Terkenang Zahra,
akan peristiwa yang baru lewat tidak sampai dua jam lalu. Saat pelajaran Bahasa
Indonesia tiba, Zahra terus menggali ingatan akan pertemuannya dengan Kang
Hilman dan Kang Ajat pada silam hari. Kala itu, mereka tidak membuatnya harus
mendemonstrasikan ketidaklihaiannya dalam berpidato. Mereka hanya hendak
berbagi. Entah mengapa ia merasa itu menenangkannya hingga Pak Catur
memanggilnya untuk maju.
Mungkin karena
ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Konon, Kang Ajat pada awal masuk SMA juga sama
pemalu seperti dirinya. Namun pada MOS kemarin, Kang Ajat terlihat percaya diri
dalam mendemonstrasikan ekskulnya. Dengan hati mendesir, Zahra membayangkan
dirinya pun akan bisa seperti itu. Sebagaimana Kang Ajat, saat kelas XII Zahra
akan sudah tergabung dalam ekskul atau komunitas tertentu. Dan ialah yang akan
tampil di depan kelas, mengenalkan ekskul atau komunitasnya tersebut pada para
siswa baru. Oh, apakah ini yang dinamakan optimis?
“Bicara di depan
umum itu nggak harus punya bakat atau keterampilan khusus, Zahra,” masih ingat
pula Zahra akan perkataan Kang Hilman—yang kendati kiranya tak punya pengalaman
berarti yang terkait, namun tetap dapat menyuntikkan energi positif untuk
Zahra. “Kalau kata Dale Carnegie, siapapun yang minat, pasti bisa ngembangin
dan nguasain.”
Belum lagi Mas
Imin, yang selain membenarkan perkataan Kang Hilman tersebut, juga menghimbau
agar menghindari menghapal teks. Tanpa Zahra harus menanyakan sebabnya dengan
suara, Mas Imin sadar untuk segera menjelaskan. “Ceritain aja apa yang ada di
pikiran kamu, mengenai topik yang bakal kamu angkat. Apapun yang udah kamu
jalani, yang jadi pelajaran berguna buat kamu, terkait dengan itu, mungkin.
Perkataan yang ke luar dari hati bakal lebih bisa meyakinkan pendengar kan?
Kayak ngobrol biasa sama orang aja.” Meski mendengarkannya dengan setengah
hati, namun Zahra merasa kegugupannya akan berkurang jika ia menerapkan metode
tersebut. Seperti mengobrol biasa saja kan? Ah, (semoga) gampang… Seakan dalam
kehidupan sehari-hari Zahra memang lihai mengobrol saja.
Tak lupa, Zahra
coba-coba berlatih pula dengan gambar buatan Mas Imin. Sejelek-jeleknya gambar
tersebut, masih kentara bahwa yang digambar adalah orang. Gambar itu
membantunya dalam mengembangkan bayangan akan situasi yang mungkin terjadi.
Sesekali ia tersengal saat menyadari bahwa terhadap orang-orang bohongan saja
ia tak dapat berpikir jernih. Namun lama-lama Zahra merasa optimis ia bisa
tampil dengan cukup baik. Sekali, ia bisa lancar berkata-kata tanpa harus
melirik teks—mulai dari pembuka hingga penutup. Ia coba selipkan juga cerita
tentang dirinya sendiri terkait dengan topik yang dibawakannya, yang tidak ia
masukkan dalam teks. Dengan begitu ia merasa lebih rileks.
Kenyataan yang
terjadi adalah, saat tadi berdiri di atas panggung kelas, Zahra tak bisa
mengingat apapun pengalaman pribadinya. Padahal banyak yang bisa ia curahkan,
yang memang mendasari pemilihan topik pidatonya itu, namun semuanya kocar-kacir
begitu hendak dikeluarkan. Keberhasilan semalam gagal diwujudkan kembali saat
eksekusi. Untung saja ia sudah menghapal teks berkali-kali. Dengan
tersendat-sendat, ia tuangkan saja hapalannya itu. Pak Catur tampak tidak puas
dengan penampilan Zahra, namun Zahra merasa puas sekali karena gilirannya
akhirnya lewat.
Masih terasa
sisa-sisa kelembapan nan dingin di leher dan gemetaran di tangan Zahra meskipun
jam sekolah sudah usai. Namun Zahra masih tersenyum. Kini karena kenangan
konyol semalam.
Setelah
berpuas-puas latihan dengan volume suara seminimal mungkin, Zahra berlatih
melafalkan dialog dramanya sebentar. Merasa sudah cukup latihannya malam itu,
Zahra pun hendak beristirahat agar esok siap menyambut hari baru. Ia menatap
gambar Mas Imin dengan rasa terima kasih karena sudah jadi kawan berlatih. Ah,
seharusnya Mas Imin yang mendapatkannya, karena ialah yang mencipta gambar
tersebut. Tapi Zahra tak tahu bagaimana cara yang takkan membuatnya terlihat
canggung saat menyampaikannya. Ia belum pernah melakukan hal tersebut
sebelumnya.
Seperti biasa,
ia matikan lampu kamar sebelum membaringkan diri di kasur. Berbaring ke arah
kanan, sesuai sunnah Rasulullah, menghadap kiblat—dinding kamar yang kini tidak
polos lagi. Gambar Mas Imin di sana, yang lagi-lagi ditatapnya. Hendak
merasakan terima kasih untuk yang ke sekian kali, namun urung. Dalam kegelapan,
orang-orang tersebut tampak mengerikannya. Imajinasinya membuat si cewek
berambut panjang tampak seperti kuntilanak, cewek berjilbab serupa pocong,
sedang cowok brewokan di sebelahnya bagai genderuwo, dan cowok botak di
bawahnya adalah tuyul. Cepat-cepat Zahra bangkit dan menyalakan lampu kamar.
Dicopotnya gambar tersebut, digulungnya, dan ditaruhnya di tempat yang takkan
terlihat dari jangkauan matanya dalam posisi tidurnya yang biasa. Dipeluknya
Quran dan malam itu ia tidur dengan lampu menyala. Membuatnya pusing di pagi
hari, namun masih dengan sisa-sisa kepercayaan diri semalam. Meski ia tidak
yakin nanti malam akan berani tidur dengan lampu dimatikan lagi. Bagaimanapun
gambar Mas Imin telah terbukti berguna. Zahra akan memasangnya lagi kalau ia
sudah lupa pada ketakutannya semalam.
“Zahra.”
Zahra menoleh.
Lamunannya pecah.
“Giliran kamu,
Zah.”
Kendari kemunculannya
pada adegan awal, namun para lawan mainnya sepertinya lebih memilih untuk
melatih adegan-adegan yang tidak melibatkan dirinya. Sampai ada yang sadar
bahwa Zahra sedari tadi duduk saja sambil senyum-senyum sendiri. Majulah Zahra
ke tengah kelas. Bangku-bangku sudah disingkirkan sedemikian rupa sehingga
bagian tengah kelas cukup luas untuk dijadikan arena berlatih. Begitu
menghadapi sosok Rifan, Zahra seketika merasa terancam. Tampang Rifan
mengingatkan Zahra akan tampang anak-anak yang suka mendiskriminasikannya tempo
SD.
“Yuk, mulai!”
Seseorang memberi aba-aba. Zahra memperbaiki posisi berdirinya dengan gestur
kikuk. Menghindari tatap para teman sekelompok. Zahra berharap mereka sibuk
melatih peran masing-masing saja, tak usah pakai menyempatkan diri
menyaksikannya berakting segala. Grogi ia jadinya. Rifan berkacak pinggang.
Mengawasinya pula, seakan-akan ia tak becus—padahal akting saja belum. Zahra
menguatkan diri untuk mengangkat naskah. Sebetulnya ia sudah hapal kalimat apa
saja yang harus ia ucapkan. Sebab yang lain masih pegang naskah, maka ia pun
turut. Ayo, semalam kan sudah latihan
dengan gambar keluarga dedemit…
Mengingat-ingat
latihan semalam cukup membantu Zahra dalam beraksi. Namun ia merasa gerak dan
ucapannya tak bisa seluwes semalam. Kaku.
“Wahai, anakku…”
Zahra melafal kalimatnya yang nomor sekian.
“ALAH, NYOKAP
BAWEL!”
Zahra tersentak.
“Heh, lo belum
sampai ke situ!” Iin memperingatkan.
“Habis udah
nggak sabaran sih.” Rifan cekikikan, geli dengan polahnya sendiri. Atau
menertawakan ketidakluwesan Zahra, menurut persangkaan Zahra.
Sadar bahwa yang
barusan hanya candaan, dan ia tak bisa turut menikmatinya karena selalu
terlanjur merasuk kalbu, maka diteruskannya berkalimat. Dan bergestur. Dengan
beban pikiran yang mempertanyakan apakah ia memang bawel dalam kehidupan nyata.
“KATRO!”
“NGGAK USAH
BANYAK BACOT DEH!”
“DASAR NGGAK
GUNA LO!”
“ORANGTUA BAU!”
“PERGI
JAUH-JAUH!”
Zahra
menghempaskan tubuh ke salah satu bangku. Mendengarkan cekikikan khas
Rifan—yang langsung beralih ke adegan lain selepas beradegan dengan
Zahra—dengan rasa terintimidasi habis-habisan. Semua adegan yang memunculkan
dirinya telah ia lalui dengan hati nestapa. Rifan memainkan lakonnya dengan
begitu meyakinkan hingga Zahra merasa bahwa segala cerca merca itu memang
ditujukan pada dirinya. Mana sebagian besar tidak ada di naskah pula—jadi hanya
improvisasi Rifan belaka. Yang berpotensi sebagai ejekan murni. Tapi tahu apa
Rifan tentang Zahra sampai bisa semena-mena mengejek Zahra? Bertukar cakap saja
sebelumnya tidak pernah. Jadi itu adalah murni improvisasi. Waw, Rifan adalah
aktor yang hebat! Namun Zahra tak mampu mengapresiasi. Pengalaman buruknya
semasa SD seakan terulang dan itu sangat kuat menghantuinya. Teman-teman
sekelompoknya pasti kecewa padanya karena ia tidak bisa memainkan perannya
dengan baik.
“Eh, kita
latihan adegan yang ke pelabuhan itu lagi yuk.” Zahra menoleh pada orang yang
menegurnya. Unan. Unan mau tidak ya tukar peran dengannya? Biarpun nanti
diprotes teman-teman…
“Nggak mau,”
tegas Unan. Lalu tersenyum. “Aku jadi tetangga yang baik hati aja…” Serius lagi
raut mukanya. “Ayo latihan. Aku tadi ngerasa belum pol nih.”
Duduklah mereka
berdua, berhadapan. Membaca dialog masing-masing. Dalam adegan tersebut, Unan
mengantar Zahra yang menanti-nanti kepulangan Rifan di pelabuhan. Sebetulnya
begitu saja peran Unan dalam setiap adegan yang melibatkannya.
“Kamu bisa nggak
lebih sedih lagi pas yang ini?” Unan menunjuk satu kalimat pada naskahnya.
Dengan mata sayu
Zahra menggeleng. “Aku mah nggak bisa
akting,” akunya.
“Aku juga. Sama
dong kita.”
Kata Unan lagi,
“Seharusnya juga kamu bisa lebih keras lagi pas adegan terakhir itu. Si Rifan
udah nyela-nyela kamu kayak gitu.”
“Ya udah, kamu
aja atuh yang jadi Bundonya.”
“Nggak mau ah.
Biarpun aku beneran nggak suka Rifan juga.”
Tercenung Zahra,
sebelum mendorong diri untuk merespon dengan berkata, “Aku juga.”
“…tipe-tipe anak
kayak BASTARD gitu deh… Hiiih… Samsul, Dean, Nanang…”
Zahra tidak tahu
seberapa buruk reputasi BASTARD sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa itu adalah
semacam komunitas berandalan SMANSON yang suka nongkrong di depan Tenis Net
sambil merokok, makan kacang, main kartu, dan entah apa lagi, Zahra
membayangkan yang buruk-buruk. Memang Zahra tidak pernah berurusan langsung
dengan mereka, namun karena Unan menyebut nama Dean—tahulah Zahra bahwa Dean
termasuk BASTARD dan makin tidak sukalah ia pada cowok tersebut—maka Zahra
mengiyakan saja. “Aku juga.”
Unan terus
menyebutkan kejelekan demi kejelekan anak-anak setipe BASTARD. Betapa ia cemas
akan kualitas generasi penerus bangsa kalau anak-anak macam itu dibiarkan terus
berbuat semaunya. Zahra menanggapinya dengan hal sama, kendati anak BASTARD
yang ia tahu hanya Dean. Karena kejelekan Dean ada banyak, jadi Zahra tak
kekurangan bahan. Oh, jadi begini rasanya
ngomongin orang, batin Zahra, nikmatnya…
Perbincangan di
antara mereka akhirnya berkembang ke mana-mana. Zahra berusaha mengurangi
kekalemannya, kendati tetap ia yang lebih sedikit bicara. Saat mereka dipanggil
untuk berlatih adegan lagi di tengah kelas, telah terjalin sesuatu di antara
mereka. “Eh, ternyata kita punya banyak kesamaan ya,” senyum Unan. Zahra
terpana, namun tak kentara. Ia merasa akhirnya ia akan punya teman dekat juga,
setelah berbulan-bulan lamanya penantian.
Secercah cerah
optimistis dijelangnya. Zahra merasa kehidupannya akan mulai membaik, dalam hal
kecakapan maupun pertemanan. Zahra menyadari, ini adalah saatnya untuk berubah.
Ia bisa menjadi senormal teman-temannya.
☺
Terkuak
kenyataan kalau selama ini Mas Imin rajin mangkir bimbel. Pada suatu sore Mama
menggertak Mas Imin karena Mas Imin tidak menghargai pengorbanan orangtua
sehingga bisa membimbelkannya. Ah, Mama memang pandai merangkai kata sedemikian
rupa hingga Zahra saja sampai tidak enak hati mendengarnya, padahal ia biasanya
senang-senang saja kalau Mas Imin dimarahi. Lalu Mama memperingatkan pula bahwa
sebentar lagi rentetan ujian besar akan melanda Mas Imin. Jadi Mas Imin harus
mulai serius memikirkan masa depannya dan makin intens belajar. Akibatnya Zahra
jadi makin jarang melihat Mas Imin di rumah.
Zahra tak ingat
kapan persisnya keberadaan Mas Imin mulai mempengaruhinya. Melihat sosok Mas
Imin, membuat Zahra teringat bahwa ia harus berlatih bicara, kendati sosok itu
tengah mengupil di pojok dapur. Bukannya Zahra tidak ingat untuk terus berlatih
saat tidak melihat Mas Imin, apalagi waktu pementasan drama kelas kian dekat.
Mana Pak Catur bilang bahwa nilai drama ini akan cukup besar perannya dalam
penentuan nilai di rapot (mengingatkan Zahra bahwa UAS juga menjelang dan itu selalu
meresahkannya). Entah mengapa keberadaan Mas Imin seolah menyuntikkan energi
lebih baginya untuk berlatih. Gambar buatan Mas Imin tidak cukup untuk itu.
Zahra merasa konyol pula apabila mendapati dirinya tengah memandangi gambar itu
lama-lama.
Berlatih sendiri
maupun berlatih bersama sama-sama menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi Zahra.
Pementasan drama jelas membutuhkan kerja sama yang kompak antar pemain. Kendati
karenanya berlatih bersama menjadi lebih penting daripada berlatih sendiri,
namun Zahra lebih merasa tertekan saat harus berlatih bersama. Berlatih bersama
Rifan. Ia sadar bahwa semua ini hanya sandiwara, namun setiap cercaan Rifan
untuknya—yang memang tuntutan peran—secara nyata menyinggung perasaan Zahra.
Apalagi setiap kali latihan, Rifan selalu menambahkan frasa baru sebagai bahan
cercaan. Improvisasi yang berlebihan dan tak perlu, Rifan memang hanya ingin
mengejeknya, yakin Zahra.
“MUKA BEBEK!”
“ASAM JAWA!”
“TONGKOL BUSUK!”
Unan sampai
membuat daftar cercaan Rifan untuk Zahra. “Si Rifan pasti sering disuruh ibunya
belanja ke pasar.” Unan menoleh pada Zahra sembari melengkapi daftarnya seusai
latihan yang ke sekian kalinya antara Zahra dengan Rifan. Zahra berusaha untuk
terlihat tersenyum karena kelucuan Unan, tapi sepertinya yang teruar malah rasa
kecut.
Zahra masih
memendam rasa tersinggung sampai latihan terakhir. Malah kian menjadi. Pulang
latihan, ia terbenam dalam kasur. Menangisi dirinya. Ia merasa amat buruk.
Kalau ia tidak seburuk itu, tentu daftar yang Unan buat tidak akan sampai
sepanjang itu kan—kertas A5 bolak-balik? Zahra khawatir saja anak-anak
sekelompok bakal terpengaruh Rifan untuk berbuat hal sama.
Sejak SD,
anak-anak di sekolah selalu menghujaninya dengan ledekan meskipun mereka tidak
benar-benar kenal dengan Zahra. Dan Zahra selalu menanggapinya dengan serius.
Zahra sedih mengapa nasibnya tidak berubah meskipun ia sudah SMA. Setidaknya
selama itu seharusnya ia belajar bagaimana menyikapi ledekan dengan arif, namun
Zahra merasa dirinya gagal. Ia malah kian sensitif.
Tiba harinya
eksekusi, Zahra tidak hanya marah pada dirinya sendiri, tapi juga pada
orang-orang di sekitarnya, anak-anak sekelompoknya. Pada nasib yang mereka
giringkan untuknya. Jangan-jangan peran itu sengaja dibebankan padanya.
Diam-diam dan tanpa alasan mereka tak menyukainya lantas ingin melampiaskannya
lewat Rifan. Jadi ini adalah suatu konspirasi. Sungguh geram Zahra pada mereka.
Mereka tidak
tahu itu, kendati mungkin dapat merasakan. Zahra duduk menyendiri saja saat
kelompoknya duduk berdekatan di salah satu sisi kelas. Menentukan kode-kode
yang bakal dipakai untuk melancarkan penampilan mereka. Sesekali ada yang
bertanya, “Zahra kenapa?” Unan yang setiap latihan berdekatan dengan Zahra,
karena memang tuntutan peran, menjawab, “Sst, dia lagi mendalami perannya.”
Setidaknya jawaban itu membuat orang-orang yang penasaran tidak menengok-nengok
ke arah Zahra lagi.
Zahra juga
menyimpan kekhawatiran lain. Setelah menonton penampilan kelompoknya,
menyaksikan Rifan mencerca merca dirinya, anak-anak sekelas bakal terinspirasi
pula untuk berbuat hal sama. Zahra akan kembali menjadi bulan-bulanan kelas,
tanpa ia tahu apa salah dan dosanya. Apa hanya karena kepribadiannya terlihat
lemah? Selalu begitu sejak dulu. Zahra ingin menangis karena kenangan-kenangan
itu. Ia berharap dapat kuat menahannya sampai rumah.
Bahkan hingga
sampai gilirannya untuk maju ke depan. Ia maju dengan lesu. Terkuras energinya
karena perasaan-perasaan negatif yang bergumul dalam dadanya. Kedua tangannya
yang terasa dingin saling meremas. Sudah datang ia, demam panggung. Zahra
menunduk saja terus. Sebisa mungkin selalu memalingkan wajah dari penonton.
Juga dari wajah Rifan yang menghiba-hiba. “Oh, Bundo, perkenankanlah ambo ke
nagari sabrango…”
“Pergilah…” ucap
Zahra lirih. Terdiam lama. Berusaha mengingat kata-kata apa lagi yang harus ia
ucapkan. Sesak mendesak bagian dalam dadanya. Heran mengisi kepalanya. Sikap
Rifan beda dengan saat latihan. Tidak tersirat cemooh dalam wajahnya. Rifan
mendalami lakonnya dengan baik. Namun Zahra masih merasa itu adalah sosok
durjana yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Ia menguatkan diri agar sudi
menampilkan tampang sedih saat harus berkata-kata lagi pada sosok tersebut.
“Sampai jumpo, kito kan bersuo juo…”
Selepas dari
panggung, Zahra merasa beruntung langsung menemukan sebuah kursi kosong di
dekat pintu. Di sana ia bisa duduk membungkuk dan mendinginkan wajahnya yang
terasa panas dengan kedua belah tangan. Badannya juga terasa panas dingin,
ditemani beragam rasa lain. Ia berusaha menenangkan dirinya. Menahan isak yang
hendak meletup. Juga debar jantungnya. Seseorang menepuk punggungnya. Wajah
Unan di atasnya.
“Heh, ayo,
bentar lagi kita tampil!”
Kedua belah
tangan Zahra melorot. Menyembulkan sepasang mata yang memerah. Unan tercekat.
“Wah, penjiwaan kamu hebat sekali!”
Zahra meringis.
Unan membantunya bangkit dengan memapah punggungnya. Di atas panggung kembali,
Zahra tak ingin melepaskan tangan dari wajahnya. Ia malu karena kemungkinan
besar wajahnya kini sudah terlihat sembap. Tapi itu malah membuat pelafalan
dialognya tak terdengar jelas sehingga Unan terus menanggapi dengan “hah?” dan
“hah?”. Itu sangat mengganggu Zahra, membuat penampilan drama kelompok mereka
jadi kian tak sempurna, kendati terdengar beberapa cekikikan karena tampang
dongo Unan.
Mau tak mau
Zahra menyingkirkan tangannya sesekali, tapi tak terlampau jauh sehingga begitu
selesai bicara ia bisa langsung menutup wajahnya kembali. Dalam kesempatan
begitu, ia melihat Unan berusaha terlihat semenyedihkan dirinya. Membuat Zahra
jadi sebal. Apa yang harus cewek itu sedihkan sih? Memangnya ia tahu betapa
nyata kenestapaan Zahra kala itu? Dasar munafik. Semua yang memainkan drama
adalah munafik, maki Zahra dalam hati.
“Tenanglah,
Zahro. Si Malin pasti kembali… Ya? Ya?”
Dan cewek itu
keceplosan menyebut namanya pula. Seharusnya dalam drama ini Zahra menjadi
Aisyah.
Sempat
diliriknya juga Pak Catur yang tengah mengamati mereka dengan serius. Beberapa
jarinya menutup mulut. Semakin menambah tekanan bagi Zahra. Ia sudah pasrah
tidak akan mendapat nilai bagus untuk praktek. Ia harus mengompensasinya dengan
mendapatkan nilai yang setinggi mungkin untuk UAS nanti kalau begitu. Meskipun
dasarnya Zahra memang orang yang rajin belajar, dorongan untuk belajar lebih
keras lagi tetap menekannya.
Zahra tak tahan.
Begitu adegan tersebut selesai, ia langsung melesat ke luar kelas. Mata seluruh
orang di kelas pasti tertuju padanya. Zahra tak mau peduli. Tadinya ia ingin
terus ke toilet, namun seseorang menahan lengannya.
“Eh, kamu kenapa
sih?”
Suara Unan. Zahra
terus melangkah ke toilet. Unan mengejarnya. Menungguinya pula sampai ia ke
luar dari salah satu bilik dengan wajah bekas terbasuh air bak. Wajah bengong
Unan menyambutnya. “Kamu kenapa sih?”
“Ng… Eh, aku…”
Zahra tak tahu harus menjawab apa. Ia malu sekali. Kenestapaan yang tadi sempat
sirna diusir segarnya air perlahan merambat kembali. Sekarang malah ia jadi
ingin tersedu sedan. Susah sekali emosinya ini dikendalikan. Ia hanya ingin
pulang segera.
“Yuk balik yuk.”
Unan meraih tangannya.
Sementara Unan
menyeretnya, ia menunduk terus sepanjang jalan, menghindari tatap orang-orang
yang berpapasan.
“Eh, kalian ke
mana aja sih?” Iin menyongsong dari dalam pintu kelas dengan gelisah. “Si Rifan
ama Melly udah mau naik tuh!”
Iin mendorong
punggung Zahra, melepaskan isak yang sedari tadi kuat ditahan-tahan. Lepaslah
ia sudah. Sebetulnya ia tidak ingin meratap, “Anakku oh, anakku…” tapi hanya
itu yang pantas ia lontarkan untuk mengklamufase tangisnya yang sudah tak dapat
dibendung. Lagipula memang itu dialognya.
“Huh, siapa
kamu?!” Rifan, dengan wajah mencemoohnya yang khas. Yang sudah kenyang Zahra
santap selama latihan-latihan mereka. Akhirnya keluar juga wujud asli Rifan.
“Ini ibumu! Ini
ibumu, Nak!” jerit Zahra yang dikuatkan oleh deru emosi yang menjejal
tangisnya. Kalimat-kalimat yang ia hapalkan selama berhari-hari ini sudah buyar
sedari tadi. Maka hanya itu saja yang ke luar dari mulutnya karena kalimat yang
seharusnya lebih kaya kosa kata. Ingin sebetulnya ia melampiaskan gelegak
emosinya dengan kata-kata lain lagi, ciptaannya sendiri. Pikirannya bekerja
cepat untuk itu namun Rifan keburu memangkasnya.
“Hah, orang
jelek macam kamu?”
Rifan
mengucapkan dialognya dengan tepat, dan Zahra sudah bisa mendengar itu dalam
latihan, namun masih hatinya terasa bagai disayat sembilu. Ya, aku emang jelek, terus kenapa? tangis Zahra dalam hati. Dengan cepat
kenangan-kenangan buruk itu bergerak, mengiang-ngiang dalam kepala.
Mulai. Unan
cepat-cepat merogoh gulungan kertas dalam saku pakaiannya. Mengecek ketepatan
antara serentetan celaan Rifan yang tengah ia dengar dengan apa yang tercatat
dalam daftarnya. Ia mengangkat kepalanya. Baru kali itu suara Zahra terdengar
jauh lebih keras dari suara Rifan.
“DASAR ANAK
DURHAKA! KUKUTUK KAMU JADI PENGANGGURAN!”
“TIDAAAAAAAAAAAK…”
Di sudut kelas,
salah seorang anggota kelompok menggoyang-goyangkan seng yang mengeluarkan
bunyi serupa halilintar cempreng.
Beberapa menit
setelahnya, Rifan sudah duduk lagi di sudut panggung sambil menadahkan sebuah
piring rombeng. Beberapa anggota kelompok yang kebagian peran ganda sebagai
figuran lalu lalang di depannya. Ada yang melempar receh, ada yang tidak.
Seseorang melempar kaos kaki. Rifan melemparnya balik.
Intonasi datar
narator, “…dan sejak itu Malin Kundang tidak pernah lagi bisa mendapat
pekerjaan. Bahkan untuk menjadi banci Taman Lalu Lintas pun ia ditolak.
Akhirnya ia menjadi pengangguran sepanjang hidupnya… (“audzubillahimindzalik!”
Rifan berteriak lalu bersujud, “ampun, Bundoooo…”) TAMAT.”
Tepuk tangan dan
bahak tawa mengiringi bungkuknya punggung para anggota kelompok hingga mereka
turun panggung. Baru gemuruh itu berhenti saat tiba giliran Pak Catur memberi
penilaian.
“…nah, untuk
Zahra. Zahra, saya lihat kamu sangat gugup sewaktu penampilan pidato yang lalu.
Tapi sekarang saya merasa tersihir dengan penampilan kamu. Apakah kamu
sesungguhnya memang bercita-cita menjadi aktris, Zahra?”
Zahra balas
menatap Pak Catur dengan nanar. Oh, apa lagi ini? Sengsara membawa nikmat? Ia
bahkan tidak bermaksud sungguh-sungguh berakting tadi. Hanya usaha keras untuk
menutupi luapan mood buruknya yang
fluktuatif.
Anak-anak
sekelompoknya menggoncang pundaknya dari samping dan belakang. Yang duduk di
depannya balik badan sambil tersenyum-senyum padanya. Yang duduk jauh darinya
ramai menggumam. Zahra terlalu bingung untuk menjawab. Selain karena ia masih
tegang karena penampilannya tadi, ia juga belum menentukan secara pasti
cita-citanya. Dan menjadi aktris sama sekali tak pernah mengisi angannya. Kedua
belah pipinya terasa panas. Panas dingin tubuhnya tak jadi reda. Debar
jantungnya makin menjadi saja.
Untung Pak Catur
tak berlama-lama menanti jawaban. Mungkin ia menyadari bahwa Zahra masih kaget.
Segera dipersilahkannya kelompok lain untuk tampil.
“Wow, Zahra jadi
aktris, wow,” Unan menggoda sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Zahra
tersenyum geli melihatnya. Tak lama-lama, sebab ramai gelak tawa memancing
mereka untuk tak ketinggalan menyaksikan penampilan kelompok selanjutnya. Tak
lama-lama pula, sebab biarpun ranah penglihatannya tengah diisi oleh wajah
memelas Dean sebagai anjing Pak Tani yang diliciki si Kancil, Zahra masih
dikuasai oleh perasaan positif yang membuncah dalam dirinya. Ia merasa hangat.
Dan Unan berkata lagi padanya, “Eh, entar pulang sekolah mau ikut ke BIP
nggak?”
“Hah?”
“Ada Tria, Sani,
Ninda, rame-rame gitu deh. Ikut yuk!”
Baru kali ini di
SMA ada yang mengajaknya jalan bersama, ia tak akan melewatkannya. Oh, apakah
ini akhir dari kehidupan suramnya? Zahra merasa pertanyaan retoris itu tak
perlu dijawab. Ia telah condong pada energi positif kehidupan.
☺
Zahra, TK – SD
Di teras rumah,
Zahra menata pakaian-pakaian kertas milik boneka kertasnya. Ada pakaian main,
pakaian tidur, pakaian sekolah, pakaian pesta, pakaian arisan, dan lain-lain.
Belum selesai menata, beberapa orang anak seumurannya berdiri di depan pagar
rumah yang setengah terbuka.
“Zahra… Main,
yuk!” sahut mereka.
“Eh, masuk,
masuk…” sambut Zahra senang.
Anak-anak itu
melepaskan sandal di muka teras lalu satu per satu menapaki ubin. Bersimpuh
dekat Zahra. Salah seorang melongok untuk melihat apa yang tengah jadi
kesibukan Zahra. Yang lainnya mengeluarkan seluruh isi kaleng biskuit tempat
Zahra menyimpan mainan kertasnya. Mereka mulai memilah-milah. Ada yang baru
ingat untuk meminta izin. Zahra tentu saja memperbolehkan. Lalu teman-temannya
itu mulai berceloteh mengenai mainan kertas milik mereka sendiri, macam, “Aku
kemarin beli di Toko Ayu, bagus-bagus loh, ada yang baru…”
Mereka semua
jadi tertarik pergi ke Toko Ayu juga untuk menambah koleksi mainan kertas
mereka. Tapi mereka hendak memainkan milik Zahra dulu. Mereka telah memilih
orang-orangan dan pakaian-pakaian untuk dikenakan. Mereka membuat sebuah
kehidupan rekaan, dilengkapi dengan cerita rekaan mereka sendiri kemudian
mengenai orang-orangan mereka. Zahra tak pandai membuat cerita. Jadi ia hanya
mendengarkan celotehan teman-temannya sembari memainkan miliknya sendiri.
Lalu datang
seorang anak perempuan lagi. Ia hanya berdiri di depan pagar dengan gulungan
untaian karet di tangannya. “Main sapintrong yuk!” katanya.
“Hayuk! Hayuk!”
Anak-anak yang lain lekas menaruh mainan kertas tanpa ingat untuk
membereskannya kembali. Tiba-tiba seorang anak berhenti dan menoleh ke
belakang. Zahra masih duduk di sana. “Zahra mau ikut nggak?”
“Ah, Zahra mah nggak bisaeun main,” kata anak yang membawa karet.
“Ya nggak
apa-apa atuh. Entar dia mah megang karetnya aja,” bela anak yang
tadi mengajak sementara anak-anak lainnya tidak ada yang peduli. Mereka berebut
berunding hendak main di mana.
“Aku emang nggak
mau main kok,” tukas Zahra dengan menjunjung harga dirinya setinggi mungkin.
Dengan cepat ia membereskan semua mainan kertasnya, memasukkannya ke dalam
kaleng biskuit lagi. Ia masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu. Seiring
dengan menjauhnya ia dari pintu, masih terdengar sayup-sayup suara anak yang
tadi membelanya. “Tuh kan kamu mah, sok gitu sama Zahra teh…”
Zahra tidak mau
mendengarkan suara mereka lagi. Ia tidak ingin melihat muka mereka lagi. Ia
menghempaskan diri ke atas sofa dan mencari-cari benda yang dapat ia gunakan untuk
menghalangi suara-suara itu sampai ke telinganya. Beberapa saat kemudian
terdengar anak-anak itu memanggilinya. Mungkin mereka telah mencapai
kesepakatan untuk menerima Zahra dalam permainan, meskipun entah apa peranannya
nanti. Zahra lebih mahir memecahkan persoalan matematika ketimbang bermain
lompat tali. Lebih betah membaca buku pelajaran IPA ketimbang mengarang cerita
untuk para boneka kertasnya. Tidak ada gunanya mereka pura-pura tertarik
mengajak Zahra turut serta dalam permainan mereka. Zahra yang sudah terlanjur
antipati terus mendekam di sudut sofa sampai suara mereka tak terdengar lagi.
Ini bukan yang
sekalinya terjadi.
Sekali-sekali
mereka datang untuk mengajaknya bermain. Namun sesudahnya, intensitas
interaksinya dengan mereka tergantung usahanya sendiri dalam menarik perhatian
mereka. Dan ia kerap tak tahu bagaimana caranya. Semakinlah ia merasa
tersisihkan. Maka ia lebih suka menghabiskan waktu sendirian di rumah. Kadang
menampik ajakan main mereka—sebagaimana ia kerap ditampik pula kalau mengajak
main adiknya—yang lama kelamaan datang dengan setengah hati. Toh, ada atau
tiadanya Zahra sama saja bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar