Ketika melintas kata "petualangan", serta-merta saya membayangkan Indiana Jones, atau Alfred Russel Wallace dalam Kepulauan Nusantara. Saya bukan penggemar fiksi petualangan, baik sebagai pembaca, penonton, apalagi pengarang. Saya cenderung mendefinisikan diri sebagai manusia gua yang menanti stegodon datang sendiri, dalam keadaan sudah diiris-iris dan diasapi. Kehidupan saya cenderung monoton, toto tenterem kerto rahajo gemah ripah loh jinawi apalah--setidaknya untuk sementara ini.
Saya tidak bisa menulis tentang petualangan.
Sampai hari ini ketika adik saya sedang di rumah untuk entah berapa hari, meninggalkan sejenak kehidupannya sebagai mahasiswi di Bogor. Adik saya itu yang mengenalkan Terlalu Tampan kepada saya beberapa tahun lalu sewaktu sedang bengong di rumah nenek saat Lebaran. Saya langsung menyukai komik webtoon itu dengan segala kehiperbolaannya. Lama saya tidak mengikutinya, tahu-tahu muncul trailer versi live action komik tersebut di Youtube. Serta-merta saya ingin menontonnya. Tetapi, sejak premiernya pada 31 Januari sampai kemarin, saya belum sempat menonton film itu di bioskop terdekat dan termurah. Maka, pagi ini, ketika mendapati adik saya benar-benar pulang, saya berpikiran untuk mengajaknya menonton film tersebut. Tetapi, ketika mengecek jadwal tayangnya di bioskop terdekat dan termurah, ternyata film itu sudah tidak ada.
Oh, sedihnya. Aku sedih sekali.
Saya mencoba mencari film itu di bioskop mana pun di Bandung yang masih menayangkannya. Pilihan jatuh pada Festival Citylink yang sepertinya relatif dekat--dibandingkan dengan bioskop-bioskop lain--dari rumah saya dengan waktu pemutaran pukul 14.20 WIB dan harga tiket Rp 30.000.
Namun ternyata adik saya sudah menonton film itu dengan temannya di Bogor. Apa boleh buat, kalau saya benar-benar bertekad menonton Terlalu Tampan di bioskop sesegera mungkin, saya mesti pergi sendiri.
Tetapi, saya bukan pengendara mobil ataupun motor. Karena hanya manusia gua yang tabletnya masih terbuat dari batu asahan, saya juga tidak bisa mengandalkan ojek daring. Untuk mencapai tempat yang kurang familier itu, saya mesti naik angkot atau sepeda. Masalahnya, saya mesti mencari tahu angkot jurusan mana saja atau rute terbaik untuk dilewati sepeda. Katakanlah saya ingin menghemat, maka sepeda menjadi opsi satu-satunya.
Tetapi, mengarungi jalan besar menuju Festival Citylink merupakan tantangan tersendiri.
Memang dalam beberapa tahun ini saya telah berani bersepeda di jalan raya dan mencapai berbagai tempat di Kota Bandung. Tetapi, untuk melalui jalan sebesar Jalan Pelajar Pejuang, Jalan BKR, dan Jalan Peta, jujur saja saya malas. Kalau sekadar menyusuri pinggir jalan dan tinggal belok sih tidak apa-apa. Tetapi kalau mesti menyeberang atau berganti jalur, saya mesti ekstra berhati-hati karena di jalan semacam itu kendaraan bermotor cenderung melaju dengan beringas.
Seketika itulah saya menyadari bahwa jika sehabis jumatan ini saya mencoba naik sepeda ke Festival Citylink demi menonton Terlalu Tampan, kemudian pulangnya supaya tidak harus menyeberangi jalan besar saya mencari jalan alternatif, melewati gang-gang yang serupa labirin dengan risiko kesasar dan kehujanan--padahal masih di dalam kota--bukankah itu suatu petualangan?
Malah, bukan hanya itu:
Jika saya tidak punya uang dan mesti bertahan hidup dengan mengandalkan atau mencari apa pun yang bisa didapat secara cuma-cuma, bukankah itu petualangan?
Jika saya membacai tulisan-tulisan--terutama fiksi yang sampai kini masih cenderung lebih saya sukai untuk diterjemahkan--yang ada di situs Words Without Borders, yang diterjemahkan dari berbagai bahasa yang ada di seluruh dunia, meliputi aneka budaya, pengalaman, dan situasi hidup, dan berusaha mentransformasikannya ke dalam kata-kata saya sendiri kemudian menampilkannya dalam bentuk yang bisa dinikmati sesama pembaca bahasa Indonesia, bukankah itu suatu petualangan--lebih tepatnya, pengalaman batin?
Dan, dalam petualangan batin, bukan hanya fiksi dunia, melainkan juga segala buku yang tersedia cuma-cuma baik di rumah maupun perpustakaan-perpustakaan umum yang kini cukup banyak tersebar di seantero Kota Bandung, segala orang yang ditemui dan berinteraksi dengan kita baik yang baru maupun yang sehari-hari namun ada saja polah tingkahnya, bukankah itu juga suatu petualangan?
Maka, petualangan tidak mesti diartikan sebagai pencarian harta karun di hutan belantara, ataupun melancong ke berbagai negara dengan menguras uang, tenaga, dan bahan bakar fosil, tetapi segala sesuatu yang menantang, yang baru, yang seru, yang asing, yang pada intinya mengundang daya tarik sekaligus mengandung risiko, yang sudah tersedia di sekitar kita.
Maka, akankah sehabis jumatan ini saya jadi bersepeda ke Festival Citylink hanya demi menonton Terlalu Tampan kemudian langsung pulang melewati jalan-jalan kecil dengan risiko kesasar dan kehujanan?
Akankah saya berhasil memenuhi angan-angan muluk saya menjelajahi setiap pelosok Kota Bandung dengan sepeda?
Ide menulis diambil dari 365 Days of Writing Prompts (oleh The Editors WordPress.com, hak cipta © 2013 oleh The Daily Post) tanggal 6 Februari.
Tempo Nomor 23/XXXI/5 – 11 Agustus 2002
-
ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Tempo edisi ini mengandung sejarah UUD 45,
persisnya proses amandemen yang pada waktu itu sudah… Read more Tempo Nomor
23/XXXI/5...
3 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar