Sungguh ia ingin
tahu. Seolah hanya Mas Imin tumpuan harapannya. Rasa-rasanya segala perlakuan
Mas Imin padanya kemarin memang untuk mengesankan bahwa sang kakak siap
mendengar bermacam keluh kesah adiknya. Maka didekatinya Mas Imin yang tengah
menggaruk-garuk kepala di atas barisan kolom berhiaskan lambang integral di
mana-mana. Padahal Mas Imin katanya baru pulang bimbel, tapi setelah sampai
rumah dan bersih-bersih, sudah siap tempur lagi. Sudah ia nanti-nanti
keberadaan Mas Imin sejak tadi, hanya untuk bertanya, “Emang cara ngedapetin
temen yang banyak gimana, Mas?”
Ternyata tampang
Mas Imin biasa saja, seakan yang Zahra tanyakan adalah apa saja bumbu untuk
memasak nasi goreng. Padahal Zahra semula mengira terlebih dahulu Mas Imin akan
meresponnya dengan kernyitan aneh. Bukankah ini suatu pertanyaan bodoh? Malu
sebenarnya Zahra menanyakan itu. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur.
Mas Imin
termenung sebentar mendengar pertanyaan Zahra tersebut. Lalu katanya, “Waktu
MOS kan diajarin cara berinteraksi dengan orang lain, yang sekian S itu.” Zahra
mengernyit. Mas Imin menghitung dengan jarinya. “Senyum. Salam. Sapa. Sekian.”
“Sopan. Santun,”
Zahra melanjutkan.
“Ah, ya, itu dia
deh.”
Zahra pikir,
intinya tidak jauh berbeda dengan buku etiket yang curi-curi dibacanya di
Gramedia BSM[1] beberapa waktu
silam. Setidaknya ia tidak harus mengeluarkan uang seratus ribuan lebih untuk
itu. Mengaplikasikan tiga yang pertama mungkin sudah cukup untuk pembelajaran
awal. Pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Ia sadari memang
ia hanya tersenyum kalau kelepasan. Hanya memberi salam kalau terpaksa. Hanya
menyapa kalau disapa duluan. O, kini ia yang harus mengasah inisiatifnya
sendiri.
“Emang kenapa
gitu, Zahra?”
“Ng… Ada deh!”
Maka, seiring
dengan berjalannya tahun yang baru, Zahra memasuki pula semester baru KBM-nya,
dan ia menahbiskan diri untuk menjadi seorang Zahra yang baru. Zahra yang
hangat dan bersahabat. Unan juga punya banyak teman, mengapa ia tidak?
Maka, keesokan
paginya Zahra menginjak ubin lorong menuju kelasnya—tidak ada yang baru dari
sekolah di semester baru ini—dengan langkah lebih ringan. Dengan mengulas
senyum. Terus menerus mengingatkan dirinya untuk mempertahankan senyum itu
selama mungkin. Ia melihat orang-orang tersenyum juga, bahkan tertawa, kendati
bukan kepada dirinya. Belum. Ah, andai ia juga bisa selepas mereka dalam
mengekspresikan kesenangan batin, atau lihai dalam menyembunyikan kesengsaraan.
Aaah, tadi ia
berpapasan dengan Arderaz, dan cowok jangkung itu balas tersenyum simpul
padanya! Kya…
Zahra merasa
mendapatkan energi tambahan untuk terus tersenyum. Meskipun setelah itu ia
tidak menangkap ada senyum lain yang secara khusus ditujukan padanya. Tapi
tidak apa-apa. Hari masih pagi…
“Hai, Cinta, met
semester baru, ya!”
Zahra menoleh ke
kanan kiri dengan bingung. Memang tidak hanya mereka berdua yang ada di kelas
itu. Tapi hanya ada mereka berdua pada salah satu sisi kelas. Dan mata Dean
memang mengarah padanya. Zahra merinding. Meskipun ingat bahwa gaya bahasa Dean
memang suka pakai “cinta-cintaan” pada teman-temannya—terutama yang cewek,
Zahra tetap merinding.
Dalam hati ia
mengeluh. Apakah kalau ia bertemu Arderaz di satu waktu, ia akan bertemu dengan
Dean di waktu berikutnya? Karena setelah diingat-ingat, itulah yang terjadi
sejak MOS. Dan tidak pernah yang terjadi adalah kebalikannya, padahal frekuensi
Zahra bertemu Dean di sekolah hampir setiap hari.
“Perasaan kita
belum ada PR lagi deh.” Zahra merasa tidak perlu memberi senyum pada bocah yang
satu ini.
“Ahahaha… Iya
ya. Ini kan semester baru!” balas Dean dengan tawa riangnya sembari
mengusap-usap bagian belakang kepala. Tak lama kemudian wajahnya juga menyirat
bingung. Mungkin selain dalam urusan pelajaran, mereka berdua memang tidak
nyambung. Seolah tidak terjadi apa-apa, Dean berlalu begitu saja. Dengan
riangnya, sembari menghampiri kawanannya di sisi kelas yang lain, ia berkata,
“Kebiasaan nangkring di bangku Zahra sih kalau pagi-pagi…”
Tawa meledek
teman-temannya meledak. “Ih, Dean, pagi-pagi udah oneng aja...!” Yak, betul. Zahra membenarkan dalam
hati. Lalu ia duduk di bangkunya. Memasang kembali senyumnya. Akankah ia
tersenyum terus pada papan tulis?
Zahra memandang
ke sekeliling kelas. Orang-orang sudah bercampur dengan kawanannya
masing-masing. Ada beberapa memang yang terlihat duduk sendiri-sendiri, tapi
Zahra tak mengenal mereka. Tercetus inisiatif untuk memulai suatu perkenalan.
Iya. Tidak. Iya. Tidak.
“Assalamualaikum,
Zahra…” sapa Syifa. Ia masih menggendong ransel kulitnya. Zahra jadi ingat
kalau tadi malam sudah janjian dengan Unan untuk duduk sebangku. Tapi terlebih
dahulu ia harus membalas salam Syifa. Ah, iya, salam!
“Maaf, Syifa,
hari ini aku janjian duduk sama Unan,” ucap Zahra. Merasa keterampilan
sosialnya membaik karena telah mengucap “maaf”.
“Oh, nggak
apa-apa, Zahra,” senyum Syifa, seolah hal tersebut takkan membuat hubungan di
antara mereka retak.
“Terima kasih,”
Zahra mengucapnya, dan merasa keterampilan sosialnya menjadi lebih baik lagi.
Kemajuan yang
menyenangkan di awal tahun! Zahra bersorak dalam hati. Sekarang ia hendak minta
“tolong” pada siapa ya? Zahra pernah membaca, salah satu kunci dalam hubungan
sosial yang baik adalah fasih mengucap “maaf”, “terima kasih”, dan “tolong”.
Pada mereka yang
selanjutnya mengambil duduk di sekitar bangkunya, Zahra berusaha melempar
senyum. Namun tidak semuanya ngeh. Mereka yang balas tersenyum adalah yang
sadar kalau sedari tadi Zahra melihat pada mereka. Zahra sendiri menyadari hal
tersebut. Ia jadi merasa dirinya menyeramkan. Bertanya-tanya ia dalam hati,
bagaimana caranya agar setiap yang dituju dapat menangkap senyumnya dan
tergugah untuk membalas.
Nah, itu Unan
datang. Kali ini Zahra ingat untuk menyertakan salam juga dalam senyumnya. Tapi
ia bingung. Salam seperti apa yang hendak ia utarakan. “Assalamualaikum”
rasanya hanya terdengar lumrah di kalangan anak DKM. Syifa anak DKM. Unan
bukan. Ucapan “selamat pagi” kedengarannya seperti hendak membuka pidato. Kalau
“how are you?”, memangnya ibu mereka
berbahasa Inggris? Dan apakah itu berupa salam? Bisa-bisa Unan malah
menertawakannya.
Untung masih ada
jurus selanjutnya! Sapa!
“Hai!” sapa
Zahra, yang dibalas senyum heran Unan. Biasanya Unan duluan yang menyapa.
“Hai juga,”
jawab Unan dengan gestur cueknya. Sambil duduk ia melepaskan ranselnya. “Udah
bikin resolusi? Gimana jadinya?”
“Mm… Belum euy. Masih berubah-ubah…” bohong Zahra.
Ia malu mengaku kalau isi resolusinya hanya: 1. Memperbaiki keterampilan
sosial, dan; 2. Lancar ngomong di depan kelas.
“Oh.” Unan
mengeluarkan selembar rajutan yang belum jadi dari ransel di pangkuannya. “Ini
salah satu isi resolusiku taun ini loh. Bikin syal rajutan buat diriku
sendiri.”
Zahra
manggut-manggut. Masih berusaha mempertahankan senyum. Mendadak ia ingat bahwa
kata “tolong” belum diucapkannya pada siapa pun. Diliriknya Unan. Pelan
ucapnya, “Eh, Unan, tolong…”
“Tolong apa?”
“Nggak papa.
Lagi pingin ngomong itu aja.”
Unan mendengus,
lalu tertawa. Akhirnya tetap juga ia ditertawakan Unan. Tapi tidak apa-apa.
Dipikir-pikir, Zahra senang melihat Unan tertawa.
☺
Hari yang
melelahkan bagi Zahra. Seharian itu di sekolah ia terus berusaha
mengkombinasikan senyum, salam, dan sapa. Memang dirasakannya ada
kemajuan—tinggal membutuhkan pembiasaan dan itu tergantung pada apakah ia bisa
mempertahankannya dalam hari-hari esok, minggu hingga bulan. Namun apabila
mengingat kegagalannya, ia merasa kemajuan itu tak berarti. Dalam sekian kali
usahanya itu, entah berapa puluh senyum yang tak sampai, salam yang kelu untuk
dikeluarkan, dan lemparan sapa yang tak mengena. Yang dituju tak merasa telah
dilempari. Itu membuatnya gondok. Sia-sia. Menahan energi positif agar tetap
berada di permukaan, dan energi negatif agar tidak menyerobot ke luar, ternyata
bukan hal mudah.
Rasanya Zahra
ingin berbagi. Kepada Unan, ia belum siap mengungkap kekurangan diri. Kepada
buku harian, ia sudah bosan karena buku harian tak menjawab. Kepada teman-teman
dekatnya sebelum ia SMA, memang mereka masih ingat padanya? Kepada Mas Ardi, ia
sebetulnya suka curhat juga sekali-sekali. Namun karena Mas Ardi pun memiliki
masalah-masalahnya sendiri yang belum terpecahkan, maka Zahra merasa kurang
dapat mempercayai kakaknya tersebut. Biarlah Mas Ardi berkutat dengan
masalah-masalahnya saja, tanpa Zahra harus menambah ricuh.
Jadi kepada
siapa, hanya Mas Imin yang Zahra bayangkan. Lambat laun Zahra melihat Mas Imin
sebagai figur yang oke: tidak memiliki masalah berarti dengan akademis (tapi
orangtua mana yang suka melihat anaknya malas-malasan?); punya banyak teman dan
kenalan; punya mobil dan bisa diandalkan untuk antar jemput; selalu punya
simpanan duit, entah dari mana; tidak terganggu masalah pacaran, karena setahu
Zahra Mas Imin tidak punya; dan hidup seolah tanpa beban. Mestinya hidup Mas
Imin tidak seringan itu, tapi mana Zahra tahu.
Yang pasti,
Zahra hanya ingin berbagi. Meskipun hanya dalam sebentuk pertanyaan, yang ia
lontarkan malam itu di meja makan, setengah berbisik agar tak terdengar yang
lain, “Mas, kalau 3 S yang kemarin nggak berhasil, gimana?”
“Hah,
maksudnya?” Mas Imin menyendok nasi ke atas piring.
“Itu… Yang
senyum, salam, sapa. Kalau misalnya udah ngelakuin yang tiga itu, tapi nggak
berhasil, gimana?”
“Nggak berhasil
gimana?”
“Mm, misalnya.
Kalau udah senyum, tapi nggak ada yang ngeliat. Atau nggak, nyapa, tapi yang
disapa nggak denger.”
“Oooh…” Zahra
mengekor Mas Imin duduk di depan TV. “Kalau gitu jadi 4 S, Zahra.”
“Ng… Yang sopan,
santun, dan seterusnya tea?” Zahra
merasa yang semacam itu masih abstrak baginya. Sopan yang seperti apa? Santun
yang macam mana? Kalau senyum, salam, dan sapa, kan sudah jelas apa yang harus
ia lakukan.
“Bukan…” Mas
Imin menggigit kerupuk. “4 S itu, jadinya, senyum, salam, sapa, dan SEBUT
NAMANYA.”
“Ooo…” Zahra
manggut-manggut.
Jurus yang
keempat pun Zahra coba keesokan harinya. Kini senyumnya diiringi sapa yang
disertai oleh nama orang yang ia sapa. Ia berusaha menyapa setiap orang dikenal
yang ditemuinya sepanjang jalan menuju kelas. Tapi ada juga yang ia masih
malu-malu untuk itu, seperti kepada kawan para kakak dan sepupunya misal.
Padahal mereka pernah main ke rumah, Zahra masih ingat nama mereka, tapi karena
jarang atau bahkan tidak pernah berinteraksi, Zahra jadi amat sungkan. Jadi ia
hanya melempar senyum saja. Ada yang balas tersenyum, ada yang tidak. Arti
senyumnya pun macam-macam. Kebanyakan adalah senyum yang kalau diterjemahkan
dengan kata-kata menjadi, “Eh, yang barusan itu siapa ya?”
Jika usahanya
berbalas manis, tak terkira senangnya hati Zahra. Zahra menemukan kebahagiaan
baru dalam hidupnya. Sebuah interaksi kecil dengan orang lain saja dapat
membuat hidupnya terasa begitu berarti. Senyum orang lain padanya membuatnya
merasa ada. Sapaan-sapaan singkat dari mereka meneguhkan bahwa perhatian mereka
padanya memang nyata.
Namun tetap saja
jurus ini tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Zahra rasanya malu sekali
kalau ia sudah sebut nama, tapi yang disebut tetap tidak mendengar. Apalagi
kalau ada yang menyaksikan. Seperti yang dilakukan Unan saat mereka jalan ke
Karunia pada jam istirahat. “Tadi kamu manggil siapa, Zahra?” tegur Unan.
“Eh? Nggak kok.
Nggak ke siapa-siapa,” kilah Zahra. Padahal sebetulnya tadi ia hendak menyapa
Zia, namun sepupunya itu seolah tak mendengar.
Ketika
dikemukakannya hal ini, pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, Mas Imin pun
kembali memberinya sebuah jurus. “5 S. Senyum. Salam. Sapa. Sebut namanya.
SUARAKAN DENGAN KERAS.”
Canggih! Suhu
Imin selalu punya jurus-jurus, seharusnya ia membuka perguruan saja!
☺
Ada kalanya pada
suatu malam Zahra kembali dihinggapi keengganan untuk berurusan dengan Mas
Imin. Bukan perkara kebiasaan Mas Imin di rumah yang masih kerap mengintimidasi
Zahra, tapi ada rasa sebal lain yang kurang beralasan. Jurus-jurus yang Mas
Imin berikan dapat ampuh pada suatu ketika, namun efek sampingnya dirasakan
jauh lebih menyiksa. Penerapan jurus-jurus tersebut berisiko pula mempermalukan
diri sendiri.
Seperti yang
terjadi pada suatu jam istirahat.
Lalu lintas di
muka pintu kelas saat itu sedang ramai-ramainya. Karena Unan mengajak, Zahra
rela saja duduk di sana—di bangku yang merapat di dinding luar samping pintu
kelas. Sementara Zahra tergugu, di sampingnya, Unan dan Dean menyonteki PR-nya
sambil sesekali tertawa. PR yang akan dikaji sama-sama setelah jam istirahat
berakhir. Unan bilang, Dean memang tidak berkualitas sebagai calon suami, tapi
setidaknya parasya masih bisa dinikmati. Zahra agak shock dengan kenyataan bahwa Unan ternyata seperti itu. Tapi itulah
yang Zahra pelajari sebagai ilmu berteman, kita harus menerima keadaan teman
apa adanya—kalau tidak bisa mengubahnya jadi lebih baik. Meski demikian,
lama-lama bete juga Zahra karena merasa kurang diacuhkan. Keramaian juga
membuatnya tidak nyaman.
Satu per satu
orang yang lewat ditelitinya, kalau-kalau ada yang bisa jadi objek praktik
keterampilan sosialnya. Bagi Zahra, mereka yang masuk kategori “orang yang
harus disapa” adalah mereka yang pernah bertukar kalimat dengannya. Dan “eh,
maaf, kaki saya keinjek” tidak masuk hitungan.
Lalu dilihatnya
dari kejauhan Arderaz hendak melintas ke depannya. Mendadak Zahra merasa debar
jantungnya jadi tidak keruan. Oh, tentu saja Arderaz masuk ke dalam kategori
“orang yang harus disapa”! Arderaz banyak mengumpan kalimat padanya sewaktu
MOS, seperti, “Zahra, alas duduknya udah selesai?”, atau “Zahra, tolong dong
guntingnya”, atau, “Hati-hati, entar jatuh!”, atau “Kamu baik-baik aja, kan?”
Zahra tersipu mengingat betapa ia hapal hampir setiap kalimat yang pernah
Arderaz lontarkan padanya. Yang seringnya hanya sanggup ia jawab dengan “ya”
atau “nggak”.
Nah, itu dia. Ia
berharap menyapa Arderaz bisa memberkaskan sedikit kebahagiaan dalam
hari-harinya yang sendu.
Sebetulnya Zahra
telah berhasil memperbesar volume suaranya jika hendak menyapa orang lain.
Namun dalam situasi demikian, sepertinya ia harus berlatih untuk lebih
menaikkan volumenya. Sekali, Arderaz tampak tidak ngeh. Dua kali, ah, sudahlah.
Malah orang lain yang menoleh. Zahra menunduk untuk menyimpan rasa malunya
diam-diam, juga gelenyar hangat yang mengitari sekujur tubuhnya. Berharap
sangat, Unan dan Dean sama sekali tidak menyadari usaha gagalnya.
“DERAAAAAZ…!”
Sontak Zahra
menoleh ke arah Dean. Arderaz juga. Cowok bertubuh besar itu sekalian
membalikkan badan dan tergopoh-gopoh mendekat. “Kenapa, Yan?”
Dean menunjuk
Zahra dengan pensilnya. “Tadi lo dipanggil ma Zahra.”
Zahra berjengit.
Ia merasa ngeri saat Arderaz menoleh padanya. Dan bertanya, “Ada apa, Zahra?”
Tidak ada jam di
sekitar situ, selain arloji di pergelangan tangan si kembar, namun Zahra seolah
mendengar detik demi detik berlalu dalam gema. Selebihnya adalah sunyi dan
tampang Unan dan Dean yang sama-sama dongo, menanti sebuah gerakan. Zahra tak
berani menengadah karena wajah Arderaz ada di sana. Sampai ia sadar kalau
Arderaz juga sama-sama menanti. Dan sebagai bagian dari kaum populer di
SMANSON, waktunya mungkin tak banyak. Maka Zahra menguatkan diri untuk
mengangkat kepala dan mengerahkan semua jurus S yang dimilikinya. Senyum dan
sapa, disertai menyebut nama dengan suara keras—ini sedang dalam keramaian,
“Hai, Deraz.”
“Hai juga,
Zahra.”
Suara jangkrik.
“Entar pulang
sekolah jangan keluyuran dulu ya, Yan.”
“Gua udah nggak
demam lagi kok, Yaz…”
“Ya udah, take care. Duluan ya, semua.”
Zahra
mengangguk. Unan melongo. Dean melambaikan tangan.
“Kenal di mana?”
Unan menatap Zahra dengan beringas.
“Se—segugus…”
“Trus tadi kamu
manggil Deraz emang kenapa, Zah?” tanya Dean.
“Ta—tadi tuh aku
cuman mau nyapa. Trus kamunya malah manggil-manggil gitu…”
“Oh…”
Sejurus kemudian
Unan dan Dean sama-sama tak bisa menghentikan tawa mereka. Entah apa yang lucu,
Zahra tak mengerti. Sedikit tersinggung. Ia tak suka tawa Unan kali ini. Dan ia
makin benci pada Dean, kendati kehadiran bocah itu telah menjerumuskan
sekaligus menyelamatkannya. Mengingat-ingat kejadian tersebut, masih membuat
Zahra bersungut-sungut hingga malam hari tiba.
Mas Imin, yang
menyadari Zahra kembali ke tabiatnya semula, mendekati Zahra. Tidak butuh waktu
singkat dan bukan usaha mudah untuk mengorek keterangan dari Zahra. Tapi
akhirnya berhasil juga, setelah beberapa hari kemudian.
Ketika tampang
Zahra sudah biasa-biasa lagi dan (sepertinya) sedang berada dalam mood baik, Mas Imin kembali mencoba
mendekati Zahra. Di tengah keributan Kakek-Mama yang memperkarakan tanah
keluarga, Papa yang mengajari Mayong menumpuk balok tetris dengan tepat guna,
serta kesunyian Mas Ardi dan ponselnya, bertanyalah Mas Imin, “Waktu itu kenapa
tanya-tanya soal yang S-S-an itu, Zahra?”
“Pingin aja.”
“Udah dicoba?”
Zahra tidak mau
Mas Imin berpikir bahwa semua jurus S yang dimintanya tempo hari adalah untuk
dipraktikannya sendiri, seakan-akan Zahra adalah makhluk yang bermasalah,
kendati Mas Imin mungkin memang sudah sejak lama berpikir demikian. Jadi dengan
penuh keengganan ia ungkapkan juga insiden kemarin hari, dengan modifikasi
sedemikian rupa yang ia harapkan tak akan membuat rasa malunya kentara. Namun
tak ayal Mas Imin tertawa juga. Cemberutlah Zahra. Pudar tawa Mas Imin melihat
itu. “Kalau gitu jadi 6 S, Zahra. Senyum. Salam. Sapa. Sebut namanya. Suarakan
dengan keras. Sama SESUAIKAN DENGAN KONDISI,” ujar Mas Imin di tengah sisa
sengal tawanya.
Zahra mendengus
sebal. Melengoskan kepala.
“Ah, atau mau
tahu jurus yang ketujuh?”
“Apa?” Menoleh
kembali.
Mas Imin tampak
geli melihat kepenasaranan Zahra masih nampak. “7 S. Senyum. Salam…”
“Skip. Skip.
Skip.”
“…Sesuaikan
dengan kondisi. Trus, SABAR yaaa… Huahahahaha…”
Minggatlah
Zahra. Hasrat ingin menangisnya hampir tak bisa dibendung lagi. Tega-teganya
Mas Imin melecehkan usahanya untuk menjadi lebih baik. Zahra menyesal telah
membuka diri pada Mas Imin. Tahu begini dipendam-pendam saja yang kemarin itu.
Biarlah kondisinya begitu terus, tak berteman dan tak berkemampuan. Ternyata
Mas Imin memang masih amat sangat menyebalkan sekali!
Tadinya Zahra
ingin langsung melesat ke kamar mandi untuk cuci muka. Berharap itu dapat
menyamarkan bulir air mata yang mulai menjejakkan diri. Bukan sekali ini memang
anggota keluarganya melihatnya hendak menangis. Dan setiap itu terjadi, ia
merasa sangat malu. Ingin sekali ia bisa menghilangkan kebiasaan jelek
tersebut.
Uh, sial,
keduluan Kakek. Beloklah Zahra ke kamarnya. Terkejut dengan beberapa perabotan
kamarnya yang tidak pada tempatnya.
“Iii… Papa
ngapain?”
“Loh, katanya
kemarin stop kontaknya rusak?” Papa menggeser tempat tidur Zahra untuk
memperluas ruang bagi tubuhnya yang agak tambun. Kembali ia mengorek-ngorek
stop kontak dengan obeng.
“Heeeeuuuhh…”
Zahra benar-benar kesal. Ia pergi ke ruang tamu. Rupanya perdebatan antara
Kakek dan Mama dipindah ke sana. Kembalilah Zahra ke depan kamar mandi.
Dikunci. Dengan intonasi senewen, “Siapa di dalaaaam?”
Terdengar suara
nyaring nan sengau, “Mayong!”
Apakah di rumah
sebesar itu kamar mandinya hanya satu? Tentu tidak. Zahra baru ingat untuk
pergi ke kamar mandi lainnya, kendati sebetulnya hasrat ingin menangisnya sudah
hilang sama sekali. Ia berbalik dan menggerutu ketika hampir menabrak tubuh Mas
Imin. Ia berusaha mencari celah namun gerak Mas Imin lebih sigap menghadangnya.
Meskipun sudah tidak lagi peduli pada aplikasi resolusinya, Zahra tetap
kepikiran untuk menambah satu poin lagi: belajar silat. Lain kali Mas Imin
menghadangnya, ia bakal loncat tinggi-tinggi dan menendang Mas Imin sekuat
mungkin.
Zahra menyerah.
Ia berdiri tegak menantang si sulung, yang dengan nada sok bijak berkata,
“Sebetulnya yang kemarin itu belum lengkap, Zahra. Ada yang belum Mas
beritahukan sama kamu,” ucap Mas Imin pelan, seakan-akan apa yang
dibicarakannya adalah rahasia negara.
Hampir saja
Zahra termakan suasana. Meski semangat pemberdayaan dirinya nyaris putus, tak
urung ia ingin tahu juga. Dahinya berkerut. Tanggapnya sok malas, “Apa gitu?”
“Masih ada satu
lagi rahasia huruf S—huruf S yang dapat mengubah kualitas kehidupan sosial.
Sebuah jurus andalan.”
Sekian menit
Zahra menunggu kata berawalan huruf S ke luar dari mulut Mas Imin. Tapi sudah
jadi tabiat Mas Imin untuk terlebih dulu mempermainkan lawan bicara yang ingin
diusilinya. Hingga Zahra jadi setengah mati penasaran gara-gara itu. “Apaan
sih?” sergahnya kemudian, tak tahan juga. Kalau Mas Imin masih mau bermain-main
dengannya lebih lama lagi, Zahra akan mengerahkan segenap tenaganya agar Mas
Imin menyingkir dari jalannya.
“SILATURAHMI.”
Mas Imin
menyeringai, lalu mengangguk pada tatap Zahra yang bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar