TIARACITRA
Sekarang
aku sudah menemukan tempat baru di perpustakaan. Mulanya untuk menghindari
Hayat. Tempat yang sekarang lebih enak. Dulu kami di tepi dinding kaca. Melalui
dinding kaca itu kami bisa melihat orang lalu-lalang menaiki atau menuruni
tangga. Di sisi lain rak buku berderet-deret, dan orang lalu-lalang mencari
buku-buku yang mereka perlukan. Sekarang aku juga memilih tempat di tepi
dinding kaca, di mana melaluinya aku bisa melihat orang lalu-lalang… oke, aku
hanya pindah lantai. Beberapa hari di sini ternyata tidak membangun suasana
baru. Gobloknya aku. Aku terpikir untuk pindah ke tempat lain lagi. Di sisi
lain lantai ini terdapat deretan bangku lagi, yang bersebelahan dengan jendela.
Dari jendela itu kita bisa melihat langit, bukan tangga dengan orang
lalu-lalang. Aku pun memindahkan barang-barangku ke sana. Benar juga. Di sini
aku merasa agak lega. Aku lanjutkan meronce. Beberapa hari lalu aku sempat
“tamasya” (habis aku bosan ke kampus terus) ke pasar di pusat-kota, lalu
memborong manik-manik. Aku mau merangkai kalung yang sesuai dengan salah satu
bajuku. Kenapa aku tidak mengerjakan TA, ayolah, sesekali kan aku butuh refreshing.
Atau pekerjaan utamamu adalah refreshing, lalu sesekali mengerjakan TA. Oh diamlah.
Tidak kusangka
orang yang barusan melewatiku adalah Hayat. Kini ia mengambil bangkuku sambil
melambaikan sebelah tangannya. Bibirnya membentuk garis yang menyerupai…
senyum? Jaga omonganmu, hei, Pemuda, kalau kamu mau duduk di depanku, aku
berkata begitu tapi di dalam hati saja. Memangnya cuman dia yang bisa pelit
bicara.
Dia membuka
laptop. Setelah menunggu beberapa lama, dia mengetik. Hei, dia mengetik apa.
Apa dia mengerjakan TA? Kenapa aku juga tidak membuka laptopku, dan mengerjakan
TA? Kenapa aku malah meronce? Aku memperbaiki posisi dudukku. Pertama-tama aku
ingin memastikan. “Udah sampai mana?”
“Apanya
yang sampai mana?”
Kenapa
matanya bisa tampak secemerlang itu? Ini pasti karena efek duduk di pinggir
jendela. Tempat ini cukup disinari matahari. Bahkan tanpa lampu pun aku yakin
tempat ini sudah terang sekali. Sementara di tempat kami yang dulu, tanpa
penerangan dari lampu sepertinya akan suram sekali.
“TA,”
jawabku.
“Oh.
Enggaklah,” ucapnya seolah itu hal terakhir yang ingin ia lakukan.
“Terus elo ngetik
apaan? Subtitle lagi?”
“Enggak.
Gue nulis cerita.” Matanya sudah terpaku lagi pada layar.
“Cerita
tentang TA…”
Yang bener aja, ekspresinya mengatakan itu.
“Cerita
tentang perempuan.”
“Kayak lo
ngerti perempuan aja.”
“Tentu aja
perempuan dari sudut pandang gue,” dia terus mengetik seperti tidak terganggu
sama sekali dengan interupsiku.
“Pasti
ceritanya jorok.”
“Apa
definisi lo tentang jorok?” Ia berhenti mengetik sejenak, tapi hanya untuk
mengambili camilan yang ia sembunyikan di saku hemnya.
“Erotis.”
“Bener.”
“Apa lo
enggak punya pikiran lain?”
Ia tidak
menjawab. Aku kembali memilah manik-manik yang akan kumasukkan selanjutnya.
“Sebenernya
apa cita-cita lo, Cit?”
Aku hanya
bergumam, seakan tidak yakin dengan yang ia tanyakan.
“Kenapa lo
enggak masuk… Kebidanan, misalnya, Tata Boga, apa deh, yang elo suka.”
“Papa aku
pinginnya di sini.”
“Kenapa
enggak papa lo aja yang kuliah?”
“Maksudnya
papa gue pinginnya gue kuliah di sini.”
Jeda
sebentar. Aku kira ia tidak akan melanjutkan percakapan. Tapi ternyata, “…atau
TL, Planologi, jurusan-jurusan yang lebih… gitulah.”
“Lebih
gitulah gimana?”
“Elo sama
sekali enggak ngerti materi TA lo.”
Mulanya aku
ragu, tapi kemudian aku mengiyakan dengan nada yang mempertegas pernyataannya.
“Jurusan
sini bukan minat lo, Cit,” ia terus saja mengoceh. “Lo sebenernya pingin jadi
apa?”
“Gue tokoh
dalam cerita lo bukan?” Aku tahu pertanyaan ini mungkin bakal mengesankan aku
sebagai orang yang ke-GR-an atau apa, tapi tidak dapat aku tahan, aku ingin tahu
saja. Ia pun tidak langsung menjawab. Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang
kebohongan apa yang bakal ia utarakan.
“Entahlah.
Lo pikir diri lo cukup menarik sebagai tokoh dalam cerita?”
Argh.
Harusnya aku tahu akan begini jadinya kalau bercakap-cakap sama dia. Lidahnya
itu benar-benar pisau. Pisau berlapis daging dengan kutil-kutil merah kecil!
“No offense, Cit. Ini mengenai persepsi
lo tentang diri lo…”
“Aku enggak
mau jadi tokoh dalam cerita kamu.”
“Oke. Kalau
gitu, bukan.”
Kenapa
bukan?! Jadi siapa?! Siapa cewek yang lebih menarik buat dia?!
Oh. Tentu
saja. Ayudh. Apa memang cowok suka mengkhayalkan jorok tentang ceweknya, eh,
bahkan ketika ceweknya itu sudah jadi mantan? Ih.
“Terus
kenapa lo pilih jurusan ini?” masih saja bersambung.
“Enggak
tahu. Gue ngasal aja.” Dan karena asal, maka aku ingin jurusan yang banyak
jalan-jalan dan banyak cowoknya sekalian. Tapi tentu saja aku tidak usah
mengungkapkannya sama Hayat kan. “Elo sendiri kenapa, pilih jurusan ini?”
sebelum ia makin mengorek tentang aku. Aku masih curiga. Ia bikin cerita. Terus
ia tanya-tanya tentang aku. Mestinya ada hubungannya kan.
“Karena
Ayudh.” Ia memandangku dengan agak menunduk.
“Tapi kan
Ayudh di jurusan lain?”
“Iya gue
juga pilih jurusannya Ayudh, tapi masuknya malah ke jurusan ini.”
“Ayolah, lo
pilih dua jurusan yang passing grade-nya
beda tipis?”
“Yang
penting satu fakultas.”
Entah
kenapa aku merasa ngeri sama cowok yang sebegitunya ngebet sama cewek. Lalu aku
teringat si mas-mas alay. Hih. Orang itu cuman main-main kan, tidak serius.
Argh. Kenapa dunia ini berisi orang-orang mengiyuhkan.
Perhatiannya
sudah kembali ke laptop, tapi, “Jadi benernya lo pingin jadi apa?”
“Bener kan,
tokoh di dalam cerita gue bukan lo?”
“Ya ampun.
Bukan.”
“Entah gue
boleh baca?”
“Enggak
boleh.”
“Tuh kan.”
“Entar lo horny.”
HA!
Tatapannya
bergulir dari layar ke arahku. Sesaat aku merasa seram. Apalagi tiba-tiba ia
menjulurkan tangannya. “Kenalin, gue Rahayy Shamash.” Aku ragu menyambutnya.
“Kita belum pernah bener-bener kenalan kan?”
Memang.
Sejak pertama kali bertemu di kampus ini, di jurusan, yang aku tidak ingat
kapan dan seperti apa, aku tahu namanya dari orang lain, dan mungkin dia juga
tahu namaku dari orang lain. Aku selalu menganggapnya cowok yang tidak
tersentuh. Sekarang telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya.
“Tiaracitra… Widyatami Suryotomo.”
“Jadi
Tiaracitra Widyatami Suryotomo, lu pingin jadi apa?”
Aku agak
tersentak ketika ia menarik tangannya lagi.
“Mm…”
Keningku berkerut. Bibirku maju. Serius sekali pertanyaannya. “Aku ingin jadi…”
Aku tidak tahu ingin jadi apa. Hah. Tapi sepertinya enak sekali jika bisa
melampiaskan segala sesuatunya, tidak menahan-nahan diri, juga tidak ada
halangan dari luar. Bertingkah sesuka hati, seperti, “…seniman?”
Cowok itu
seperti yang menahan ketawa. Ah. Aku tahu ingin apa. Aku ingin bisa kebal kalau
berhadapan dengan cowok seperti dia.
“Kenapa lo
enggak masuk jurusan Seni Rupa? Seni Murni? Atau apaan kek yang ada di fakultas
lain itu?”
“Aku
independen,” jawabku dengan sok meyakinkan, sekaligus kupikir sepertinya dia
tahu kalau aku cuman sok iyeh, asal.
“Lo udah
pernah bikin karya seni apaan?”
Kali ini
aku tidak ragu nadanya betulan ofensif. Segala rongsokan di kamarku, itulah
karya seniku. Makanya aku tidak pernah membiarkan Nenek memasuki kamarku.
Betulan. Entah kenapa aku punya kecenderungan untuk mengumpulkan barang-barang
yang dianggap ‘sampah’. Segala perabotan bekas pakai seperti botol plastik,
botol losion, wadah bedak, juga potongan gambar dari koran, sedotan, kertas
bekas corat-coret, dan sebagainya, aku atur letaknya masing-masing di kamar.
Aku pikir suatu saat itu akan ada gunanya. Aku suka melihat-lihat buku tentang crafting kalau ke toko buku, kadang
membeli kalau isinya benar-benar menarik. Sesekali aku berusaha
memraktikkannya. Tidak persis seperti di buku, lagipula aku senang
berimprovisasi. Bukankah itu yang namanya kreatif? Ya, aku ingin jadi seniman.
“Kalau lo
emangnya pingin jadi apa?” segera kutangkis ia dengan pertanyaan lagi.
Sempat kukira
ia bakal menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya dulu. Tapi tidak. Ia malah
bilang, “Kalau gue, gue pingin jadi mayat.”
Oh. Tidak
salah menjulukinya “Pangeran Kegelapan”.
“Suram amat
sih.”
Ia
terkekeh. Tapi entah kenapa kata-kata yang menjurus pada kesuraman ini malah
membuatnya terlihat agak… bagaimana ya… cerah?, ceria?
“Tapi gue
bener kan? Kita semua bakal jadi mayat.”
Aku tidak
tahu harus berkata apa, aku bahkan tidak ada minat untuk menimpali
kata-katanya. Terserah deh dia mau omong apa lagi. Asalkan, “bener lo enggak
nulis tentang gue kan?” Tapi ketika aku baru saja hendak mengatakan itu,
sepasang tangan tiba-tiba menjejak permukaan meja kami. Jantungku seperti yang
berhenti berdetak. Mulut Hayat bahkan sedikit terbuka, alisnya menekuk. Cewek
bermata sipit itu. Ia mengenakan sweter kelabu tebal. Bagian atas rambutnya
dijepit. Ia lalu meninggalkan kami, duduk di bangku yang berjarak beberapa meja
dari meja kami, membelakangi kami. Bawahannya berupa rok rempel selutut merah
hati. Posisiku membuatku bisa melihatnya, sementara posisi Hayat
memunggunginya. Hayat menoleh sama sekali ke belakang, seolah cewek itu tidak
menarik hatinya.
“Dia kuliah
di sini juga,” barangkali aku bisa memancing minatnya. Hayat menjawab dengan
gumaman. Perhatiannya sudah tertuju lagi pada kibor. Cowok ini suka yang
suram-suram tapi tidak tertarik kalau orang lain yang suram. Dari kapan bicara
tentang mati-mati, tapi tidak peduli ketika ada orang lain yang juga mau mati.
Hih!
HAYAT
Ceritaku
mandek. Tokohku terlalu malas untuk melanjutkan hidup. Seharian ia tidur saja
di kamar. Bisa saja aku menceritakan mimpi-mimpinya. Tapi aku sudah terlanjur
bilang pada Tiaracitra ini akan menjadi cerita erotis. Aku tidak tahu cewek
bermimpi basah atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apakah ia suka bermasturbasi.
Tiaracitra tidak menjawab pertanyaanku kapan itu.
Aku
berputar. Barangkali Tiaracitra bisa memberikan inspirasi. Ia sedang mandi,
sedari tadi mandi. Memamerkan tubuhnya yang gelap, penuh bulu, dan tak berbaju
padaku. Kalau kucing menjilati tubuhnya, itu sama dengan mandi kan? Angin
mengibarkan gorden jendela kamarku yang terbuka. Apa ia tidak takut masuk
angin?
Aku tidak
bisa begitu saja menyuruh tokohku untuk berbuat apa yang aku mau. Maksudku,
bukan begitu cara kerja Tuhan kan?
Tunggu. Aku
melihatnya bergerak, tangannya bergerak. Ia meraih ponsel. Apakah ia akan
menghubungi seseorang, yang selanjutnya akan mengubah hidupnya?
Ia hanya
mengecek jam. Lalu kepalanya terempas lagi ke bantal.
Aku bahkan
tidak tahu kenapa ia begitu pemalas. Jika ia malas karena sebetulnya ia
depresi, apa yang membuatnya depresi? Apakah ia pernah diperkosa, lalu trauma?
Tapi jadinya itu bakal terlalu seperti… “kisah sejati”, “o mama o papa”,
sinetron, Hidayah, dan semacamnya.
Basi. Kenapa harus begitu dramatis.
Kuangkat
Tiaracitra, biar ia lanjutkan mandinya di balkon. Kututup jendela. Kuseret
gorden. Kumatikan lampu. Hanya layar laptopku (dan sedikit sinar dari bulan
melalui celah gorden dan ventilasi) yang menyorotkan cahaya, dan Aoi Sora.
Sejam saja
sudah cukup untuk mengantarku ke kasur, tapi aku malah tertidur.
Tiaracitra
di bawahku. Ia menurunkan celanaku. Mulutnya meraup ituku. Aku langsung
kejang-kejang. Aku masih kejang-kejang saat terbangun. Dalam kegelapan aku
mondar-mandir sambil teriak-teriak. Bukan serapah. Hanya teriak seperti argh,
argh, dan AAARGH. Aku ingin melepaskan ini, tapi bukan dengan cara yang biasa.
Aku bosan. Aku lelah. Aku muak.
HAYAT
Begini,
Tiaracitra. Ada beberapa hal yang tidak memungkinkan kita untuk bersama.
Pertama, jika kita bersama, maka kamu harus sering melayaniku. Kalau tidak, aku
bisa kena kanker prostat. Kedua, aku suka warna kulitmu. Dalam kegelapan, aku
tidak akan bisa melihat wajahmu. Bukan karena wajahmu jelek, bukan, aku lebih
suka mengatakan wajahmu bukan tipeku. Justru karena wajahmu tidak kelihatan,
aku bisa konsentrasi. Ketiga, perasaan ingin dekat denganmu ini bukan dari
hati, tapi dari kontol.
It’s just getting you to think of dirty things.// I can’t
let this out here, nor anywhere.// It’s not good, but it’s true.//
Sepertinya
lumayan juga untuk jadi lirik lagu. Mungkin ketimbang menulis aku lebih mending
jadi pemusik.
Cericit
burung memalingkan kepalaku ke jendela. Hm. Sepertinya sudah pagi. Tidak
terasa.
HAYAT
Akhir
minggu Kakak mengajakku menginap di apartemennya. Saat SMA sampai awal kuliah
aku juga tinggal di situ, lalu ia menikah. Seperti dua kucing jantan yang tidak
mungkin tinggal di area yang sama, maka aku mulai kos. Bukannya aku dengan
suaminya itu doyan berseteru. Kami akur-akur saja, dari sejak sebelum mereka
menikah. Hanya saja… Lagipula saat itu aku sama Ayudh, jadi begitulah. Kami
saling menegur saat aku ke apartemen kami,
eh, sekarang sudah menjadi apartemennya dan kakak sehingga lebih tepat kalau
dikatakan sebagai apartemen mereka.
Tapi aku tidak bicara dengan dia sebanyak aku bicara dengan kakakku. Lagipula
akhir minggu ini Kakak yang ada urusan denganku, urusan Mama denganku.
Aku ke sana
sekitar Sabtu sore. Lalu mereka pergi entah ke mana sehingga aku menghabiskan waktu
sendirian sambil menonton maraton serial AS di TV kabel. Aku sudah tidak di
depan TV saat mereka pulang. Hanya duduk-duduk di pinggir jendela sambil makan
kacang, sesekali larut dalam titik-titik cahaya yang menyemut di bawah. Lalu
Kakak duduk di hadapanku dan mulai menjalankan amanatnya. Tapi obrolan kami
kemudian lebih dari sekadar itu. Pikiranku banyak sekali malam itu, tentang
birahi, tentang tipisnya harapan sastra Indonesia untuk dikenal dunia, tentang
orang-orang dangkal yang tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dengan
hidup mereka. Kebo. Hidup seharusnya begini, dan seharusnya begitu. Idealisme
omong-kosong semacam itulah. Aku utarakan panjang-lebar padanya, sementara ia
diam mendengarkan. Entahlah. Aku kira ia bisa memahamiku. Aku tidak tahu harus
melantur sama siapa lagi.
“Pemikiran
kamu bisa dimengerti, Hayy,” akhirnya ia mendapat kesempatan untuk menanggapi.
“Tapi itu karena kamu masih berada di tahap ini. Kalau aku lihat kenyataannya…“
Bla bla bla. Aku hanya menatapnya dengan kosong. Kenapa ia bisa begitu dewasa.
Kadang aku tidak begitu yakin usianya berapa. Kenapa ia selalu bisa membalasku
dengan perspektif lain. Entah sudah berapa kali ia bilang suatu saat aku akan
bosan dengan keadaanku yang sekarang. Apakah pemikiranku tidak berarti?, tidak
berharga? “…mungkin mereka cuman belum mendapat pencapaian, jadinya mengalami
kegalauan dan kepesimisan seperti yang kamu rasain…” Mataku terus menancap
padanya, berganti-ganti antara matanya yang besar dan bibirnya yang
merah-penuh. Tapi pikiranku berdesing-desing. Di dalamku hanya gemuruh.
“Kenyataan enggak selalu berdampak pesimis. Memang tahap itu ada, cuman output-nya…”
“Enggak. Lo
enggak ngerti gue.”
Punggungnya
rebah ke sandaran kursi. Dagunya seakan tertarik ke leher.
“Gue enggak
suka berada di tahap ini, selamanya gue bakal berada di tahap ini, lo pikir gue
bisa ngehindarin ini?! Gue enggak pernah bisa tahu yang gue lakuin bener apa
salah, bahkan mikirinnya aja gue ragu!”
Sikutku
meluncur di meja, menopang pipiku yang tidak keruan bentuknya. Ia masih menanti
reaksiku. Tatapannya bertanya, Jadi?
Mungkin aku
akan menelepon Peter Pan, dan meminta untuk ikut tinggal di Neverland.
“Seenggaknya
kamu hubungin Mama, Rahayy.”
Ck.
Nantilah. Aku masih punya duit.
Pembicaraan
yang tidak memuaskan ini cuman bikin aku ingin mengasap lagi. Sering kali aku
pikir dia orang yang pragmatis. Hanya memikirkan hal-hal yang teknis. Bekerja
hanya untuk uang. Tidak mengerti pemikiran-pemikiran, apalagi berusaha untuk
memahaminya. Apa dia tidak pernah mengalami masa itu, tahap itu? Aku tidak ingat. Baru belakangan ini kami bertukar
pendapat cukup sering. Sebelumnya kami berkutat saja di dunia masing-masing,
jarang bertemu, dan kalaupun bertemu tidak banyak yang kami bagi. Selagi aku di
sekolah kemudian melanjutkan dengan aktivitas-aktivitas ekstra, ia kuliah
sambil kerja—atau kerja sambil kuliah. Jamnya tidak menentu. Baru tahun-tahun
ini aku juga mengalami yang seperti itu. Dulu hidupku teratur sekali, dan
mengira selamanya akan begitu. Dunia penuh orang-orang praktis seperti kakakku.
Ia tidak akan pernah menghasilkan apa-apa selain untuk dirinya saja, dan
perusahaan, dan suaminya, dan anaknya, dan siapa lagi entah.
Tapi
kuingat-ingat lagi, kadang ia cukup perhatian padaku. Hubungan kami tidak
pernah benar-benar putus. Tapi itu tidak berarti pembicaraan kami sering
nyambung.
Baru saja
menyulut rokok, suara benda keras beradu dengan meja. Memalingkan perhatianku.
Asbak. “Matiin rokoknya,” tukas kakakku yang entah sudah berdiri dari kapan.
“Lu juga ngerokok,”
sergahku. Baru juga sekepul-dua kepul.
“Kamu
enggak liat aku lagi hamil?” nada suaranya sudah seperti Mama.
Ya. Aku
lihat dengan amat jelas sekali perutnya yang melendung seperti diisi helm
batok. Dan ironisnya, saat SMA aku pernah menjadi ketua acara kampanye anti
rokok di sekolah. Poster-poster untuk dipajang saat acara sempat ditaruh di
apartemen ini, dan kakakku mondar-mondar di depannya sambil mengepul tak
henti-henti.
“Arlan juga
udah enggak ngerokok,” tangannya melayang ke arah suaminya yang sedang tiduran
di sofa. TV menyala. Entah ia masih menonton TV atau TV yang menontonnya.
“Lo tuh
kebanyakan mikir, Rahayy.” Kakakku menjauh ke arah pantri.
“Ya itu kan
gunanya gue dikasih akal. Gue cuman ngelaksanain perintah Tuhan yang sering
diulang-ulang! Dan Tuhan enggak bakal ngasih gue pahala lebih buat ini.
Orang-orang saleh ngasih gue petuah, ‘Segala sesuatu yang berlebihan itu enggak
baik’! Apa gunanya gue mikir, Kak?!” Tanganku bergerak-gerak sementara meracau,
menguar asap ke mana-mana.
Ia
mondar-mandir di balik pantri. Mengangkat ini, meletakkan itu. Menyembur itu,
mengelap ini. Jangan sangka ia bisa sembunyi. Aku bisa lihat dengan yakin ia
memutar bola mata, mendengar dengan jelas ia mendesah.
“Kenapa
hidup harus begitu serius kalau katanya senda gurau belaka, tapi siapa juga
yang bilang kalau amal kita dihitung sekecil apapun. Lo kira amalan lo yang
cuman ‘senda gurau’ itu bisa diterima? Lo ngerti enggak kontradiksi ini, Kak?!
Lo mikir pake akal! Terus hilang akal lo gara-gara mikir sampai ruwet! Nihil!
Semua nihil!”
Sejenak
hanya TV yang bersuara, seperti yang takut-takut.
“Matiin
rokoknya, Rahayy,” kata kakakku lagi. Tidak terlihat. Mungkin lagi jongkok di
balik pantri.
“Ya ya ya!”
seruku seraya menjejalkan ujung puntung ke dasar asbak yang menghitam.
Lalu
kugantung dagu di permukaan meja. Ocehku lagi, “Kak, orang yang lugu dan naif
dan bodoh itu pantes hidup enggak sih, Kak?”
“Hah?
Ngomong apa lu, Hayy?”
Tang. Tong.
Tang. Brusssss…
Tidak bisa
diharapkan.
“Kalau yang
lu maksud nama band, yang doyan
banyak, Hayy.” Sejak kapan Arlan berdiri. Matanya setengah terkatup. Langkahnya
terseret-seret menuju kamar.
“Kalau gue
Hitler, gua akan lenyapkan semua orang lugu, naif, dan bodoh… dan malas… dari
muka bumi,” kataku.
Udah berapa lama lo enggak tidur, Dek? kakakku
bertanya dengan ekspresinya. Tangannya mengelus-elus lap yang tersampir di tepi
pantri.
Pada sisa
malam aku hanya memandang jendela, sampai warna langit berubah. Sama sekali
tidak merasakan kantuk. Sempat teringat Ayudh. Sempat teringat orang-orang yang
berkata padaku, “Move ooon…! Masak lo
mau terus patah hati sampai berlarut-larut gitu?” Bahkan sampai sekarang pun
masih ada yang bilang begitu padaku. Mereka menyuruhku untuk bangkit, dan mulai
melakukan sesuatu.
Lalu aku
bilang kalau aku sudah melakukan sesuatu, yang diharap-harap setiap orang akan
dapat memberikan pencerahan. “Duduk di pantai dan merenungi penciptaan, udah.
Sampai gue ngerasa diri gue begitu kecil enggak berarti.” Jadi itu yang aku
dapatkan dari perjalanan: nihilisme.
Aku tidak
mengerti kenapa mereka sedangkal itu. Orang-orang sering kali hanya tertarik
pada apa yang terjadi, tanpa sudi berpusing menelisik lapisan di bawahnya.
Tentu saja problemnya lebih dari sekadar patah hati. Patah hati hanya puncak gunung
es. Titik kulminasi. Trigger. Klik.
Jderr. Bum. Hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar