Selasa, 10 Oktober 2023

Salah Kaprah Ladang Berpindah

Sebelumnya ini dibuat pada 26/06/23.


Menyambung pembacaan Cerita dari Tengah Rimba, bab ketiga buku ini yang berjudul "BERLADANG" menceritakan bagaimana penduduk di pedalaman Kalimantan membuka ladang dengan cara membakar hutan. Mereka berkeliling hutan untuk memilih lahan yang akan digarap. Setelah menemukan tempat pilihan (bisa didukung dengan adanya firasat), mereka membuat tanda (misalkan dengan sepotong bambu yang dibelah-belah atasnya sehingga berbentuk seperti bunga) sebagai pernyataan akan mengusahakan lahan tersebut. Tanda itu memberi tahu orang lain agar tidak menyerobot. Kemudian mereka mengadakan upacara kecil supaya tidak diganggu roh-roh halus yang dianggap menghuni tempat itu. Setelah upacara, mulailah menumbangkan pohon-pohon dan tetumbuhan lainnya di tanah itu. Hasil tebangan dibiarkan selama seminggu supaya mengering dan lebih mudah dibakar. Api dihidupkan pada keempat sudut lahan. 

Perladangan ini tentulah sangat vital bagi warga yang menggarapnya karena merupakan sumber penghidupan mereka. Tetumbuhan yang dibakar pun menjadi abu yang dapat menyuburkan tanaman. Namun, di sisi lain terdapat nada mengkritisi praktik tersebut.

"Mereka bertiga menyaksikan secara pelan-pelan kayu-kayu kecil yang mereka tebang habis menjadi abu. Tak ada satu lagi yang hidup di sana. Tanaman musnah apalagi binatang. Entah berapa banyak makhluk hidup baik binatang maupun tanaman yang mati karena pembakaran tersebut. Makin besar api yang mereka nyalakan makin besar pula kepunahan yang terjadi. Hal itu akan selalu terjadi bilamana seorang peladang membakar hutan untuk membuka ladangnya." (halaman 20)

"Akan tetapi tidak jarang terjadi seorang peladang yang membakar hutan, yang terbakar bukan hanya apa yang mereka tebang akan tetapi juga hutan-hutan lain di sekitarnya dan menimbulkan akibat yang sangat merugikan." (halaman 22)

"Kata orang berladang ini merusak hutan. Mungkin juga ada benarnya, walaupun masih belum seberapa bilamana dibandingkan dengan luasnya hutan yang ada. Akan tetapi bilamana jumlah para peladang semakin bertambah semakin besar pula kerusakan hutan yang akan timbul." (halaman 26)

Pernyataan sebagaimana yang dikutip di atas menimbulkan kesan negatif pada teknik perladangan berpindah yang selama ini dilakukan oleh warga sekitar hutan. Seakan-akan, jika ada kebakaran hutan, maka peladang lah yang mesti disalahkan. Bab ini menyinggung juga perusahaan-perusahaan yang diberi Hak Pengusahaan Hutan oleh negara sehingga boleh menebangi hutan. ("Tetapi terpikir juga olehnya kalau terus-terusan ditebang dengan cara besar-besaran bisa habis juga hutan kita." --halaman 19) Namun tidak ada keterangan yang mendetail sebagaimana praktik yang dilakukan oleh warga. Malah terkesan bahwa perusahaan pemegang HPH itu lebih dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.

"'Ayah, apa tidak sayang kayu-kayu besar itu dibakar?' kata Arman. 'Kalau di seberang, di pabrik itu, kayu itu dibikin mereka papan dan macam-macam.' Tapi kata ayah, 'bagaimana kita mengerjakannya, mengangkatnya saja kita tidak kuat, alatnya tidak ada dan tempat ini jauh dari rumah kita.' Arman terdiam, kelihatannya ia masih belum puas karena ia merasa kayu itu cukup berharga dan dapat diolah tetapi menjadi terbuang karena dibakar begitu saja." (halaman 20) 

Berselang hampir setengah tahun sejak membaca buku itu, saya menemukan video dari saluran Vox di YouTube yang berjudul "How decades of stopping forest fires made them worse" (dirilis pada 22 September 2021). Video ini dibuka dengan menceritakan upaya Departemen Kehutanan Amerika Serikat (US Forest Service) menangani kebakaran hutan yang justru memberikan efek bumerang. Selama beberapa dekade, upaya mereka efektif. Kebakaran hutan tidak terjadi lagi. Namun sekarang kebakaran hutan kembali terjadi bahkan lebih parah. Rupanya hutan yang terjaga dari api selama beberapa dekade itu memperbanyak materi pembakaran ketika api kembali melalap. (Scientists are beginning to understand that decades of fire suppression has created dense forests that are ready to ignite in catastrophic ways. --0.58 - 1.03) Maka muncullah solusi yang sebetulnya sudah dijalankan penduduk asli selama berabad-abad yaitu sengaja membakar petak-petak di dalam hutan. (One proposed solution dates back hundreds of years: burning parts of our forests, on purpose. --1.07 - 1.11).

Maka, api itu tidak sepenuhnya buruk. Api justru termasuk energi yang mendukung pertumbuhan.

"For most of the globe and particularly the forests in the western US, they actually evolved with fire. Tree rings, soil samples, and charcoal records all show a history of fire--likely started by lightning strikes and other natural phenomena. And that history shows that fire isn't always a destructive force--but an important part of forest ecology. 

"Fire plays a really important role where it is essentially removing a lot of the older, less productive material from the landscape and is creating pockets in patches of different ages of vegetation. 

"That diversity of ages also produces a diversity of species. In many places, fires work as a 'reset button' for the forest. It clears out dead brush and older materials and makes space for new growth. For some species, fire is even vital for reproduction. For example, low burning fires dry out sequoia tree cones enough for them to open and drop seeds. At the same time, the fire clears the ground to expose fresh, nutrient rich soil which creates ideal conditions for seeds to germinate. But aside from the ecological benefits, fires also help a forest become more resistant to high severity burns later on. Low burning fires clear the forest floor and lower branches from trees. Then, if a more intense fire moves through the same area, it's slowed by a lack of fuel.

"So when you get those type of patches all over the place, it becomes difficult for fire to move through that landscape again any time soon. But decades of suppression have led to a build up of dry, dread materials in our forests--so we're long past that point of just letting all fires burn." (2.04 - 3.55)

Wkwkwk, saya jadi menyalin sebagian transkrip. Untuk lengkapnya, silakan tonton sendiri videonya.


Usai menonton video ini, saya membagikannya ke teman-teman yang pernah belajar ilmu kehutanan. Seorang teman yang pernah bekerja di Kalimantan (sekitar belasan tahun lalu) mengonfirmasikan bahwa ia pernah melihat sendiri karyawan di perusahaan tempatnya bekerja yang notabene petani membersihkan lahan dengan cara membakar yang didahului dengan upacara adat. Mereka membuka lahan secukupnya saja. Pembakaran tidak sampai merembet, hanya berlangsung di lahan mereka. Pengalamannya ini persis sebagaimana yang diceritakan di buku. Namun gara-gara tradisi ini memang masyarakat setempat dipersalahkan telah menyebabkan kebakaran hutan, padahal ada pihak lain yang membuka lahan dengan cara demikian juga malah dalam skala besar-besaran. Siapakah pihak tersebut? Boleh jadi mereka adalah penyuplai barang kebutuhan kita sehari-hari sehingga tanpa disadari kita pun secara tidak langsung berkontribusi :D



Posting ini saya perbarui setelah mendengar di menit-menit terakhir video berikut seorang profesor menyatakan bahwa daripada "pertanian berpindah" lebih baik menyuburkan lahan dengan pupuk organik buatan sendiri. Memang saya menyimak video ini terputus-putus dan sambil lalu saja 😅✌️ Cuma jadi timbul pertanyaan: apakah pertanian berpindah memang tidak layak dipertahankan akibat dari semakin terbatasnya lahan juga semakin meningkatnya penduduk dan industri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain