Jumat, 22 Februari 2019

Bukit Candi Ketika Sepi

Saya pertama kali diajak ke Bukit Candi ketika sedang ramai-ramainya, yaitu pada Minggu pagi. Sejak turun dari angkot di Alun-alun, banyak orang menyertai kami dengan pakaian olahraga menyusuri jalan menanjak. Tanjakannya tidak curam amat, tetapi cukup bikin terengah-engah bagi yang tidak terbiasa berolahraga. 

Mendekati puncak, keadaan penuh sesak oleh pengunjung dan pedagang. Suasananya kurang lebih seperti Gasibu atau Tegallega pada waktu yang sama.

Di puncak ada lapangan besar dengan dua gawang dari bambu serta area-area gundul lain sebagai spot untuk menikmati pemandangan serupa lukisan di bawahnya. Di sisinya terdapat bukit kecil yang dinamakan Bukit Candi, disebabkan oleh bentuknya yang berundak-undak menyerupai candi.

Pada kesempatan pertama itu, kami tidak sempat naik ke bukit. Banyaknya orang membikin saya tidak berselera untuk berlama-lama ke mana-mana. Kami cuma jajan tahu crispy lalu menyingkir ke area yang sebetulnya tidak sepi amat. Namun di situ kami bisa duduk memakan jajanan sembari menikmati pemandangan kali yang membelah lautan sawah di bawah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap anak-anak SMP yang meletakkan sampah mereka begitu saja.

Sepulangnya dari situ, saya berangan-angan untuk suatu saat kembali mengunjungi Bukit Candi ketika sepi sekaligus turun mandi main air di kali seperti bidadari.

Kesempatan itu datang baru-baru ini.

Pada Kamis (22/2/2019) sekitar pukul tujuh pagi kami berangkat. Tidak jauh dari jalan masuk di seberang Alun-alun, kami terhambat oleh pusaran motor. Pengendara datang dari empat penjuru mata angin. Memang di perempatan itu tidak ada lampu lalu lintas dan agak ke atas terdapat beberapa sekolah. Parkir motor untuk siswa SMAN 1 Cicalengka--salah satu sekolah tersebut--sampai memakan beberapa pelataran rumah warga sekitar.

Lepas dari pusaran kemacetan, perjalanan mulai tenang namun bukannya tanpa kegetiran. (#alah) Kami menyaksikan pembangunan di kanan-kiri jalan yang mengkhawatirkan, di antaranya karena tidak kunjung selesai atau lahan yang teramat curam. Banyak juga ditemui titik-titik pembuangan sampah yang mengeluarkan bau sengit.

Segala permasalahan umat manusia tersebut tergusah begitu kami mendekati puncak. Pemandangan kota dari ketinggian memang biasanya menakjubkan. Dari sisi pembatas jalan kami bisa melihat jalan kereta, karena kebetulan sedang ada kereta yang melintas, meliuk-liuk seperti ulat berwarna perak. Padahal itu bukan ulat betulan, cuma ulat besi, kereta yang dari ketinggian tampak menyerupai ulat, tetapi tetap saja saya bergidik jijik. Biar begitu, seandainya saya fotografer dengan kamera canggih, tentu pemandangan kereta yang menyerupai ulat itu akan menjadi objek yang sangat menarik.

Sayang jalan keretanya tidak terlihat
dengan kamera ponsel android saya
yang tipe sangat-sederhana-sekali.
Teman saya yang warga Cicalengka sudah mewanti-wanti bahwa Bukit Candi ketika sepi menjadi ajang pemuda-pemuda setempat untuk indehoi. Tetapi, alhamdulillah, tampaknya pagi itu diberkahi bagi kami, sehingga kami tidak harus menyaksikan kemaksiatan di muka bumi. Saat kami datang, tidak ada orang lainnya di tempat itu. Dalam kesempatan begitu, it's a must untuk menaiki Bukit Candi sampai puncaknya.

Bukit Candi dilihat dari sisi jalan.
Akan tetapi, hujan semalam membuat tanah yang kami pijak menjadi lembap. Sol alas kaki kami menjadi tebal oleh tanah. Memang langkah menjadi agak berat, namun tanggung ah.

Selagi mengarungi lapangan lembap menuju bukit itulah kami mendapat adanya fenomena aneh berupa lingkaran besar di tanah. Lingkaran itu terlihat karena warnanya lebih gelap dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. Teman saya bilang itu jejak kendaraan. Tetapi menurut saya itu tidak mungkin sebab kendaraan memiliki beban yang mestilah menimbulkan galur-galur, sementara yang ini rata saja dengan tanah di sekitarnya. Mungkinkah itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*selipkan soundtrack The X-Files

Jalan setapak menaiki bukit tampak amat curam tanpa pijakan yang mantap. Kami melangkah dengan merayap menyerupai kera atau malah spiderman sebagai upaya berhati-hati. Sesekali kami meluapkan keraguan, kepanikan, berikut kegentaran, namun secara keseluruhan kami bergembira ria. Maksudnya, sambil tertawa-tawa (atau teriak-teriak).

Akhirnya kami tiba di puncak.

Sudah lama tidak bersinggungan langsung dengan alam liar, saya merasa kegirangan dan mengeksplorasi titik-titik tanpa tumbuhan yang hanya sedikit dibandingkan dengan area yang saking lebatnya oleh tumbuhan sampai-sampai tidak mungkin ditembus tanpa golok. Teman saya bilang dulunya, sekitar sepuluh tahun lalu, ketika terakhir kali ia mendaki ke puncak bukit itu, lahan yang lebat oleh tumbuhan liar itu berupa kebun. Tampaknya sekarang kebun itu telah lama ditelantarkan.

Sambil duduk di sebuah batu lebar, menikmati masing-masing sebutir jeruk entah keprok atau kino, dan menghadap sinar matahari pukul delapan pagi kurang, kami mengkhayalkan dibangunnya tangga yang aman dari bawah ke puncak, ditatanya lahan bekas kebun itu menjadi tempat yang Instagram-able dan seterusnya.

Di sini saya sempat ragu untuk mengambil foto atau menyimpan keindahan pemandangan yang terlihat untuk diri saya sendiri. Saya dan teman membuat pembenaran dengan membahas sedikit tentang "sampah fotografi", yang setelah membaca artikel bersangkutan secara utuh entah apakah memang ada hubungannya.

Meskipun begitu, sesungguhnya pemandangan dari puncak Bukit Candi tidak semuanya indah. Saya mendapati satu titik, di sisi lapangan di bawah, yang berupa jajaran sampah plastik sepanjang entah berapa meter. Walaupun dipikir-pikir lagi, sebetulnya itu indah juga karena berwarna-warni--tidak cuma cokelat dan hijau. Ibarat kata, ada sentuhan modernitas agar seluruh pemandangan ini tidak semata alami. Sebab yang berlebihan itu memuakkan. (#apacoba)

Dari puncak juga terlihat bahwa di lapangan ternyata tidak hanya terdapat satu lingkaran besar, tetapi ada juga dua lingkaran lain yang lebih kecil. Saya menunjukkan kepada teman saya bedanya lingkaran itu dengan galur-galur yang lebih mungkin merupakan jejak kendaraan. Ini menguatkan dugaan saya bahwa lingkaran-lingkaran itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*putar lagi soundtrack The X-Files

Setelah "menanam" (baca: melempar ke semak-semak) biji jeruk berikut kulitnya, mengharapkannya agar tumbuh berbuah lebat memberi makan pengunjung dan menjadi amal jariah bagi kami, kami pun menyudahi aktvitas yang sangat menyehatkan itu dan menghadapi masalah berikutnya: mencari jalan turun. Kami menemukan jalan setapak yang kira-kira aman untuk dituruni, dan melaluinya sembari berjongkok. Rasanya memang seperti disetrap atau habis ditangkap polisi, namun kini kami mengerti sebabnya jalan bebek kerap digunakan sebagai hukuman: Ini semata soal survival.

Kami menghabiskan beberapa saat di teras masjid terdekat untuk mencungkili tanah dari sol alas kaki menggunakan ranting atau tongkat yang ditemukan di jalan.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke kali ...

... yang ternyata harus dengan menerobos kebun orang.

Yang dimaksud dengan menerobos ini bukan sekadar lewat di tepiannya, melainkan membelah di tengah-tengahnya, yang membuat kami ragu untuk meneruskan.

Lagi pula arus kalinya sedang deras dan sepertinya tidak aman untuk main air di sana. (#penghiburan)

Jadi kami hanya duduk-duduk di naungan beratapkan lembaran karung pupuk dan berbangkukan bilah-bilah bambu, kemudian turun sedikit dan menghabiskan waktu sejenak di area yang datar (sebelum terhambat oleh kebun orang itu) untuk menikmati pemandangan dan mengambil foto.

Di sini saya menyesal karena tidak mengambil foto sewaktu berada di puncak Bukit Candi. Baru terpikirkan oleh saya untuk memamerkan keindahan pemandangan ini pada teman-teman mengobrol di luar negeri 

(Sekaligus untuk menunjukkan kemungkinan jejak alien, tentunya.)

(*tet not tet not tet nooot ....)

Kali impian yang rupanya belum kondusif untuk dikunjungi.
Melihat jalur cahaya berasa mendengar koor dari langit.
Sumedang di sebelah mana, hayo?
Ini baru yang namanya refreshing! Bukannya menghabiskan seharian di perpustakaan daerah untuk membaca buku yang menjelimet--itu mah repressing.

Merasa cukup bersinggungan dengan alam luas, kami pun pulang dengan melanjutkan khayalan dibangunnya trotoar di sepanjang jalan dari dan ke Bukit Candi supaya kami sebagai pejalan kaki punya jalur yang layak untuk melangkah tanpa harus menghindari becek dan sampah, tanpa mesti sesekali diklakson kendaraan dari belakang.

Begitu sampai di rumah, kami tidak melakukan apa pun lagi sampai setelah zuhur selain menunaikan sunah rasul, yaitu tidur.

Untuk mencapai Bukit Candi langsung dari Kota Bandung (baca: tanpa menumpang lebih dahulu di rumah teman yang warga Cicalengka), kita bisa menaiki KRD jurusan Cicalengka dengan harga tiket untuk saat ini lima ribu rupiah. Dari Stasiun Cicalengka, kendaraan umum berikutnya adalah angkot hijau yang melewati Alun-alun dengan ongkos untuk saat ini dua ribu atau tiga ribu rupiah. Kemudian kita tinggal mengikuti jalan masuk di seberang Alun-alun sampai ke puncak, tanpa harus ripuh oleh belokan mana yang mesti diambil. Perjalanan dengan kaki ini tidak sampai satu jam, mungkin hanya sekitar setengah jam. Selamat refreshing yang sesungguhnya, wahai orang kota!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain