Jumat, 26 Juli 2013

(7)

TIARACITRA

Sekarang aku sudah menemukan tempat baru di perpustakaan. Mulanya untuk menghindari Hayat. Tempat yang sekarang lebih enak. Dulu kami di tepi dinding kaca. Melalui dinding kaca itu kami bisa melihat orang lalu-lalang menaiki atau menuruni tangga. Di sisi lain rak buku berderet-deret, dan orang lalu-lalang mencari buku-buku yang mereka perlukan. Sekarang aku juga memilih tempat di tepi dinding kaca, di mana melaluinya aku bisa melihat orang lalu-lalang… oke, aku hanya pindah lantai. Beberapa hari di sini ternyata tidak membangun suasana baru. Gobloknya aku. Aku terpikir untuk pindah ke tempat lain lagi. Di sisi lain lantai ini terdapat deretan bangku lagi, yang bersebelahan dengan jendela. Dari jendela itu kita bisa melihat langit, bukan tangga dengan orang lalu-lalang. Aku pun memindahkan barang-barangku ke sana. Benar juga. Di sini aku merasa agak lega. Aku lanjutkan meronce. Beberapa hari lalu aku sempat “tamasya” (habis aku bosan ke kampus terus) ke pasar di pusat-kota, lalu memborong manik-manik. Aku mau merangkai kalung yang sesuai dengan salah satu bajuku. Kenapa aku tidak mengerjakan TA, ayolah, sesekali kan aku butuh refreshing. Atau pekerjaan utamamu adalah refreshing, lalu sesekali mengerjakan TA. Oh diamlah.

Tidak kusangka orang yang barusan melewatiku adalah Hayat. Kini ia mengambil bangkuku sambil melambaikan sebelah tangannya. Bibirnya membentuk garis yang menyerupai… senyum? Jaga omonganmu, hei, Pemuda, kalau kamu mau duduk di depanku, aku berkata begitu tapi di dalam hati saja. Memangnya cuman dia yang bisa pelit bicara.

Dia membuka laptop. Setelah menunggu beberapa lama, dia mengetik. Hei, dia mengetik apa. Apa dia mengerjakan TA? Kenapa aku juga tidak membuka laptopku, dan mengerjakan TA? Kenapa aku malah meronce? Aku memperbaiki posisi dudukku. Pertama-tama aku ingin memastikan. “Udah sampai mana?”

“Apanya yang sampai mana?”

Kenapa matanya bisa tampak secemerlang itu? Ini pasti karena efek duduk di pinggir jendela. Tempat ini cukup disinari matahari. Bahkan tanpa lampu pun aku yakin tempat ini sudah terang sekali. Sementara di tempat kami yang dulu, tanpa penerangan dari lampu sepertinya akan suram sekali.

“TA,” jawabku.

“Oh. Enggaklah,” ucapnya seolah itu hal terakhir yang ingin ia lakukan.

“Terus elo ngetik apaan? Subtitle lagi?”

“Enggak. Gue nulis cerita.” Matanya sudah terpaku lagi pada layar.

“Cerita tentang TA…”

Yang bener aja, ekspresinya mengatakan itu.

“Cerita tentang perempuan.”

“Kayak lo ngerti perempuan aja.”

“Tentu aja perempuan dari sudut pandang gue,” dia terus mengetik seperti tidak terganggu sama sekali dengan interupsiku.

“Pasti ceritanya jorok.”

“Apa definisi lo tentang jorok?” Ia berhenti mengetik sejenak, tapi hanya untuk mengambili camilan yang ia sembunyikan di saku hemnya.

“Erotis.”

“Bener.”

“Apa lo enggak punya pikiran lain?”

Ia tidak menjawab. Aku kembali memilah manik-manik yang akan kumasukkan selanjutnya.

“Sebenernya apa cita-cita lo, Cit?”

Aku hanya bergumam, seakan tidak yakin dengan yang ia tanyakan.

“Kenapa lo enggak masuk… Kebidanan, misalnya, Tata Boga, apa deh, yang elo suka.”

“Papa aku pinginnya di sini.”

“Kenapa enggak papa lo aja yang kuliah?”

“Maksudnya papa gue pinginnya gue kuliah di sini.”

Jeda sebentar. Aku kira ia tidak akan melanjutkan percakapan. Tapi ternyata, “…atau TL, Planologi, jurusan-jurusan yang lebih… gitulah.”

“Lebih gitulah gimana?”

“Elo sama sekali enggak ngerti materi TA lo.”

Mulanya aku ragu, tapi kemudian aku mengiyakan dengan nada yang mempertegas pernyataannya.

“Jurusan sini bukan minat lo, Cit,” ia terus saja mengoceh. “Lo sebenernya pingin jadi apa?”

“Gue tokoh dalam cerita lo bukan?” Aku tahu pertanyaan ini mungkin bakal mengesankan aku sebagai orang yang ke-GR-an atau apa, tapi tidak dapat aku tahan, aku ingin tahu saja. Ia pun tidak langsung menjawab. Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang kebohongan apa yang bakal ia utarakan.

“Entahlah. Lo pikir diri lo cukup menarik sebagai tokoh dalam cerita?”

Argh. Harusnya aku tahu akan begini jadinya kalau bercakap-cakap sama dia. Lidahnya itu benar-benar pisau. Pisau berlapis daging dengan kutil-kutil merah kecil!

No offense, Cit. Ini mengenai persepsi lo tentang diri lo…”

“Aku enggak mau jadi tokoh dalam cerita kamu.”

“Oke. Kalau gitu, bukan.”

Kenapa bukan?! Jadi siapa?! Siapa cewek yang lebih menarik buat dia?!

Oh. Tentu saja. Ayudh. Apa memang cowok suka mengkhayalkan jorok tentang ceweknya, eh, bahkan ketika ceweknya itu sudah jadi mantan? Ih.

“Terus kenapa lo pilih jurusan ini?” masih saja bersambung.

“Enggak tahu. Gue ngasal aja.” Dan karena asal, maka aku ingin jurusan yang banyak jalan-jalan dan banyak cowoknya sekalian. Tapi tentu saja aku tidak usah mengungkapkannya sama Hayat kan. “Elo sendiri kenapa, pilih jurusan ini?” sebelum ia makin mengorek tentang aku. Aku masih curiga. Ia bikin cerita. Terus ia tanya-tanya tentang aku. Mestinya ada hubungannya kan.

“Karena Ayudh.” Ia memandangku dengan agak menunduk.

“Tapi kan Ayudh di jurusan lain?”

“Iya gue juga pilih jurusannya Ayudh, tapi masuknya malah ke jurusan ini.”

“Ayolah, lo pilih dua jurusan yang passing grade-nya beda tipis?”

“Yang penting satu fakultas.”

Entah kenapa aku merasa ngeri sama cowok yang sebegitunya ngebet sama cewek. Lalu aku teringat si mas-mas alay. Hih. Orang itu cuman main-main kan, tidak serius. Argh. Kenapa dunia ini berisi orang-orang mengiyuhkan.

Perhatiannya sudah kembali ke laptop, tapi, “Jadi benernya lo pingin jadi apa?”

“Bener kan, tokoh di dalam cerita gue bukan lo?”

“Ya ampun. Bukan.”

“Entah gue boleh baca?”

“Enggak boleh.”

“Tuh kan.”

“Entar lo horny.”

HA!

Tatapannya bergulir dari layar ke arahku. Sesaat aku merasa seram. Apalagi tiba-tiba ia menjulurkan tangannya. “Kenalin, gue Rahayy Shamash.” Aku ragu menyambutnya. “Kita belum pernah bener-bener kenalan kan?”

Memang. Sejak pertama kali bertemu di kampus ini, di jurusan, yang aku tidak ingat kapan dan seperti apa, aku tahu namanya dari orang lain, dan mungkin dia juga tahu namaku dari orang lain. Aku selalu menganggapnya cowok yang tidak tersentuh. Sekarang telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya. “Tiaracitra… Widyatami Suryotomo.”

“Jadi Tiaracitra Widyatami Suryotomo, lu pingin jadi apa?”

Aku agak tersentak ketika ia menarik tangannya lagi.

“Mm…” Keningku berkerut. Bibirku maju. Serius sekali pertanyaannya. “Aku ingin jadi…” Aku tidak tahu ingin jadi apa. Hah. Tapi sepertinya enak sekali jika bisa melampiaskan segala sesuatunya, tidak menahan-nahan diri, juga tidak ada halangan dari luar. Bertingkah sesuka hati, seperti, “…seniman?”

Cowok itu seperti yang menahan ketawa. Ah. Aku tahu ingin apa. Aku ingin bisa kebal kalau berhadapan dengan cowok seperti dia.

“Kenapa lo enggak masuk jurusan Seni Rupa? Seni Murni? Atau apaan kek yang ada di fakultas lain itu?”

“Aku independen,” jawabku dengan sok meyakinkan, sekaligus kupikir sepertinya dia tahu kalau aku cuman sok iyeh, asal.

“Lo udah pernah bikin karya seni apaan?”

Kali ini aku tidak ragu nadanya betulan ofensif. Segala rongsokan di kamarku, itulah karya seniku. Makanya aku tidak pernah membiarkan Nenek memasuki kamarku. Betulan. Entah kenapa aku punya kecenderungan untuk mengumpulkan barang-barang yang dianggap ‘sampah’. Segala perabotan bekas pakai seperti botol plastik, botol losion, wadah bedak, juga potongan gambar dari koran, sedotan, kertas bekas corat-coret, dan sebagainya, aku atur letaknya masing-masing di kamar. Aku pikir suatu saat itu akan ada gunanya. Aku suka melihat-lihat buku tentang crafting kalau ke toko buku, kadang membeli kalau isinya benar-benar menarik. Sesekali aku berusaha memraktikkannya. Tidak persis seperti di buku, lagipula aku senang berimprovisasi. Bukankah itu yang namanya kreatif? Ya, aku ingin jadi seniman.

“Kalau lo emangnya pingin jadi apa?” segera kutangkis ia dengan pertanyaan lagi.

Sempat kukira ia bakal menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya dulu. Tapi tidak. Ia malah bilang, “Kalau gue, gue pingin jadi mayat.”

Oh. Tidak salah menjulukinya “Pangeran Kegelapan”.

“Suram amat sih.”

Ia terkekeh. Tapi entah kenapa kata-kata yang menjurus pada kesuraman ini malah membuatnya terlihat agak… bagaimana ya… cerah?, ceria?

“Tapi gue bener kan? Kita semua bakal jadi mayat.”

Aku tidak tahu harus berkata apa, aku bahkan tidak ada minat untuk menimpali kata-katanya. Terserah deh dia mau omong apa lagi. Asalkan, “bener lo enggak nulis tentang gue kan?” Tapi ketika aku baru saja hendak mengatakan itu, sepasang tangan tiba-tiba menjejak permukaan meja kami. Jantungku seperti yang berhenti berdetak. Mulut Hayat bahkan sedikit terbuka, alisnya menekuk. Cewek bermata sipit itu. Ia mengenakan sweter kelabu tebal. Bagian atas rambutnya dijepit. Ia lalu meninggalkan kami, duduk di bangku yang berjarak beberapa meja dari meja kami, membelakangi kami. Bawahannya berupa rok rempel selutut merah hati. Posisiku membuatku bisa melihatnya, sementara posisi Hayat memunggunginya. Hayat menoleh sama sekali ke belakang, seolah cewek itu tidak menarik hatinya.

“Dia kuliah di sini juga,” barangkali aku bisa memancing minatnya. Hayat menjawab dengan gumaman. Perhatiannya sudah tertuju lagi pada kibor. Cowok ini suka yang suram-suram tapi tidak tertarik kalau orang lain yang suram. Dari kapan bicara tentang mati-mati, tapi tidak peduli ketika ada orang lain yang juga mau mati. Hih!

HAYAT

Ceritaku mandek. Tokohku terlalu malas untuk melanjutkan hidup. Seharian ia tidur saja di kamar. Bisa saja aku menceritakan mimpi-mimpinya. Tapi aku sudah terlanjur bilang pada Tiaracitra ini akan menjadi cerita erotis. Aku tidak tahu cewek bermimpi basah atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apakah ia suka bermasturbasi. Tiaracitra tidak menjawab pertanyaanku kapan itu.

Aku berputar. Barangkali Tiaracitra bisa memberikan inspirasi. Ia sedang mandi, sedari tadi mandi. Memamerkan tubuhnya yang gelap, penuh bulu, dan tak berbaju padaku. Kalau kucing menjilati tubuhnya, itu sama dengan mandi kan? Angin mengibarkan gorden jendela kamarku yang terbuka. Apa ia tidak takut masuk angin? 

Aku tidak bisa begitu saja menyuruh tokohku untuk berbuat apa yang aku mau. Maksudku, bukan begitu cara kerja Tuhan kan?

Tunggu. Aku melihatnya bergerak, tangannya bergerak. Ia meraih ponsel. Apakah ia akan menghubungi seseorang, yang selanjutnya akan mengubah hidupnya?

Ia hanya mengecek jam. Lalu kepalanya terempas lagi ke bantal.

Aku bahkan tidak tahu kenapa ia begitu pemalas. Jika ia malas karena sebetulnya ia depresi, apa yang membuatnya depresi? Apakah ia pernah diperkosa, lalu trauma? Tapi jadinya itu bakal terlalu seperti… “kisah sejati”, “o mama o papa”, sinetron, Hidayah, dan semacamnya. Basi. Kenapa harus begitu dramatis. 

Kuangkat Tiaracitra, biar ia lanjutkan mandinya di balkon. Kututup jendela. Kuseret gorden. Kumatikan lampu. Hanya layar laptopku (dan sedikit sinar dari bulan melalui celah gorden dan ventilasi) yang menyorotkan cahaya, dan Aoi Sora. 

Sejam saja sudah cukup untuk mengantarku ke kasur, tapi aku malah tertidur.

Tiaracitra di bawahku. Ia menurunkan celanaku. Mulutnya meraup ituku. Aku langsung kejang-kejang. Aku masih kejang-kejang saat terbangun. Dalam kegelapan aku mondar-mandir sambil teriak-teriak. Bukan serapah. Hanya teriak seperti argh, argh, dan AAARGH. Aku ingin melepaskan ini, tapi bukan dengan cara yang biasa. Aku bosan. Aku lelah. Aku muak.

HAYAT

Begini, Tiaracitra. Ada beberapa hal yang tidak memungkinkan kita untuk bersama. Pertama, jika kita bersama, maka kamu harus sering melayaniku. Kalau tidak, aku bisa kena kanker prostat. Kedua, aku suka warna kulitmu. Dalam kegelapan, aku tidak akan bisa melihat wajahmu. Bukan karena wajahmu jelek, bukan, aku lebih suka mengatakan wajahmu bukan tipeku. Justru karena wajahmu tidak kelihatan, aku bisa konsentrasi. Ketiga, perasaan ingin dekat denganmu ini bukan dari hati, tapi dari kontol.

It’s just getting you to think of dirty things.// I can’t let this out here, nor anywhere.// It’s not good, but it’s true.//

Sepertinya lumayan juga untuk jadi lirik lagu. Mungkin ketimbang menulis aku lebih mending jadi pemusik.

Cericit burung memalingkan kepalaku ke jendela. Hm. Sepertinya sudah pagi. Tidak terasa.

HAYAT

Akhir minggu Kakak mengajakku menginap di apartemennya. Saat SMA sampai awal kuliah aku juga tinggal di situ, lalu ia menikah. Seperti dua kucing jantan yang tidak mungkin tinggal di area yang sama, maka aku mulai kos. Bukannya aku dengan suaminya itu doyan berseteru. Kami akur-akur saja, dari sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja… Lagipula saat itu aku sama Ayudh, jadi begitulah. Kami saling menegur saat aku ke apartemen kami, eh, sekarang sudah menjadi apartemennya dan kakak sehingga lebih tepat kalau dikatakan sebagai apartemen mereka. Tapi aku tidak bicara dengan dia sebanyak aku bicara dengan kakakku. Lagipula akhir minggu ini Kakak yang ada urusan denganku, urusan Mama denganku.

Aku ke sana sekitar Sabtu sore. Lalu mereka pergi entah ke mana sehingga aku menghabiskan waktu sendirian sambil menonton maraton serial AS di TV kabel. Aku sudah tidak di depan TV saat mereka pulang. Hanya duduk-duduk di pinggir jendela sambil makan kacang, sesekali larut dalam titik-titik cahaya yang menyemut di bawah. Lalu Kakak duduk di hadapanku dan mulai menjalankan amanatnya. Tapi obrolan kami kemudian lebih dari sekadar itu. Pikiranku banyak sekali malam itu, tentang birahi, tentang tipisnya harapan sastra Indonesia untuk dikenal dunia, tentang orang-orang dangkal yang tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dengan hidup mereka. Kebo. Hidup seharusnya begini, dan seharusnya begitu. Idealisme omong-kosong semacam itulah. Aku utarakan panjang-lebar padanya, sementara ia diam mendengarkan. Entahlah. Aku kira ia bisa memahamiku. Aku tidak tahu harus melantur sama siapa lagi.

“Pemikiran kamu bisa dimengerti, Hayy,” akhirnya ia mendapat kesempatan untuk menanggapi. “Tapi itu karena kamu masih berada di tahap ini. Kalau aku lihat kenyataannya…“ Bla bla bla. Aku hanya menatapnya dengan kosong. Kenapa ia bisa begitu dewasa. Kadang aku tidak begitu yakin usianya berapa. Kenapa ia selalu bisa membalasku dengan perspektif lain. Entah sudah berapa kali ia bilang suatu saat aku akan bosan dengan keadaanku yang sekarang. Apakah pemikiranku tidak berarti?, tidak berharga? “…mungkin mereka cuman belum mendapat pencapaian, jadinya mengalami kegalauan dan kepesimisan seperti yang kamu rasain…” Mataku terus menancap padanya, berganti-ganti antara matanya yang besar dan bibirnya yang merah-penuh. Tapi pikiranku berdesing-desing. Di dalamku hanya gemuruh. “Kenyataan enggak selalu berdampak pesimis. Memang tahap itu ada, cuman output-nya…”

“Enggak. Lo enggak ngerti gue.”

Punggungnya rebah ke sandaran kursi. Dagunya seakan tertarik ke leher.         

“Gue enggak suka berada di tahap ini, selamanya gue bakal berada di tahap ini, lo pikir gue bisa ngehindarin ini?! Gue enggak pernah bisa tahu yang gue lakuin bener apa salah, bahkan mikirinnya aja gue ragu!”

Sikutku meluncur di meja, menopang pipiku yang tidak keruan bentuknya. Ia masih menanti reaksiku. Tatapannya bertanya, Jadi?

Mungkin aku akan menelepon Peter Pan, dan meminta untuk ikut tinggal di Neverland.

“Seenggaknya kamu hubungin Mama, Rahayy.”

Ck. Nantilah. Aku masih punya duit.

Pembicaraan yang tidak memuaskan ini cuman bikin aku ingin mengasap lagi. Sering kali aku pikir dia orang yang pragmatis. Hanya memikirkan hal-hal yang teknis. Bekerja hanya untuk uang. Tidak mengerti pemikiran-pemikiran, apalagi berusaha untuk memahaminya. Apa dia tidak pernah mengalami masa itu, tahap itu? Aku tidak ingat. Baru belakangan ini kami bertukar pendapat cukup sering. Sebelumnya kami berkutat saja di dunia masing-masing, jarang bertemu, dan kalaupun bertemu tidak banyak yang kami bagi. Selagi aku di sekolah kemudian melanjutkan dengan aktivitas-aktivitas ekstra, ia kuliah sambil kerja—atau kerja sambil kuliah. Jamnya tidak menentu. Baru tahun-tahun ini aku juga mengalami yang seperti itu. Dulu hidupku teratur sekali, dan mengira selamanya akan begitu. Dunia penuh orang-orang praktis seperti kakakku. Ia tidak akan pernah menghasilkan apa-apa selain untuk dirinya saja, dan perusahaan, dan suaminya, dan anaknya, dan siapa lagi entah.

Tapi kuingat-ingat lagi, kadang ia cukup perhatian padaku. Hubungan kami tidak pernah benar-benar putus. Tapi itu tidak berarti pembicaraan kami sering nyambung.

Baru saja menyulut rokok, suara benda keras beradu dengan meja. Memalingkan perhatianku. Asbak. “Matiin rokoknya,” tukas kakakku yang entah sudah berdiri dari kapan.

“Lu juga ngerokok,” sergahku. Baru juga sekepul-dua kepul.

“Kamu enggak liat aku lagi hamil?” nada suaranya sudah seperti Mama.

Ya. Aku lihat dengan amat jelas sekali perutnya yang melendung seperti diisi helm batok. Dan ironisnya, saat SMA aku pernah menjadi ketua acara kampanye anti rokok di sekolah. Poster-poster untuk dipajang saat acara sempat ditaruh di apartemen ini, dan kakakku mondar-mondar di depannya sambil mengepul tak henti-henti.

“Arlan juga udah enggak ngerokok,” tangannya melayang ke arah suaminya yang sedang tiduran di sofa. TV menyala. Entah ia masih menonton TV atau TV yang menontonnya.

“Lo tuh kebanyakan mikir, Rahayy.” Kakakku menjauh ke arah pantri.

“Ya itu kan gunanya gue dikasih akal. Gue cuman ngelaksanain perintah Tuhan yang sering diulang-ulang! Dan Tuhan enggak bakal ngasih gue pahala lebih buat ini. Orang-orang saleh ngasih gue petuah, ‘Segala sesuatu yang berlebihan itu enggak baik’! Apa gunanya gue mikir, Kak?!” Tanganku bergerak-gerak sementara meracau, menguar asap ke mana-mana.

Ia mondar-mandir di balik pantri. Mengangkat ini, meletakkan itu. Menyembur itu, mengelap ini. Jangan sangka ia bisa sembunyi. Aku bisa lihat dengan yakin ia memutar bola mata, mendengar dengan jelas ia mendesah.

“Kenapa hidup harus begitu serius kalau katanya senda gurau belaka, tapi siapa juga yang bilang kalau amal kita dihitung sekecil apapun. Lo kira amalan lo yang cuman ‘senda gurau’ itu bisa diterima? Lo ngerti enggak kontradiksi ini, Kak?! Lo mikir pake akal! Terus hilang akal lo gara-gara mikir sampai ruwet! Nihil! Semua nihil!”

Sejenak hanya TV yang bersuara, seperti yang takut-takut.

“Matiin rokoknya, Rahayy,” kata kakakku lagi. Tidak terlihat. Mungkin lagi jongkok di balik pantri.

“Ya ya ya!” seruku seraya menjejalkan ujung puntung ke dasar asbak yang menghitam.

Lalu kugantung dagu di permukaan meja. Ocehku lagi, “Kak, orang yang lugu dan naif dan bodoh itu pantes hidup enggak sih, Kak?”

“Hah? Ngomong apa lu, Hayy?”

Tang. Tong. Tang. Brusssss…

Tidak bisa diharapkan.

“Kalau yang lu maksud nama band, yang doyan banyak, Hayy.” Sejak kapan Arlan berdiri. Matanya setengah terkatup. Langkahnya terseret-seret menuju kamar.

“Kalau gue Hitler, gua akan lenyapkan semua orang lugu, naif, dan bodoh… dan malas… dari muka bumi,” kataku.

Udah berapa lama lo enggak tidur, Dek? kakakku bertanya dengan ekspresinya. Tangannya mengelus-elus lap yang tersampir di tepi pantri.

Pada sisa malam aku hanya memandang jendela, sampai warna langit berubah. Sama sekali tidak merasakan kantuk. Sempat teringat Ayudh. Sempat teringat orang-orang yang berkata padaku, “Move ooon…! Masak lo mau terus patah hati sampai berlarut-larut gitu?” Bahkan sampai sekarang pun masih ada yang bilang begitu padaku. Mereka menyuruhku untuk bangkit, dan mulai melakukan sesuatu.

Lalu aku bilang kalau aku sudah melakukan sesuatu, yang diharap-harap setiap orang akan dapat memberikan pencerahan. “Duduk di pantai dan merenungi penciptaan, udah. Sampai gue ngerasa diri gue begitu kecil enggak berarti.” Jadi itu yang aku dapatkan dari perjalanan: nihilisme.

Aku tidak mengerti kenapa mereka sedangkal itu. Orang-orang sering kali hanya tertarik pada apa yang terjadi, tanpa sudi berpusing menelisik lapisan di bawahnya. Tentu saja problemnya lebih dari sekadar patah hati. Patah hati hanya puncak gunung es. Titik kulminasi. Trigger. Klik. Jderr. Bum. Hancur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain