Minggu, 21 Juli 2013

(3)

HAYAT

8.27. Kemarin aku bangun persis sekitar jam ini. Tapi aku tidur lagi. Aku alasan sama Tiaracitra, aku baru bisa tidur setelah jam tiga, dan bangun setelah jam dua belas. Sudah beberapa hari seperti itu. Dia ke perpustakaan sendiri. Kenapa harus selalu bareng sih? Semalam aku bisa tidur lebih awal, sekitar jam setengah satu. Jadi seharian kemarin aku hidup hanya sekitar dua belas jam. Kepalaku masih disaput kabut. Pertama aku bingung kenapa aku di kasur. Padahal akhir-akhir ini aku tidur di karpet. Bantalku tumpukan buku. Pakai sarung pakai selimut. Lalu dari sore kemarin hujan, aku mengisi saat deras-derasnya dengan pornografi. Sehabis itu, aku menonton film The Dreamers. Wajah Eva Green masih mengiang-ngiang dalam kepalaku beberapa lama sebelum aku bisa terlelap malamnya. Wajahnya, teteknya, jembutnya, belahan bibir bawahnya, kakinya bersih. Tapi sebelum itu, sewaktu masih menonton bokep, aku merasa sangat ingin sekali merokok. Cuman sebentar. Mulutku langsung panas. Tenggorokanku seperti tidak enak. Mungkin akhirnya aku berhasil mengondisikan mentalku untuk menolak rokok. Dulu aku bukan perokok, SMA. Waktu sama Ayudh pun bukan. Aku baru merokok sejak, sejak ditinggal Ayudh. Waktu itu Jeki mampir, dengan lagaknya yang sok, lah, dia kira aku merokok, ya sudah. Sejak itu kadang saat dini hari aku merokok tidak bisa berhenti. Sore itu aku merokok di kosen jendela sambil mengamati tukang roti bakar dihajar gerimis. Aku berpikir apa ada Holden Caufield versi cewek, De Avonden versi cewek, Pangeran Kecil versi cewek (Putri Kecil), Norwegian Wood versi cewek (dari sudut pandang Naoko? Midori?), bahkan S. E. Hinton yang cewek pun menggunakan tokoh utama cowok.  Mungkin ada beberapa teenlit dan chiclit… Apa yang cewek-cewek lakukan saat seusiaku? Mungkin sedang mengusap pentil mereka di kamar dan membayangkan mulut kecil yang akan mengisapnya. Perasaan keibuan semacam itu. Ada semacam wanita muda di kepalaku, wanita muda disfungsional. Tapi mungkin sesulit menuliskan TA. Bab I, Bab II, Bab III bergejolak di dalam kepalaku, tapi otakku langsung kram begitu terpikir untuk menuliskannya. Tanganku kejang-kejang begitu mengarah ke kibor. Aku bingung apa yang harus kulakukan pagi ini. Yang jelas bukan musik. Kicau burung ramai sekali. Sarang mereka di bawah atap yang menaungi jendela, di atas balkon. Aku heran kenapa kotak itu selalu ada dalam sejangkauan tanganku, ada isinya pula. Jadi aku mengepulkan asap lagi, menghancurkan kemurnian udara. Sembari bersandar di dinding, duduk melipat kaki, tetap di kasur, seperti raja di singgasana, bukan, seperti musafir yang terombang-ambing di atas selapis papan, memandangi barang-barang yang mengapung di lautan, yang berasal dari kapal yang karam, kapal yang sebelumnya ditumpanginya. Ada beberapa lembar uang yang masih kaku di meja, ditimpa mug dengan penutup (aku tidak tahu apa isinya, paling-paling bening atau hitam). Ada beberapa toples camilan yang sampai kapanpun tidak ingin kumakan. Persediaan kopi masih banyak, tapi aku merasa agak ingin kencing. Semalam aku dengar Roni memasukkan seember nasi tak termakan ke kulkas, karena malam sebelumnya ia masak terlalu banyak, ia koar-koar barangsiapa mau goreng nasi dengan punyanya itu sangat dipersilahkan… Tapi aku malah menyalakan laptop, menulis apapun yang terlintas dalam satu paragraf yang sangat panjang, berharap begitu aku bisa menyelesaikannya, aku akan menjudulinya dengan, “BAB I”. BAB-I. BABI. 

Ibuku mengirim sms, mengingatkan TA. Ini sedang aku kerjakan. Aku sudah pindah ke dekat jendela, duduk di kursi, laptop di meja. Angin semilir di belakang punggungku. Pagi jelang siang masih agak dingin. Aku sendiri takjub bisa lancar mengetik begini. Aku bahkan tidak mengemut asap sebatang pun. Baru aku menoleh ketika ada benda jatuh di belakangku. Hanya kucing. Matanya yang besar mengerling, kalau ia manusia mungkin aku bakal terpesona. Tubuhnya yang lurik-lurik berukuran sedang, mungkin ia masih remaja. Ia betina. Ia sering masuk lewat jendelaku, membuatku membukakan pintu. Ia benar-benar seorang—seekor—lady, membuatku jadi abdinya. Pintu tidak aku tutup lagi. Aku segera kembali ke kursi dan mengetik. Sebuah benda jatuh lagi di belakangku. Kini ukurannya agak besar. Hitam-putih. Aku langsung waspada. Selain dia, biasanya ada dua ekor lagi. Oranye dan hitam. Aku waspada pada mereka semua. Tapi tubuhku segera berbalik lagi. Mengetik. Terdengar gemerisik. Mungkin kucing itu menyenggol apa. Mengetik. Saat mengubah posisi duduk kucium bau, bau tidak menyenangkan. Aku mengendus-endus. Seperti bukan kencing kucing. Tapi tetap saja tidak enak. Aku lanjut mengetik. Tapi konsentrasiku tidak kembali. Kucing itu kulihat masih di kamarku, mengendus-endus. Aku berusaha mengetik lagi. Kulihat kucing itu lagi. Kuperhatikan lantai kamarku yang kusam. Entah sudah berapa tahun tidak kupel, kusapu (memang harus?). Sampai kusadari bayangan gelap di bawah dipan. “HOI!” Kucing itu langsung terbirit-birit. Sialan! Kukejar ia sampai menuruni tangga, dan kembali dengan membawa gagang pel. “Kenapa, Kak?” Tetangga di kamar sebelah menyapa. Dalam gendongannya si kucing betina bermata besar. Aku memandangnya dengan masam.

Begitu terdengar azan zuhur aku langsung bersiap ke kampus. Mendadak aku ingin makan bakmi Kantin Barat Daya. Aku sedang duduk menunggu pesanan sembari merokok ketika cewek itu menghampiri. Yang pertama kali menarik perhatianku adalah terusannya yang kuning cerah, lalu sebagian rambutnya yang diikat ke belakang—ikatnya berwarna senada, lalu ransel putih-biru-merah-entah-apa-lagi yang tampak seperti rajutan, tapi entah kenapa aku tidak yakin, mataku agak minus. Ia mendekap botol minumnya yang bening namun berhiaskan bunga-bunga hijau kecil, dengan tutup besar yang hijau pula. Ia duduk di hadapanku namun menunduk saja. Ia mengeluarkan sebungkus obat, dari ransel yang ia taruh dengan hati-hati di sampingnya, seolah ia tidak mau kulitnya terkena. Obatnya berupa kapsul berwarna merah hati. Pesananku datang. Tidak lama kemudian makanannya juga datang. Aku makan dengan cepat, setelah itu aku kembali merokok. Aku mengamati orang-orang yang meriuhkan bangunan terbuka berlantai dua ini—kami di lantai bawah. Hampir-hampir tidak ada wajah yang kukenal, paling hanya orang-orang di balik rak makanan, meja kasir, dan yang wira-wiri dengan baki. Aku sendiri sering bertanya-tanya kenapa aku masih di sini. Tapi mengingat apa yang (tidak) aku lakukan setahun belakangan ini, ya sudahlah. Cewek di depanku masih mengunyah dengan pandangan agak menunduk. Nasi gorengnya mungkin tinggal sekitar seperempat. Aku menyulut puntungku yang ketiga. “Lu makan lama amat sih.” Aku melihat kilatan tidak suka di matanya. Lalu aku kembali melihat-lihat ke sekitar, anak-anak baru yang segar-segar. Yang bening dan aduhai. Gumpalan asap ke sekian, aku tidak tahu kenapa aku menghabiskan waktu lebih lama di sini. Cuaca sempat agak cerah, tapi ketika aku mendongak begitu melewati atap kantin, kelabu sudah menguasai lagi. Cuaca yang bagus untuk merokok di atap gedung seberang perpustakaan. Selagi berjalan, aku sadari Tiaracitra berusaha mengiringi langkahku. Ikut menaiki tangga yang berputar-putar. Dan sampailah kami di udara terbuka. Angin berembus. Aku duduk di semacam kotak di tengah atap itu, lalu mengeluarkan bungkus rokok lagi dari saku jaket. Selagi memantik lighter, tangan Tiaracitra tahu-tahu menjulur. Ia masih tidak mau menatapku langsung. “Bagi.” Aku menyerahkan kotak itu padanya. Diam-diam aku perhatikan caranya mengeluarkan rokok, aku serahkan lighter, mengapit silinder itu di bibirnya, berusaha menyulut, aku ambil lighter-ku lagi, lalu aku nyalakan untuknya. Angin agak kencang jadi aku harus menghalangi api dengan sebelah tanganku. Gerakan bibirnya, pipinya. Saluran di balik lehernya. Caranya mengapit dengan kedua jarinya. “Dari kapan lu ngerokok?” Jawabnya, “dari dulu aku pingin cobain.” Aku ganti melihat puncak atap perpustakaan di seberang. Langit agak putih, tapi mendung membingkainya. Tajuk pepohonan di hutan belakang kampus melatari. Sudah tidak terasa apa-apa lagi di mulutku. Aku matikan rokok di samping permukaan yang aku duduki. Lalu aku tadahkan telapak tanganku di depan Tiaracitra. Ia memandangku dengan tidak mengerti. Daguku mengarah ke rokok di bibirnya. Ia cukup perhatian. Ia serahkan silinder yang hampir-hampir masih utuh itu. Sayang juga sih. Tapi aku segera matikan ujungnya di tengah-tengah permukaan yang kami duduki. “Dulu gue juga bukan perokok,” aku menatapnya sebentar sebelum kembali ke langit. Lama kami hanya diam. Aku tidak mengerti kenapa ia betah duduk di sampingku. Aku yang tidak betah. “Gue kayaknya lebih konsen ngerjain di kosan deh,” kataku akhirnya. “Oh,” cuman begitu responsnya. Ia kembali mengikutiku menuruni tangga. Lalu kami berpisah di gerbang belakang. 

TIARACITRA

Kalau si mas-mas alay lihat aku sekarang, pasti dia bakal komentar, “Kok lesu amat, Neng. Senyum dong.” Neng, huh, dia seakan tidak sadar logat medhok-nya itu masih ada. Tapi sampai aku hapal begitu sama suaranya, isi komentarnya, seolah hanya dia yang kasih perhatian sama aku di dunia ini. Hih. Padahal aku masih jauh dari tempat dia biasa mangkal.

Akhirnya aku ikut pulang. Habis, memang aku tidak tahu apa lagi yang mau dilakukan di perpustakaan. Aku tidak bisa mengetik sebaris kalimat pun… eh, sudah sih, satu paragraf, tapi aku tidak bisa melanjutkannya… Ah sudahlah, Tiaracitra, itupun harus disyukuri! Aku akan berhenti mengeluh. Ya! Aku akan berhenti mengeluh.

Gue lebih konsen di kosan,” katanya. Aduh. Coba aku juga bisa konsentrasi di rumah. Iri banget aku dengar dia bilang begitu. Tapi mana bisa aku fokus, dengan Nenek mondar-mandir di seantero rumah. Di usianya yang hampir kepala tujuh itu ia masih lincah. Kalau Hayat lebih konsentrasi di kosan… aku jadi betulan tidak ada teman di kampus dong… Hah… Ada sih beberapa mahasiswa tingkat enam lainnya, tapi aku tidak terlalu kenal sama mereka, masih mending kalau satu jurusan. Aku segan. Masak aku harus membujuk-bujuk Hayat supaya ke kampus terus…

Tapi setidaknya ada berita baik.  Aduh. Aku malu mengingatnya. Hihi. Beruntung banget deh Ayudh. Tadi itu manis banget, ketika dia minta rokokku, ya ampun, aku sendiri tidak percaya. Tadi aku kepingin banget merokok. Padahal selama ini aku tidak suka asapnya. Entahlah. Kalau lihat Hayat merokok, mengepulkan asap dari mulutnya, seolah sedikit-sedikit dia melepaskan bebannya, dan… seksi. Aw aw aw. Aku masih ingat telapak tangannya yang besar, dan melekuk, seolah memohon agar aku tidak merusak diriku sendiri, seolah dia sendiri sadar kalau apa yang dia lakukan tidak baik dan memintaku untuk tidak mengikutinya. Manis banget. Lalu dia bilang apa setelahnya, aku lupa, soalnya yang aku perhatikan cuman lesung kecil di pipinya sebelah kiri. Oh iya. Dia juga bukan perokok, katanya, tapi kok merokok? Ah tahu deh.

Tangannya yang menyalakan rokok untukku, melintang di depan mulutku karena angin yang menderu-deru.. Huhuhuu…

Aku sampai tidak sadar kalau aku mau melewati si mas-mas alay. Dia sedang jongkok seperti biasa di depan rental komputer. Ih. Lihat tampang dongoknya yang terarah padaku, yang ternyata sedang senyum-senyum sendiri! Tapi sudah kepalang tanggung. Jadi aku jalan saja terus dan pasang ekspresi serius. Tapi sampai langkahku menjauhi area di sekitar rental komputer itu, sama sekali tidak terdengar teguran mas-mas alay melayang padaku. Bahkan mas-mas alay pun sudah tidak memerhatikanku…     

HAYAT

Begitu kubuka pintu, aroma itu masih menyengat dari pojok tempat tidurku. (Tempat tidurku dekat pintu.) Tidak bisa kubiarkan si jantan tengik itu menandai kamarku sebagai wilayahnya. Ini wilayahku! Tapi bukan caraku mengukuhkan wilayahku ini dengan menampal kencingnya dengan kencingku. Setelah menaruh ransel, aku turun lagi ke bawah untuk mengambil gagang pel. Kusiram ujung gagang itu dengan cairan karbol banyak-banyak. Lumayan. Aroma sengit itu tersamarkan. Debu-debu yang bersembunyi di sekitar kaki tempat tidur ikut terbawa bersamaan dengan ujung pel yang kugerakkan maju-mundur. Sepertinya aku benar-benar harus membereskan ruangan ini. Memindahkan semua barang ke atas meja, lemari, tempat tidur, melipat karpet, menyapu, mengepel lagi semua dari awal. Tapi kapan-kapan saja. Sembari menggerakkan gagang pel itu aku teringat Louis Garrel di The Dreamers yang mengocok gagangnya di depan poster aktris, apakah adegan itu bakal menggairahkan bagi cewek-cewek…

HAYAT

Aku kembali melanjutkan Bab I di meja. Jendela kututup, tapi angin menerobos lewat ventilasi, dan memberitahuku bahwa masih ada aroma feromon yang tersisa, bangsat, lain kali kubunuh kucing itu.

Mumpung aku belum ganti baju, aku ke kampus lagi saja.

HAYAT

Malamnya aku tidur di kamar Jeki. Berisik sih. Ia sudah lulus dari kapan (aku tidak suka mengingat ini), dan punya semacam perusahaan pembuat game atau apa. Anak buahnya pada kumpul. Tapi aku berlagak sudah mati di kasurnya, menghadap dinding sampai suasana senyap sendiri.

Yang kuingat hanya aku sedang menindih seorang cewek, lalu terjaga dengan bagian bawah tubuhku mengganjal. Sial. Aku tidak bisa melakukannya di kamar orang lain, maupun di kamar mandinya. Aku mencoba untuk tidur lagi, tapi mataku seperti ditempeli mentimun. Aku mengendap-endap ke kamar mandi Jeki, dan berusaha menuntaskannya tanpa suara.

TIARACITRA

Bfffffbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbfffffffffffffffffffbbbbbbbfbfffb bfbfffbffc bbbff  fbffffffbb  b bb  b                  bbb fffffffffbbbf b b               bb            b  b  bb                                            bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb             bfbff

Kembali aku mengangkat tangan dari kibor. Masak aku serahkan yang begini ke Pak Bambang besok? Uh… Kalau Hayat bisa konsentrasi di rumah—di kosannya—kenapa aku tidak bisa? Kucing Nenek mengeong terus, lagi. Padahal aku sudah kasih makan, belum sampai dua jam lalu. Padahal itu kucing jantan, tapi kalau pipis sambil duduk. Banci. Terus, dia punya pacar sesama jantan, dengan bercak hitam di bawah hidung yang terlihat seperti kumis. Pacarnya jarang apel, kalau apel, aku akan dengan setia menunggui mereka dari balik jendela ruang tamu. Tapi mereka pacaran tidak seru, cuman diam-diaman.

Akupun bangkit. Begitu melihatku membawa sapu, kucing itu angkat kaki. Kugiring ia ke pintu terdekat menuju keluar. Waktu Nenek sedang tidak ada, aku pernah mengejar-ngejar kucing itu pakai sapu soalnya dia meniduri prakaryaku dan meninggalkan banyak bulu. Semenjak itu dia seperti rada paranoid sama aku.

“Sana, belajar cari makan sendiri!” dumelku begitu ia melewati ambang pintu belakang, mengacir ke jalanan. Aku sebal sih. Dia itu sudah gede, sudah bukan kucing kecil lagi. Tapi manjanya ampun-ampunan deh. Kucing seumuran dia yang betina saja sudah bisa cari tikus sendiri. Dia bisanya cuman merengek-rengek sama Nenek. Nenek juga sih yang memanjakan dia.

Oke. Mungkin aku tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kalau dikonversikan ke umur manusia, umur kucing itu mungkin sama dengan umurku. Dan mengatakan yang tadi itu pada kucing yang dididik manja seperti itu… aku rasanya tidak tahu diri.

Setelah bermenit-menit membuat variasi dari dua konsonan, lagi, aku angkat tangan untuk selamanya, oh tidak, untuk entah sampai kapan, aku pasti bakal kembali lagi untuk menyelesaikan ini, tapi tidak sekarang, entah kapan, aku tidak tahu, aku terus mengangkat tangan sambil berjalan mundur ke kamar. Mungkin aku memang tidak pandai merajut kata. Mungkin aku lebih pandai merajut benang wol.

Aku sudah berpengalaman merajut syal sampai tujuh kali, dan ini syalku yang ketujuh yang tidak jadi.

Syal yang pertama kali kubikin berwarna merah, lalu jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan kali ini, ungu. Warna janda? Oh—bukan! Justru aku ingin merajut syal kali ini sampai panjang sekali, yang bisa melingkari leher dua orang sekaligus. Untukku, dan untuk pacarku, nanti, kalau aku sudah dapat pacar lagi. Tapi ya aku akui aku memang kadang tidak memiliki cukup ketekunan dalam merajut. Tapi kali ini pasti jadi. Pas-ti. Walau aku lupa hitungannya buat yang satu ini, lagi (beberapa syal sebelumnya berbentuk rada jajar genjang, tapi, hel, ini kan inovasi?), tapi yang ini pasti kuselesaikan.

Merajut, aktivitas yang tidak berpikir, membuat pikiranku rileks sejenak.

Aku terus merajut sampai tidak betah, sehingga mengerjakan TA terasa seperti penyegaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain