Senin, 02 Juni 2014

Seorang suami meminta diajarkan cara menggunakan pembalut pada istrinya. Ia tidak mengatakan bahwa penisnya mengeluarkan darah. Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Berangsur-angsur cairannya tinggal berupa bercak kecokelatan hingga tidak ada sama sekali. Sang istri pun tidak bertanya mengapa suaminya terus mengambili persediaan pembalutnya. Lagipula ia belum membutuhkannya lagi. Sudah beberapa minggu lewat dari tanggal perkiraan menstruasinya.

Minggu demi minggu berlalu. Tepat duapuluh delapan hari setelah penisnya berhenti mengeluarkan darah, sang suami kembali mengambili persediaan pembalut istrinya. Istrinya tidak pula bertanya-tanya. Ia disibukkan oleh pekerjaannya. Ia menjabat posisi penting di perusahaannya, membawahkan sederet anak buah berkompetensi tinggi. Ia sosok pemimpin yang dihormati dan disegani. Dengar-dengar ia dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi lagi.

Sementara itu mengucurnya darah selama beberapa hari pada setiap bulan sama sekali tidak mengganggu rutinitas sang suami. Ia bisa mengganti pembalut kapanpun dirasakannya penuh tanpa risi pada siapapun, karena ia bekerja sendirian, di rumah. Kalaupun anak-anak sudah pulang dari sekolah, mereka tidak bertanya mengapa tiap beberapa jam sekali ayah mereka masuk ke dalam kamar mandi. Lelaki itu mencuci pembalutnya bersih-bersih dan membuangnya di tempat khusus karena ia tidak ingin seorangpun tahu apa yang terjadi padanya. Ia tidak ingin meninggalkan jejak, bahkan meskipun itu hanya setitik darah di sofa akibat lupa mengganti pembalut.

Bulan demi bulan berlalu dan ia menjadi terbiasa. Ia tidak menanyakannya pada dokter spesialis kelamin dan semacamnya, mungkin karena malu. Ia tidak berpikir bahwa dirinya mungkin mengidap penyakit. Ia hanya memahami fenomena itu sebagai menstruasi, titik. Pun ia tidak merasakan keanehan lain pada tubuhnya selain penisnya yang lamban laun memendek sementara sepasang zakarnya mengecil, dan munculnya ceruk di antara organ kelelakiannya yang mengerut itu dan anus. Hingga organ kelelakianya lenyap sama sekali, dan ceruk itu menjadi lorong yang dalam dan terus menggali dirinya sendiri membangun rongga lembut di bagian bawah perut. Bagaimanapun juga, anak-anak menyadari bahwa ayah mereka tidak perlu bercukur lagi. Dan sang suami pada satu kesempatan bersanggama yang jarang mendapati klitoris istrinya telah memanjang dan membesar. Tidak ada lagi lubang yang bisa disusupinya. Buntet bagai lubang di bantalan telinga yang lama tak ditembus anting. Pun tidak ada lagi yang tersisa di antara selangkangannya untuk dapat memasuki.

Terjawab keheranannya mengapa sang istri tidak pernah menambah persediaan pembalut lagi sehingga ia harus membelinya sendiri, dan mengapa istrinya diam-diam meminjam alat cukurnya setiap pagi.

Bagi anak-anak, perubahan yang terjadi pada ayah-ibu mereka bukanlah masalah. Mereka tidak risau selama kebutuhan mereka sehari-hari termasuk pendidikan tercukupi, dan salah satu dari kedua orangtua mereka ada di rumah untuk menyambut mereka saat pulang, menyiapkan makanan, dan meladeni segala keluh-kesah mereka termasuk PR dari sekolah.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain