Jumat, 18 Oktober 2019

Bebas yang Whatever, yang Penting Nikmat Ditonton

Melihat dari trailer-nya, film ini tampaknya enggak menarik. Enggak kelihatan ceritanya tentang apa. Tentang persahabatan? Saya enggak menggemari tema itu secara khusus. Embel-embel bahwa film ini adaptasi dari film Korea yang sukses, Sunny, juga enggak menarik saya. Saya bukan penggemar kokoreaan. Saya juga belum pernah menonton Sunny, dan enggak tertarik mencari. Ada yang bilang, film ini kurang lebih seperti AADC. Saya juga bukan penggemar AADC.

Tapi, saya punya impian jadi anak SMA tahun '90-an karena suatu hal, saya punya ketertarikan sama tahun '90-an. Jadi saya penasaran melihat bagaimana latar tersebut ditampilkan dalam film ini.

Jadi, ini film kedua yang sengaja saya tonton sendirian tahun ini, eh, seumur hidup, setelah Terlalu Tampan.

Menguatkan yang ditampilkan di film,
karakter Suci yang sepertinya introver memang misterius,
sampai-sampai di poster pun enggak ditampilkan versi dewasanya.
Gambar dari IMDb.
Film ini katanya mulai diputar di bioskop pada 3 Oktober 2019, dan saya baru berkesempatan menontonnya pada 16 Oktober, berarti kurang lebih hampir dua minggu setelah premier. Sejak sekitar seminggu sebelumnya saya sudah ketar-ketir kalau-kalau film ini keburu dicabut dari bioskop, tapi rupanya pada Rabu itu belum.

Saya tiba di TSM pukul 11 lebih sedikit. Pintu kaca XXI baru dibuka sekitar seperempat jam kemudian--saya mengamati dari jauh. Ketika tiba giliran saya di muka konter, saya melihat bangku-bangku strategis sudah pada terisi--sekitar separuh tempat duduk teratas. Saya pun memilih bangku C4. Tadinya saya mau C5, tapi enggak boleh karena cuma seling satu bangku dengan bangku sebelahnya yang sudah dipesan. Aturannya, kalau ingin ada jarak dengan penonton lain, mesti seling dua bangku. Baiklah. Tiga puluh lima ribu rupiah.

Jadwal pemutaran 11.45 WIB, tapi pintu teater sudah dibuka sejak 11.30. Saya jadi orang pertama yang masuk ke studio.

Para calon penonton lain pun berdatangan. Saya perhatikan bahwa semuanya perempuan dan sepertinya enggak ada yang sendirian--paling sedikit berdua. Ini film tentang nostalgia dan persahabatan. Kemungkinan mereka datang untuk bernostalgia bersama sahabat(-sahabat).

(Baru ketika film berakhir dan lampu-lampu kembali dinyalakan, saya melihat ada satu penonton laki-laki di bangku ujung atas, sepertinya menemani entah siapanya bersama para teman segeng.)

Begitu lampu-lampu dipadamkan dan layar menampakkan gambar bergerak, saya pindah ke bangku C5.

Oh, sepertinya film tentang Susi Susanti, yang katanya rilis 24 Oktober 2019 nanti, akan menampilkan latar '90-an juga. (Cek sisa duit.)

Menuruti tujuan, berikut adalah elemen-elemen tahun '90-an yang saya temukan dalam film ini:
  • Game Watch
  • Stensilan yang diselipkan di balik majalah Mobil Motor
  • Sepatu Kasogi
  • Bahasa gaul, dengan menyelipkan "ga" di setiap suku kata sehingga kedengarannya jadi seperti bahasa Rusia; ada juga yang pakai "ok"--contoh: "sepatu" jadi "sepokat"
  • Kue kepang
  • Telepon umum
  • Edi Tanzil
  • Nasi goreng intel
  • Petugas militer berpatroli di pinggir jalan
  • Pemberedelan media
  • Telepon rumah dikunci
  • Tawuran pelajar
  • Lemon Lime + pil setan?
  • Model rambut ala Bjork
  • Goodnight Electric masih SMA
  • Mahasiswa militan aktivis demonstrasi yang masih dibiayai orang tua dan dua puluhan tahun kemudian katanya ikut makan duit rakyat
  • Lagu-lagu Indonesia tahun '90-an, tentu saja, meski ada juga lagu tahun '80-an--Chrisye, "Sendiri"--yang menyelip
  • Tokoh-tokoh anak muda yang populer pada masa itu, seperti Daan P-Project, Sarah Sechan, Widi AB Three, dan seterusnya, menjadi pemeran
  • Gaya penampilan yang mengingatkan pada idola-idola anak muda pada masa yang belum lama berlalu kala itu (halah, belibet), misalnya tokoh Andra seketika mengingatkan saya sama Onky Alexander Catatan Si Boy, sedangkan untuk tokoh Suci, saya mendengar komentar bahwa dia seperti Meriam Bellina
  • Reza Rahadian, atuh lah, ada enggak sih film Indonesia yang enggak pakai dia?!?!?!
  • Darius Sinathrya yang untuk kesekian kalinya memerankan bapak-bapak menawan
  • Bisma Karisma yang enggak kelihatan kayak Bisma Karisma, tapi aa-aa dari Wado yang cinta Bekasi
Tampaknya, para penonton lain pada lebih tua daripada saya. Mereka heboh sendiri ketika sebagian elemen '90-an itu muncul. Saya sendiri, yang lahir pada awal era '90-an, dan menjadi anak TK lalu SD sepanjang dekade tersebut, rupanya masih terlalu kecil untuk mengakrabi semua elemen tersebut. Yang saya kenal paling-paling Game Watch, kue kepang (yang juga menjadi favorit saya--saya ingat pernah minta dibelikan ayah saya di toko dekat rumah), telepon umum, serta lagu-lagu.

Jadi, rupanya saya belum cukup tua untuk ikut bernostalgia lewat film ini. 

Itu, berikut latar ibukota, lingkungan sosial-pergaulan yang ekstrover menengah ke atas, dan semacamnya, sehingga saya enggak begitu relate. Dalam hal-hal tersebut, film ini memang mengingatkan sama AADC universe: hampir-hampir dream-like dengan berbagai kemewahan yang ditampilkannya, tapi konflik yang sederhana lagi wajar menjadikannya membumi dan heartwarming.

AADC versi '90-an?
Gambar dari artikel Tribun News.
Ada momen-momen ketika, seandainya saya menonton film ini tanpa membayar, bukan di bioskop, atau tidak bersama teman, kemungkinan saya akan angkat kaki. 

Ada juga adegan-adegan yang bikin saya mengernyit karena merasa aneh, bingung, kaget, bahkan berpikir that's too good to be true!!! (AWAS BOCORAN.) 

Misalkan, sewaktu Jojo--si cowok melambai--ikut menginap bareng teman-teman ceweknya. (Tapi toh alasan lain saya menonton film ini adalah karena ingin melihat si Jojo remaja yang pemerannya ternyata sudah enggak remaja, #eh.) 

Misalkan lagi, sewaktu Vina beli Lemon Lime lalu tahu-tahu didekati Onky Alexander Andra yang menawarkan sebutir obat. Bukankah tadinya ada ibu-ibu yang menjual Lemon Lime pada Vina, lalu kenapa tiba-tiba jadi tinggal dia berdua Andra--di ruangan segede itu??? 

Misalkan yang lain lagi, ketika pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan semua anggota geng Bebas padahal yang bikin onar kan Andra. Saya merasa ada yang hilang. Memang sih, geng itu diperlihatkan "memberdayakan" adik-adik kelas untuk melayani mereka, berantem sama geng sekolah lain, dan apa lagi, ya? Tapi adegan-adegan itu bagi saya enggak memberikan cukup kesan bahwa mereka geng yang berbahaya di sekolah itu sehingga harus dipisahkan dengan dikeluarkan.

Misalkan yang lain lagi, lagi, yaitu ketika Kris membebaskan Gina dari segala beban finansial dengan memberi dia apartemen, biaya sekolah untuk anak-anaknya, rehabilitasi untuk ibunya, serta pekerjaan di perusahaan .... Rasanya seperti menonton suatu acara reality show di TV.

Judul Bebas itu sendiri menarik untuk diinterpretasikan (halah, bahasanya) lebih lanjut, dikaitkan dengan isu-isu yang muncul dalam film sebagai berikut.
  • Situasi politik pada masa itu yang menjelang tumbangnya Orde Baru
  • Pesan-pesan feminisme bahwa perempuan harus berani, perempuan yang lebih daripada sekadar istri dan ibu, perempuan sebagai pengusaha kaya raya dan sukses (tapi cerai dan hampir-hampir enggak punya keluarga), perempuan sebagai pencari nafkah tunggal atau pengganti suami, perempuan generasi sandwich, dan sebagainya
  • LGBT
Yah, terserah yang bikin film lah, namanya juga Bebas.

Bagaimanapun juga, betapapun saya bilang enggak begitu peduli sama ceritanya, ada satu adegan yang berhasil bikin saya terharu, yaitu ketika Vina remaja berpelukan dengan Vina dewasa. Saat itu, Vina remaja baru mengetahui bahwa cowok yang disukainya ternyata--BOCORAN, NIH YE!!!--sudah berhubungan dengan si cewek cover girl

Siapa sih yang enggak relate?

I know that feeling too damn well.

Adakalanya kita tak bisa bebas dari rasa tak bisa memiliki (#eaaa).

Secara keseluruhan, saya enggak menyesal menonton film ini di bioskop. Film ini memberikan wawasan ke-'90-an yang sedang saya perlukan, dan mengalir tanpa berkesan sinetron sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain