Selasa, 17 April 2012

Bunuh Tikus




Aku tidak tahu jam berapa saat itu. Sepertinya dini hari. Ada suara-suara, suara manusia, suara pakde dan budeku. Aku malas bangun. Tapi kuketahui juga kalau Pakde di dapur memegang senter. Memburu tikus. Tikus yang telah menaiki tempat tidur budeku. Menggigit tangan budeku sampai berdarah.

Sudah kukatakan, aku malas bangun. Aku tetap di tempat tidur sementara Pakde menyorot bagian bawah tempat tidur itu. Ia tidak menemukan yang ia cari. Setelah itu kegemparan reda. Aku tidak tahu lagi bagaimana pakde dan budeku dapat tidur setelah kejadian itu. Dengan lekas aku kembali lelap.

Ada kerajaan tikus di rumah ini. Setiap pagi pakde atau budeku menaburkan abu di atas butir-butir kotoran tikus yang berserakan di teras. Kadang cicitan mereka, gemerisik pergerakan mereka, mewarnai heningnya malam. Aku pernah menemukan bangkai satu di antara mereka, dengan tubuh tercabik, di bawah rak piring. Ketika aku menyodokkan sapu ke bawah meja lalu menariknya kembali, banyak kulit kacang ikut terseret. Pintu yang membatasi dapur dengan ruang makan, juga pintu kamar mandi, harus ditutup tiap malam agar tikus tidak masuk ke ruang dalam. Tapi mereka tetap ada.

Beberapa kali Bude mengatakan kalau tikusnya marah, jika kotoran begitu banyak atau ada makanan dari meja yang dijarah.

Ketika aku sendirian saja di rumah pada suatu malam, berisiknya mereka mengusik tidurku. Mereka berkeliaran di ruang depan. Ada yang sempat menaiki kakiku. Aku bangun. Ada tempe goreng di dekat kosen kamar. Aku ingat kalau aku lupa menutup piring berisi gorengan di meja makan.

Selanjutnya hari berjalan seperti biasa. Aku beraktivitas di kampus sampai sore. Ketika aku sampai di depan rumah, Pakde tengah membuat sesuatu dari semacam besi kawat yang berbentuk kotak-kotak. Perangkap tikus rupanya. Bude ada di sampingnya, memerhatikan.

Aku dibilangi untuk tidak membuka pintu kamar mandi di ruang makan. Ada tikus di situ. Tikus yang sengaja dijebak. Pakde masuk ke sana dengan perangkap yang telah ia buat. Bentuknya silinder.  

Aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Kamar yang aku tempati itu terletak bersebelahan dengan kamar mandi yang dimasuki Pakde. Hanya dinding membatasi.

Lantas aku dengar cicitan nyaring. Jika makhluk itu manusia, aku akan mengatakan ia berteriak-teriak, menjerit. Lengkingan yang menyayat pendengaran dan sesuatu yang ditaruh di balik dada. Entah apa yang Pakde lakukan terhadap tikus itu.

Eksekusi usai. Tikus itu basah, lemas, dan meringkuk di sudut perangkap. Pakde meletakkannya di sudut pagar. Aku hendak memotretnya, namun Pakde keburu memasukkannya ke dalam plastik, lalu ke tempat sampah.

Kasihan, ucapku.

Tapi ia telah menggigit budeku semalam.

Pakde berkata kepada tetangga yang ia temui, ia tidak akan membunuh tikus itu kalau tikus itu tidak menggigit budeku.

Tikus ganas.

Entah berapa lama ia mendekam di kamar mandi. Tampaknya ia berusaha keluar dengan menggaruk-garuk bagian bawah pintu, atau tepi kosen. Bude menunjukkan itu kepadaku.

Mungkin tikus itu juga sempat memasuki bak mandi saking gelisah. Maka aku disuruh Pakde menguras bak mandi.

Kematian tikus yang telah berani menggigit Bude tampaknya menjadi peringatan bagi tikus lain. Satu tikus lagi berhasil terperangkap dalam balok perangkap yang biasa. Kotoran merambah hingga ke bawah meja, atas karpet—bagian yang berubin pada teras—tapi belakangan ini sudah tidak lagi ditemukan. Tidurku juga sudah jarang terusik oleh aktivitas mereka. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain