Tidak ada yang
harus Zahra sapa di sekolah. Bukannya ia tidak mengenal teman-temannya. Ia
hapal nama sebagian besar teman sekelas dan teman segugusnya saat MOS. Dan
mungkin nama beberapa anak dari kelas-kelas lain. Hanya saja, menyapa
seseorang bukanlah kebiasaan Zahra. Tapi ia akan membalas dengan gugup kalau
disapa. Dan entah kenapa, ia akan merasa bersyukur sekali sesudahnya.
Terharu. Ternyata masih ada yang mau memerhatikannya di dunia ini.
Tapi tidak untuk
orang yang satu ini.
“Zahraaaaa… Eh!
Pahlawan kita udah dateng nih!”
Dengan buku
tulis dan pulpen di tangan, sosok jangkung-tipis itu menghampiri Zahra dengan
riang. Kedatangan sosok itu diekori beberapa anak sejenisnya: mereka yang
tahunya hanya gaul, senang-senang, dan jadi pusat perhatian, tapi sama sekali
tidak mau kenal cara bergaul dengan pelajaran. Mereka diekori pula oleh para
pengikut yang sejatinya tidak berasal dari jenis mereka.
Buku tulis Kimia
Zahra berpindah ke tangan Dean disertai desah ketidakikhlasan dari
pemiliknya. Dalam hati, Zahra menangisi nasibnya yang sejak SD tidak kunjung
berubah.
Zahra sudah menyerah
dengan segala bujuk rayu Dean yang jarang datang ke sekolah dengan membawa PR
yang sudah selesai dikerjakan. Bagaimanapun, para pengekor Dean mungkin tidak
akan pernah kenal Zahra kalau bukan Dean yang menggiring mereka.
“Makasih
Zahra... Zahra manis deh...” Dean menepuk pipi Zahra dengan bukunya sebelum
menggiring lagi para pengikutnya berlalu dari situ, untuk menyonteki PR Zahra
bersama-sama di sudut yang lebih strategis.
Zahra sama
sekali tidak termakan pujian yang ia anggap pepesan kosong itu. Ia teruskan
perjalanan ke bangku nomor dua dari depan meja guru. Teman sebangkunya
berdiri memberi jalan. Zahra duduk dengan lesu. “Tumben Zahra baru datengnya
jam segini. Untung aja gurunya belum masuk,” tegur Syifa.
Zahra mengangguk
pelan. Tidak terpikir hendak menyambung dengan kalimat apa. Setidaknya Syifa
masih mau jadi teman sebangkunya hari ini. Syifa memang baik padanya. Tidak
pernah lupa untuk ikut serta mengajaknya jajan saat jam istirahat. Padahal
Syifa sudah punya beberapa teman dekat di kelas. Kalau bukan karena dikenalkan
Syifa, Zahra tidak akan mengenal mereka lebih cepat. Meski demikian, Zahra
belum bisa benar-benar berbaur dengan Syifa dan para teman dekatnya itu. Apalagi
ini masih bulan-bulan pertamanya di SMA. Lebaran lalu pun hanya segelintir
teman yang ingat untuk mengirim sms ucapan selamat Idul Fitri padanya.
Membuat Zahra berpikir, apakah ia punya ponsel hanya untuk menerima sms
ucapan selamat Idul Fitri?
Mendadak
anak-anak kembali ke bangkunya masing-masing. Bu Elly masuk kelas dengan
paduan langkah anggun sekaligus angkuh. “PR-nya yang kemarin sudah
dikerjakan?” tegur guru tersebut sambil lalu.
Anak-anak
serempak menjawab dalam paduan suara tak jelas. Nasib buku Zahra entah
sekarang sudah terdampar sampai ke tangan siapa. Pemiliknya cemas kalau-kalau
buku itu belum kembali saat waktunya pengecekan.
Zahra merasa
punggungnya disodok sesuatu. Bukunya. “Dari Dean,” kata anak yang duduk di belakang
bangkunya. Beberapa bangku di belakang anak itu, Dean duduk. Ia tersenyum dan
melambai pada Zahra. Teringat Zahra pada senyum saudara kembar cowok itu.
Arderaz Haykal, saudara kembar Dean, adalah ketua gugusnya saat MOS. Senyum
yang diulas oleh wajah yang hampir serupa Dean itu jauh lebih merawankan
hati. Sedang senyum Dean sama sekali tidak mengesankan bagi Zahra. Memang
hangat senyum itu. Hangat-hangat tahi ayam.
Buku Zahra agak
lecek akibat dikerumun banyak orang tadi. Zahra berdecak kesal sambil membuka
halaman di mana ia mengerjakan PR-nya beberapa hari lalu. Sampai di halaman
yang ia cari, ia kaget dengan sebuah guratan yang minta ampun jeleknya: “Kasian
bukunya dicemberutin terus L Senyum atuh! J”
Dengan gemas
Zahra menghapus coret-coretan dari pensil tersebut.
“Ada yang bisa
mengerjakan soal nomor satu?” suara lantang Bu Elly. Seorang anak yang telah
selesai menyalin pengerjaan soal nomor tiga di papan tulis melintas di
sampingnya. Kali ini tidak ada lagi tangan-tangan teracung. Bu Elly menapaki
jalan di antara dua lajur bangku. Mencari-cari siswa yang kelihatannya minta
ditunjuk maju ke depan.
“Nomor satu,
udah ada yang ketemu jawabannya belum?” ulang Bu Elly.
Syifa berbisik,
“Zahra, kamu udah ngerjain yang nomor satu?” Kelihatannya cewek berjilbab
itu juga belum mengerjakannya. Zahra melirik hasil pekerjaannya. Mas Ardi
tidak kelihatan yakin saat membantunya mengerjakan soal ini, jadi ia pun tak
yakin akan hasilnya.
“Zahra udah Bu!”
celetuk seseorang. Suara Dean.
“Zahra?” ketukan
hak sepatu Bu Elly mendekat. Tabuhan beduk menggema di dada Zahra. Dingin
menyambar kuduk. Diperparah oleh gejolak mood
buruk yang belum mereda, telapak tangannya berkeringat. Bu Elly di sampingnya.
Dengan kepala, Bu Elly memberi isyarat untuk bangkit.
Gugup, Zahra
menjawab, “Eng, nggak tahu, Bu, bener atau salah...”
“Nggak apa-apa, kerjakan
aja dulu.” Bu Elly menyodorkan spidol ke hadapannya. Zahra bergeming.
Bagaimana kalau ternyata pekerjaannya salah? Dan mereka semua mencemoohnya?
Bagaimana ini, bagaimana? Ia melirik ujung spidol itu takut-takut. Ambil.
Tidak. Ambil. Tidak. Ambil. Tidak.
“Saya aja, Bu,”
suara datar Rani. Cewek mungil itu seolah bisa membaca kegelisahan Zahra.
Mantap betis berbonggol otot itu melangkah ke depan kelas. Bu Elly menyerahkan
spidol.
Syifa menyeret
buku tulis Zahra ke dekatnya. Mengamati hasil pekerjaan Zahra sambil
manggut-manggut. “Ih, aku nggak kepikiran sampai sini lo. Kayaknya bener
punya kamu deh… Makasih ya, Zahra.” Didorongnya buku tulis itu kembali ke
depan Zahra yang sedang menatap resah ke papan tulis.
Kening Zahra
berkerut-kerut saat mendapati bahwa cara pengerjaan Rani berbeda dengan
miliknya. Entah mengapa Zahra merasa lebih baik cara pengerjaannya yang
ditulis di depan sana—asal jangan ia yang melakukannya.
Bu Elly menerima
kembali spidol yang dijulurkan Rani. Sejenak ia mengamati hasil pekerjaan
para muridnya sambil sesekali mengusap dagu. Sejurus kemudian ia membuat
catatan di samping hasil pekerjaan Rani. Setelah selesai, “Coba kalian kerjain
yang nomor satu pakai cara ini…”
Zahra meneguk
ludah. Ternyata memang hasil pekerjaannya sudah benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar