Suatu keteguhan
dapat goyah semudah membalikkan telapak tangan. Sebagaimana mereka yang
bersumpah untuk membatasi konsumsi gula, namun begitu terjebak dalam badai
angin di puncak gunung, yang mereka inginkan lantas hanya segelas coklat
hangat.
Sebagaimana
Zahra, yang menahan diri untuk tidak mengkaji sebab mengapa ia tahu-tahu sudah
berdiri di depan pintu kamar Mas Imin. Sudah terlanjur ia sampai situ. Lebih
kuat alasan untuk bertahan di muka pintu ketimbang alasan untuk balik kanan dan
mengurungkan niat semula.
Sunyi dalam
geming pintu. Mas Imin nggak ada di dalam
kok, ada suara batin yang berupaya menghelanya kembali ke kamar. Namun
suara batin lainnya seterik sinar mentari di penghujung siang itu. Coba dulu! Siapa tahu ada! Siapa tahu bisa!
Mas Imin kan nggak selalu di rumah, kapan lagi?
Setelah mengetuk
pintu, Zahra lekas menarik tangannya lagi.
Tak ada
perubahan.
Tok tok lagi. Ia
menunggu beberapa saat hingga satu sisi pintu tak lagi lekat dengan kusen.
Kepala Mas Imin menyembul. Raut mukanya bertanya, “Apa?”
“Mm, mau latihan
pidato.”’
Mulut Mas Imin
membulat. Kepalanya mengangguk-angguk. “Ya udah. Pake dulu kerudungnya.”
Dahi Zahra
berkerut. Mas Imin melanjutkan, ”Biar kerasa beneran… Kayak pas tampil…”
“Pake seragam
juga?”
Mas Imin
terkekeh. “Nggak usah…”
Zahra bertahan
dalam bingung. Mas Imin memungkasnya dengan mimik serius. “Mau nggak?”
Zahra berbalik.
Ia membuat asumsi, mungkin Mas Imin hendak mengajaknya jalan-jalan lagi.
Latihan pidato akan dilaksanakan di dalam mobil, sambil melihat-lihat jalan,
supaya terkondisikan santai. Ah, tahulah. Mas Imin suka aneh-aneh, Zahra bisa
maklum.
Ketika Zahra
kembali, pintu yang berhiaskan beberapa tempelan stiker zadul itu telah
tertutup. Ia mengetuk. Daun pintu ditarik ke dalam. Mas Imin menyambutnya
dengan sumringah. “Udah siap?”
“Ya?” Zahra
menjawab heran. Apalagi ketika Mas Imin merengkuh pundaknya dan mendorongnya
masuk ke dalam kamar dan cilukba, dua orang dikenal menyambutnya. Dikenali
Zahra sebagai Kang Hilman dan Kang Ajat, karib-karib Mas Imin selain Kang
Detol.
“Halo, Zahra,”
sapa Kang Ajat ramah. Kang Hilman juga. mereka telah duduk bersandar dengan
manisnya di tepi tempat tidur Mas Imin—seakan telah (di)siap(kan) untuk
menyaksikan pertunjukan Zahra.
Zahra tak kuasa
menyembunyikan keterperangahannya. Dengan gugup ia menoleh pada Mas Imin yang
masih memegang kuat pundaknya—upaya pencegahan kalau-kalau Zahra hendak kabur.
Mas Imin pasti bisa merasakan tubuh Zahra menegang. Pantas saja Mas Imin
menyuruhnya memakai kerudung tadi. Ternyata ia telah menyelundupkan orang-orang
lain dalam kamarnya! Aih, betapa polosnya Zahra!
Akan lekas saja
bagi Zahra untuk memutar langkah apabila yang di hadapnya adalah anggota
keluarga atau teman-teman sekelompok tugas yang sudah paham tabiatnya. Tapi
tidak di depan Kang Hilman. Zahra tak sudi hati membekaskan kesan buruk tentang
dirinya dalam benak orang tersebut. Kang Hilman adalah impian realistis Zahra.
Ia serupa Fedi Nuril dengan kalem-itas beberapa tingkat di atas Arderaz. Peraih
medali emas di OSN Fisika pula. Akumulasi pertemuan mereka, terutama karena tak
jarang bertemu di rumah, menyimpankan rasa tersendiri dalam hati Zahra. Dan tak
ada seorang pun yang tahu tentang itu.
Zahra berusaha
keras agar kecemasan tak sampai meluap ke permukaan. Sebelum itu terjadi Mas
Imin telah mendudukkannya sehingga rasa merananya diganti terpana.
Mas Imin
menyusul bersimpuh di samping Zahra. Sebelah tangannya terangkat mengarah pada
teman-temannya. “Zahra, yang ini namanya Kang Hilman, kalau yang ini Kang
Ajat.”
“Udah tahu,”
ucap Zahra pelan sembari malu-malu menyapu tatap Kang Hilman. Kedua orang di
hadapannya tertawa pelan.
Lambat laun satu
dua kalimat canggung berkembang menjadi aliran kata-kata perkenalan. Diam-diam
Zahra menikmati kekaleman Kang Hilman dibanding dua kawannya yang tak putus
menginisiasi obrolan agar lancar berjalan. Terutama karena Zahra diam saja
kalau tidak ditegur. Menjawab pun pendek-pendek saja.
Obrolan santai
itu membuat Zahra pada mulanya mengira bahwa lagak Mas Imin hendak menemaninya
latihan pidato tadi hanya tipu belaka. Mungkin Mas Imin hanya ingin adiknya dan
teman-temannya itu saling mengenal, karena selama ini kalau bertemu di rumah
tak pernah ada interaksi tertentu di antara mereka. Was-was yang dirasa Zahra
berangsur-angsur sirna. Terselip perasaan senang karena bisa mengobrol dengan
Kang Hilman meskipun ia hemat kata—Zahra lebih-lebih lagi, tapinya. Selama ini
teman seangkatan saja belum tentu semua dikenalnya, apalagi kakak kelas. Menjadi
suatu kebanggan tersendiri baginya untuk dapat mengenal beberapa kakak
kelas—yang bukan saudara-saudaranya sendiri.
Tahu-tahu Mas
Imin menepuk punggung Zahra yang padahal baru mulai merileks. Dikatakannya,
“Eh, Zahra besok mau pidato lo!”
Zahra terhenyak.
Ternyata memang benar ia dijebak! Tak jadi ia coba melunturkan benci pada
kakaknya itu, padahal tadinya ia hendak. Percaya pada kekuatan pikiran, Zahra
mengirim sinyal-sinyal supaya jangan sampai Mas Imin membuatnya mengeluarkan
lipatan kertas lecek di saku celana training-nya.
“Wah, hebat,
pidato di mana?” tanya Kang Ajat, masih dengan muka riangnya.
“Ng, cuman tugas
Bahasa Indonesia aja, kok,” jawab Zahra, berusaha keras meredam gelisah.
“Siapa guru
Bahasa Indonesianya?” tanya Kang Hilman.
“Pak Catur.”
“Dulu juga Akang
sama Pak Catur lo.”
“Saya juga.”
Lantas
bercakap-cakaplah mereka mengenai indahnya saat-saat diajar oleh Pak Catur.
Metode mengajar Pak Catur dirasa amat memberdayakan. Zahra tertawa dipaksakan.
Bertanyalah Kang Hilman padanya, ”Gimana persiapan pidatonya, Zahra?”
Zahra
terperangah. Tak tahu bagaimana ia harus menjawab. Pun merespon kala Mas Imin
malah menjelek-jelekkannya, “Iya, Zahra tuh grogian.” Cemberutlah Zahra
dibuatnya. Tak ingat bahwa seharusnya ia menjaga imej di depan Kang Hilman.
Cemberut itu diredupkan pertanyaan Kang Ajat, “Tema pidatonya apa nih?”
Dengan suara
pelan, Zahra menjawab bahwa tema pidatonya adalah tentang minat baca dan
sastra. Kang Hilman dan Kang Ajat tampak tertarik. Mereka bertanya mengapa
Zahra memilih tema tersebut. Dalam benak Zahra mengalir segala alasan. yang
terkuat adalah karena ia merasa berhak untuk mendapatkan akses terhadap buku
bacaan—yang orangtuanya pelit belikan. Dan buku-buku milik para saudaranya
tiada menarik hatinya. Dan sekian “dan” lainnya. Menyadari keberadaan Mas Imin,
Zahra segera menepis pendam emosi yang memberinya kekuatan untuk menyuarakan
pentingnya tema tersebut. Jadi jawaban yang terlontar hanya, “Pingin aja.”
“Zah, bagaimana
kalau tiba-tiba Mojo Jojo dateng?” Kang Hilman dan Kang Ajat kompak menoleh
pada Mas Imin. Kang Hilman memperbaiki posisi duduknya. “Dan berkata bahwa dia
akan menghancurkan dunia. Alasannya, ‘pingin aja’.”
Hanya orang
macam Kang Detol kiranya yang sanggup meladeni ocehan absurd Mas Imin. Padahal
termasuk karib, namun Kang Hilman dan Kang Ajat diam saja. Plus cengiran
canggung bagi Kang Ajat dan kuduk merinding bagi Zahra. Teringat Zahra akan
boneka Bubblenya. Boneka itu masih dalam kondisi bagus saat Zahra berusia 9
tahun, di mana Mayong sudah tahu naksir anak tetangga. Dan Mas Imin menyarankan
Mayong untuk memberikan boneka tersebut sebagai kenang-kenangan saat si anak
tetangga dibawa orangtuanya pindah rumah ke pulau seberang. Tak pakai minta
izin Zahra pula.
“Gara-gara suka
disuruh maju sama Pak Catur ke depan kelas, saya sekarang udah nggak gugupan
lagi, Zahra,” cetus Kang Ajat, hendak menggiring kembali topik pembicaraan.
Kang Ajat melirik Kang Hilman, yang ekspresinya datar-datar saja, seolah tak
pernah mengidap keluhan sama. Namun Kang Hilman tetap punya tanggapan, “Orang
yang percaya diri juga tetap bisa kena demam panggung.”
Dalam hati Zahra
bertanya-tanya mau dibawa ke mana lagi pembicaraan ini. Apakah hendak
melibatkan para antek Powerpuff Girls lagi, ia menerka. Ia menyimak para muda
yang menggali ingatan mengenai pengalaman mereka saat harus bicara di muka
umum, membaginya satu sama lain. Tapi ternyata, ia juga kelimpahan sebuah
tanya, “Kalau Zahra gimana?”
“Ng, eh, ya…
Gitu…”
Mereka semua
terus menatapnya, seakan menuntutnya untuk mengeluarkan lebih banyak kata. Jika
sekadar tatapan saja tak manjur, mereka lihai menggunakan beberapa pendekatan
hingga akhirnya Zahra yang risih mau tak mau mengungkap.
☺
Zahra mengernyit
ketika Mas Imin menyuruhnya membeli karton putih dan spidol. Tentu saja Zahra
tidak mau. Meskipun Mas Imin bilang, ini untuk kebaikan Zahra juga. Yang
menambah rasa sebal Zahra, sok tahu sekali Mas Imin. Zahra tak takut lagi pada
Mas Imin. Sungguh kekanakkan sekali apabila Mas Imin masih coba-coba
mengerahkan ancaman apabila Zahra menolak.
Nyatanya, Mas
Imin tidak mengancam. Mas Imin tidak lagi kekanakkan kalau begitu, Zahra harus
menerima itu. Mas Imin pergi sendiri ke luar rumah. Menolak untuk terima, Zahra
kini dalam dugaan: kalau Mas Ardi sedang di rumah, pasti Mas Ardi pun tak kan luput
dari perintah untuk mewujudkan maksud Mas Imin yang tak jelas itu.
Menunggu azan
maghrib, Zahra duduk berselonjor kaki di atas ubin kamar. Tangan kirinya
memegang beberapa carik kertas. Beberapa baris kalimat di situ terang oleh
stabilo kuning. Naskah drama. Dialog yang harus diucapkan Zahra berentet di
bagian awal dan akhir. Ditelusurinya kata demi kata, baik yang akan ia ucapkan
maupun yang akan diucapkan lawan main padanya, dengan debar kencang bersembunyi
di balik dada tanpa ia ingin. Ia membayangkan situasi latihan yang akan
terjadi. Gembung pipinya. Kata-kata itu tak dapat melekat dalam memori otaknya.
Ia malah jadi
terbayang-bayang sikap arogan Mama-Papa selama ini kepadanya, Mas Ardi dan
pacarnya yang pecemburu, atau Mayong yang sepertinya tak mau dekat-dekat
dengannya. Sayup-sayup suara Kakek mengobrol dengan Mama. Membicarakan lauk apa
yang hendak dimasak untuk makan malam nanti tidak harus dengan suara sekeras
itu kan, mendadak Zahra jengkel sekali pada dua orang tua di rumah itu. Ia menghempaskan
naskah drama ke atas pangkuan. Menatap gelap di balik jendela yang kemudian
tertutup sekilas oleh sekelebat sosok Mas Imin.
Senyum Mas Imin
di muka pintu. Zahra menyesali kegagalannya dalam berperilaku tertutup. Sedari
tadi ia membiarkan pintu kamarnya terbuka walau hanya sejengkal.
Enak benar Mas
Imin menghempaskan tubuh dekat kakinya dalam posisi telungkup. Zahra menggeser
sedikit kakinya itu lalu mengamati apa yang hendak Mas Imin perbuat. Mas Imin
membentangkan karton putih sembari mengambil beberapa benda dalam jangkauan
tangannya yang bisa dijadikan pemberat. Bau tinta spidol menyengat indra
penciuman. Mas Imin mulai berkreasi. Zahra sulit untuk tak mengacuhkan.
“Bikin apa sih?”
Zahra tak tahan untuk bertanya kendati dengan intonasi yang dibuat sedemikian
rupa untuk menunjukkan bahwa ia terganggu.
“Ah, liat aja!”
ucap Mas Imin. Beberapa menit kemudian jelaslah bahwa Mas Imin tengah
menggambar orang. Orang-orang dengan beragam rupa. Menyadari bahwa Zahra terus
mengamatinya, Mas Imin menyodorkan spidol. “Mau ikut gambar juga?”
Sesaat Zahra
bingung memutuskan. Menerima tawaran tersebut seperti melancarkan jalan akan
terbinanya keakraban di antara mereka berdua. Dan itu terasa aneh dan tidak
nyaman karena tidak biasa. Memikirkannya saja sudah membuat Zahra bergidik. Ia
tak tahu mengapa ia tak ingin akrab dengan saudara kandungnya sendiri. Sampai kapan, Zahra, sampai kapan? Masak mau
selamanya? tanya batinnya, yang dijawab juga oleh batinnya, habis Mas Imin nyebelin sih. Dan
ditanggapi oleh batinnya lagi, tapi
adakah sekarang ia masih nyebelin? Zahra termangu, mengingat-ingat, sebelum
membiarkan batinnya menjawab, masih kok.
Berhenti membacot batinnya setelah itu, sebelum bersuara lagi, tapi udah nggak senyebelin dulu kan? Entah
apa sebabnya, Maha Tahu Allah SWT.
Mas Imin tidak menggigit, Zahra, yakinnya pada
diri sendiri. Jadi ia menggeleng untuk menepis dugaan bahwa Mas Imin memang
menggigit. Juga bahwa tidak ada salahnya mulai terbuka dan membuang gengsi
jauh-jauh—Zahra sendiri sudah bosan dengan keadaan dirinya.
Mas Imin menarik
kembali spidolnya. Zahra sungkan untuk mengkonfirmasi bahwa sebetulnya ia juga
ingin ikut menggambar. Menyesali syaraf motorik yang kompak menyatu dengan
pikiran. Tidak jadi terlarut ke dalamnya, jadilah Zahra terus mengherani
keanehan Mas Imin. Jika Mas Imin hendak merintis potensi sebagai tukang gambar,
mengapa harus dilakukan di kamar Zahra? Zahra merasa bagai guru TK yang sedang
mengawasi pekerjaan muridnya dalam membuat prakarya. Oh, ada apa, ada apa
dengan Mas Imin ini? Kini kekejiannya telah bertransformasi menjadi keanehan!
Apakah patut disyukuri?
“Nah, udah
jadi!” Mas Imin mengangkat karyanya. Dengan wajah gembira ia memperlihatkannya
pada Zahra, barisan orang-orang dengan beragam ekspresi dan rupa. Baik yang
tersenyum hingga cemberut maupun yang botak hingga berjilbab. Zahra tidak tahu
harus merespon apa. Bertepuk tangan dengan antusias disertai pujian “anak
pintar…” terasa akan membuat Mas Imin tampak imbisil—meskipun kiranya yang
bersangkutan pun tak kan berkeberatan. Tak terusik dengan kedataran ekspresi
Zahra, ucap Mas Imin, “Ini buat latian!”
“Heh?”
Sekilas senyum
muncul di wajah Mas Imin, sebelum ia celingukan. Sembari bangkit, dengan
sebelah tangan memegang sang mahakarya dengan hati-hati, enak benar Mas Imin
mengoprek meja belajar Zahra. Ditaruhnya kertas karton itu di atas kursi
samping meja belajar. Jari-jarinya mengorek ujung isolasi. Beberapa senti
diguntingnya, sebanyak empat kali. Lalu dengan itu ia menempelkan gambarnya
pada sebidang kosong dinding kamar Zahra. Diguntingnya lagi isolasi agar gambar
tersebut melekat dengan baik pada dinding. Puas, Mas Imin berbalik dan berkacak
pinggang. Ditunjuknya orang-orang dalam gambar, menjawab tanda tanya yang
bergumul dalam kepala Zahra, “Kalau sama mereka, nggak malu kan?”
Zahra
terperangah.
Namun
dibiarkannya gambar itu tetap di sana sementara si penciptanya begitu saja lalu
dari kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar