Yang teringat: kami memasuki sebuah area parkir sambil menyanyikan "Panggung Sandiwara". Rupanya itu parkiran sebuah mal. Kami memasuki mal itu, menghampiri area permainan. Ada mesin Dance Dance Revolution yang tampak lebih canggih daripada yang saya mainkan sekian tahun lalu. Untuk memainkannya pun sudah cashless. Saya tidak punya e-money, tapi Nike punya kartu. Selebihnya saya tidak ingat, atau mimpi sudah berakhir. Lalu terpikir, usia saya dan Nike, atau semestinya saya sebut almarhumah Teteh Nike, terpaut belasan tahun. Ia lebih tua. Namun dalam mimpi itu kami tampak sepantaran, sepertinya mengenakan seragam SMA. Seperti kami baru pulang sekolah lalu jalan bareng ke mal yang entah mal mana. Ia terasa seperti teman yang baik; sayang, hanya sekejap dalam mimpi.
Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002
-
ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan
artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor
20/XXXI/1...
4 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar