Di The Geography of Bliss, saya sempat
diajak mampir ke India. Pertemuan dengan India saya perdalam dengan membaca
buku selanjutnya, masih bertema kebahagiaan, Negeri Bahagia[1]. Novel ini semacam
Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara, realita memprihatinkan
yang dituangkan dalam bentuk fiksi. Tapi tentu tidak begitu saja dapat kita
bandingkan. Negeri Bahagia tidak
melambungkan mimpi, hanya mengempaskan kita dalam realita yang mengenaskan.
Negeri Bahagia atau
Anand Nagar adalah nama perkampungan kumuh seluas tidak lebih dari dua stadion
di Calcutta, berpenduduk sekitar 70.000 orang. Mayoritas Islam, selebihnya
Hindu, Kristen, dan berbagai kepercayaan lain. Warga Negeri Bahagia yang paling
mengesankan saya adalah Stephan Kovalski, seorang pendatang dari Prancis
yang notabene pastor Polandia. Ia sengaja menempatkan diri di tengah kepapaan
sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Mula-mula hanya sesama penganut
Kristen yang simpati padanya, sebagai pastor ia dicurigai hendak menjalankan
misi tertentu. Masalah agama sangat penting di India. Namun Kovalski
menunjukkan ketulusannya dalam berbagi, sehingga lingkungannya pun menghormati.
Selain itu ada Hasari
Pal, petani dari Bengali yang terpaksa merantau ke Calcutta bersama istri dan
anak-anaknya karena bencana kekeringan di desa mereka. Di Calcutta mula-mula
mereka tinggal di kaki lima, tanpa peneduh, bersama banyak pengungsi lain dari
berbagai daerah. Di bawah sengatan matahari, di tengah kepadatan manusia, dibekap
udara yang amat panas, berhari-hari Hasari mencari nafkah. Kadang pekerjaan
diperolehnya karena pekerja sebelumnya celaka atau mati—memang risiko dari
pekerjaan tersebut. Bahkan pernah ia mendapatkan uang dari menjual darahnya. Sampai
akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang sekampung, yang berbaik hati mencarikannya
kesempatan untuk menjadi penarik angkong[2]. Menjadi
penarik angkong tidak berarti lebih baik. Profesi ini mengakibatkan penuaan
dini, kerusakan paru-paru, dan menurunkan harapan hidup hingga kurang dari usia
40 tahun. Tapi karena sengitnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan,
Hasari mampu bertahan selama bertahun-tahun hingga mendapat kesempatan untuk
menjadi penduduk Negeri Bahagia. Ini berarti ia dan keluarganya akan punya tempat
tinggal dengan atap.
Di Negeri Bahagia
Hasari bertetangga dengan Kovalski. Saat itu ia merasa hidupnya tidak akan
lama lagi. Tapi sebelum mati ia ingin menunaikan kewajibannya sebagai ayah,
yaitu menikahkan putrinya. Namun untuk itu ia membutuhkan uang yang sangat
besar untuk menebus mas kawin. Maka ia menjual kerangka tubuhnya seharga 500
rupee (akan diambil begitu ia mati), juga menyuruh seorang anak laki-lakinya
untuk memulung, ditambah menjual sisa harta yang dimiliki. Tuntutan mas kawin
dari pihak mempelai laki-laki bertambah-tambah, belum lagi bayaran yang
diminta sang pujari—semacam
penghulu yang berperan mengatur pernikahan mulai dari menentukan jodoh,
tanggal pernikahan, upacara, dan sebagainya. Bagaimanapun pernikahan akhirnya
berhasil dilanjutkan, namun Hasari tidak bisa menikmatinya. Ia malah
beringsut ke lain tempat di mana meregang nyawa.
Kisah tersebut hanya
satu dari berbagai kisah tragis yang disampaikan di Negeri Bahagia, yang di antaranya merupakan persinggungan Kovalski
dengan berbagai kalangan—bahkan kalangan bawah pun masih memiliki semacam
strata. Semisal saat Kovalski harus terjebak dalam birokrasi yang
berlarut-larut hingga enam minggu di kantor imigrasi, hanya untuk menjemput
serum yang ternyata sudah kedaluwarsa saat berhasil diambil. Ada Sabia, anak
penderita tuberkulosis yang tinggal di samping gubuk Kovalski, yang pada
akhirnya meninggal. Ibu Sabia menjual janin yang sedang dikandungnya, sebab
uangnya bisa digunakan untuk memberi makan keluarganya, namun akhirnya
meninggal akibat pendarahan saat operasi, tanpa keluarganya mengetahui. Ada
komunitas pengidap lepra yang memiliki tata hidup sendiri karena masyarakat
sudah sedemikian meminggirkan mereka. Ada sekelompok sida-sida yang berperan
sebagai kambing hitam, penanggung dosa bayi-bayi yang baru dilahirkan. Ada
juga godfather, mafia Negeri Bahagia
yang mensyaratkan ribuan rupee ketika Kovalski hendak membangun klinik untuk
pengidap lepra. Dan munson, yang bukan siapa-siapa, hanya perubahan cuaca
secara ekstrem yang melelehkan sandal di aspal, menewaskan hewan-hewan,
menyungkurkan orang-orang di jalanan, dan tiba-tiba datanglah hujan lebat
yang awalnya disyukuri hingga membuat penduduk menari-nari, lantas mengungsi
ke masjid, ke rumah godfather yang
tanpa terduga masih memiliki hati, karena air kian meninggi, membawa
segunung kotoran dan bangkai bersamanya.
Pembacaan novel ini
agaknya memberi saya semacam ketabahan. Saya disuguhi keadaan di mana
orang-orang harus berusaha keras demi mendapatkan uang, demi membeli makanan
yang hanya cukup untuk hari itu. Bagaimanapun kondisi mereka, mereka akan terus
berjuang sampai fisik benar-benar tidak memungkinkan lagi, sampai mati
maksudnya. Habis-habisan betul. Dalam novel The White Tiger, keadaan ini diungkapkan secara humoris-satiris, bahkan mungkin
sinis, sementara Negeri Bahagia
menyampaikannya dengan lebih detail, lembut, dan… menyayat. Sementara The White Tiger cenderung meledek
perilaku bangsa India yang korup dan oportunis, Negeri Bahagia setelah menuturkan gambaran-gambaran tragis seakan
selalu berusaha mengimbanginya dengan menampilkan sisi positif. Bahwa dalam
kultur yang sedemikian sulit, masih ada kasih sayang dan kemanusiaan.
Di India kebahagiaan
adalah kontradiksi, kata Eric Weiner. Persis seperti yang dikatakannya pula
dalam The Geography of Bliss, ikatan
sosial di India sangat kuat. Seburuk apapun keadaan seseorang, selalu ada
yang lebih buruk, seolah itu membuat mereka merasa sedikit lebih baik. Satu
sama lain bisa saja saling menindas, menguras, merampas, dan berbagai
kekejian lainnya, tapi dalam situasi lain, ada saja yang tahu-tahu memberikan
perhatiannya bahkan menolong. Terus-menerus jatuh-bangun seperti itu sampai
risiko pekerjaan atau pandemi membunuh mereka.
Penulis novel ini,
seorang Prancis bernama Dominique Lapierre, melakukan riset selama dua tahun
terhadap kehidupan slum di Calcutta,
India, lalu menuliskannya selama setahun di kawasan hutan dan perkebunan yang
indah di Prancis Selatan. Novel ini kemudian menjadi megabestseller yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, serta
menarik banyak surat dan donasi. Ia mendirikan Action Aid for Lepers Children
of Calcutta yang diorganisasikan secara kecil-kecilan sehingga memudahkan
pemantauan, antara lain dalam memastikan bantuan benar-benar sampai pada yang
membutuhkan. Keadaan pun menjadi lebih baik. Perkampungan kumuh tersebut telah
direhabilitasi dengan berbagai fasilitas, yang justru mendatangkan masalah
baru hingga kaum papa makin tersingkir. Dengan produk-produk yang muncul
selanjutnya seperti novel The White Tiger
dan film Slumdog Millionare, kita
tahu bahwa keadaan di India masih bisa bikin kita miris. Mungkin seperti
perkataan Prodip Pal, ayah Hasari, “arang tidak akan berubah warna walaupun
dicuci.”
Omong-omong soal
Calcutta, ada videopklip kocak dari era ’90-an.
Juga ada potongan
dari film India berjudul Noorie. Film
ini diproduksi pada tahun 1979, yang saya kira semasa dengan
ketika Kovalski menjejakkan kaki di Negeri Bahagia untuk kali pertama. Dalam
video ditampilkan pemandangan alam yang indah di mana Noorie dan kekasihnya
berkejar-kejaran, barangkali seperti itulah gambaran pedesaan di India,
sebelum disedot habis-habisan oleh para tuan tanah lantas penduduknya melakukan
urbanisasi ke kota-kota besar seperti Calcutta, Bangalore, atau manapun. Saya
belum pernah menonton film ini, hanya dalam satu sumber dikisahkan bahwa
keluarga Noorie kemudian dibantai oleh tuan tanah, sedang Noorie sendiri
diperkosa lalu bunuh diri, lalu kekasihnya balas dendam.
Terakhir… satu lagi videoklip,
iklan sebenarnya. Kali pertama menontonnya, saya terharu. Kali berikutnya,
yaitu setelah membaca Negeri Bahagia,
saya menangis. Mungkin karena telah paham konteks dalam tayangan tersebut,
bahwa keadaan sebagaimana yang ditunjukkan memang nyata adanya.
Baik Wiener dalam The Geography of Bliss maupun Lapierre
dengan Negeri Bahagia menyatakan
agar pembaca tidak membuat generalisasi atas gambaran mereka mengenai
suatu negara, demikian saya sampaikan pula. Saya kira memang tidak sepatutnya
kita bersyukur karena orang lain lebih menderita. Dengan mengetahui bahwa ada banyak
orang dengan penderitaan sedemikian parah, cukuplah bagi kita untuk mengurangi
keluhan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar