Ketika menonton film ini, saya baru menyadari bahwa "Pak Archewe" itu dibaca "Pakar Cewek", bukan "Pacar Cewek" (sumber gambar) |
Seperti yang diutarakan dalam entri sebelumnya, saya mesti melalui perjuangan berat untuk dapat menonton film ini. (Oke, ketularan lebay.) Karena saya mesti pulang pergi dengan sepeda dan cuma tahu 21. Saya sempat putus asa ketika mengecek situs 21 dan di Bandung Terlalu Tampan tinggal diputar di Ciwalk, Ubertos, dan Jatos. Semuanya jauh dari rumah. Yang paling dekat di Ciwalk mahal pula.
Saya merasa aneh dengan kenyataan ini. Padahal belum dua minggu penayangan, tetapi kenapa film tersebut sudah turun layar dari kebanyakan 21 yang ada di Bandung? Padahal menurut beberapa review di Youtube yang satu saya tonton dan sebagian saya cuma lihat thumbnail-nya, film itu tampaknya cukup bagus. Beberapa review dalam bentuk tulisan juga menyetujui. Komedinya lebih baik dibandingkan dengan Orang Kaya Baru, katanya. Tetapi malah Orang Kaya Baru yang lebih tahan di bioskop. Saya berasumsi mungkin karena Terlalu Tampan ini terkesan remaja banget sekalay, sementara Orang Kaya Baru sepertinya lebih appeal bagi kalangan yang lebih luas.
Selain itu, di dunia nyata, orang-orang di sekitar saya, yang dalam percakapan mereka saya singgung tentang film ini, pada tidak menunjukkan ketertarikan. Bahkan adik saya yang mengenalkan komik ini kepada saya, yang ternyata telah menonton bersama temannya padahal tadinya mau saya ajak bareng, tampak tidak begitu merekomendasikan film ini. Bagi dia, ceritanya drama remaja biasa seperti di FTV sedangkan komedinya garing.
Tadinya saya mau ikhlas saja menunggu sampai film ini muncul di LK21 atau televisi. Lagi pula, ada saat-saat ketika film ini tidak lagi terasa begitu menarik.
Sampai suatu kali saya membuka Kompas. Kalau tidak capek, saya ingin rutin membaca koran--yang kebetulan dilanggan anggota keluarga di rumah--sebelum tidur. Ketika melihat iklan bioskop, khususnya poster Terlalu Tampan, biasanya saya merasa biasa saja diselipi sedikit membatin, Kapan ya bisa nonton? Namun kali itu muncul kesadaran bahwa BIOSKOP BUKAN CUMA 21. Ada juga CGV--beberapa teaternya di Bandung.
Paginya, pada hari yang tampak bagus untuk menonton bioskop karena hari nomat, saya membuka situs CGV dan mencari film Terlalu Tampan, lokasinya di Bandung, yang menawarkan HTM nomat paling murah.
Siang itu juga saya meluncur dengan sepeda ke BEC untuk merelakan Rp 35.000,00 dan menanti pemutaran pada pukul 13.20 WIB.
Memasuki Teater 6, saya melihat ada dua mbak-mbak duduk di bangku paling atas. Saya sendiri memilih bangku D8 biar pas di tengah-tengah. Menjelang pemutaran datang sepasang cowok-cewek yang duduk tepat di belakang saya. Ketika film sudah berjalan, datang lagi empat sekawan cewek semua yang juga duduk tepat di belakang saya. Di tengah pemutaran, dua cewek yang duduk di paling atas keluar. (WHY?!?!) Kalau bukan karena suara yang sesekali muncul dari belakang, plus sekali tendangan di kursi, saya sudah hampir merasa cuma seorang diri yang menonton di ruangan itu. Seolah-olah, film itu diputar hanya untuk saya.
Oke, cukup pengantarnya.
Untung selama menonton enggak mimisan, kejang-kejang, atau pingsan (sumber gambar) |
***
Saya keluar dari bioskop dengan perasaan puas dan tanpa penyesalan, tentu saja. Lagi pula, sesal itu tak ada gunanya (#pembelaan).
Terlalu Tampan bukan film drama remaja biasa. Terlalu Tampan memadamkan nafsu yang tak pernah ada untuk menonton Dilan 1991. Terlalu Tampan tidak sekadar mengandalkan kutipan-kutipan aneh dari cowok sok keren dengan cewek pendamping yang entah apakah yang tampak dari dirinya selain kecantikan dan keluguan.
Saya bukan penggemar film yang kerap kalap menambah GB di harddisk dari situs bajak laut. Cuma sejak mengenal film semacam trilogi Naked Gun, Airplane, dan sebagainya, kepekaan saya mulai tersentuh untuk memerhatikan efek-efek komedi yang disajikan dalam satu potongan gambar. Sejak berusaha mempelajari teknik menulis novel secara dramatis pula, saya merasa mulai peka dengan pengembangan karakter, pembangunan konflik, dan segala unsur yang menjadikan suatu karya benar-benar kreatif dan bukan sekadar bercerita. Dari sedikit wawasan yang masih jauh dari menjadikan saya pakar itu, saya menyimpulkan bahwa: Terlepas dari kontennya yang pro pacaran padahal pacaran itu mendekati zina kemasannya yang berkesan tersegmentasi abis (: seolah-olah khusus remaja), Terlalu Tampan merupakan film komedi yang uwah.
Siapa tidak geli ketika trio bully yang sengaja tidak naik kelas sampai tiga kali itu diperkenalkan secara anime.
Siapa tidak mesem ketika kepala sekolah ditampilkan seperti bos yakuza bertato sepanjang lengan.
Siapa tidak geleng-geleng kepala ketika kemunculan Amanda si Terlalu Cantik kerap diiringi kelopak mawar yang beterbangan.
Siapa yang tidak menikmati lagu HIVI! "Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi" yang menjadi latar ketika Kulin menginsafi bahwa dirinya tidak lebih daripada sekadar obat nyamuk.
Entahkah ada yang memerhatikan pantulan Kibo yang berubah-ubah di cermin di belakangnya saat berbicara dengan Kulin.
Entahkah ada yang mengamati keharuan Sidi karena SMA BBM menerima prom gabungan sampai-sampai air matanya mengental keluar lewat satu lubang hidung.
Entahkah ada yang menyadari bahwa cuplikan Cinta Jose seolah-olah isyarat bahwa si pembuat film memang sadar bahwa konflik yang disajikan itu sangat telenovela sekali. Terasa lucunya enggak sih, my love?
Tapi gayanya jangan ikutan Lupus dong, Mas. (sumber gambar) |
Selain itu, ketika tahu bahwa adik saya sudah menonton, saya memintanya untuk menceritakan film tersebut secara jauh lebih mendetail daripada yang ada di review-review, seperti bagaimana pemecahan konfliknya. Namanya juga penggemar spoiler, dibeberkan begitu tidak menyurutkan ketertarikan saya akan film itu. JUSTRU SAYA MAKIN TERTARIK. Sebab, saya suka tokoh utama yang antihero. Saya suka karakter berhati busuk biarpun tampangnya jauh dari busuk. Sebab, di situlah letak pergulatan manusia, pelajarannya: bagaimana menaklukkan setan-setan yang ada di dalam diri.
Bisa dibilang, sekarang saya lebih suka versi adaptasinya daripada yang asli, biarpun Kulin versi komik mungkin lebih patut diteladani karena antipacaran, wkwk. Kalau komiknya sekadar menyajikan hiburan, filmnya bisa dijadikan pelajaran berkomedi.
Satu lagi yang lucu dari film Terlalu Tampan, yang baru terpikirkan, 30 September 2019
Kulin sebal sama keluarganya karena memanfaatkan ketampanan dia untuk keuntungan mereka. Tapi kemudian dia juga mengelabui teman dan gebetannya demi keuntungan dia sendiri. Jadi, keluarga ini bukan hanya pada rupawan, tapi juga sama-sama manipulatif. Dan, Kulin baru tersadarkan justru ketika menonton telenovela yang ceritanya persis dengan persoalan dia. Sepertinya ini yang dimaksud dengan bahasa visual.
Satu lagi yang lucu dari film Terlalu Tampan, yang baru terpikirkan, 30 September 2019
Kulin sebal sama keluarganya karena memanfaatkan ketampanan dia untuk keuntungan mereka. Tapi kemudian dia juga mengelabui teman dan gebetannya demi keuntungan dia sendiri. Jadi, keluarga ini bukan hanya pada rupawan, tapi juga sama-sama manipulatif. Dan, Kulin baru tersadarkan justru ketika menonton telenovela yang ceritanya persis dengan persoalan dia. Sepertinya ini yang dimaksud dengan bahasa visual.
Satu lagi yang tersirat dari film Terlalu Tampan, yang sebenarnya sudah dari lama terpikirkan tapi baru kali ini ingin menuliskannya, 1 Desember 2019
Gambar Moch. Hatta pada dinding di atas kepala tempat tidur Kulon mungkin menunjukkan kepribadian mereka yang agak-agak mirip: introver, rajin belajar, dan enggak pecicilan sama cewek :v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar