HAYAT
8.27.
Kemarin aku bangun persis sekitar jam ini. Tapi aku tidur lagi. Aku alasan sama
Tiaracitra, aku baru bisa tidur setelah jam tiga, dan bangun setelah jam dua
belas. Sudah beberapa hari seperti itu. Dia ke perpustakaan sendiri. Kenapa
harus selalu bareng sih? Semalam aku bisa tidur lebih awal, sekitar jam
setengah satu. Jadi seharian kemarin aku hidup hanya sekitar dua belas jam.
Kepalaku masih disaput kabut. Pertama aku bingung kenapa aku di kasur. Padahal
akhir-akhir ini aku tidur di karpet. Bantalku tumpukan buku. Pakai sarung pakai
selimut. Lalu dari sore kemarin hujan, aku mengisi saat deras-derasnya dengan
pornografi. Sehabis itu, aku menonton film The
Dreamers. Wajah Eva Green masih mengiang-ngiang dalam kepalaku beberapa
lama sebelum aku bisa terlelap malamnya. Wajahnya, teteknya, jembutnya, belahan
bibir bawahnya, kakinya bersih. Tapi sebelum itu, sewaktu masih menonton bokep,
aku merasa sangat ingin sekali merokok. Cuman sebentar. Mulutku langsung panas.
Tenggorokanku seperti tidak enak. Mungkin akhirnya aku berhasil mengondisikan
mentalku untuk menolak rokok. Dulu aku bukan perokok, SMA. Waktu sama Ayudh pun
bukan. Aku baru merokok sejak, sejak ditinggal Ayudh. Waktu itu Jeki mampir,
dengan lagaknya yang sok, lah, dia kira aku merokok, ya sudah. Sejak itu kadang
saat dini hari aku merokok tidak bisa berhenti. Sore itu aku merokok di kosen
jendela sambil mengamati tukang roti bakar dihajar gerimis. Aku berpikir apa
ada Holden Caufield versi cewek, De
Avonden versi cewek, Pangeran Kecil versi
cewek (Putri Kecil), Norwegian Wood versi cewek (dari sudut
pandang Naoko? Midori?), bahkan S. E. Hinton yang cewek pun menggunakan tokoh
utama cowok. Mungkin ada beberapa teenlit dan chiclit… Apa yang cewek-cewek lakukan saat seusiaku? Mungkin sedang
mengusap pentil mereka di kamar dan membayangkan mulut kecil yang akan
mengisapnya. Perasaan keibuan semacam itu. Ada semacam wanita muda di kepalaku,
wanita muda disfungsional. Tapi mungkin sesulit menuliskan TA. Bab I, Bab II,
Bab III bergejolak di dalam kepalaku, tapi otakku langsung kram begitu terpikir
untuk menuliskannya. Tanganku kejang-kejang begitu mengarah ke kibor. Aku
bingung apa yang harus kulakukan pagi ini. Yang jelas bukan musik. Kicau burung
ramai sekali. Sarang mereka di bawah atap yang menaungi jendela, di atas
balkon. Aku heran kenapa kotak itu selalu ada dalam sejangkauan tanganku, ada
isinya pula. Jadi aku mengepulkan asap lagi, menghancurkan kemurnian udara.
Sembari bersandar di dinding, duduk melipat kaki, tetap di kasur, seperti raja
di singgasana, bukan, seperti musafir yang terombang-ambing di atas selapis
papan, memandangi barang-barang yang mengapung di lautan, yang berasal dari
kapal yang karam, kapal yang sebelumnya ditumpanginya. Ada beberapa lembar uang
yang masih kaku di meja, ditimpa mug dengan penutup (aku tidak tahu apa isinya,
paling-paling bening atau hitam). Ada beberapa toples camilan yang sampai
kapanpun tidak ingin kumakan. Persediaan kopi masih banyak, tapi aku merasa
agak ingin kencing. Semalam aku dengar Roni memasukkan seember nasi tak
termakan ke kulkas, karena malam sebelumnya ia masak terlalu banyak, ia
koar-koar barangsiapa mau goreng nasi dengan punyanya itu sangat dipersilahkan…
Tapi aku malah menyalakan laptop, menulis apapun yang terlintas dalam satu
paragraf yang sangat panjang, berharap begitu aku bisa menyelesaikannya, aku
akan menjudulinya dengan, “BAB I”. BAB-I. BABI.
Ibuku
mengirim sms, mengingatkan TA. Ini sedang aku kerjakan. Aku sudah pindah ke
dekat jendela, duduk di kursi, laptop di meja. Angin semilir di belakang
punggungku. Pagi jelang siang masih agak dingin. Aku sendiri takjub bisa lancar
mengetik begini. Aku bahkan tidak mengemut asap sebatang pun. Baru aku menoleh
ketika ada benda jatuh di belakangku. Hanya kucing. Matanya yang besar
mengerling, kalau ia manusia mungkin aku bakal terpesona. Tubuhnya yang
lurik-lurik berukuran sedang, mungkin ia masih remaja. Ia betina. Ia sering
masuk lewat jendelaku, membuatku membukakan pintu. Ia benar-benar
seorang—seekor—lady, membuatku jadi
abdinya. Pintu tidak aku tutup lagi. Aku segera kembali ke kursi dan mengetik.
Sebuah benda jatuh lagi di belakangku. Kini ukurannya agak besar. Hitam-putih.
Aku langsung waspada. Selain dia, biasanya ada dua ekor lagi. Oranye dan hitam.
Aku waspada pada mereka semua. Tapi tubuhku segera berbalik lagi. Mengetik.
Terdengar gemerisik. Mungkin kucing itu menyenggol apa. Mengetik. Saat mengubah
posisi duduk kucium bau, bau tidak menyenangkan. Aku mengendus-endus. Seperti
bukan kencing kucing. Tapi tetap saja tidak enak. Aku lanjut mengetik. Tapi
konsentrasiku tidak kembali. Kucing itu kulihat masih di kamarku,
mengendus-endus. Aku berusaha mengetik lagi. Kulihat kucing itu lagi.
Kuperhatikan lantai kamarku yang kusam. Entah sudah berapa tahun tidak kupel,
kusapu (memang harus?). Sampai kusadari bayangan gelap di bawah dipan. “HOI!” Kucing itu langsung terbirit-birit.
Sialan! Kukejar ia sampai menuruni tangga, dan kembali dengan membawa gagang
pel. “Kenapa, Kak?” Tetangga di kamar sebelah menyapa. Dalam gendongannya si
kucing betina bermata besar. Aku memandangnya dengan masam.
Begitu
terdengar azan zuhur aku langsung bersiap ke kampus. Mendadak aku ingin makan
bakmi Kantin Barat Daya. Aku sedang duduk menunggu pesanan sembari merokok
ketika cewek itu menghampiri. Yang pertama kali menarik perhatianku adalah
terusannya yang kuning cerah, lalu sebagian rambutnya yang diikat ke
belakang—ikatnya berwarna senada, lalu ransel putih-biru-merah-entah-apa-lagi
yang tampak seperti rajutan, tapi entah kenapa aku tidak yakin, mataku agak
minus. Ia mendekap botol minumnya yang bening namun berhiaskan bunga-bunga
hijau kecil, dengan tutup besar yang hijau pula. Ia duduk di hadapanku namun
menunduk saja. Ia mengeluarkan sebungkus obat, dari ransel yang ia taruh dengan
hati-hati di sampingnya, seolah ia tidak mau kulitnya terkena. Obatnya berupa
kapsul berwarna merah hati. Pesananku datang. Tidak lama kemudian makanannya
juga datang. Aku makan dengan cepat, setelah itu aku kembali merokok. Aku
mengamati orang-orang yang meriuhkan bangunan terbuka berlantai dua ini—kami di
lantai bawah. Hampir-hampir tidak ada wajah yang kukenal, paling hanya
orang-orang di balik rak makanan, meja kasir, dan yang wira-wiri dengan baki.
Aku sendiri sering bertanya-tanya kenapa aku masih di sini. Tapi mengingat apa
yang (tidak) aku lakukan setahun belakangan ini, ya sudahlah. Cewek di depanku
masih mengunyah dengan pandangan agak menunduk. Nasi gorengnya mungkin tinggal
sekitar seperempat. Aku menyulut puntungku yang ketiga. “Lu makan lama amat
sih.” Aku melihat kilatan tidak suka di matanya. Lalu aku kembali melihat-lihat
ke sekitar, anak-anak baru yang segar-segar. Yang bening dan aduhai. Gumpalan
asap ke sekian, aku tidak tahu kenapa aku menghabiskan waktu lebih lama di
sini. Cuaca sempat agak cerah, tapi ketika aku mendongak begitu melewati atap
kantin, kelabu sudah menguasai lagi. Cuaca yang bagus untuk merokok di atap
gedung seberang perpustakaan. Selagi berjalan, aku sadari Tiaracitra berusaha
mengiringi langkahku. Ikut menaiki tangga yang berputar-putar. Dan sampailah
kami di udara terbuka. Angin berembus. Aku duduk di semacam kotak di tengah
atap itu, lalu mengeluarkan bungkus rokok lagi dari saku jaket. Selagi memantik
lighter, tangan Tiaracitra tahu-tahu
menjulur. Ia masih tidak mau menatapku langsung. “Bagi.” Aku menyerahkan kotak
itu padanya. Diam-diam aku perhatikan caranya mengeluarkan rokok, aku serahkan lighter, mengapit silinder itu di
bibirnya, berusaha menyulut, aku ambil lighter-ku
lagi, lalu aku nyalakan untuknya. Angin agak kencang jadi aku harus menghalangi
api dengan sebelah tanganku. Gerakan bibirnya, pipinya. Saluran di balik
lehernya. Caranya mengapit dengan kedua jarinya. “Dari kapan lu ngerokok?”
Jawabnya, “dari dulu aku pingin cobain.” Aku ganti melihat puncak atap
perpustakaan di seberang. Langit agak putih, tapi mendung membingkainya. Tajuk
pepohonan di hutan belakang kampus melatari. Sudah tidak terasa apa-apa lagi di
mulutku. Aku matikan rokok di samping permukaan yang aku duduki. Lalu aku
tadahkan telapak tanganku di depan Tiaracitra. Ia memandangku dengan tidak
mengerti. Daguku mengarah ke rokok di bibirnya. Ia cukup perhatian. Ia serahkan
silinder yang hampir-hampir masih utuh itu. Sayang juga sih. Tapi aku segera
matikan ujungnya di tengah-tengah permukaan yang kami duduki. “Dulu gue juga
bukan perokok,” aku menatapnya sebentar sebelum kembali ke langit. Lama kami
hanya diam. Aku tidak mengerti kenapa ia betah duduk di sampingku. Aku yang
tidak betah. “Gue kayaknya lebih konsen ngerjain di kosan deh,” kataku
akhirnya. “Oh,” cuman begitu responsnya. Ia kembali mengikutiku menuruni
tangga. Lalu kami berpisah di gerbang belakang.
TIARACITRA
Kalau si
mas-mas alay lihat aku sekarang, pasti dia bakal komentar, “Kok lesu amat,
Neng. Senyum dong.” Neng, huh, dia
seakan tidak sadar logat medhok-nya
itu masih ada. Tapi sampai aku hapal begitu sama suaranya, isi komentarnya,
seolah hanya dia yang kasih perhatian sama aku di dunia ini. Hih. Padahal aku
masih jauh dari tempat dia biasa mangkal.
Akhirnya
aku ikut pulang. Habis, memang aku tidak tahu apa lagi yang mau dilakukan di
perpustakaan. Aku tidak bisa mengetik sebaris kalimat pun… eh, sudah sih, satu
paragraf, tapi aku tidak bisa melanjutkannya… Ah sudahlah, Tiaracitra, itupun
harus disyukuri! Aku akan berhenti mengeluh. Ya! Aku akan berhenti mengeluh.
“Gue lebih konsen di kosan,” katanya.
Aduh. Coba aku juga bisa konsentrasi di rumah. Iri banget aku dengar dia bilang
begitu. Tapi mana bisa aku fokus, dengan Nenek mondar-mandir di seantero rumah.
Di usianya yang hampir kepala tujuh itu ia masih lincah. Kalau Hayat lebih
konsentrasi di kosan… aku jadi betulan tidak ada teman di kampus dong… Hah… Ada
sih beberapa mahasiswa tingkat enam lainnya, tapi aku tidak terlalu
kenal sama mereka, masih mending kalau satu jurusan. Aku segan. Masak aku harus
membujuk-bujuk Hayat supaya ke kampus terus…
Tapi
setidaknya ada berita baik. Aduh. Aku
malu mengingatnya. Hihi. Beruntung banget deh Ayudh. Tadi itu manis banget,
ketika dia minta rokokku, ya ampun, aku sendiri tidak percaya. Tadi aku
kepingin banget merokok. Padahal selama ini aku tidak suka asapnya. Entahlah.
Kalau lihat Hayat merokok, mengepulkan asap dari mulutnya, seolah
sedikit-sedikit dia melepaskan bebannya, dan… seksi. Aw aw aw. Aku masih ingat
telapak tangannya yang besar, dan melekuk, seolah memohon agar aku tidak
merusak diriku sendiri, seolah dia sendiri sadar kalau apa yang dia lakukan
tidak baik dan memintaku untuk tidak mengikutinya. Manis banget. Lalu dia
bilang apa setelahnya, aku lupa, soalnya yang aku perhatikan cuman lesung kecil
di pipinya sebelah kiri. Oh iya. Dia juga bukan perokok, katanya, tapi kok
merokok? Ah tahu deh.
Tangannya
yang menyalakan rokok untukku, melintang di depan mulutku karena angin yang
menderu-deru.. Huhuhuu…
Aku sampai
tidak sadar kalau aku mau melewati si mas-mas alay. Dia sedang jongkok seperti
biasa di depan rental komputer. Ih. Lihat tampang dongoknya yang terarah
padaku, yang ternyata sedang senyum-senyum sendiri! Tapi sudah kepalang
tanggung. Jadi aku jalan saja terus dan pasang ekspresi serius. Tapi sampai
langkahku menjauhi area di sekitar rental komputer itu, sama sekali tidak
terdengar teguran mas-mas alay melayang padaku. Bahkan mas-mas alay pun sudah
tidak memerhatikanku…
HAYAT
Begitu
kubuka pintu, aroma itu masih menyengat dari pojok tempat tidurku. (Tempat
tidurku dekat pintu.) Tidak bisa kubiarkan si jantan tengik itu menandai
kamarku sebagai wilayahnya. Ini wilayahku! Tapi bukan caraku mengukuhkan
wilayahku ini dengan menampal kencingnya dengan kencingku. Setelah menaruh
ransel, aku turun lagi ke bawah untuk mengambil gagang pel. Kusiram ujung
gagang itu dengan cairan karbol banyak-banyak. Lumayan. Aroma sengit itu
tersamarkan. Debu-debu yang bersembunyi di sekitar kaki tempat tidur ikut
terbawa bersamaan dengan ujung pel yang kugerakkan maju-mundur. Sepertinya aku
benar-benar harus membereskan ruangan ini. Memindahkan semua barang ke atas
meja, lemari, tempat tidur, melipat karpet, menyapu, mengepel lagi semua dari
awal. Tapi kapan-kapan saja. Sembari menggerakkan gagang pel itu aku teringat
Louis Garrel di The Dreamers yang
mengocok gagangnya di depan poster aktris, apakah adegan itu bakal
menggairahkan bagi cewek-cewek…
HAYAT
Aku kembali
melanjutkan Bab I di meja. Jendela kututup, tapi angin menerobos lewat
ventilasi, dan memberitahuku bahwa masih ada aroma feromon yang tersisa,
bangsat, lain kali kubunuh kucing itu.
Mumpung aku
belum ganti baju, aku ke kampus lagi saja.
HAYAT
Malamnya
aku tidur di kamar Jeki. Berisik sih. Ia sudah lulus dari kapan (aku tidak suka
mengingat ini), dan punya semacam perusahaan pembuat game atau apa. Anak buahnya pada kumpul. Tapi aku berlagak sudah
mati di kasurnya, menghadap dinding sampai suasana senyap sendiri.
Yang
kuingat hanya aku sedang menindih seorang cewek, lalu terjaga dengan bagian
bawah tubuhku mengganjal. Sial. Aku tidak bisa melakukannya di kamar orang
lain, maupun di kamar mandinya. Aku mencoba untuk tidur lagi, tapi mataku
seperti ditempeli mentimun. Aku mengendap-endap ke kamar mandi Jeki, dan
berusaha menuntaskannya tanpa suara.
TIARACITRA
Bfffffbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbfffffffffffffffffffbbbbbbbfbfffb
bfbfffbffc bbbff fbffffffbb b bb
b bbb
fffffffffbbbf b b bb b
b bb bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb bfbff
Kembali aku
mengangkat tangan dari kibor. Masak aku serahkan yang begini ke Pak Bambang
besok? Uh… Kalau Hayat bisa konsentrasi di rumah—di kosannya—kenapa aku tidak
bisa? Kucing Nenek mengeong terus, lagi. Padahal aku sudah kasih makan, belum
sampai dua jam lalu. Padahal itu kucing jantan, tapi kalau pipis sambil duduk.
Banci. Terus, dia punya pacar sesama jantan, dengan bercak hitam di bawah
hidung yang terlihat seperti kumis. Pacarnya jarang apel, kalau apel, aku akan
dengan setia menunggui mereka dari balik jendela ruang tamu. Tapi mereka
pacaran tidak seru, cuman diam-diaman.
Akupun
bangkit. Begitu melihatku membawa sapu, kucing itu angkat kaki. Kugiring ia ke
pintu terdekat menuju keluar. Waktu Nenek sedang tidak ada, aku pernah
mengejar-ngejar kucing itu pakai sapu soalnya dia meniduri prakaryaku dan
meninggalkan banyak bulu. Semenjak itu dia seperti rada paranoid sama aku.
“Sana,
belajar cari makan sendiri!” dumelku begitu ia melewati ambang pintu belakang,
mengacir ke jalanan. Aku sebal sih. Dia itu sudah gede, sudah bukan kucing
kecil lagi. Tapi manjanya ampun-ampunan deh. Kucing seumuran dia yang betina
saja sudah bisa cari tikus sendiri. Dia bisanya cuman merengek-rengek sama
Nenek. Nenek juga sih yang memanjakan dia.
Oke.
Mungkin aku tidak seharusnya bersikap seperti itu. Kalau dikonversikan ke umur
manusia, umur kucing itu mungkin sama dengan umurku. Dan mengatakan yang tadi
itu pada kucing yang dididik manja seperti itu… aku rasanya tidak tahu diri.
Setelah
bermenit-menit membuat variasi dari dua konsonan, lagi, aku angkat tangan untuk
selamanya, oh tidak, untuk entah sampai kapan, aku pasti bakal kembali lagi
untuk menyelesaikan ini, tapi tidak sekarang, entah kapan, aku tidak tahu, aku
terus mengangkat tangan sambil berjalan mundur ke kamar. Mungkin aku memang
tidak pandai merajut kata. Mungkin aku lebih pandai merajut benang wol.
Aku sudah
berpengalaman merajut syal sampai tujuh kali, dan ini syalku yang ketujuh yang
tidak jadi.
Syal yang
pertama kali kubikin berwarna merah, lalu jingga, kuning, hijau, biru, nila,
dan kali ini, ungu. Warna janda? Oh—bukan! Justru aku ingin merajut syal kali
ini sampai panjang sekali, yang bisa melingkari leher dua orang sekaligus.
Untukku, dan untuk pacarku, nanti, kalau aku sudah dapat pacar lagi. Tapi ya
aku akui aku memang kadang tidak memiliki cukup ketekunan dalam merajut. Tapi
kali ini pasti jadi. Pas-ti. Walau aku lupa hitungannya buat yang satu ini,
lagi (beberapa syal sebelumnya berbentuk rada jajar genjang, tapi, hel, ini kan
inovasi?), tapi yang ini pasti kuselesaikan.
Merajut,
aktivitas yang tidak berpikir, membuat pikiranku rileks sejenak.
Aku terus
merajut sampai tidak betah, sehingga mengerjakan TA terasa seperti penyegaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar