Aku punya setumpuk bacaan untuk mengiringi CampNaNoWriMo-Juli-2013-ku. Tapi menempelkan tulisan mengenai
proses kreatif Haruki Murakami di dinding-atas mejaku (melalui suatu proses
yang diakibatkan loncatan-loncatan pikiran) mendorongku untuk membuka novel On a Journey[1].
Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang patah hati lalu melakukan
perjalanan dengan mengendarai sepeda. Di perjalanan dia bertemu dengan seorang
pemuda yang seperti Che Guavara masa kini, sekelompok lansia di warung makan,
seorang perempuan yang hamil di luar nikah lalu meninggalkan orangtuanya untuk
hidup bersama pacarnya, (lalu ia bertemu dengan pacar dan orangtua perempuan
itu juga), seorang perempuan yang suka mengumpulkan tiket perjalanan, sampai
seorang pemuda yang sama-sama melancong seperti dirinya. Ini novel yang mudah
dibaca. Aku menikmatinya di sela-sela menulis ocehanku sendiri, sembari
berselonjor di kasur diterangi matahari sore yang akhir-akhir ini cerah
(#apasih). (Membaca novel saat mandek menulis ternyata cukup berkhasiat.) Alurnya
lurus, sehingga tentunya mudah juga untuk menceritakannya lagi. Bagaimanapun aku senang
karena novel ini menceritakan tentang penulis. Aku selalu senang cerita tentang
penulis, aku mengumpulkan novel-novel tentang itu sejak The Novelist, The Other Side
of Story, The Novel, dan kini On a Journey menambah koleksiku. Dan ada
Chuck Palahniuk dan Anais Nïn di sini, wow. Aku belum menelusuri tentang
Diavabre maupun Richanara, tempat-tempat bernama semacam itu yang menjadi latar
cerita ini. Aku merasa rancu. Aku merasa ini seperti Amerika, tapi kadang yang
terbayang olehku adalah jalur mobil yang kulalui kalau menuju Jogja dari
Bandung atau sebaliknya (terutama di daerah berbahasa Jawa). Tapi toh William
Faulkner pun mengarang daerah bernama Yoknapatawpha di Satoris (1929) (jangan tanya tentang apa soalnya ini hanya
informasi yang kudapat sekilas dari suatu buku). Juga ingat Budi Darma dalam Olenka, di mana tokoh-tokohnya berdialek
jawatimuran padahal latarnya di Bloomington. Mengingat pembacaan yang baik
mestilah personal (ya... teoriku saja sih), aku tidak terbayang bisa berada
dalam posisi seperti Rubi Tuesday (nama protagonis dalam cerita ini). Dalam
beberapa hal aku merasa ada kesamaan. Menurutku kadang dia bukan pemerhati yang
baik, walaupun dia penulis. Maksudku, kadang dia tidak begitu peduli dengan
nama-nama (dia tidak mengingat nama motel di mana ia menginap sehingga keruan
dia tersesat), dan hal lainnya. Kata siapa penulis mesti detail terhadap segala
sesuatu. Aku bisa mengerti, dia mungkin terlalu lelah untuk itu. Dia bahkan
tidak peduli dengan orang lain. Dia tidak betah bermalam di rumah seorang wanita tua yang menurutnya cerewet. (Sama, aku juga pernah begitu haha). Aku sempat sebal dengan perlakuannya terhadap
si perempuan hamil, Sofi. Walau dari bagaimana sikap Sofi, aku bisa paham juga
kenapa Rubi senewen. Hanya buatku pribadi “bukan urusanku” (yang cukup sering
dilontarkan Rubi dalam narasinya) bukanlah frasa yang enak untuk didengar. (Ini
membuatku berpikir apakah aku sendiri suka berpikir seperti itu ketika teringat
atau dihadapkan pada urusan orang lain). Bagaimanapun, bagian yang paling aku suka dari novel ini justru ada di interaksi Rubi-Sofi. Bagaimana Rubi menganalogikan Sofi yang berlagak baik-baik saja saat keadaannya mengkhawatirkan dengan kisah tentang dokter dan wartawan. "Pendarahan itu bukan sesuatu yang serius," kata dokter di halaman 144 yang kemudian mati ditikam orang tak dikenal. Peristiwa dokter yang mati dibunuh orang tidak dikenal itu juga bukan hal yang serius, kata wartawan di halaman 151 yang kemudian dipindah ke bagian gosip selebritis... Kocak sih menurutku. Hei Rubi, kamu tidak seburuk itu dalam membuat analogi. Kalau berada dalam
posisi Rubi, dalam artian semisal aku-penulis-dan-aku-patah-hati, aku mungkin
tidak akan cukup bernyali untuk melancong dengan sepeda seperti itu (bahkan
mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan cowok seperti Stine sehingga aku
tidak akan pernah berada dalam posisi tersebut, romance bukan duniaku). Aku akan menghampiri epifaniku
di kamar saja. Salut buat Rubi. Aku cukup tersentuh dengan “orasi” Bili yang
seakan mengejek Rubi, soal betapa manjanya ia karena melarikan dari dari
masalah atau semacam itu. Betapa ia beruntung karena punya kesempatan untuk
membuang-buang waktu, sementara Bili punya tanggungan. Seolah secara tidak
langsung mendukung pandanganku kalau penulis adalah profesi yang “mewah”. Eh mungkin pikiranku melompat terlalu jauh. Aku agak tidak menyangka kalau
beberapa hal dalam novel ini bersinggungan dengan apa yang lagi aku tulis.
Tidak persis sih. Hanya di bagian patah hati lalu jalan-jalan (dan pelajaran
yang ditemukan tokohku hanya nihilisme) dan bukan itu juga pokok bahasanku, dan
betapa manjanya ia (si-anak-kota-besar-dari-kalangan-menengah, tokohku, maksudku). Hal-hal yang tampaknya memang "sangat anak muda sekali", ya enggak sih? Menurutku ini
adalah novel yang “positif”, dalam artian, di awal protagonis mengalami hal
yang buruk lalu peristiwa demi peristiwa yang menuju ketegangan terjadi padanya
hingga di akhir ia memiliki semacam ketabahan, kalau bukan perubahan nasib yang
drastis. Pada akhirnya Rubi dapat mengatasi perasaannya pada cowok yang ia
pernah suka. Pokoknya ada perkembangan karakter semacam itu. Seolah ada
konvensi bahwa setiap penulis berkewajiban untuk menggiring pembaca ke arah
positif (memang harus apa lagi?). Sedang pada apa yang aku tulis, seperti kata Haruki
Murakami, “…saya mendapat beberapa bayangan, lantas saya menggabungkan bayangan
itu menjadi garis cerita,” namun sayangnya sering kali aku tidak punya bayangan
untuk mengisi ceruk lebar di antara bayangan-bayangan yang sudah ada, aku juga tidak
punya cukup kesabaran untuk menulis narasi yang jelas dan tenang sebagaimana yang
aku rasakan di novelnya, Norwegian Wood, selain itu, “…saya tidak tahu bagaimana cerita
itu akan berakhir atau apa yang akan terjadi di halaman-halaman berikutnya. …
Saya justru menuliskan cerita tersebut untuk mengetahui siapa pembunuhnya.”
Yang aku tulis bukan bunuh-bunuhan sih, hanya jiwa yang mati. Oh tentu saja aku
tahu bagaimana cerita ini akan diakhiri, yaitu begitu aku melampaui target
50,000 kata, atau karena sudah tanggal 31. Entah di kata ke-50.000 atau pada tanggal 31 itu tokohku
akan mencapai apa. Seperti Rubi, aku merasa lagi on a journey juga. Melancong ke rimba-pikiran. Tidak bisa
memastikan apa yang bakal ditemui.
[1] Karya Desi Puspitasari,
Cet. Pertama, Januari 2013, diterbitkan oleh Penerbit Bentang, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar