Ketergesaan
mengiringi langkah Zahra ke mana-mana. Dari mulai kamarnya, ruang tengah,
hingga rak alas kaki. Hampir saja ia memecahkan gelas ketika tak sengaja
menyenggol benda yang tadinya diam di atas buffet
itu. Akibatnya Mama jadi ikut gusar. Ia hampiri Zahra yang sedang rusuh
mengikat tali sepatu.
“Riweuh[1] amat
sih…” komentar Mama dengan spatula di tangan. Ia tinggalkan adonan dalam
rebusan minyak di dapur. “Mau ke mana?”
“Zahra ada
kumpul kelompok jam sembilan di Taman Ganesha…” Kepala Zahra mendongak ke arah
jam yang menempel pada permukaan dinding beberapa jauh di atasnya. Setengah
sembilan lebih. “Pasti nggak akan keburu…! Mama sih, tadi nyuruh Zahra belanja
dulu…”
Mama seperti
tidak tahu saja kelakuan Zahra kalau disuruh belanja. Entah di warung atau di
sekitar gerobak pedagang keliling, Zahra akan menyelip di antara ibu-ibu yang
sibuk bertanya dan menawar harga. Tapi ia akan diam saja sampai si pedagang
ngeh akan keberadaannya, lantas menegurnya. Mama biasanya tidak terlalu
mempermasalahkan lamanya waktu yang dibutuhkan Zahra untuk menunaikan
tugasnya. Yang jadi masalah adalah kalau ternyata Zahra juga ada janji mengerjakan
tugas kelompok, dan titah belanja itu jadi mengganggunya.
“Abis tadi juga
Zahra nggak bilang sih!” cetus Mama dengan nada khasnya. Malah makin bikin
Zahra merasa terintimidasi.
“Ya udah, minta
anter sama Imin aja,” sahut Papa, sedari tadi menyimak dari balik bentangan
koran di lain ruangan. “Imiiiin… Anterin Zahra tuh!”
“Ya, entar biar
dianter Imin aja, biar cepet. Udah sarapan belum?”
Zahra menggeleng
cepat.
“Tuh, kan...
Tunggu bentar. Mama bekelin.”
“Apa, Pa?” Mas
Imin tiba di lantai bawah dengan tergopoh-gopoh.
“Anterin Zahra
ke… mana itu? Ngerjain tugas kelompok katanya…” jawab Papa tanpa melepaskan
mata dari barisan huruf di atas kertas koran.
“Oh… Sekarang?”
Mas Imin mengambil kunci mobilnya dari atas buffet
lalu melewati Zahra yang masih tergugu di ambang pintu garasi. “Ayo, Zah!”
Zahra
terperangah. “Gitu aja?”
Mas Imin tidak
merasa ada yang salah dengan kaos buluk longgar dan celana bermuda belelnya.
“Ya, gini aja. Cuman nganter ini kan?”
“Eeh.. Tunggu
dulu! Nih, bekelnya!” sayup teriakan Mama dari dapur yang disambut Mas Imin
dengan, “iyaaa, ni mobilnya masih dipanasin dulu…”
Awas entar kalau turun! batin Zahra di tengah deru mesin
si Bambang.
☺
Kendati Mas Imin
yang menyetir, dan wilayah Kota Bandung kala Minggu pagi tampak anteng dan
hangat—belum menunjukkan adanya kemacetan akibat invasi mereka yang tidak
berplat D, tetap saja itu tidak mengubah jarak antara rumah dengan Taman
Ganesha.
Begitu Mas Imin
menghentikan si Bambang di depan gerbang masuk Taman Ganesha, Zahra langsung
membuka pintu dan meloncat keluar. Ia lalui celah di antara pilar-pilar yang
ditempeli batu kecil-kecil itu. Sudah lewat seperempat jam lebih dari yang
dijanjikan kini. Zahra merasa amat tak enak hati.
Selepas menuruni
tangga, ia pindai seluruh penjuru lanskap taman. Ia cari sosok para teman
sekelompoknya di antara lalu lalang orang berjalan, melakukan senam ringan,
bercengkerama berdua-dua atau bersama keluarga, piknik keluarga, dan
lain-lain. Setelah menapaki sekian meter jalur pedestrian dan melewati toilet
umum, Zahra menemukan Acil dan Salman sedang duduk berhadapan di atas hamparan
rumput yang cukup lega untuk lima orang.
Saking serunya
mengobrol, Acil dan Salman tidak ngeh akan kehadiran Zahra. Sampai Zahra
memberanikan diri untuk mengumpan. “Rani ke mana?” Heran Zahra, Rani tak
tampak. Biasanya cewek mungil tersebut tepat waktu dan paling sigap dalam
pengerjaan tugas. Zahra pasti kewalahan kalau Rani tak ada. Sebagai perempuan,
yang kerap dianggap lebih rajin dari anak lelaki, memang mereka berdua yang
biasanya paling banyak berkontribusi dalam penyelesaian tugas.
Acil menoleh
lantas sok kaget. “Zahra! Kapan datang?”
Zahra tidak
mengacuhkan teguran bernada amat artifisial tersebut, plus gerakan pula.
“Rani mana?” tanya Zahra lagi. Was-was saja ia. Jangan sampai hanya ia seorang
yang nantinya yang paling banyak kerja. Kendati cowok, Acil dan Salman
sebetulnya punya cukup rasa tanggung jawab dalam penyelesaian tugas kelompok.
Tapi kalau sudah ada orang-orang yang lebih rajin dari mereka menangani,
mereka jadi kerja seadanya. Perhatian mereka cepat teralih.
“Katanya ada
kumpul KEPALA.” Sibuk mulut Acil mengunyah cireng. “Bilangnya sih mau nyusul
entar.” KEPALA adalah Kelompok Pecinta Alam.
Mengingat bahwa
Minggu pagi memang jadwal latihan rutin ekskul yang diikuti Rani tersebut,
Zahra dongkol. Seandainya saja mereka tidak menunda lantas melupakan
pengerjaan tugas ini, mereka kan tidak harus berkumpul pada Minggu pagi. Tidak
harus bertabrakan dengan jadwalnya Rani. Tidak harus membuat Zahra terancam
kelimpahan beban. Rani juga tidak protes saat diputuskan janji kumpul ini,
seakan-akan cewek tersebut memang bisa datang.
“Kalau Dean, dia
izinnya mau ada acara keluarga gitu,” tambah Acil.
Dean sih, Zahra
tak peduli. Saking seringnya Dean mangkir, Zahra pikir tak seharusnya nama Dean
dicantumkan dalam tugas yang mereka kumpulkan.
“Ke mana tho, Cil?” Salman menyeruput sisa cairan
coklat muda dalam sebuah gelas besar. Diambilinya potongan benda kenyal dan
lembek di dasar gelas dengan sendok. Goyobod.
Acil
menggaruk-garuk lehernya. “Ke Singapur. Tahu, belanja kali.”
Sejenak mereka
menghikmati adanya kejomplangan kelas sosial dalam kelompok ini. Sampai Zahra
ingat lagi akan tugas yang terlupakan. Sungguh terlupakan karena sebelum
ini mereka memang baru mengatur janji kumpul saja, yaitu hari ini. Mereka
belum sampai pada kesepakatan mengenai pembagian tugas, boro-boro apa yang
mau dikerjakan. Mereka kadung disibukkan oleh tugas-tugas lain, mulai dari
PR individu sampai tugas kelompok, juga tugas-tugas ekskul.
Hanya Zahra yang
paling tidak banyak acara di antara teman-teman sekelompoknya. Setelah
segala tugas akademik sudah ditangani, mereka beralih pada ekskul atau kawanan
mereka. Mereka berafiliasi dengan ekskul dan atau komunitas tertentu, sedang
Zahra tidak dengan satupun, kecuali mungkin dengan komunitas orang-orang
yang tidak berkomunitas.
“Jadi, gimana
tugas kita?” Zahra mengingatkan dengan jemu. Tugas kelompok kali ini tidak
mungkin ia kerjakan sendiri, harus bersama-sama, karena tugasnya adalah mewawancarai
orang. Zahra merasa amat tak berkecakapan untuk ini pada khususnya—dan segala
hal pada umumnya.
“Udah beres kok,
Zahra. Tenang aja…” Salman mengacungkan kedua jempol. “Kita tinggal beli
bahan-bahan buat bikin display-nya
aja.”
“Iya. Makanya ini kita lagi nungguin si Rani
dulu, baru ke Balubur…”
“Ng… Eh, tunggu, kalian emang udah
ngewawancara siapa aja?” Zahra merasa dikhianati. Sungguh tega mereka
meninggalkannya. Padahal sengaja Zahra menanti kesempatan untuk belajar
mewawancarai orang bersama-sama ini.
“Tadi kita
sambil beli cireng sama goyobod, sambil tanya-tanya yang jualnya juga. Ho oh,
Cil? Eh, maaf lupa bagi-bagi. Ini cirengnya masih ada. Ambil aja, Zah.” Salman
mendorong sebuah wadah kertas dengan rembesan minyak di beberapa bagian ke hadapan
Zahra. Tidak ada minat Zahra terundang sebesar biji sengon sekalipun untuk
mengambil. Perutnya sudah isi dengan bekal dari Mama yang ia makan selama di
mobil. “Kalau mau, tambah lagi aja, Zah. Itu, kamu bisa deketin pedagang
batagor. Entar aku sekalian titip beli, boleh kan?”
Padahal Zahra
justru ingin ada yang menemani.
Menyusup sedih
dalam hati Zahra. Tak hanya karena teman-temannya itu tidak bermasalah dalam
berhubungan dengan orang lain sedang ia demikian, tapi juga karena
teman-temannya itu ternyata lebih sigap dari yang ia sangka. Mengingatkannya
kembali bahwa kebijakan akademik kini tdak hanya menuntut siswa untuk cakap
secara kognitif, tapi juga afektif dan psikomotorik—apapun itu artinya, ia
membacanya di kata pengantar buku pelajaran. Jelas kalau dua aspek tersebut
memang secara signifikan berpengaruh dalam penilaian, Zahra tak akan mampu
bersaing. Zahra hanya unggul dalam ulangan tertulis. Dan PR yang tidak menuntut
untuk tanya-tanya orang. Makanya Zahra tak bisa tentram kala diskusi kelas,
di mana setiap anak berlomba-lomba untuk jadi yang paling banyak bicara.
“Eh, siapa tahu
di Singapur juga si Dean inget buat ngewawancara!”
“Wah, bagus itu,
Cil! Sms, Cil, ingetin!” sahut Salman.
“Entar tema display kita bukan tentang pedagang
kecil di Kota Bandung lagi, dong…”
“Iya ya, Cil.”
“Boleh nggak liat hasil wawancara kalian?”
kata Zahra kemudian.
Acil dan Salman
terdiam. Acil menoleh pada Salman. “Kamu masih inget nggak tadi kita ngomongin
apa aja sama mang-mang cireng dan goyobod?”
“Ya udah, entar
kita tanya lagi aja yuk, Cil. Sambil mbalikin gelas.”
Zahra menghela
nafas. Ini satu alasan kenapa ia tidak begitu sreg dengan orang-orang yang
paling sering sekelompok dengannya ini. Pun ia tidak merasa begitu dapat
terlibat dengan diskusi-diskusi mereka. Kali ini Acil dan Salman membandingkan
Rani dengan Nicolas Saputra. Karena tak tahu apa lagi yang mau dikerjakan, menyimaklah
Zahra dengan jemu.
“Rani tuh mirip
sama Nicolas Saputra, Cil. Rambutnya!”
“Tapi itu kan
cuman yang di film AADC aja. Menurut saya, kemiripan mereka tuh terletak
pada auranya gitu. Misterius-misterius gimana, gitu…”
“Iya. Mereka
sama-sama banyak diemnya, ya.”
Mendekat bunyi
langkah kaki kuda beradu dengan paving
block. Analisis Acil dan Salman terhenti. Bersama Zahra, mereka menoleh.
Ketika telah dekat dengan mereka, kedua kaki depan kuda tersebut terangkat.
Ringkik perkasanya menyerta. Sosok di atas punggung kuda itu gelap terhalang
cahaya matahari. Sosok yang paling mereka tunggu-tunggu! Tampak anggun
sekaligus tangguh benar ia di sana, membuat takjub. Dari siluet rambutnya,
serupa siluet rambut pada logo radio Prambors, mereka bertiga mengenali sosok
itu sebagai seorang Maharani—yang sedari tadi mereka sebut-sebut sebagai Rani
saja.
Bertopi merah
dengan kapucong di belakang kuduknya melambai-lambai, si pemilik kuda yang
sesungguhnya terengah-engah menyusul. Begitu dekat, ia berhenti. Tangannya,
mengapit cambuk dengan tali terkulai, diletakkan pada lutut yang menekuk. Di
tengah sengalnya, “Maaf, Neng. Kudanya lagi sensitif…”
“Nggak apa-apa.
Si Japri jinak kok sama aku.” Dengan tangkas, seolah biasa jadi joki, Rani
meloncat turun dari punggung kuda. Ia belai surai kuda tersebut sembari
dituntun balik ke pemiliknya.
Dari arah yang
sama dengan kedatangan tiga makhluk sebelumnya, menyongsong pemuda
berkacamata. Ia berlari-lari gembira dengan kembang gula merah muda nan rimbun
di salah satu tangan. Sesampainya di dekat si pemilik kuda, ia keluarkan
beberapa lembar uang kertas dari saku celana. “Ini, Mang, duitnya,” katanya
sembari menyerahkan uang tersebut pada si pemilik kuda. Kaos buluk longgar serta
celana bermuda belel yang dikenakan orang itu membuat Zahra merasa tercelup
dalam sebuah lukisan Edvard Munch, Scream.
☺
Gelak tawa Mas
Imin, dipadu bahak senada dari para kawan, menyelundupkan nestapa dalam rasa
Zahra. Yang ada dalam kepalanya hanya penyelesaian tugas segera. Lalu pulang.
Dan tidak melihat dunia. Pembawaannya jika kesuntukan akan hidup, yang
frekuensi kemunculannya begitu sering, mulai menyergap.
Rani bilang ia
sudah mewawancarai si pemilik kuda. Mulai dari pertanyaan mengenai asal
usul si kuda hingga berapa penghasilan yang diperoleh si pemilik dari
membiarkan kudanya itu ditunggangi anak-anak. Rani merekam hasil wawancaranya
dalam secarik kertas, yang entah bagaimana caranya, kemudian dimakan si
Japri. Zahra tidak jadi tidak kecewa.
“Nanti kita
ketemu Japri lagi,” Rani mengulas senyum datar, sekilas, untuk membungkam
kericuhan Zahra. Padahal hari sudah semakin siang. Zahra menggeser simpuhnya
ke bagian yang ternaungi dari hamparan rumput. Kenapa pula orang ini harus ikut-ikut? Zahra menatap tajam pada
oknum pemagut kembang gula. Polos benar tampang itu, berakrab-akrab dengan
anak-anak yang bukan seangkatannya. Bahkan orang itu pula yang tadi menyuruh
Rani menunggang kuda sampai tempat pertemuan. Dibayari pula!
“Tadi habis
nurunin Zahra saya parkir di deket Kebun Binatang situ. Terus liat Rani lagi
jalan. Eh, kok kayak kenal? Ya udah saya deketin aja. Ternyata bener, temennya
Zahra yang suka main ke rumah. Terus kita ngobrol-ngobrol aja, ya, Ran? Sampai
kita ngeliat kuda. Terus saya jadi pingin liat Rani naik kuda. Kayaknya
eksotis aja,” cerita Mas Imin saat baru bergabung dalam lingkaran—yang tidak
membentuk lingkaran sebetulnya—yang didengar Acil dan Salman dengan antusias,
dan Zahra, dengan malas. “Eh, teman-teman…” Zahra tidak suka mendengar si sok
muda itu memanggil teman-temannya begitu. “Nggak bosan, sekelompok terus
kayak gini?”
Aku iya... Zahra buru-buru menepis perasaannya yang kontan menjawab.
Sebal, mengapa ia dengan musuh abadinya itu bisa sampai sepikiran.
Beginilah
jadinya kalau guru menyerahkan pembagian kelompok pada murid-murid dan
murid-murid malas membagi diri. Praktisnya adalah membuat kelompok dengan para
teman dekat. Tapi bagaimana kalau diri sendiri dan teman dekat sama-sama
tidak profesional? Dan bagaimana dengan mereka yang tidak punya teman dekat?
Anak-anak rajin pun sesungguhnya sungkan dengan mereka yang hanya ingin
menumpang-cantum nama saja. Maka solusi yang dianggap paling adil adalah
pembagian kelompok secara acak. Seperti apapun para teman sekelompok yang
nantinya didapat, mau tak mau harus diterima. Pembagian kelompok tugas piket
dianggap sebagai pembagian kelompok yang seacak-acaknya. Terbukti, setiap
kelompok terdiri dari kombinasi beragam karakter di kelas, mulai dari anak
rajin, anak malas, anak aneh, hingga anak yang tak pernah terlihat di arena
pergaulan. Dan kelompok itu teruslah yang akhirnya mereka pakai saat guru
Biologi, Sosiologi, hingga Ekonomi membebaskan mereka dalam pembagian kelompok.
Kendati ada saja segelintir orang yang merasa tidak cocok dan muak dengan
anggota kelompok yang itu-itu terus. Termasuk Zahra. Padahal rumahnya yang
biasa dijadikan basecamp pengerjaan
tugas karena lokasinya paling dekat sekolah dan kondusif.
“Nggak tuh.
Malah enak. Kita jadi kenal deket satu sama lain. Iya nggak, Cil?” Salman
merengkuh bahu Acil sambil mulai menyanyikan tembang That’s What Friends are For.
“Ah, saya sih
eneg liat muka kamu…” seloroh Acil, membuang muka.
“Wuah, kamu.”
Salman mendorong bahu Acil yang terkekeh-kekeh. “Saking enaknya sampai jadi
eneg!”
“Aku pikir kita
bisa jadi sahabat.”
Semua memandang
Rani yang seketika tersenyum. Terpana. Merasa, betapa menakjubkannya teman
mereka yang satu ini. Perasaan Zahra menghangat diiring debar. Perkataan Rani
mengesankannya. Zahra tidak ingat ada yang pernah bilang begitu padanya,
mengakui bahwa Zahra potensial untuk dijadikan sahabat.
“Wajar kalau ada
rasa jenuh, saat kita udah terlalu sering bersama. Dengan teman, sahabat, keluarga
malahan. Kebayang nggak, kalau udah kerja nanti, ada kemungkinan kita bakal
bekerja di satu tempat selama puluhan tahun, dan ketemu sama orang yang
itu-itu terus?” kata Mas Imin lagi, yang dijawab anggukan Rani.
“Kayak para guru
kita yang umurnya udah pada tua. Aku kadang kepikiran, mereka bosan nggak
ya, mengajar terus seumur hidupnya?”
“Itu namanya
pengabdian, Rani…” sela Salman.
“…nerangin soal
gaya dan tekanan terus dari tahun ke tahun, selama puluhan tahun” sambung
Acil, merujuk pada seorang guru Fisika sepuh yang mengajar mereka, “sampai
udah mlothok aja di kepala.”
“Lo, kamu ngerti
mlothok tho, Cil?”
“Deket-deket
kamu terus sih!”
“Meskipun kalian
sering bareng, apa kalian udah bener-bener kenal sama satu sama lain?” tanya
Mas Imin lagi.
“Mas, kita mau
ngerjain tugas…” tegur Zahra, tidak kuasa menyembunyikan cemberut. Kalau
tidak cepat-cepat dicegah, bisa-bisa Mas Imin keburu memikat para teman sekelompoknya
dengan ceramah panjang lebar tentang apalah, seolah dirinya motivator
handal. Tapi para teman sekelompoknya itu malah menanggapi Mas Imin.
Membiarkan isi diri mereka terkuak pelan-pelan. Sampai akhirnya Mas Imin
mencetuskan sebuah gagasan yang makin menjengkelkan Zahra.
“Kalau gitu,
buktiin kalau kalian udah kenal satu sama lain dengan main peran!” Gagasan itu
direspons kernyitan di kening dan bibir yang mengerucut bingung, namun
menyiratkan kepenasaranan tingkat tinggi. Mata Mas Imin mengerling sekilas
pada muka Zahra yang makin tertekuk saja, namun tak ia pedulikan. Pemandangan
itu biasa baginya. “Biar diskusi kelompok kalian jadi tambah ajib. Gimana
kalau sesekali kalian diskusinya sambil niru gaya temen kalian yang lain?
Misal Salman jadi Rani, Acil jadi Zahra, Rani jadi Acil, Zahra jadi Salman…”
Zahra mendesah. Nggak penting banget Mas Imin ini, jangan
mau!
Acil mengerutkan
muka. Menggerutu dengan mulut kembung, “Ayo, dong, kita ngerjain tugas…”
Tawa meledak
dari mulut Mas Imin, disusul Salman yang menyertakan acungan jempolnya juga.
“Wah, mirip tenan!” sahutnya. Rani
tersenyum saja.
Mas Imin
mengusap sebelah matanya. “Haduuh… Cil, jangan-jangan kamu saudara kembarnya
Zahra yang hilang…”
Aku nggak kayak gitu! Zahra melipat kedua lengan di
depan dada. Makin rapat mengatup bibir, sampai pipinya gembung. Namun tak seorangpun
yang ingat untuk melihat ekspresi Zahra setelah gayanya dijiplak tanpa izin
begitu.
“Ayo, sekarang
Rani…”
Rani mengubah
posisi duduknya. Setelah terdiam sebentar, tanpa canggung ia ubah raut
mukanya sedemikian rupa—berapi-api sambil mengepalkan sebelah tangan—lalu
menurunkannya lagi. Katanya dengan ekspresi yang kembali datar, “Yang tadi itu
gayanya Acil waktu pidato Bahasa Indonesia.”
Mas Imin, Acil,
dan Salman tertawa. “Nggak ada mirip-miripnya…”
Nggak ada lucu-lucunya… ratap Zahra dalam hati. Kaget ia,
mengapa Rani mau-maunya berpartisipasi dalam permainan bodoh ini.
“Sekarang Acil!”
Masih dengan muka mesem-mesem, Mas Imin menuding Salman.
“Loh, aku udah!”
sergah Salman.
“Ah, apaan?”
bantah Acil.
“Dari tadi aku
kan diem aja. Kayak Rani, pendiem… Ngomongnya entar, kalau perlu aja!”
“Ah, apa? Tadi
kamu banyak kelepasannya gitu!”
“Huahahaha…”
tawa Mas Imin lagi. Rani berbagi cengiran.
“Sekarang
giliran Zahra tuh…” Kepala Salman menuding Zahra. Yang lainnya mengikuti.
“Ayo Zah, kamu tiruin aku!”
“Iya, tinggal medhok aja. Nggak susah!” timpal Acil.
Tak sabar menanti apakah Zahra berani unjuk aksi.
Inilah aksi
Zahra. Ia memamerkan sebengis-bengisnya muka. Dan tidak dalam konteks
bercanda. Empat orang di hadapannya terhenyak.
“Aku nggak kayak
gitu…” gumam Salman lirih, hanya menggelitik ambang rongga telinga Acil,
namun tak terterjemahkan dalam rentetan kata.
☺
Sesekali mata
Mas Imin melirik spion di atasnya. Sosok Zahra hanya terlihat sebagian
pinggulnya saja. Tampak belakang. Jemu ia dengan suasana macam ini. Belum kalau
ia tetap coba membujuk Zahra agar memperlihatkan wajahnya. Akan ia temui lagi
wajah itu tertekuk. Rahang kuat terkunci. Memendam keengganan besar untuk
terbuka. Apalagi berucap. Yang keluar paling hanya gerutu yang tak bisa
diterjemahkan dalam kata-kata.
Meredam kesal
yang mulai berkecamuk dalam dada, berkatalah Mas Imin, “Zahra, kenapa sih? Gitu
terus dari tadi.”
Tubuh yang
sedari tadi bergelung saja di jok tengah itu akhirnya bangkit. Punggung Zahra
merapat ke sandaran kursi. Ia mengusap mata. Ia harap orang di balik kemudi
tidak sedang mengintipnya lewat spion, atau malah sekalian menolehkan
kepalanya ke belakang. Intonasi Mas Imin tadi memutar sebuah kenangan buruk
dalam kepalanya. Pernah tempelengan mendarat Mas Imin untuk membungkam
tangisnya. Kenangan itu berhasil menggerakkannya. Ia amat tidak mengharapkan
Mas Imin akan melakukan itu lagi padanya kini.
“Mewek…”
Cemoohan dari jok depan.
“…nggak…”
“Mau makan lagi
nggak?” lanjut Mas Imin, berusaha terdengar santai.
“Tadi udah.”
“Masak? Tadi Mas
Imin belum liat.”
Zahra malas
merajut dusta. Mas Imin memang tadi tidak sepenuhnya menemani kelompok Zahra
mengerjakan tugas. Setelah Zahra berhasil mengambil alih fokus teman-temannya,
Mas Imin minggat entah ke mana. Waktunya makan siang, sementara kawan-kawan
Zahra memesan semangkuk bakso (plus mewawancarai pedagangnya), Zahra malah
lebih bernafsu meneruskan pengerjaan tugas. Pendaman amarah menekan nafsu
makannya.
Setelah display selesai dikerjakan (mereka tidak
menyangka dapat menyelesaikan itu semua dalam waktu beberapa jam saja—semua
berkat tekanan dari Zahra), Acil-Salman-Rani sepakat bahwa Zahralah yang akan
membawa display tersebut. Alasan
mereka kuat.
“Saya kan naik
sepeda. Rumah saya paling jauh. Entar ringsek nggak tuh kalau saya bawa?”
ungkap Acil. Salman mengemukakan hal yang sama, kendati jarak kosannya dengan
sekolah cukup dekat. Belum sempat Rani buka mulut, Salman memungkas, “Kamu aja
yang bawa, Zahra. Kamu kan ada mobil,” yang diamini Acil, “Rumah kamu juga
kan paling deket sekolah.”
Seandainya tadi
ia ke tempat ini tidak diantar Mas Imin dengan mobil, apakah ia akan disuruh
begini juga? Semua seakan sudah direncanakan untuk melawannya. Zahra malas
memikirkan hal ini, tapi ia masih bisa mengajukan dalih. Kakaknya tidak ada. Ia
akan pulang naik angkot dan kemungkinan display-nya
akan ringsek juga. “Apalagi pakai sepeda…” potong Acil seraya menuding jauh ke
belakang punggung Zahra. Ketika Zahra menengok, ia lihat di kejauhan Mas Imin
tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Di sinilah Zahra
akhirnya, dalam kijang kotak biru langit berhiaskan bercak-bercak amplas. Ia
berniat menahan laparnya sampai rumah.
“Zahra, ikut
ekskul apa aja di sekolah?” tegur Mas Imin lagi.
“Nggak ikut
apa-apa.”
“Lo, kenapa?
Seru-seru lo.”
Pertanyaan itu
mengusiknya. Mengingatkannya kembali akan kecemasannya kala harus
berhadapan dengan orang-orang baru.
“Kalau lagi
banyak duit, bisa ikut AFS…”
“Udah buka gitu
pendaftarannya?” respons Zahra dengan enggan. Berakrab dengan teman sekelas
saja susah, sudah berani mimpi tinggal di luar negeri!
“AFS yang ini mah bukan AFS yang ke luar negeri, tapi
Asosiasi Filantropis SMANSON.”
“Ada ekskul
kayak gitu?” Zahra curiga Mas Imin hendak mengerjai.
“Bukan ekskul
sih, ya kayak komunitas aja gitu… Ah, atau nggak ikut PARKINSON aja!”
Kalau yang satu
ini, Zahra sudah pernah dengar. Demonya terselip di antara serentetan demo
ekskul lain yang lebih eksis sewaktu MOS. Tapi ia sendiri belum paham apakah
PARKINSON itu, dalam konteks SMANSON. Kalau parkinson yang nama penyakit ia
sudah tahu.
“Para Pemikir
SMANSON.”
Zahra
mengernyit. Lalu apa yang dilakukan ekskul tersebut selain mengajak para
anggotanya berpikir?
“Atau nggak ikut
ekskulnya Mas aja.”
Kendati sudah
ditawari berkali-kali untuk bergabung dengan ekskul tersebut, Zahra masih
pasang tampang aneh. Ia tidak bisa membayangkan suatu ketika dirinya, dalam
demo ekskul tersebut, memeragakan berbagai jurus silat dengan mengenakan topeng
salah seorang personil Power Rangers. Nama ekskul tersebut juga agak-agak
membuatnya merinding: PATIN, alias Pembuka Mata Batin. Zahra menduga ekskul
tersebut kental dengan ajaran klenik.
“Atau nggak…
Ikutan WARBUNG.”
Kalau yang satu
ini, Zahra belum pernah dengar sama sekali. “Itu apa?”
“Untuk mereka
yang terselubung.”
Zahra
mengernyitkan dahi. Zahra belum pernah dengar sebelumnya ada ekskul di SMANSON
yang dijuduli WARBUNG. Mungkin WARBUNG adalah nama komunitas semacam BASTARD,
yang merupakan sekumpulan anak-anak absurd. Seabsurd jawaban Mas Imin. Dan apa
pula itu maksudnya terselubung? Jangan-jangan WARBUNG itu sekumpulan anak-anak
penjajak alam gaib? Setahu Zahra, ekskul seni bela diri yang diikuti Mas Imin
juga ada kaitannya dengan hal-hal gaib. Dasar
musyrik! batin Zahra mendesis. “Komunitas dedemit gitu ya?” kecurigaan
Zahra meledakkan tawa Mas Imin. “Gaib-gaib gitu?”
“Kalau urusannya
soal keliatan apa nggak, kita yang manusia juga punya!”
“Maksudnya?”
“Ada deeh…”
Zahra mendengus.
Pembicaraan tidak mutu!
“Latihan
pidatonya udah sampai mana, Zahra?” ucap Mas Imin lagi.
“Yaa, gitu deh…”
“Ngebales,
ngebales…”
Zahra tak
menggubris. Tak minat berakrab dengan sang kakak. Tak biasa.
“Udah tampil
belum?”
“Belum.” Zahra
coba menafikan kecemasan yang mendadak timbul.
“Tuh, masih bisa
latihan kan, biar tampil bagus.”
Cih, apa sih nih orang, sok akrab banget! Mendadak Zahra
benci pada orang sok akrab macam Mas Imin ini. Macam Dean saja.
“Latihan ngomong
jangan sendirian aja, Zahra. Tapi sambil ditemenin.”
“Ngapain juga ditemenin?”
“Biar ada yang
ngomentarin. Beda kan, rasanya, antara ngomong sendiri ngadep lemari sama
kalau ada yang ngeliatin gitu, meski cuman satu-dua orang?”
Ilmu batin Mas Imin udah sampai mana sih? Kok dia bisa tau
aku latiannya suka sambil ngadep lemari? Sekarang Zahra jadi takut. Padahal
selama ini ia selalu memastikan pintunya tertutup rapat sebelum memulai
latihan.
“Kalau
latihannya sendirian doang mah, itu
namanya cuman ngapalin. Tapi kalau sambil ngadep orang beneran, itu baru namanya
latihan!”
Zahra
membayangkan dirinya berlatih di depan beberapa orang, di ruang tengah lantai
dua rumahnya. Siapa saja mereka? Anggaplah para teman sekelompoknya tadi.
Zahra merasa metode latihan macam itu sepertinya memang bakal lebih
menyuntikkan keberanian untuknya. Ah, tapi apa bedanya latihan dengan eksekusi
kalau begitu? Sama-sama menghadap orang kan? Jumlahnya saja yang beda. Ia
kemukakan pikiran itu pada Mas Imin, yang dijawab, “Ya bagus kalau gitu mah. Nggak perlu latihan lagi kan jadinya?”
“Justru
orang-orangnya itu… yang bikin grogi…”
“Makanya Zahra,
latihannya ya sambil diliatin orang beneran juga. Sama temen deket gitu, yang
dipercaya.”
“Ah, udah ah.”
Makin ruwet saja Zahra memikirkan berbagai kemungkinan metode latihan
berbicara di depan banyak orang. Apa tidak cukup hanya dengan orang-orang
khayalan saja? Kendati demikian, ia penasaran juga apakah latihan sambil
menghadap orang betulan itu bakal lebih memberikan efek.
“Kalau Mas lagi
di rumah, sama Mas juga nggak apa-apa kok.”
Tidak akan
pernah terjadi! Zahra bertekad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar