Dulu, dulu sekali, hanya ada dua orang di dunia: Lelaki Tua dan Perempuan
Tua. Sekali waktu ketika mereka berkelana di sekitar bumi, Perempuan Tua
berkata pada Lelaki Tua, “Sekarang mari kita buat ketentuan akan beberapa hal.
Mari kita tentukan bagaimana manusia akan hidup ketika nantinya mereka di
bumi.”
“Baiklah,” jawab Lelaki Tua, “Akulah yang pertama-tama bicara dalam segala
hal.”
“Aku setuju denganmu,” kata Perempuan Tua. “Artinya—jikalau boleh aku yang
bicara selanjutnya.”
Lalu Lelaki Tua mulai merancang. “Perempuanlah yang memiliki kewajiban untuk
menyamak kulit hewan. Mereka menggosokkan otak hewan ke kulitnya untuk
menjadikannya halus, dan mengikisnya dengan alat pengikis. Semua ini mereka
lakukan dengan sangat cepat, sehingga tidak akan menjadi pekerjaan yang berat.”
“Tidak,” kata Perempuan Tua, “aku tidak menyetujuinya. Mereka harus
menyamak kulit sebagaimana yang kau katakan; tapi itu mesti menjadi pekerjaan
yang berat, supaya mereka menjadi pekerja keras.”
“Baiklah,” kata Lelaki Tua, “kita akan membiarkan manusia memiliki mata
dan mulut, lurus di bagian atas dan di bagian bawah wajah mereka.”
“Tidak,” balas Perempuan Tua, “jangan kita biarkan mereka seperti itu.
Kita akan memiliki mata dan mulut di wajah, sebagaimana yang kau katakan, tapi letaknya melintang.”
“Baiklah,” kata Lelaki Tua, “manusia akan memiliki sepuluh jari di
masing-masing tangan.”
“Oh, tidak!” sahut Perempuan Tua. “Itu terlalu banyak. Akan ada empat jari
dan satu jempol di masing-masing tangan.”
Demikianlah keduanya melanjutkan sampai tersedia segalanya bagi kehidupan
manusia.
“Bagaimana dengan kehidupan dan kematian?” tanya Perempuan Tua. “Haruskah
manusia hidup selamanya, atau haruskah mereka mati?”
Perempuan Tua dan Lelaki Tua kesulitan dalam menentukan ini. Akhirnya
Lelaki Tua berkata, “Aku akan memberitahumu apa yang akan kita lakukan. Aku
akan melempar kepingan tulang banteng ini ke air. Jika ini mengapung, manusia
akan mati selama empat hari kemudian hidup kembali; jika ini tenggelam, mereka
akan mati selamanya.”
Maka ia pun melempar kepingan tulang banteng itu ke air. Benda itu mengapung.
“Tidak,” kata Perempuan Tua, “kita tidak akan menentukannya seperti itu.
Aku akan melempar batu ini ke air. Jika ini mengapung, manusia akan mati selama
empat hari; jika ini tenggelam, mereka akan mati selamanya.”
Lalu Perempuan Tua melempar batu ke dalam air. Benda itu tenggelam ke
dasar.
“Begitulah,” ucapnya. “Lebih baik bagi manusia untuk mati selamanya. Jika
tidak, mereka tidak akan berbelas kasihan pada satu sama lain, dan tidak akan
ada rasa kasih di dunia.”
“Baiklah,” ujar Lelaki Tua, “biarlah begitu saja.”
Semasa berlalu, Perempuan Tua memiliki seorang anak perempuan, yang tidak
lama kemudian sakit dan meninggal. Sang ibu lantas sangat menyesal, karena
mereka telah menentukan bahwa manusia harus mati selamanya. “Mari kita
bicarakan sekali lagi,” ia berkata.
“Tidak,” jawab Lelaki Tua. “Janganlah kita ubah apa yang telah kita
tentukan.”
Dan demikianlah manusia mengalami kematian semenjak itu.[]
Alih bahasa dari mitos Indian Blackfoot yang diceritakan kembali oleh Chewing Blackbones, “Old Man and Old Woman”. Dikumpulkan oleh Ella E. Clark pada tahun 1953 dan dipublikasikan pada tahun 1966. (pg. 538-539, The Harper Anthology of Fiction, ed. Sylvan Barnet, 1991, Harpercollins Publishers Inc.) Sebelumnya pernah diomongin di sini
Alih bahasa dari mitos Indian Blackfoot yang diceritakan kembali oleh Chewing Blackbones, “Old Man and Old Woman”. Dikumpulkan oleh Ella E. Clark pada tahun 1953 dan dipublikasikan pada tahun 1966. (pg. 538-539, The Harper Anthology of Fiction, ed. Sylvan Barnet, 1991, Harpercollins Publishers Inc.) Sebelumnya pernah diomongin di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar