Seorang
suami meminta diajarkan cara menggunakan pembalut pada istrinya. Ia
tidak mengatakan bahwa penisnya mengeluarkan darah. Hal itu berlangsung selama
beberapa hari. Berangsur-angsur cairannya tinggal berupa bercak kecokelatan hingga
tidak ada sama sekali. Sang istri pun tidak bertanya mengapa suaminya terus
mengambili persediaan pembalutnya. Lagipula ia belum membutuhkannya lagi. Sudah
beberapa minggu lewat dari tanggal perkiraan menstruasinya.
Minggu demi minggu berlalu. Tepat duapuluh delapan hari
setelah penisnya berhenti mengeluarkan darah, sang suami kembali mengambili
persediaan pembalut istrinya. Istrinya tidak pula bertanya-tanya. Ia disibukkan
oleh pekerjaannya. Ia menjabat posisi penting di perusahaannya, membawahkan sederet
anak buah berkompetensi tinggi. Ia sosok pemimpin yang dihormati dan disegani.
Dengar-dengar ia dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi lagi.
Sementara itu mengucurnya darah selama beberapa hari pada
setiap bulan sama sekali tidak mengganggu rutinitas sang suami. Ia bisa
mengganti pembalut kapanpun dirasakannya penuh tanpa risi pada siapapun, karena
ia bekerja sendirian, di rumah. Kalaupun anak-anak sudah pulang dari sekolah,
mereka tidak bertanya mengapa tiap beberapa jam sekali ayah mereka masuk ke
dalam kamar mandi. Lelaki itu mencuci pembalutnya bersih-bersih dan membuangnya
di tempat khusus karena ia tidak ingin seorangpun tahu apa yang terjadi
padanya. Ia tidak ingin meninggalkan jejak, bahkan meskipun itu hanya setitik
darah di sofa akibat lupa mengganti pembalut.
Bulan demi bulan berlalu dan ia menjadi terbiasa. Ia tidak
menanyakannya pada dokter spesialis kelamin dan semacamnya, mungkin karena
malu. Ia tidak berpikir bahwa dirinya mungkin mengidap penyakit. Ia hanya
memahami fenomena itu sebagai menstruasi, titik. Pun ia tidak merasakan
keanehan lain pada tubuhnya selain penisnya yang lamban laun memendek sementara
sepasang zakarnya mengecil, dan munculnya ceruk di antara organ kelelakiannya
yang mengerut itu dan anus. Hingga organ kelelakianya lenyap sama sekali, dan
ceruk itu menjadi lorong yang dalam dan terus menggali dirinya sendiri
membangun rongga lembut di bagian bawah perut. Bagaimanapun juga, anak-anak
menyadari bahwa ayah mereka tidak perlu bercukur lagi. Dan sang suami pada satu
kesempatan bersanggama yang jarang mendapati klitoris istrinya telah memanjang
dan membesar. Tidak ada lagi lubang yang bisa disusupinya. Buntet bagai lubang
di bantalan telinga yang lama tak ditembus anting. Pun tidak ada lagi yang
tersisa di antara selangkangannya untuk dapat memasuki.
Terjawab keheranannya mengapa sang istri tidak pernah
menambah persediaan pembalut lagi sehingga ia harus membelinya sendiri, dan
mengapa istrinya diam-diam meminjam alat cukurnya setiap pagi.
Bagi anak-anak, perubahan yang terjadi pada ayah-ibu mereka bukanlah masalah. Mereka tidak risau selama kebutuhan mereka sehari-hari termasuk pendidikan tercukupi, dan salah satu dari kedua orangtua mereka ada di rumah untuk menyambut mereka saat pulang, menyiapkan makanan, dan meladeni segala keluh-kesah mereka termasuk PR dari sekolah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar