mendongak? Terjadi begitu
saja! “Eh bener kan nama lu… Citra?”
“Tiaracitra.”
Dia bahkan tidak ingat persis namaku. Sedih. Teman
sejurusan macam apa dia.
Kami memang tidak pernah saling bicara sebelumnya—yang di gunung itu
tidak terhitung.
Aku
pulang dengan lesu. Sepertinya aku gagal membujuk Hayat.
“Eh, si Neng udah pulang? Cemberut aja sih?”
Suara medhok itu
lagi! Hih! Aku sudah berkali-kali mengingatkan diri untuk tidak melewati rental komputer itu, yang
searah dengan rumah nenekku, walau akibatnya aku harus ambil jalan yang
memutar. Tapi sering kali pula aku pikir, ah, paling dia lagi enggak ada, dan
tertipu. Aku semakin merundukkan kepala, mempercepat langkah. Jangan sampai sosoknya tertangkap ekor mataku
walau cuman setitik!
HAYAT
Dulu, bertahun-tahun lalu, aku bukan perokok. Malam ini aku merokok tidak
henti-henti. Malam ini dimulai lebih awal. Biasanya aku baru memantik lighter di
atas
jam dua belas. Hanya cahaya dari luar jendela yang menyorot. Tapi kali ini
kamarku masih benderang. Aku tidur sehabis salat magrib, berharap tidak bangun
lagi sampai subuh. Aku tidak tahu kenapa aku begitu gugup. Kupikir-pikir,
mimpi kapan itu, aku mengalaminya tidak hanya sekali. Aku tidur sehingga
bermimpi, dan di dalam mimpi itu aku merasa sangat mengantuk sampai tertidur.
Seperti di film Inception,
kan? Tapi aku tidak punya misi apapun. Entah aku memiliki kekacauan pikiran
atau apa… Selama ini aku menganggap mimpi sebagai pertunjukan pikiran-pikiran
terpendam. Dengan mimpi mengantuk seperti itu seolah ada yang menekan
pikiran-pikiran itu supaya tidak bangkit. Hei, dia benar-benar lelah. Biarkan dia beristirahat.
Biarkan dia hanyut dalam kantuk yang
dalam…
Mengepul tidak habis-habis. Napasku sesekali tidak
teratur, seiring dengan jakunku naik-turun bak menimba air sumur, air di dasar
tenggorokanku, aku mendeguk berkali-kali. Aku coba membaca. Aku coba menulis.
Aku coba menangkap suara-suara di luar kamar. Aku coba menghayati liukan asap yang
membumbung tinggi-tinggi, lenyap sebelum mencapai langit-langit.
Aku tidak sendiri. Aku bersama dingin. Tiba-tiba
napasku berat. Aku taruh puntung di asbak. Aku benahi kain sarung yang
menyelubungi tubuhku,
seperti kain oranye para biksu. Kota ini dingin belakangan ini, hingga
ujung-ujung jemari kaki. Kulipat kaki di atas kursi.
Apa? Apa? Apa?
Sebab kenapa apabila digunakan di tangan disebut sarung tangan, bukan kaos
tangan, apabila digunakan di kaki disebut kaos kaki, bukan sarung kaki, padahal
sama-sama berfungsi sebagai pembungkus.
Maliq and D’Essentials – “Mata, Hati, Telinga”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar