Sabtu, 09 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Minggu 0 Memulai Lagi

Baru-baru ini saya tergerak untuk mencoba berkebun lagi. Gara-garanya, sepertinya terutama karena postingan-postingan di Instagram. Supaya waktu mindlessly scrolling saya di media sosial agak-agak berfaedah, saya mencoba mengikuti akun yang "penting-penting" saja di Instagram. Akun-akun tersebut di antaranya yang berhubungan dengan gaya hidup hijau.

Nah, akun-akun tersebut kerap kali mem-posting hal-hal seputar berkebun, baik dalam bentuk infografik maupun siaran langsung. Yang infografik kadang-kadang saya baca, dan yang siaran langsung beberapa kali saya berkesempatan menyimaknya. Contohnya yaitu selama hampir seminggu kemarin, 4 - 8 Mei 2020, @idberkebun rutin menyelenggarakan siaran langsung setiap hari sekitar pukul 9 - 11 pagi dengan tema "Tips Berkebun di Rumah".

Kampanye berkebun semakin penting artinya mengingat pandemi Covid 19 yang tengah melanda. Program ketahanan pangan keluarga mengemuka, dan berkebun merupakan salah satu caranya.

Di samping itu, cuaca yang masih berhujan agaknya mendukung kegiatan ini(?).

Lidah buaya pindahan dari Batang, yang sempat beranak-
pinak, tapi kini merana :v Posisinya diacak-acak melulu sama
kucing #salahkankucing.
Di rumah saya alhamdulillah ada cukup lahan untuk bercocok tanam, yang sungguh sayang apabila tidak dimanfaatkan. Saya sudah menyadari ini sejak bertahun-tahun lalu, karena itu mencoba berkebun dengan cara-cara yang termudah. Tapi berkali-kali saya gagal, atau kalaupun berhasil, saya malah menelantarkan hasilnya (-_-')a

Yang namanya pekerjaan merawat itu, entahkah kepada orang atau tanaman, memang di samping perlu ketelatenan juga komitmen, ya .... #eaaa

Maka saya pun menyediakan satu hari dalam seminggu untuk berkebun. Pilihannya jatuh pada akhir pekan: Sabtu atau Minggu, sesuai mood :v pokoknya pagi lebih baik daripada sore. Program (?) ini sebenarnya sudah dimulai dari minggu lalu. Tapi pada waktu itu saya cuma menyimak kelas tentang kebun rumah mandiri di Zoom.

Biji pepaya super manis pesanan Mama yang asal sebar beberapa waktu lalu
(mungkin dalam hitungan minggu), kini sudah pada tumbuh.

Hari ini, Sabtu (9 Mei 2020), barulah saya benar-benar "terjun ke lapangan". Tulisan ini saya maksudkan sebagai jurnal, yang mudah-mudahan berkelanjutan tanpa putus lagi; kalau tidak sempat menjurnalkannya, ya, minimal aksi berkebunnya. Aamin.

Saya memulai dari memotret satu per satu tumbuhan yang ada di seputar rumah, mulai dari tanaman hias sampai yang tumbuh liar. Saya tidak tahu nama dari kebanyakan tumbuhan itu, sehingga berencana untuk mengunggah gambarnya di media sosial kalau-kalau ada yang bisa membantu mengidentifikasinya. Setelah tahu namanya, saya bisa browsing tentang manfaatnya dan seterusnya.

Kemudian, mulailah saya membersihkan area yang akan ditanami. Entah apa sebutannya yang tepat, untuk sementara ini saya gunakan "bedeng tembok" saja.

Bedeng ini menempel di sepanjang sisi rumah, sebelumnya diisi oleh deretan lidah mertua. Karena lidah mertuanya sudah pada loyo, jelek, bertumbangan satu per satu, sehingga mulai jarang, saya pun mencabutinya. Kebanyakan saya buang, sedangkan yang masih bagus saya pindahkan ke area lain. Setelah bersih, saya pun menambahkan tanah pada area tersebut lalu menanaminya dengan beberapa jenis tumbuhan pangan. Yang saya ingat, di antaranya: bayam, seledri, kacang hijau ... apalagi, ya?

Pepaya yang entah bagaimana tumbuh sendiri
dan kini survive dalam pot kecil. (Abaikan
penampakan kucing di belakang, yang
kayaknya sengaja diam di situ biar ikut
dalam foto.)
Tapi, usaha tersebut kemudian terhenti. Penyebabnya, ya, seperti biasa, karena kebodohan dan kemalasan saya sendiri :p

- Kalau enggak salah ingat, saya menempatkan biji secara tidak rapi alias sembarangan saja. Akibatnya, beberapa tumbuh di tempat yang kurang strategis, misalnya terlalu dekat dengan tembok sehingga kurang kena sinar matahari.

- Area bedeng itu sendiri sepertinya kurang kena sinar matahari, karena letaknya di bawah atap sedangkan di depannya ada tumbuh-tumbuhan tinggi.

- Gangguan hama. Tumbuhan yang sudah berdaun, besoknya tahu-tahu saja tandas; tinggal batangnya. Saya bahkan menyaksikan sendiri seekor bekicot meraup tanaman saya, dan saya diam saja. Kasihan, pikir saya, biarlah, sedekah, atau saya malas saya berkonfrontasi dengan makhluk meng-geuleuh-kan itu. Hama lain yang tidak kalah meng-geuleuh-kan--dalam arti lain--adalah kucing. Halaman rumah saya bisa dibilang titik berkumpulnya kucing dari berbagai penjuru jalan. Permukaan tanah yang kebanyakan kosong (karena tumbuhannya pada kerdil atau keburu dilahap bekicot) itu pun mereka jadikan toilet umum. Tanah diacak-acak sehingga menimbun semai-semai yang malang; kotoran bau lagi lembek bergelimpangan .... Hah, udah enggak tahu lagi aku ....

Saya pun jadi malas. Berkebun? Nanti dulu deh!

Tanaman jeruk yang merana di dalam pot di bawah naungan,
dengan tanaman jeruk yang terlihat mending di tempat
terbuka. Keduanya sama-sama tidak kunjung berbuah,
mungkin karena jarang-jarang dipupuk.
Kalau pun sebaiknya saya berkebun lagi, saya mesti menggunakan strategi baru supaya jadinya tidak terlalu bodoh dan bikin malas lagi. Seorang teman mengilhami saya untuk membuat kebun gantung. Dengan begitu, pastinya hama seperti bekicot dan kucing tidak akan mampu menjangkaunya. Tapi, saya pikir, memasang teralis untuk tempat gantungan dan sebagainya sepertinya cukup merepotkan: harus beli kekurangan alat dan bahan, harus panggil tukang las, dan seterusnya. Maka, gagasan itu, walaupun worth it, saya tunda dulu.

Mungkin, karena distimulasi terus-terusan oleh berbagai konten berkebun, secara otomatis pikiran saya menanggapinya. Saya menggambar peta halaman rumah (yang terlalu acak-acakan untuk dipindai dan ditampilkan di sini :v). Saya menentukan tempat-tempat yang tepat untuk menanam jenis tertentu. Saya menuliskan ide-ide, yang tidak banyak dan tidak sama sekali baru tapi layak dicoba. Saya mendapatkan informasi tentang beberapa jenis tanaman pangan yang sesuai bagi pemula di Instagram. Saya mencari yang menjual bijinya di Shopee. Saya membuat pesanan di Shopee. Saya bahkan membuat akun di Shopee dan membayarnya sendiri, padahal biasanya menumpang :v

Mengkudu yang secara misterius tumbuh sendiri di depan rumah.
Yang paling memantik adalah ide dari @kebunkumara untuk mencegah hama bekicot dan kucing. Untuk kucing, caranya yaitu dengan menebarkan mulsa pada permukaan tanah serta menancapkan ranting-ranting. Kebetulan, di halaman rumah memang menumpuk daun kering serta potongan rumput yang sepertinya bisa dijadikan mulsa; adapun ranting bisa dicari. Untuk bekicot, gunakan pecahan cangkang telur.

Akhir pekan pun menjelang. Timbul pikiran untuk memberdayakan lagi bedeng tembok itu, terlepas dari asumsi bahwa area tersebut kekurangan sinar matahari. Paling tidak, kali ini saya akan melakukannya secara berbeda:

- Saya akan mengukur panjang dan lebar bedeng itu, sekadar untuk membuat lubang-lubang tanam yang rapi.

- Saya akan menerapkan ide-ide untuk mencegah hama bekicot dan kucing itu.

Maka, tanah dalam bedeng tembok itu pun pertama-tama saya bersihkan dulu dari bongkah-bongkah bekas kotoran kucing. Bongkahan kecil itu saya kumpulkan di ember kecil dari KFC, lalu saya singkirkan.

Sebenarnya, saya telah membaca bahwa tanah yang terkontaminasi oleh kotoran hewan peliharaan itu tidak baik untuk digunakan. Bisa saja kotoran itu mengandung sumber penyakit, untuk kucing yaitu toksoplasma dan cacing usus. Tapi, apakah ini mesti menghentikan saya dari belajar berkebun? Sepertinya sih sebaiknya tidak. Sulit untuk memastikan mana tanah yang benar-benar bersih dari kotoran kucing di sekitar rumah saya ini, sebab banyak yang sudah terurai. Kalau mesti saklek pada alasan higienis tersebut, bisa-bisa saya enggak akan pernah belajar berkebun. Oke, bisa saja saya mencoba hidroponik yang terjamin kebersihannya. Tapi, untuk membeli peralatan dan bahan hidroponik kan perlu biaya lumayan, belum lagi soal pemasangannya.

Seledri yang baru tumbuh ketika sudah tidak diharapkan.
(Serius, saya tidak punya banyak uang jadi mesti belajar memanfaatkan yang sudah ada terlebih dahulu.)

Jadi, paling-paling saya singkirkan saja sisa kotoran kucing itu sebisanya. Kalaupun tanaman yang tumbuh nanti kurang baik untuk dimakan, paling tidak saya telah mendapatkan pengalaman praktik berkebun.

Setelah tanah dianggap cukup bersih dari sisa kotoran kucing, saya pun merapikannya dengan meratakan, membolak-balik, dan memadatkannya. Karena bedengnya cukup panjang, maka sepertinya sebaiknya jenis tanamannya bervariasi. Saya pun menancapkan beberapa pembatas untuk menandai pergantian jenis tanaman.

Sementara itu, biji tanaman yang saya pesan tidak kunjung datang. Padahal tokonya sama-sama berlokasi di Kota Bandung. Penjual diberi waktu seminggu untuk mengirimkan, atau pesanan akan dibatalkan secara otomatis. Belum ada seminggu, sehingga saya bimbang apakah mesti men-chat penjual atau bersabar menunggu. Alih-alih merongrong si penjual, saya memilih untuk memanfaatkan bibit yang ada di dapur saja, yaitu:

- Cabai merah besar
- Cabai merah keriting
- Kacang hijau
- Kacang tanah

Untuk kacang tanah, sebetulnya saya tidak yakin akan tumbuh. Untuk cabai dan kacang hijau, saya optimistis. Sebab, kerap kali ada biji cabai dan kacang hijau yang jatuh ke permukaan kerikil tempat kami mencuci bahan masakan tahu-tahu saja berkecambah, berakar, berdaun.

Sebelum menanam, saya mengukur bedeng terlebih dahulu supaya lubang tanamnya rapi. Dari lebar bedeng, saya menentukan tiap lubang akan berjarak 8 cm. Maka, tiap 8 cm, saya pun menandai tepian tembok dengan--bodohnya--spidol. Sebelum panjang bedeng habis terukur, tinta spidol sudah habis atau mungkin kena tanah/kotoran sehingga mampat. Baru saat itulah saya menyadari bahwa sebenarnya saya bisa menggunakan isolasi atau lakban saja. Maka, sisanya yang sedikit lagi itu pun saya tandai dengan potongan lakban.

Media tanam sudah rapi, terbagi menjadi enam bagian. Mari mulai menanam!

Untuk cabai merah besar, karena ada banyak, maka satu lubang mendapat 2-3 biji. Untuk kacang hijau, tiap lubang ada 2 biji. Untuk cabai merah keriting, karena jumlahnya lebih sedikit, maka tiap lubang hanya 1-2 biji. Untuk kacang tanah yang berukuran besar, maka tiap lubang hanya diisi 1 biji saja.

Saya memasukkan biji setiap jenis secara berselang-seling. Bagian 1, 3, dan 5 mendapat cabai merah besar dan kacang hijau yang masing-masing dimasukkan dengan pola zig-zag. Demikian pula pada bagian 2, 4, dan 6 dengan cabai merah keriting dan kacang tanah.

Terus terang, saya enggak tahu apakah ini benar/tepat atau enggak. Bisa dibilang, saya masih asal saja.

Dengan sedikit improvisasi, tentunya.

Setelah lubang-lubang ditutupi dan media tanam dirapikan kembali, kini saatnya untuk menerapkan pencegah hama. Saya ingat di rumah ada persediaan tusuk gigi yang cukup banyak. Maka saya pun memasang tusuk gigi pada setiap titik yang sebelumnya untuk lubang tanaman, dari ujung ke ujung.

Setelah itu, pinggirannya saya tebari dengan potongan rumput serta daun yang notabene sebagai mulsa. Nah, dalam memilih bahan mulsa ini sesungguhnya saya mengalami dilema. Ada potongan rumput dan daun yang masih baru dan hijau, ada juga yang cokelat kering karena sudah beberapa lama disimpan dalam plastik. Entah kenapa, seketika saya memilih untuk menggunakan yang baru saja. Tapi, selagi menebarkannya dan mendapati ada daun-daun yang tampak kurang bagus (karena sepertinya dihinggapi penyakit seperti kutu putih, ulat kecil, atau apalah), saya menyadari bahwa kenapa tidak menggunakan yang cokelat kering saja? Karena tanggung, apa boleh buat saya teruskan saja. Huhuhu.

Setelah pemberian mulsa selesai, saya menyadari bahwa: tusuk giginya jadi enggak kelihatan. Bagaimana kalau kucing-kucing juga tidak melihatnya sehingga tetap buang air di sana? Olala~ Saya pun terpikir untuk menambahkan satu deretan tusuk gigi lagi di tengah-tengah. Selagi melakukannya, timbul pikiran-pikiran lain: Apa ini bukan pemborosan tusuk gigi? Kenapa enggak sekadar memindahkan tusuk gigi yang di atas lubang-lubang tanam itu ke tengah? Pikiran itu demikian mengganggu, sehingga setelah melewati tengah bedeng, alih-alih menambahkan tusuk gigi baru, saya pun sekadar memindahkan yang sudah ada ke tengah.

Sigh.

Over all, looks good lah.

Saya pun mengisi botol siram (: dibuat sendiri dari botol bekas Coca Cola ukuran 1 L dan lubangnya dengan ujung garpu yang dipanaskan) dengan air kolam yang bergelembung-gelembung hijau (entah apakah itu), lalu menyemprot-nyemprotkannya ke sepanjang bedeng.

Kemudian saya menyapu sekitar area itu untuk menyingkirkan potongan rumput atau daun, kerikil, tanah, dan semacamnya, serta mencuci sebagian peralatan dengan air kolam sedangkan sisanya untuk dengan air yang benar-benar bersih.

Saat itu sudah sekitar pukul setengah sebelas, sedangkan saya mulai dari sekitar pukul tujuh. Ketika saya mengira sudah bisa beristirahat, baru teringat bahwa ada sentuhan terakhir yang belum diberikan. Saya pun kembali ke halaman, mengambil botol berisi bubuk cangkang telur yang saya bikin sendiri ketika blender masih berfungsi, membersihkannya, kemudian menaburkan isinya menutupi mulsa. Entah apakah dengan cara begini memang bisa menghindarkan bekicot. Ha!

Penampakan hasilnya dari ujung ke ujung, tengah,
dan yang putih-putih di pojok kanan bawah itu bubuk cangkang telur.

Sudah. Saya harus mandi. Saya letih, tapi happy karena merasa telah bekerja keras, hahaha.

Compost bag yang menanti dicoba.
Menjelang sore, ketika saya hendak mengikuti webinar dari Trubus bertajuk "Produktif dari Halaman Rumah" (tentang hidroponik, lele terpal, dan akuaponik), ada paket yang datang. Bukan biji tanaman (statusnya masih "Dikemas" sampai saat saya menulis ini), melainkan dua buah compost bag. Padahal saya baru memesannya kemarin, dari Depok pula! Tapi, dalam sehari pesanan itu telah sampai. Mantap! Bintang lima! Karena saya sudah mandi dan malas berkotor-kotor lagi, maka besok sajalah saya menempatkan dan menyiapkan starternya. Saya pun kembali hendak menonton webinar, tapi karena sudah ketinggalan dan telanjur terdistraksi, saya menulis ini saja :v

Botol-botol yang menanti dibersihkan.
Minggu depan, kalau sudah ada paket biji tanaman yang datang, mungkin saya akan mulai membersihkan botol-botol plastik (bekas percobaan berkebun yang sebelumnya lagi) dari tetumbuhan liar, menanam biji-biji tersebut di dalamnya, dan menatanya di sepanjang bedeng tembok secara lebih baik (setidaknya, cara begitu belum pernah dicoba).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain