Sabtu, 26 Januari 2019

Pengalaman Menggunakan Pembalut Kain Buatan Sendiri

PERINGATAN: Konten entri ini sangat kewanitaan sekali dan mungkin cukup menjijikkan bagi sebagian orang.

Video ini bisa menjelaskan salah satu alasan untuk beralih ke pembalut kain.



Di samping dampak lingkungan dari pembalut pabrikan yang lazim digunakan, salah satu pendorong saya untuk mencoba pembalut kain adalah buku The Moneyless Man. Buku ini memberi gagasan gila akan hidup tanpa uang yang bagi saya justru menarik. Memang agaknya mustahil hidup 100% tanpa uang. Meski begitu, mengurangi ketergantungan terhadap uang sepertinya ide bagus.

Ketika sedang memikirkan kebutuhan apakah yang mau tidak mau mesti dipenuhi dengan uang, serta-merta pembalut timbul dalam benak saya. Karena Mark Boyle (penulis The Moneyless Man) laki-laki, maka pembalut tidak muncul dalam buku tentang pengalamannya hidup setahun tanpa uang itu.

Lalu entah bagaimana ide tentang pembalut kain itu muncul. Barangkali saya pernah membaca atau mendengarnya dari sesuatu. Maka saya mencari tahu tentang cara membuat pembalut sendiri.

Mengikuti petunjuk dari artikel ini (tautan tersemat), saya bereksperimen membuat pembalut sendiri dengan menggunakan pembalut pabrikan, karton, dan spidol besar untuk membuat cetakan, kemudian kain bekas (celana, handuk, dan perca), jarum, benang, dan gunting untuk membuat pembalut. Waktu itu saya belum bisa menggunakan mesin jahit, sehingga pembalut dijahit secara manual. Saya menjahit kurang lebih tiap akhir pekan selama berbulan-bulan untuk menghasilkan cukup stok. Selain membuat ukuran reguler, saya juga membuat ukuran maksi yang panjang sampai ke belakang.


Hasil menjahit pembalut sendiri.
Dibandingkan dengan petunjuk dalam artikel terselip, ada modifikasi yang saya lakukan. Saya memasukkan pad ke luaran, kemudian saya jahit tengahnya dari ujung ke ujung untuk menyatukan keduanya. Memang proses ini cukup susah, apalagi kalau bagian pad diisi oleh kain perca alih-alih potongan handuk. Jarum besar yang saya gunakan sampai bengkok. Meskipun begitu, pada akhirnya versi ini yang lebih sering saya gunakan karena lebih praktis. Versi asli saya gunakan kalau versi modifikasi sudah habis saja.

Ketika saya sudah bisa menggunakan mesin jahit, barulah hasil jahitan tangan yang benangnya sudah mulai lepas atau kurang rekat itu saya jahit ulang supaya kuat.

Karena saya belum kunjung bergairah untuk belajar memasang kancing, saya menggunakan peniti besar untuk menyatukan bagian sayap. Ide peniti besar ini kalau tidak salah datang dari ibu saya. Sebelum mulai menjahit pembalut, saya berkonsultasi lebih dulu pada ibu saya mengenai cara menjahit dan desain pembalut. Ibu saya mengalami masa ketika pembalut pabrikan belum menjadi tren dan rupanya ada berbagai cara untuk mengakali pembalut pada waktu itu. Memang mengaitkan peniti besar ke kedua sayap merupakan tantangan tersendiri yang kalau tidak hati-hati bisa-bisa jari tercoblos. Penyimpanan peniti juga perlu diperhatikan supaya tidak cepat berkarat.

Selain itu, sejak sebelum beralih ke pembalut kain buatan sendiri, saya sudah menggunakan celana dalam dobel tiap kali haid, untuk menjaga posisi pembalut. Biasanya celana dalam yang dipasangi pembalut itu celana dalam lama yang sudah longgar, sedangkan celana dalam bagian luar yang menjadi pengaman itu celana dalam rada baru yang masih agak ketat.

Awal menggunakan pembalut kain ini bisa dibilang tidak menyenangkan. Ketika menggunakan pembalut pabrikan, darah biasanya merembes ke samping, belakang, atau depan jika sudah tidak tertampung atau salah posisi. Tetapi dengan pembalut kain, darah merembes ke bawah .... Mau tidak mau saya mesti sering mengecek dan mengganti pembalut.

Tetapi kemudian saya menemukan solusi: saya menggunakan dua pad sekaligus. Jadi di bawah pembalut yang bersayap saya letakkan pad lagi. Cara ini terbukti awet. Saya tidak harus sering-sering mengganti pembalut. Memang ketika duduk rasanya ada yang berjendul. Malah sebenarnya rasanya seperti pakai popok. Celana dalam pun menjadi longgar. Tetapi sejauh ini saya betah.

Membersihkan pembalut kain merupakan tantangan lainnya. Prosesnya terdiri dari beberapa tahap:
  1. Di atas kloset aliri pembalut dengan air sembari diperas-peras untuk mengeluarkan darah. Lakukan ini sampai air perasan (agak) bening. Untuk menghemat air, alirkan sedikit-sedikit saja, yang penting membasahi pembalut sampai bisa diperas.
  2. Bersihkan sisa darah pada permukaan pembalut dengan sabun mandi cair. Sabun mandi biasanya lebih efektif membersihkan darah daripada detergen. Sikat yang saya gunakan yaitu sikat gigi bekas.
  3. Masukkan pembalut ke ember kecil bertutup. Beri air dan detergen. Rendam sampai giliran ganti pembalut berikutnya (: berjam-jam).
  4. Bilas pembalut tiga kali, atau sampai bersih dari detergen.
  5. Jemur pembalut. Biasanya saya menjemur pembalut sampai berhari-hari, seminggu, bahkan lebih. Jadi bisa dibilang ini pembalut "sekali pakai", yang baru dipakai lagi pada giliran haid berikutnya. Saya menjemur pembalut selama mungkin untuk memastikan bagian dalamnya yang bulky itu benar-benar kering.
Saya akui bahwa penggunaan pembalut kain bikinan sendiri, termasuk proses pembersihan dan penjemurannya, cukup nyaman bagi saya karena faktor-faktor seperti:
  • Ada banyak waktu untuk menjahit pembalut sendiri.
Kalau tidak memiliki banyak waktu untuk menjahit, sekarang ini sepertinya sudah banyak penjual yang menawarkan pembalut kain, yang mestilah lebih cantik dan lebih rapi daripada buatan sendiri. Bisa jadi pula mereka menggunakan bahan yang lebih aman atau lebih baik dalam menyerap darah.
  • Tidak ada aktivitas luaruang yang mengikat.
Seandainya saya mesti beraktivitas di luar rumah setiap hari selama seharian, pemakaian pembalut semacam ini bisa jadi menyusahkan--apalagi ketika darah sedang banyak-banyaknya. Bisa saja pembalut dibungkus dulu dengan plastik baru dibersihkan di rumah. Plastiknya ikut dicuci dan digunakan lagi, supaya zero waste. Kalau cara begitu tidak preferable, bolehlah pembalut ini dicoba ketika darah sudah sedikit atau tinggal sisa.
  • Ada air.
Penggunaan pembalut kain tentu saja membutuhkan banyak air untuk membersihkannya. Biasanya saya menyiapkan satu baskom besar air sebelum mengganti pembalut, dan berusaha untuk menggunakannya dengan seirit mungkin. Air hujan bisa ditampung dan dimanfaatkan untuk keperluan ini. 
  • Ada banyak waktu untuk membersihkan pembalut.
Ketika darah sedang banyak-banyaknya, proses pembersihan ini bisa hampir satu jam, mungkin karena saya mengerjakannya dengan santai juga dan ketika capek saya diam dulu sambil melamun. Ketika darah sudah sedikit, tentu saja waktu dan air yang dihabiskan bisa jauh lebih sedikit.
  • Ada kloset duduk.
Bisa dibilang ketersediaan kloset duduk sangat mendukung penggunaan pembalut semacam ini. Membersihkan pembalut yang memakan waktu cukup lama tentu lebih nyaman dilakukan sembari duduk ketimbang jongkok. Saya tahu rasanya mengalami kebas kaki ketika jongkok terlalu lama di kloset akibat mulas yang seakan-akan tiada henti.
  • Tempat jemuran tertutup.
Sebagian rumah mungkin tidak memiliki tempat jemuran yang tertutup. Boleh jadi akan memalukan jika jemuran yang jelas-jelas berbentuk pembalut pabrikan tetapi versi kain terlihat oleh tetangga.

Di samping faktor-faktor pendukung tersebut, ada beberapa hal lain yang menguatkan untuk terus menggunakan pembalut kain.

Kesadaran bahwa saya bisa menghemat uang, dengan menjahit sendiri pembalut saya menggunakan alat dan bahan yang tersedia secara cuma-cuma di rumah, membangkitkan perasaan swadaya dalam diri saya. Setelah ini mau bikin apa lagi? Boleh jadi dalam berkebun saya masih gagal, tetapi dalam hal ini saya berhasil. Saya telah menggunakan pembalut ini setiap bulan selama sekitar dua-tiga tahun, meskipun adakalanya saya kembali pada pembalut pabrikan karena keadaan tertentu (misalnya mesti bepergian jarak jauh atau dalam waktu lama saat haid sedang deras-derasnya). Pembalut kain buatan sendiri seperti titik pangkal keswadayaan, pelepasan diri dari ketergantungan terhadap uang.

Selain itu, selesai membersihkan pembalut, saya dapat keluar dari kamar mandi dengan perasaan puas atau lega karena saya tidak akan menambah sampah. Apakah pembalut pabrikan memang lebih higienis daripada pembalut kain? Bagaimana dengan limbah yang dihasilkan selama proses produksi dan distribusinya? Belum lagi setelah kita selesai memakainya, pembalut itu menjadi kotoran baru yang menumpuk di tempat pembuangan. Apakah itu higienis bagi lingkungan? Bukankah kita ini hidup dalam lingkungan?

Ketika googling, sekarang ini semakin banyak petunjuk tentang cara membuat pembalut sendiri, baik dalam bahasa Indonesia apalagi dalam bahasa Inggris. Belum lagi iklan yang menjualnya, bagi yang tidak sempat membuatnya sendiri. Hasil penelusuran ini seperti menyiratkan bahwa ketertarikan masyarakat untuk beralih ke pembalut kain mulai meninggi, entah karena alasan lingkungan, kesehatan, atau keiritan. Karena tahu bahwa saya tidak sendirian dalam menggunakan cara ini, maka saya pikir kenapa tidak?

Saya akui bahwa saya belum membaca banyak tentang seluk-beluk haid. Cuma pikiran sederhana saja didukung hasil bertanya sana-sini: pembalut pabrikan baru diproduksi sekitar seabad belakangan, dan selama sekian ribu tahun sejarah manusia, dengan apa perempuan menyumpal darah haidnya? Jika perempuan dulu yang mungkin hanya menggunakan kain untuk mengatasi haid bisa tetap memiliki banyak anak daripada perempuan sekarang yang rata-rata memakai pembalut pabrikan tetapi punya lebih sedikit anak, maka apakah pengaruhnya bahan pembalut terhadap kesehatan reproduksi? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengiringi saya dalam polemik(?) penggunaan pembalut kain buatan sendiri, yang mudah-mudahan saya dapati jawabannya kelak. Sementara ini, begini dulu yang dapat saya bagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain