Gelombang
dingin menggerayangi kuduk. Kedua belah tangan ganti meremas. Dentum pada
jantung kian gahar. Sesekali kedua belah tangan yang saling genggam itu ia
tautkan dengan bibir yang mengerucut. Setiap kata yang dikoarkan pemuda ramping
berambut keriting beberapa jauh di hadapnya menjelma ancam. Cemas menepis
segala informasi yang hendak menghunjam otak.
“Pb!
CH! CO...!”
Takut!
Resah! Gelisah! Kata-kata itu menggantikan setiap jenis emisi penghuni udara
Kota Bandung yang dimuncratkan Acil dari mulutnya.
“...jangan
katakan udara Bandung masih sejuk, karena sesungguhnya udara Bandung sudah
busuk!”
Sebentar lagi
gilirannya. Mungkin sehabis ini gilirannya. Pasti setelah ini gilirannya! Peluangnya
pada tiap kesempatan semakin besar. Seiring dengan satu per satu dari mereka
menaiki panggung rendah di depan kelas, lalu turun lagi dengan wajah puas
sementara wajahnya kian pias. Seiring dengan semakin mendekatnya Acil pada kalimat
penutup.
"Mari kita
galakkan semangat bersepeda!"
Kalimat itu dan
tepuk tangan riuh menyentaknya. Belum lagi Pak Catur selesai mengomentari
penampilan anak yang baru turun panggung itu, Zahra sudah tak tahan untuk tak
mengacungkan tangan.
"...izin ke
toilet, Pak..." cicitnya lirih sebelum menghamburtinggalkan kelas. Naskah
pidatonya remuk dalam saku seragam.
☺
Zahra tidak
pernah benar-benar menyukai Tria. Anak Jakarta coret itu banyak omong.
“Ih, Zahra, ketahuan
banget tadi. Sengaja kabur ke toilet ya, biar nggak dapat giliran pidato?”
Zahra berharap
bisa menyumpal lubang besar di wajah itu dengan penghapus papan tulis. Zahra
memang tidak bisa melakukannya. Namun ia bisa membayangkan rongga ranselnya
sebagai mulut Tria. Dan kini ia sedang menjejalkan buku-buku dan alat tulis ke
dalamnya.
Zahra merasa
mukanya sudah semasam belimbing mentah. Bersikeras ia menahannya,
kalau-kalau Tria dan kawanannya melihat. Setidaknya kalau Tria menyempatkan
diri untuk melihat reaksi Zahra sehabis diledek begitu, itu artinya Tria masih
peduli pada Zahra. Tapi tidak. Tahu-tahu Tria telah mengganti sasaran ledek ke
lain siswa. Zahra tidak tahu harus bersyukur apa tidak.
Sembari menarik
tali tasnya, Zahra membuang mata ke luar jendela kelas. Mendapati sepuncak
kepala yang sudah familier benar baginya. Ah,
Mas Ardi!
Tanpa ingat
untuk melempar pamit, Zahra melesat ke dunia di balik pintu. Meninggalkan
kawanan yang memang tak terlalu akrab dengannya. Yang tak akan pernah mampu ia
akrabi.
Lonjakan
semangatnya agak surut setelah tahu bahwa Mas Ardi tidak sendiri. Hampir
selalu dengan cewek itu. Sampai ke rumah sekalipun! Seakan sudah jadi
rutinitas saja bagi cewek itu untuk menyambangi rumah mereka. Seakan rumah itu
sudah jadi rumahnya sendiri. Dan itu sudah berlangsung sejak minggu pertama
Zahra serumah dengan Mas Ardi lagi. Saat seluruh anggota keluarga mereka
kembali menetap dalam satu rumah—kecuali Papa yang masih harus bolak-balik
Bandung–Jakarta.
Zahra belum bisa
menerima Teh Tata. Segala perhatian yang cewek itu beri pada Zahra, Zahra
anggap upaya menjilat. Cewek itu hendak merebut seluruh perhatian Mas Ardi. Padahal pake jilbab, tapi pacaran, heu.. Mencela-cela
Teh Tata dalam hati jadi kebiasaan baru Zahra.
“Mas Ardi, mau
pulang?” sembur Zahra begitu jaraknya hanya sejengkal dari ransel abang nomor
duanya itu.
Mas Ardi
menoleh. Teh Tata juga, tentu saja. Katanya, “Eh, Zahra, pulang bareng yuk?”
Zahra menanggapi
dengan kernyitan wajah. Entah Teh Tata sadar apa tidak, Zahra tak peduli.
“Bareng mah bareng aja…” Kepala Mas Ardi kembali
melengos ke depan. Sok acuh tak acuh seperti biasa.
Sesampainya di
muka gerbang sekolah, dengan lengkungan hijau besar bertulisan “SMAN
Selonongan Bandung” di atasnya, Zahra menarik-narik tali ransel Mas Ardi.
Membuat cowok kurus dengan kumis tanggung itu menoleh ke belakang lagi. Teh
Tata juga, tentu saja. “Mau beli cilok dulu… Tungguin…” Tanpa menoleh pada
sepasang insan itu lagi, Zahra menembus keramaian bersemarakkan putih abu.
Menuju gerobak tukang cilok untuk menghabiskan sisa uang jajannya. “Dua ribu,
Mang…”
Dengan seplastik
cilok berlumur sambal di tangan kiri, Zahra kembali menembus keramaian.
Menuju tempat di mana ia kira masih akan ia dapati Mas Ardi di sana. Kepalanya
celingukan. Dadanya mulai berdebar. Agak dingin di lehernya sampai ke
kuping-kuping. Mereka benar-benar tidak ada. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang? Mungkin mereka juga sedang jajan,
dan akan kembali sebentar lagi. Atau jangan-jangan mereka telah
meninggalkannya.
Kembali kepala
Zahra tengok kanan dan kiri. Dan mendapati secuil titik biru muda cerah
terselip di sela tubuh-tubuh beratasan seragam putih yang berseliweran.
Sepasang kaki terbungkus Warrior hitam itu berganti haluan. Mengekor si titik
biru muda cerah menuju arah ke rumah—yang tidak sampai dua puluh menit jalan
kaki jaraknya dari tempat ini. Bagian bawah rok abu-abu panjang itu kembali
dikepung debu jalanan.
Benar, titik
biru muda cerah itu adalah ranselnya Teh Tata. Hampir berdempet titik itu
dengan titik hitam pudar di sebelahnya—ransel Mas Ardi. Mereka meninggalkannya,
lagi.
☺
Dua pasang
Warrior itu tersenyum jumawa menyambut kedatangannya di muka pintu masuk
rumah. Pada mulanya mereka kompak berjejer dalam sederet barisan rapi, hingga
Zahra mengacak mereka dengan sebelah kakinya. Sebelah sepatu Teh Tata
meluncur masuk ke bawah rak alas kaki. Gemuruh dalam dada Zahra. Huh, biar tahu rasa! Puas ia kini.
Pelan, Zahra
mengucap salam seraya menembus hawa sejuk yang berputar dalam rumah besar itu.
Ia tidak berharap akan ada yang membalas salamnya. Meski nyatanya ada.
“Waalakum
salam!” Satu tangan Kakek memegang spatula, sedang satunya lagi meletakkan
sepiring kangkung berasap di atas meja makan. Pintu yang Zahra masuki memang
langsung menghadapkannya pada ruang makan—yang sebetulnya jarang difungsikan
demikian. Kakek menjawab salamnya. Kakek pasti sedang soleh. Kulit Kakek yang
agak terang kontras dengan pakaian hitam-hitam yang sudah jadi dresscode sehari-harinya. Kecuali
celemek putih berendanya itu. Dalam pandangan Zahra, Kakek seperti kaos kaki
berjalan.
“Kalau mau ambil
aja, Zahra!” sahut Kakek.
Zahra balas
menyahut, “ya”, namun pelan. Salam lesunya tadi saja masih bisa tertangkap telinga
Kakek. Zahra yakin pendengaran Kakek masih baik.
Satu per satu
kaki terbalut kaos kaki itu meniti anak tangga demi anak tangga. Terpaku
sebentar di puncak. Zahra bertemu puncak kepala itu lagi. Sudah jadi kebiasaan
pemiliknya untuk menatap layar PC selama berjam-jam dalam sehari. Sejak
pulang sekolah, dijeda solat dan keperluan buang air, disambi makan, sampai
akhirnya disingkirkan oleh Mas Imin: sang pemegang otoritas tertinggi di bawah
orangtua, si penguasa lalim nan keji. Zahra bergidik.
Mas Ardi hampir
selalu menanggapi dengan acuh tak acuh, setiap kali Zahra ajak berkonfrontasi.
Entah dengan mengangkat bahu, mendengus, berkomentar pendek, atau apapun
yang bikin hasrat marah-marah Zahra menyurut. Atau menciut, kalau Mas Ardi
sudah sampai menghasilkan bunyi keras—entah dengan membanting atau memukul
sesuatu—saking cowok introver itu merasa terusik. Maka Zahra hanya bisa
mencemberuti tampak belakang Mas Ardi.
Yang menangkap
energi negatif yang dipancarkan Zahra malah Teh Tata. Cewek itu seakan punya
radar untuk menangkap segala sinyal yang diarahkan pada kekasihnya.
Zahra melengos.
Kembali ia menuruni tangga. Sebetulnya kamarnya terletak di bawah, di depan
sepetak taman kecil di belakang rumah.
“Zahra, sori...
Tadi kita lupa, kamu mau bareng...” sayup-sayup alasan Teh Tata melayang ke
dalam rongga telinga Zahra. Zahra menolak percaya. Bilang aja kalau emang nggak mau bareng mah! Untuk beranjak dari sisi Mas Ardi dan meminta maaf
sungguh-sungguh di hadapan Zahra saja Teh Tata tak rela.
Sebetulnya tidak
banyak yang berubah dari Mas Ardi. Sejak dulu cowok itu memang cuek, tidak
pedulian—agak autis, orang-orang sering mengatakan. Hanya saja, sewaktu mereka
masih tinggal di Sumedang, tidak ada itu cewek aneh macam Teh Tata. Entah apa
dilihatnya pada diri Mas Ardi. Belum pernah ada yang selengket itu pada abang
cupunya. Tidak juga Zahra!—yang sudah sejak TK kakak beradik itu hampir
selalu pergi pulang sekolah dan belajar bersama.
Lepas menunaikan
solat zuhur dan makan siang, kembali Zahra menuju lantai dua. Masih ruangan
yang sama dengan tadi. Di mana Mas Ardi dan Teh Tata masih kuat memelototi
layar PC. Bukannya solat dulu, terus
makan… batin Zahra tidak senang. Bagaimanapun juga, ruang yang dituju
adalah pusat hiburan para anak di rumah itu. Selain tidak lebih luas karena
berbagi lahan dengan paviliun Kakek dan ruang-ruang pribadi mendiang Nenek
yang terkunci, lantai bawah adalah wilayah teritorial bagi mereka yang
tua-tua: Kakek; Mama; Papa—kalau lagi pulang ke Bandung. Siapapun orang muda
yang tahan berlama-lama di sana, akan merosot drastis puluhan tahun seleranya
akan sesuatu.
Di pojok ruangan
yang berseberangan dengan tangga, terdapat satu set PC yang dimonopoli oleh Mas
Ardi. Entah apa yang Mas Ardi lakukan dengan komputer itu. Belum lagi koleksi
manga scan, mp3 anime, dan
apalah-itu-produksi-Jepang-nya yang bikin berat memori. Kalau Zahra dan
Mayong yang butuh saja, Mas Ardi bisa mengucap, “Entar, entar, dikit lagi,
nanggung…” Tapi begitu Mas Imin mau pakai, tanpa banyak kata dan tunda, dengan
patuh Mas Ardi menyingkir. Mas Imin juga yang menyuruh Mas Ardi menyimpan
koleksi maniaknya itu dalam CD sehingga komputer mereka bisa kembali (agak)
cepat loading-nya.
Karpet lebar
membentang di tengah ruangan itu. Di sana bermacam aktivitas sosial biasa
berpusat. Di mana teman-teman Mas Imin berkumpul dan bikin gaduh. Di mana
Zahra mengerjakan tugas bersama teman-teman sekelompoknya. Di mana Zia—sepupu
mereka yang juga satu sekolah dan sering main ke sana—menelungkup sambil
mencorat-coret sesuatu atau merumpi dengan teman-temannya yang juga
teman-teman Mas Ardi. Dan lain-lainnya.
Dipisahkan oleh
lemari tua panjang besar yang dijejali tumpukan majalah lama dan
pajangan-pajangan berdebu, pojok satunya adalah sebuah TV 21 inch di atas buffet rendah. Selain sambungan antena,
juga ada kabel-kabel yang membuat TV tersebut bisa menampilkan visi dari CD PS
2 hingga DVD. Ada karpet juga di situ, dikepung beberapa kursi empuk.
Ke sana Zahra menuju.
Atmosfer memuakkan dari pojok seberang tangga menyambar ketentraman yang sudah
cabik. Ia berusaha untuk mengabaikan.
Dinyalakannya TV
dan PS 2. Bukannya ia jago main PS 2. Satu-satunya CD PS 2 yang diakrabinya
adalah The Sims 2. Yang The Sims 3, ia sudah mendorong-dorong Mayong untuk
membujuk orangtua mereka membelikan tapi tidak kunjung saja mereka disisihkan
uang.
Baru saja Zahra
hendak mengarahkan orang-orangannya untuk bertamasya ke downtown, bau matahari campur keringat menyapa sepasang rongga hidung.
Zahra mendongak. Bayang Mayong menimpa. Bocah SMP itu masih dalam seragam
putih-biru dongker. Ranselnya menyentuh lantai, disusul tubuh pemiliknya.
“Gantian…”
“…baru juga
main…”
“Aaah… Mbak
Zahra mah taunya cuman main The Sims
aja.” Mata Zahra menyipit. Ia benci nada seperti itu, nada melecehkan yang ia
sudah kenyang mengenyam padahal lapar saja tak pernah.
“Biarin!” Zahra
makin kuat mencengkeram joystick.
“Iiih… Punya
siapa juga…” Memang Mayong yang merengek-rengek minta dibelikan PS 2, sejak
yang lama—hasil jerih payah rengekan Mas Imin masa-masa masih bocah—rusak.
Waktu itu Mas Imin sudah bersekolah di Bandung dan mulai terbiasa tinggal di
rumah-tanpa-PS 2, sehingga Mayong harus memperjuangkan sendiri kembalinya
masa-masa indah bermain PS 2. Zahra hanya menebeng hasilnya. Mas Ardi lebih
tertarik pada game komputer.
Mayong berusaha
merebut benda itu dari tangan Zahra. Tidak berhasil, Mayong mengambil tindakan
subversif. Meloncat ke depan si kotak hitam dan menekan tombol open.
“Aargh!” Zahra
membanting joystick ke lantai. “Biar
di-save dulu kek!”
Zahra tersentak
malu kala menangkap pandang kaget Teh Tata yang tengah memasukkan kembali
mukenanya ke dalam tas mungil. Cewek itu berdiri di belakang punggung Mas
Ardi yang juga menyempatkan diri menengok, sekilas.
Terhuyung-huyung
Zahra kembali ke kamarnya. Seolah hanya di ruangan itu saja ia layak berada.
Tidak, Zahra tidak akan mengucurkan air matanya hanya karena persoalan sepele
seperti ini. Ia menyimpannya untuk tekanan lebih besar yang mungkin saja akan
diperolehnya nanti malam.
☺
Sampul emas Sang
KBBI menyilaukan mata Zahra. Benda itu menghasilkan suara berdebum keras
ketika dihempas ke atas meja ruang TV oleh Mama. Zahra menyentuh benda
tersebut dengan paduan choir imajiner
mengawang-awang di udara. Mengelus sampulnya yang sudah dilapisi plastik.
Membuka setiap lembar kertas yang terjahit di baliknya. Membaca sekilas
beberapa kata. Hasrat mempelajari kamus tersebut menjalar dalam sanubarinya.
Memendam damba akan nilai tertinggi setiap kali ulangan Bahasa Indonesia.
“Beli di mana,
Ma?” ucap Zahra, meski sudah dapat mengira jawabannya.
Mama tersenyum
akan pertanyaan konyol tersebut. “Ya di Palasari[1]
atuh.” Baru kalau di Palasari
benar-benar tidak ada, pinjaman tak dapat, dan kebutuhan akan buku tersebut
tidak lagi bisa ditunda, toko buku besar di mal terdekat atau Jalan Merdeka
yang jadi tujuan. Masih berseragam safari, Mama menyiapkan makan malam di atas
meja. “Makan dulu Zahra…”
“Iya, Ma,
bentar…” Zahra masih belum puas mengamat-amati kamus tebal yang selama ini
hanya bisa dibacanya di perpustakaan sekolah itu (kini ia memilikinya
sendiri!)—yang edisinya saja sudah cetakan lama (sementara yang ini edisi
terbaru!). Aroma kertas yang menguar ke udara ia sesap dalam-dalam.
Sementara kedua
tangannya sibuk membuka plastik lauk yang dibelinya dalam perjalanan pulang,
Mama mendongak. “Mayong, Ardi, makan…!” Dan menoleh lagi pada Zahra, “Imin
udah pulang belum, Zahra?”
“Kayaknya udah.”
Zahra tidak begitu peduli akan kehadiran Mas Imin di rumah ini. Padahal ia
sudah bersyukur dua tahun kemarin telah ia jalani tanpa harus melihat muka
jahat itu tiap hari. Kini mereka harus serumah lagi. Zahra tak berharap
banyak akan terjadi perubahan tabiat pada cecunguk itu.
“Imiin… Mama
udah beliin nih bukunya!”
“Mama beliin
buku buat Mas Imin?” tukas Zahra pelan dengan nada tidak senang. Ketidakadilan
masih membumi rupanya. Kalau Zahra minta dibelikan novel saja, jarang dikabulkan.
Tapi begitu Mas Imin mempromosikan satu set ensiklopedi, orangtua mereka
akan mengusahakan. Ensiklopedi kan harganya jauh lebih mahal dari novel!
Meski pada akhirnya ensiklopedi tersebut Zahra baca juga.
Mama menuding
KBBI di atas pangkuan Zahra. Membuat Zahra ingat bahwa baru kemarin malam Mas
Imin meminta Mama membelikannya.
“Kebanyakan
orang tuh pada jebloknya di Bahasa Indonesia, Ma. Ironis kan, Ma, ngaku
nasionalis ternyata nggak menguasai bahasa sendiri?” begitu Mas Imin
menjampi-jampi Mama malam itu. Dilanjutkannya dengan nada meyakinkan, “Imin
kan mau UN ma USM, Ma. Jangan sampailah jeblok gara-gara Bahasa Indonesia
doang. Beli KBBI dong, Ma.”
“Yah… Udah
kepegang Zahra duluan!” Mas Imin tahu-tahu muncul, seakan tiap barang yang dipegang
Zahra akan turun pamor dan kualitasnya. Gestur Zahra malah membenarkan hal
tersebut. Bagai abdi dalem yang tertangkap basah mengusap-ngusap mahkota raja
dengan penuh damba, ia meletakkan KBBI tersebut di atas meja. Mas Imin
mengambil benda itu sembari duduk di samping Zahra, yang beringsut-ingsut
menjauh dan mulai mengerjakan kembali PR-nya. “Makasih, Ma!” sahut Mas Imin—agak
janggal dalam indra pendengaran Zahra.
Mas Imin
membuka-buka buku itu sekilas. Lalu menaikturunkannya dengan sebelah tangan
seakan benda itu adalah barbel. Ia mengintip pekerjaan Zahra. Zahra semakin
beringsut menjauh. “Eh, tahu nggak, Zah,” intonasi Mas Imin membuat Zahra
merasa seperti seorang anak kecil polos, “orang kalau tulisannya miring ke
kanan itu katanya orangnya supel, pandai bersosialisasi. Tapi kalau tulisannya
miring ke kiri, sebaliknya, asosial. Terus, kalau ekor huruf g-nya membentuk
sudut tajam, itu artinya orang tersebut lagi ada masalah sama keluarga.”
Zahra berhenti
menggurat sudut tajam pada huruf g-nya. Pandangnya beralih dari
tulisannya-miring-ke-kirinya ke wajah sok inosen Mas Imin. Pandangan bengis.
Dan suara Mas Imin cukup keras (kapan Mas Imin bisa bersuara pelan kalau bukan
untuk mengerjai orang?) untuk dapat didengar Mama. Padahal ia sama sekali
tidak suka kalau kekurangan dirinya mulai diungkit, bahkan di depan orangtuanya
sekalipun. Bagaimana pula kalau ternyata Mas Ardi dan Mayong dapat
mendengarnya dari lantai atas?
Mas Imin
menyorongkan KBBI pada Zahra, sama sekali tak menggubris kesengitan yang
dipancarkan adik perempuan satu-satunya itu. “Nih, kalau mau pakai dulu,
pakai aja.”
Zahra memandang
benda tersebut dengan enggan. Cecarnya kemudian dengan suara bergetar, “Mama mah gitu ih. Zahra minta dari dulu nggak
dibeliin. Tapi kalau Mas Imin langsung dibeliin…”
Bukan sekali ini
saja Mama begitu. Dan alasannya selalu saja karena belum ada uang. Tapi lain
halnya jika Mas Imin yang minta. Tampaknya alasan ketiadaan uang hanyalah
suatu kebohongan. Tinggal tunggu waktu saja sampai tahu-tahu sang putra
mahkota dibelikan laptop pribadi. Maka Zahra akan jadi semakin iri. Pinta Mas
Imin selalu dianggap lebih penting dari apapun. Hanya Mas Imin juga yang nama
panggilannya di rumah diambil dari nama belakangnya.
“Emang Zahra
minta dibeliin apa?”
CD The Sims 3.
Kerudung yang berwarna senada dengan blus yang dibeli di King’s bulan lalu.
Ransel yang beresleting, bukan yang bertali. Sepatu selop untuk jalan-jalan.
MP4 player baru, karena yang
sebelumnya sudah rusak dan Mayong tak mau sering-sering meminjamkan miliknya.
Behel warna-warni seperti yang melekat di geligi Mas Imin. Dan masih banyak
lagi. Zahra jadi bingung sendiri mau menyebut yang mana dulu.
“Pokoknya selalu
aja kayak gitu. Kalau Zahra yang minta, selalu dibilang, ‘nanti, nanti,
nanti’…”
“Mas Imin kan
mau kuliah. Mama beliin KBBI buat Mas Imin belajar.”
“Iya, Zahra.
Entar kan Zahra bisa pake juga…” suara sok lembut Mas Imin malah makin
memanaskan mata Zahra.
“Selalu aja
Zahra pake bekas mulu…”
Kalaupun yang
Zahra minta belikan adalah kumpulan soal latihan ulangan, Mama pasti
menyuruhnya memanfaatkan yang bekas Mas Imin atau Mas Ardi dulu. Yang sudah
penuh dengan berbagai macam coretan pula—mulai dari kotretan rumus sampai
komik bodoh tak beralur. Tapi sewaktu Mas Imin menginginkan kumpulan soal
ujian masuk PTN yang merekam jejak 50 tahun sejarah pendidikan Indonesia,
tak pakai dalih “besok aja kita cari di Palasari”, langsung Papa membelikan.
Padahal mereka saat itu sedang berada di toko buku besar yang kenal diskon
hanya pada waktu-waktu tertentu
Mama berdecak.
“Udah ah, jangan cerewet! Nggak tahu orangtua lagi susah duit. Tadi udah
ngepel rumah belum?!”
Zahra tersentak.
Memang ia senang saat para saudara laki-lakinya disuruh membersihkan semua
kamar mandi di rumah itu setiap Minggu—pekerjaan yang paling tidak ia
harapkan—tapi hanya ia yang disuruh mengepel rumah setiap hari!
Dan Mama
mengatainya cerewet. Betapa menyakitkannya dikatai, apalagi oleh orangtua
sendiri. Bukannya ia tidak mengerti kalau perusahaan Papa tengah di ambang
pailit dan Mama hanya PNS. Zahra hanya menginginkan keadilan di keluarga itu,
yang tak pernah ia rasakan.
Zahra melangkah
cepat ke belakang dapur. Biar tidak hanya matanya sendiri yang basah, tapi
juga anggota tubuh lainnya. Mengklamufasekan tangis dalam keriuhan mencuci
perabotan masak. Zahra menyesal mengapa hanya tersisa sedikit perabotan yang
bisa ia cuci. Menyesali Kakek yang tengah dirasuki roh budiman tadi siang,
lebih tepatnya.
“Mau dibantuin
nggak?” Suara Mas Imin dari ambang pintu. Lunglai, Zahra menerobos celah di
bawah lengan Mas Imin yang menempel pada kusen. Ia tak sabar untuk menghambur
pada bantal-bantal di kamarnya. Mereka yang telah jenuh merekam jejak
tangisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar