Kawanan Mas Imin
berkerumun di depan pagar yang hanya terbuka setengah. Zahra sungkan hendak
menggusah mereka. Ia mencari-cari celah agar dapat masuk ke dalam rumah dengan
beberapa plastik belanjaan memberati tangannya. Kang Ajat yang pertama ngeh
akan keberadaan Zahra, padahal Mas Imin yang duduk di atas kap si Bambang dalam
posisi menghadap jalan. Atas pemberitahuan Kang Ajat, Kang Detol dan Kang
Hilman meminggirkan motor mereka. Sebetulnya Zahra ingin mengucap “permisi”
saat melewati mereka, tapi entah mengapa rasanya malu. Jadi ia lewat saja
sambil terbungkuk-bungkuk.
“… Zahra ajakin
aja…” suara Kang Ajat terdengar.
“Eh, Zahra,
Zahra,” panggil Mas Imin, menahan Zahra yang baru hendak melangkahkan kaki ke
balik pintu. “Ikut yuk.”
“Ke mana?”
Sekitar setengah
jam kemudian, Zahra duduk bersanding dengan Mas Imin di jok depan. Tiga sekawan
Mas Imin duduk anteng di jok tengah dan jok belakang. Si Bambang melaju dengan
santai pada Sabtu menjelang siang itu. Sepanjang perjalanan Zahra menahan risih
berada di tengah sekumpulan anak kelas XII yang pembicaraan mereka hanya
berkisar di UN, USM ITB, SNMPTN, dan semacamnya.
Sekitar dua jam
kemudian, Zahra duduk di kursi empuk dalam ruangan ber-AC di sebuah hotel
berbintang. Matanya memelototi gambar bergerak di dinding yang disajikan oleh
LCD proyektor sebagai satu-satunya sumber cahaya di situ. Tayangan video
Paralympic—olimpiade difabel—memang memesona Zahra, tapi lebih merawankan hati
lagi melihat Kang Hilman. Sesekali Zahra melirik beberapa kursi di sampingnya
untuk mengawasi orang tersebut.
Sekitar sejam
kemudian, Zahra duduk di kursi empuk di luar ruangan yang sudah mendinginkan
badannya selama beberapa jam terakhir. Ia mengunyah beberapa tusuk daging ayam
dengan empat kakak kelasnya duduk di sekitarnya. Mas Imin dan Kang Detol
berebut bicara dengan mulut penuh makanan. Zahra jadi eneg menghabiskan
kudapannya kala menyaksikan cuil demi cuil makanan tersembur dari mulut mereka.
Berharap setengah mati mengapa bukan Kang Hilman saja yang jadi abangnya.
“Suka diputer
terus yah, yang Paralympic itu,” komentar Kang Detol.
“Tapi saya mah nggak bosen da nonton itu teh,” sahut
Mas Imin.
“Kalau nonton
itu, perasaan rendah diri kita jadi nggak ada artinya. Kita punya fisik dan
kecerdasan normal, tapi kita nggak pernah melihat itu sebagai kelebihan,” ucap
Kang Hilman.
Yang ditambahi
Kang Ajat, “Iya, justru mereka yang kita anggap kurang malah bisa berbuat
sesuatu. Lah, kita yang normal?”
“Jadi keingatan
juga sih, sama orang-orang yang lagi tergeletak lemah, gara-gara apa gitu
misalnya, kanker, AIDS, kena malpraktek terus lumpuh seumur hidup…”
“Kenapa gitu,
Tung, eh, Min? Eh, kamu teh Lutung
apa Imin sih?” Kang Detol memagut nagasari untuk yang ke sekian kali.
“Luthfi
Muhaimin,” jawab Mas Imin kalem, sebelum menjelaskan dengan tampang sok tahu,
“Kita lagi sehat gini, mudah aja mencerca-merca hidup. Tapi mereka, nggak
peduli di waktu mereka sehat dulu orangnya kayak gimana, mau bejat, mau baik,
mau cupu, nggak gaul, slengean kayak si Detol ini—hidup lagi (Mas Imin berkelit
dari jurus totok ular sanca seribu maut Kang Detol)—di kepala mereka udah nggak
ada lagi kecemasan. Entah cemas gara-gara mikirin entar USM gimana, atau
gara-gara mau praktek pidato besok, atau cemas gara-gara ditolak si Sabrina
(lagi-lagi Mas Imin sukses berkelit dari jurus tapak macan Kang Detol—alias
tempeleng)… Seandainya mereka punya kekuatan sedikit aja, mereka nggak akan
ragu-ragu lagi—apalagi canggung—buat berbagi kesuksesan perjuangan mereka
melawan kesakitan mereka. Ada hal-hal yang lebih patut dicemaskan di dunia ini.
Dan mereka udah berhasil melewati itu.”
“Jadi saya harus
kena kanker dulu?” tanya Kang Detol.
“Ya, nggak… Hah,
emangnya kamu bisa hidup dengan kantong kering?”
Kang Detol
bergidik.
Zahra tidak
terpikir apapun untuk menanggapi perbincangan mereka, ditambah rasa sungkan
karena mereka adalah para kakak kelas yang tidak ia kenal benar—termasuk yang
kakak kandungnya sendiri. Tapi ia mengikuti setiap kata dan gerak mereka. Dan
termenung karenanya. Beberapa kalimat tadi terasa sungguh mengena.
Sekitar satu jam
kemudian, Zahra duduk di bangku kayu nan keras dalam sebuah warung tenda di
pinggir Jalan Burangrang. Sebetulnya tadi mereka sudah sampai rumah. Rumah
begitu sepinya. Hanya ada Kakek yang sedang bermesraan dengan gitar listrik
tuanya—ditemani seorang penjaga dan beberapa orang penyewa di penyewaan studio
musiknya. Kakek bilang Papa dan Mama sedang ke resepsi pernikahan. Mas Ardi dan
Mayong mungkin masih main entah ke mana. Jadilah setelah tiga kawanan Mas Imin
mengambil motornya masing-masing dan pamit, Mas Imin mengajak Zahra berpergian
lagi untuk cari makan. Betapa cowok itu cepat sekali laparnya, padahal di hotel
tadi mereka disuguhi makan siang.
Zahra menggeser
segelas jeruk hangat ke hadapan Mas Imin. Mas Imin usai bertopang dagu. Ia
mengaduk-aduk jeruk hangat tersebut. “Gimana tadi?” Ia menegur Zahra.
“Mmh? Apa?”
“Acara yang
tadi…”
Zahra bingung
menjawab. Ia menggeser gelas es jeruk tepat ke hadapannya.
“Tadi ditawarin
ikutan MLM-nya terus nggak berani ikutan ya…?”
Mas Imin
tertawa. Zahra menggumam tidak suka. Tidak suka diingatkan akan kekurangan
dirinya. Batagor pesanan datang. Zahra menggeserkan sepiring ke hadapan Mas
Imin.
“Heh?” Mas Imin
menegur lagi.
Zahra terdiam
sebentar, sebelum bicara, “Trus Mas Imin sendiri ikutan?”
“Ah, masa lalu…”
Empat cowok SMA
yang mau lulus. Rajin mengikuti presentasi MLM. Zahra harus berkomentar apa?
Yang jelas ia merasa tidak positif dengan itu.
“Cuman suka ikut
training motivasinya aja kok,” kata
Mas Imin lagi. Jari telunjuk tangan kanannya melipat satu per satu jemari
tangan kirinya seraya menyebutkan nama bermacam MLM, baik Zahra familiar dengan
itu maupun tidak. Ia tersengal. “Tapi pas terakhirnya ditanya, ‘jadi, tunggu
apa lagi, kenapa tidak bergabung dengan kami mulai dari sekarang?’, kita ya
sok-sok sibuk mempertimbangkan gitu deh… Terus kita ikut makan-makan terus
pulang.”
“Kok suka ikutan
yang kayak gitu sih?” tanya Zahra sok dingin sembari menuangkan kecap
banyak-banyak pada batagornya.
“Ya lucu aja
liat yang ngomong. Bersemangat banget gitu sih. Kadang malah ada yang suka
lebay juga. Jadi ikutan semangat juga nggak sih, kalau liat orang yang
semangat?”
Zahra tidak tahu.
Zahra kira, malah orang lain yang terpengaruh oleh mood-nya. Mood buruk
terutama. Dan ia selalu berlagak tak memedulikan itu meskipun dapat
memperkirakannya.
“Kenapa? Lagi
ngerasain sesuatu yang buruk?” Zahra tahu Mas Imin memandanginya. Sebetulnya ada
saja yang bisa ia utarakan, kalau ia mau. Hanya saja ia merasa asing dengan
itu. Jadi ia menggeleng. Rasanya aneh saja bisa dekat begini dengan Mas Imin.
Apa benar, semakin dewasa seseorang maka ia akan semakin dapat bersikap hangat
dan bersahabat? Itukah yang membuat sikap Mas Imin membaik padanya? Ah, memang
Mas Imin sudah dewasa? Apakah Zahra juga dapat menjadi seperti itu suatu saat
nanti? Yah, mungkin, Zahra mendesah. Tapi bukan sekarang. Semakin dipikir,
semakin malas ia jadinya menanggapi Mas Imin.
“Jadi inget
masa-masa SD…” gumam Mas Imin sambil melahap sepotong kentang berlumur bumbu
kacang. “Kamu tahu nggak, anak SD itu pelaku bully terkejam lo.”
“Huh?” Zahra
menunjukkan ekspresi sok tak mengerti.
“Bullying… Itu loh, penyiksaan… Yang suka
di TV-TV… Trauma yang dirasakan mereka yang kena bully sejak masih anak-anak itu bakal terus membekas sampai mereka
dewasa dan mempengaruhi kehidupan mereka. Kasihan ya?” Mas Imin menatap Zahra
sekilas, lalu melahap lagi batagornya dengan sikap cuek.
“Huh?”
“Huh? Huh? Huh?”
Mas Imin mengulang-ngulang tanggapan Zahra dengan ekspresi komikal sehingga mau
tak mau Zahra tertawa geli, namun tertahan. Mas Imin melanjutkan kembali,
“Makanya, Zahra, mem-bully-lah
sebelum di-bully.”
Zahra kaget.
Kalimat itu terasa sulit ia cerna. Mas Imin menyilangkan sendok-garpu di atas
piring kosongnya. Membandingkannya dengan piring milik Zahra. “Ayo dihabisin.”
Zahra menurut.
Celotehan Mas Imin menemaninya menghabiskan potongan-potongan terakhir.
“Kamu tahu
nggak, kenapa mobil Imin dikasih nama si Bambang?”
“Kenapa gitu?”
“Nama panjangnya
sebetulnya Macan Terbang. Kalau disingkat jadi Mambang. Tapi karena Mambang
seperti nama pupuh, makanya diganti jadi Bambang, supaya kedengaran pasaran.”
“Huh?”
“Ngomong-ngomong,
itu Detol yang kasih nama. Kamu tahu nggak, kenapa temen Mas yang itu
dipanggilnya kayak gitu?”
“Kenapa?”
“Soalnya nama
aslinya Danang Pramudito.”
Zahra jadi serba
salah. Mau ketawa, tidak lucu. Tidak ketawa, yang ke luar malah gumaman tak
jelas, “heuheu…” Untung saja batagornya sudah ludes kini. Kiranya Mas Imin akan
berhenti bersikap GJ. Tuh benar, dalam diam Mas Imin merogoh saku celananya.
Mendadak matanya melotot. “Duh, duitnya mana?”
Jantung Zahra
mencelos. Mas Imin memeriksa saku celananya yang satu lagi. Kantong-kantong
jaketnya juga. “Kalau nggak ada, pinjem dulu ya, Zah!” Suara Mas Imin terdengar
seperti yang menahan panik agar tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar
mereka.
Zahra sudah
takut saja si penjual batagor sampai mendengar. Ia juga cemas memikirkan
kemungkinan Mas Imin akan menjadikannya jaminan sementara cowok itu lari ke
rumah untuk minta duit pada Kakek. Zahra jadi ingat sewaktu ia bersama Mas Ardi
dan Teh Tata ke rental DVD. Saat itu juga Mas Ardi tidak bawa duit, malah
ceweknya yang berinisiatif membayarkan. Coba Mas Imin tadi bawa temannya juga
ke mari. Kang Detol kek, yang kelihatannya banyak duit. Asal jangan Kang Hilman
saja, karena Zahra akan sangat malu jadinya. Zahra jadi kesal, mengapa para
abangnya suka pada lupa membawa duit begini. Jangan-jangan mereka memang
sengaja hendak memoroti adik perempuan mereka.
Sudah kecut muka
Zahra, saat Mas Imin tiba-tiba terdiam. Tahu-tahu sudah ada selembar dua puluh
ribuan saja di tangannya. Diambil dari saku belakang celana. “Ajaib! Ketemu!”
ucapnya girang.
Zahra melengos,
seolah tak tergugah. “Huh, garing,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Ia
menghela nafas dan memicingkan mata, untuk menutupi kenyataan bahwa
sesungguhnya ia merasa terhibur.
☺
Jika dulu Zahra
selalu menolak Mas Imin dalam kehidupannya, kini, makin hari Zahra makin merasa
sebaliknya. Ia merasa sesungguhnya Mas Imin adalah kakak yang baik. Memang
kadang-kadang masih ada sifat menyebalkannya, seperti menyuruh ini atau mencela
itu, tapi di luar itu Mas Imin adalah sosok yang perhatian. Biasanya hanya Mama
dan Papa yang intens menanyakan keadaannya, sementara para saudaranya acuh tak
acuh saja. Tapi kini Mas Imin juga mulai suka tanya-tanya mengenai kegiatan
Zahra di sekolah. Pada awalnya Zahra merasa itu bagai usikan. Mau tau aja ih, pikirnya. Namun
lama-lama Zahra senang juga ditegur begitu. Ia menganggapnya sebagai tanda
bahwa masih ada yang mau memerhatikannya. Ia hanya butuh diperhatikan!
Tapi tetap,
untuk urusan pelajaran, Zahra lebih suka tanya-tanya pada Mas Ardi. Sebab Mas
Imin kerap begitu songongnya jika Zahra hendak menanyakan cara mengerjakan
suatu soal. Seolah sudah jadi template
dalam otaknya, Mas Imin biasanya menanggapi pertanyaan Zahra dengan, “Hah,
masak gitu aja nggak bisa?” Memang Mas Imin pintar, Zahra akui itu. Hanya Mas
Imin dan Zahra yang pernah jadi juara kelas, sedang Mas Ardi dan Mayong tidak.
Namun Zahra tidak suka dengan segala bentuk kesongongan, yang membuatnya sadar
bahwa ia tidak punya apa-apa yang dapat dijadikan bahan untuk balas bersongong
ria.
Pada mulanya
adalah sebuah pengakuan, yang merintis keterbukaan kakak beradik itu.
“Dulu Imin suka
sebel da, kalau udah hari Sabtu,”
kata Mas Imin pada suatu waktu, selepas membicarakan UAS yang baru saja lewat
beberapa hari silam. Dan Mas Imin mengajak Zahra mengobrol sembari
mengutak-atik soal sebagai latihan untuk remedialnya esok hari.
“Huh?” respon
Zahra, sok tak acuh. Mas Imin menerjemahkannya menjadi, “kenapa gitu?”
“Soalnya itu
harinya Zahra beli baju.”
“Hah, kenapa?”
Kali ini Mas Imin tidak harus menerka-nerka penerjemahannya lagi.
“Habis bajunya
Zahra udah banyak, tapi dibeliin terus. Mana yang dipake jadinya cuman yang
itu-itu aja lagi. Yang lain-lainnya didiemin aja di lemari. Tau-tau kekecilan,
disumbangin aja.”
“I—ih!” Zahra
memukul Mas Imin, yang tidak menghindar. “Mas Imin juga suka banyak dibeliin
macem-macem.”
“Iya, tapi baju
Imin kan gitu-gitu aja. Gantian ama Ardi. Terus entar pasti dipake Mayong
juga.” Mas Imin mendengus. “Kalau Imin juga dikabulin buat beli baju tiap
minggu mah Imin bakal fashion show terus.”
“Jadi Mas Imin
pingin beli baju?”
“Nggak sih,
biasa aja.”
“Ih, aneh,” ucap
Zahra disertai senyum. Menyangka Mas Imin ternyata pernah memendam iri juga
pada dirinya, meski diakhiri oleh penyangkalan. Cukup adil.
Lalu Mas Imin
menciap lagi. “Udah ada temen deket di sekolah, Zahra?”
Zahra teringat
Unan. Unan yang sudah sekali-dua kali ini jalan ke mal bersamanya, berdua
maupun ramai-ramai. Unan yang tidak cantik benar, tapi enak dilihat. Unan yang
entah kenapa mau dekat-dekat dengan Zahra dan bertukar sms-sms tidak penting
dengannya. Unan yang ternyata suka menarik diri juga kalau bertemu orang-orang
yang membuatnya tak nyaman. Unan yang takjub begitu mengetahui Zahra punya dua
kakak dan satu sepupu di sekolah yang sama. Apalagi ketika Zahra menunjukkan
pada Unan yang mana saja mereka.
“Ih, ngeri
kali!” komentar polos Unan saat Zahra menunjuk Mas Imin di kejauhan. Zahra
tidak tersinggung, malah geli, karena sependapat. Tapi ia ingin tahu juga apa
alasannya. Unan mesti tak pernah jadi korban kesewenang-wenangan Mas Imin.
Alasan Unan, “Dia kan yang pas demo ekskul mecahin lima batu kali sekaligus
itu?”
Terhadap Mas
Ardi, Zahra menunjuk salah seorang yang sedang mojok di salah satu lorong
sekolah bersama kawanan suramnya, Unan memekik, “Aw, itu kan tipeku!” Zahra
malah heran. “Dia nggak ganteng kok,” ia mengingatkan. Membuat senyum Unan
meredup, “Iya sih. Nggak jadi ah.” Zahra menambahkan, “Trus pacarnya cemburuan
banget.” Unan terbelalak, “Udah punya pacar? Ow, wow. Aku jadi punya harapan
kalau aku juga bakal dapet pacar suatu hari nanti.”
Lalu pada Zia,
Unan tersenyum aneh. “Oh, teteh yang GJ itu?” Zahra tak mengerti, “Kenapa GJ?”
Sembunyi-sembunyi, Unan menunjuk sejumput rambut acak-acakan yang menyembul di
antara kerumunan anak kelas XI di Kantin Klenger, “GJ rambutnya.”
Zahra mengangguk
beberapa kali. Membuat Mas Imin bertanya lagi, seperti apakah gerangan anak
yang begitu baik hatinya hingga sudi menjadi teman dekat adik cupunya itu. Yang ngatain Mas Imin ngeri, tertawa
Zahra dalam hati.
Pertanyaan-pertanyaan
Mas Imin membuat Zahra bercerita lebih banyak dari yang diinginkannya. Zahra
kira ia hanya akan dapat bercerita seperti ini kepada sesama perempuan. Kepada
Zia, misalnya, yang pernah Zahra harapkan dapat menjadi saudara perempuan tempat
ia mencurahkan segala isi hati dan permasalahan yang sangat cewek—karena para
saudara laki-lakinya tidak ada yang bisa diharapkan. Nyatanya sampai sekarang
ia belum bisa dekat dengan sepupunya itu, meskipun Zia sering tidur di
kamarnya. Tapi tiada mengapalah, sebab ia bercerita dengan lancar pula pada Mas
Imin. Kendati yang dibicarakan baru sebatas hal-hal dangkal mengenai apa yang
disukai dan tidak disukai Zahra di sekolah.
Zahra sadar,
apapun yang ia bicarakan, ia hanya butuh untuk didengarkan. Kemampuan
mendengarkan Mas Imin ternyata sebaik kemampuannya mencemooh.
Lalu pada
penghujung tahun, di ruang tengah lantai dua, Zahra menemukan Mas Imin tengah
mencorat-coret sesuatu di atas selembar karton. Zahra berdiri mengawasi dari
jarak yang tak terlampau dekat. Mas Imin menengok untuk melihat siapa yang
datang. “Eh, Zahra, gambar yang dulu Mas bikinin masih ada nggak?” tegur Mas
Imin sambil melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Eung, masih,”
jawab Zahra, berharap itu dapat menghentikan Mas Imin dari pengerjaan gambar Keluarga Dedemit part deux. Namun
rupanya bukan itu yang sedang Mas Imin kerjakan, melainkan,
“Kamu nggak
bikin resolusi tahun baru, Zah?”
Mas Imin adalah
orang kedua setelah Unan yang menanyakan hal itu padanya. Unan bahkan mengajak
Zahra untuk membuat resolusi tahun baru bersama. Namun Zahra masih bingung apa
yang hendak ia isikan. Begitu pula yang dikatakannya pada Mas Imin.
“Ikutan MLM,”
gurau Mas Imin yang langsung disambut gelengan kepala. “Betewe, pidato yang
sama Pak Catur tea jadinya gimana?
Udah kan?”
Ya udahlah… Udah lewat bagi rapot juga, heu… cibir Zahra
dalam hati. Secara lisan, ia menjawab, “Udah.”
“Sukses nggak?”
“Ya, gitu deh.”
Sebetulnya ia lebih sukses main drama—yang tak diduga-duga, ketimbang pidato.
Tapi ia tak mau bilang-bilang pada Mas Imin, atau Mas Imin akan jadi orang ke
sekian yang menyarankannya untuk melamar jadi pemain sinetron ke sebuah rumah
produksi. Mereka nyadar nggak sih aku ini
nggak cukup rupawan?
“Kok kayaknya
nggak ya?”
“Hee…”
“Mas Imin kasih
usul satu nih, buat dimasukkin ke resolusi: perbanyak latihan public speaking!”
“Heung…”
“Tambahan usul
lagi nih: perbanyak berbuat baik untuk kakak tercinta!”
“Hah?”
“Luthfi
Muhaimin.”
“Iiiih…”
“Usul lagi satu:
perbanyak teman deket. Banyak temen deket banyak keuntungannya loh, Zah,
semakin banyak yang bisa dimintai tolong, buat minjem ini itu, disuruh ke sana
ke sini.”
Huh, ternyata Mas Imin suka nyuruh-nyuruh juga ke
temen-temennya… “Mas Imin sendiri resolusinya apa?” balas Zahra. Dagunya
menuding ke arah serangkaian huruf R, E, S, O, L, U, S, dan I yang dibuat
seindah mungkin, bagai kaligrafi, di bagian atas karton. Namun bagian bawahnya
kosong melompong. Mas Imin memberinya cengiran.
“Satu, lulus
UN,” tulis Mas Imin dengan huruf-huruf yang tidak lagi dibuat sok indah. “Dua,
masuk kuliah. Tiga… Ah, nggak usah banyak-banyak dulu, yang penting dua ini
kecapai dululah. Entar aja kalau kepikiran lagi deh!” Mas Imin menggulung
kartonnya.
“Emang Mas Imin
mau kuliah di mana gitu?”
“Di mana ya?”
“Kata Papa, Mas
Imin mau ke ITB.”
“Aaang… Nggak
tau juga…”
Zahra mengiringi
kepergian Mas Imin yang turun ke lantai bawah. Mungkin hendak nimbrung para
anggota keluarga lain yang sedang menyaksikan sinema pergantian tahun.
Sekalian, matanya menyapu sosok Mas Ardi di sudut ruangan. Padahal besok sudah
pergantian tahun lagi. Jadi sudah berapa tahun cowok itu tidak beranjak dari
depan komputer?
“Mas Ardi,”
panggil Zahra. “Bikin resolusi juga nggak?”
Mas Ardi
menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut. Ia menoleh pada
Zahra dengan telunjuk mengarah pada layar komputer. “Ini, lagi kubikin.”
Jadilah,
ikut-ikutan Mas Imin, setelah berpikir panjang semalaman itu, saat sekian juta
petasan dinyalakan di seluruh penjuru dunia, Zahra sudah punya dua poin
resolusi untuk diwujudkan. Inti dari dua poin resolusi itu adalah pemberdayaan
diri. Mungkin Mas Imin bisa bantu mengembangkan aktivitas-aktivitas konkrit apa
saja yang mungkin ia lakukan untuk mewujudkan dua poin resolusinya itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar