Hari pelaksanaan
USM ITB Terpusat, Papa, Mama, Kakek, dan Mayong melepas kepergian Mas Imin
bagai Mas Imin hendak pergi ke medan perang. Seolah bukan pensil 2B yang ia
bawa, tapi bambu runcing. Bukan papan jalan yang ada dalam ranselnya,
melainkan granat tangan. Namun bukan semangat MERDEKA ATAU MATI yang
dipancarkan orang-orang itu, melainkan MASUK ITB ATAU TIDAK SAMA SEKALI. Zahra
melepas kepergian Mas Imin dari rumah dengan pedih. Ia tidak mau ikut
mengantar.
Atas desak
angin-anginan Zahra, dan terutama karena pertimbangan logis para anggota
keluarga lainnya, Mas Imin juga mendaftar SNMPTN. Sudah redup semangat Zahra
untuk memaksa Mas Imin mencantumkan Psikologi sebagai salah satu pilihan.
Apalagi Mama memberitahu Zahra agar Zahra berhenti menentang Mas Imin masuk
ITB. Jadi Zahra tidak peduli apa saja pilihan Mas Imin untuk SNMPTN. Mau Mas
Imin pillih Peternakan pun, Zahra tak ingin peduli.
Zahra juga sudah
tidak ingin peduli pada semangat pemberdayaan diri lagi. Ia biarkan
kehidupannya berjalan apa adanya. Mengalir bagai air keran. Kalau mau senyum,
ia akan senyum. Kalau mau cemberut, ia tak akan menahan. Pikirnya, untuk apa
berpura-pura. Terserah ia mau bersikap bagaimana pun, orang lainlah yang
harus memahaminya.
Pasca USM ITB
Terpusat, Mas Imin coba mendekatinya lagi. Kali ini, Zahra tidak mau terjerat.
Ia ingin memberi Mas Imin pelajaran, entah sampai kapan. Tidak adil, pikirnya Kenapa Mas Imin masih ingin aku buat
ngembangin potensi, tapi dia sendiri menafikan potensinya?
Tak putus asa,
Mas Imin bertanya apakah Zahra jadi meneruskan ke jurusan IPS atau tidak. Mas
Imin menawarkan materi-materi IPS yang ia miliki. Membuat Zahra jadi menduga
bahwa memang betul Mas Imin ada kecenderungan untuk ikut jalur IPC. Karena sebetulnya dia emang pingin ke
Psikologi, batinnya. Zahra menampik tawaran tersebut. Dipikirnya,
kecenderungannya untuk masuk IPS akan membuat Mas Imin senang.
Selain itu,
Papa-Mama ternyata tidak melarang jika ia berkehendak masuk IPS. Meski Papa
bilang bahwa sebaiknya Zahra mempertimbangkan masuk IPA saja. Peluang untuk
memilih jurusan di perguruan tinggi nanti lebih besar. Sementara itu, Mama
menyarankannya untuk kelak memilih Akuntansi atau jurusan yang menjamin
kemapanan lainnya. Pertimbangan lainnya adalah, kalau Zahra masuk IPA lantas
memilih Kedokteran, dengan kondisi Papa yang di ambang pailit begitu, bisa
jadi Papa belum tentu sanggup membiayai. Zahra jadi merasa Papa-Mama tidak
memedulikannya sebagaimana mereka memedulikan Mas Imin hingga memaksanya masuk
ITB, padahal biaya kuliah di ITB juga mahal. Kembali ia merasa iri pada Mas
Imin. Tambah surut niatnya untuk meneruskan ke IPS.
Namun Zahra tak
bisa membohongi diri. Berubah itu memang
perlu, pikirnya. Meski itu dapat menyenangkan orang yang dibenci? Ini
tidak ada hubungannya dengan Mas Imin, ia meyakinkan diri. Terlepas dari itu
bisa membuat Mas Imin senang atau tidak, ia memang membutuhkan perubahan dalam
dirinya.
Itu membuatnya
tergugah untuk ke luar dari zona aman lagi. Ia harus masuk IPS agar lebih siap
menghadapi pilihannya untuk bangku kuliah nanti. Komunikasi? Atau Psikologi?
Ah, seolah-olah ia sudah mantap akan keduanya saja.
Kekosongan
bangku di sebelahnya kini terisi oleh Dean secara penuh waktu. Sejak Zahra
memaksa Dean untuk meninggalkan kejahatan akademisnya dan mulai hidup bersih,
mau tak mau Dean harus duduk dekat Zahra agar Zahra bisa mengawasinya. Apalagi
UAS makin dekat saja. Dan bangku kosong yang tersisa di sekitar bangku Zahra
hanyalah bangku di sebelah Zahra. Zahra sendiri bukannya senang mendapat
kawan sebangku lagi. Kehadiran Dean di sebelahnya malah menambah derita baru.
Sesekali Dean masih berusaha mengintip kertas jawaban ulangannya, atau
merengek meminta PR-nya. Tapi yang paling Zahra tidak suka adalah, Dean kerap
mengajaknya mengobrol di tengah pelajaran. Zahra berusaha tidak mengacuhkan.
Ia ingin konsentrasi pada penjelasan guru. Sesekali ia mendesis, menyuruh
Dean bungkam. Mungkin siksaan juga bagi Dean, harus diam terus sepanjang
pelajaran, namun Zahra menikmati.
Zahra tidak
merasa tersinggung sama sekali, saat jam istirahat datang lalu seketika Dean
melesat ke kantin atau mendekati kawanan gaulnya. Zahra malah sebal kalau Dean
diam saja di bangkunya dan berinisiatif mengajaknya ngobrol. Apalagi kalau
topik obrolannya menyangkut apa yang jadi pikiran Zahra juga.
“Si Kang Lutung
jadi masuk ITB nggak? Pengumumannya udah?” tanya Dean suatu hari.
“Nggak tahu,”
jawab Zahra acuh tak acuh.
“Kirain teh si Kang Lutung mau masuk Psikologi…”
“Nggak kok. Dia
nggak mau.”
“Kenapa gitu?”
“Kamu kok bisa
sih, sampe mikir kalo dia mau masuk Psikologi?” semprot Zahra dengan jemu.
Pertanyaan tersebut ia tujukan juga pada dirinya.
“Ya nggak
apa-apa… Emang kamu nggak deket ya sama kakak kamu?”
Bukan urusan kamu, Zahra ingin menjawab. Ia coba mengalihkan topik pembicaraan.
“Eh, persamaan reaksi yang kemarin aku ajarin ke kamu, udah ngerti belum?
Entar siang kamu masih ada remedial Kimia kan?”
Dean mengerang.
“Aduh, gua mah nggak yakin euy bisa masuk IPA … Secara nilai-nilai
gua di mafiki cuman bisa dihitung pake sebelah tangan gitu. Yah, moga-moga aja
IPS masih mau nerima gua, hehe…”
Satu lagi yang
membuat Zahra ragu masuk IPS. Peluang Dean untuk ditolak IPA dan diterima IPS
lebih besar daripada peluang untuk sebaliknya. Mana kelas IPS di SMANSON
jumlahnya hanya dua pula. Makin besar saja peluang Dean untuk kembali sekelas
dengan Zahra.
Kata Dean lagi,
“Udah, lo masuk IPS aja, Zah. Jadi kan kita entar masih bisa nyambung kalo
belajar bareng lagi…” Dean tersenyum lebar. Zahra ngeri melihatnya. Jadi
semakin bimbang saja ia hendak memilih IPA atau IPS.
Hingga
penghujung Juni, masih ada pendar kebahagiaan para anggota keluarga yang
mendukung Mas Imin masuk ITB. Sudah dua minggu lebih berlalu sejak pengumuman
padahal. Pengumuman yang memastikan Mas Imin sebagai calon mahasiswa ITB.
Zahra takjub dengan kedigdayaan Mas Imin, sekaligus lesu karena Mas Imin batal
mengikuti SNMPTN.
“Buat apa?” kata
Mama waktu itu. “Imin kan udah resmi jadi anak ITB.”
“Tapi kan sayang
duit buat daftar SNMPTN-nya kemarin…”
“Emangnya Imin
masih mau ikutan tes lagi?”
Zahra enggan
hendak menengok reaksi Mas Imin. Ia sudah putus harap.
Pembagian rapot
semester genap. Kenaikan kelas. Penjurusan. Zahra tahu semua nilainya akan
baik-baik saja, ia yakin itu. Tidak ada kendala untuk menghalanginya lanjut
ke IPA, pun IPS. Tiba hari di mana ia harus menetapkan keputusan. Ia ikut
Mama mengambil rapot ke sekolah.
Wali kelas di
hadapannya, merangkum hasil belajarnya selama setahun ini. Mama di sampingnya,
tersenyum karena sudah sepatutnya. Wali kelas bilang bahwa nilai Zahra baik
untuk semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang tidak banyak menuntut
keaktifan dalam hal afektif dan psikomotorik, khususnya eksak. Lalu
berdasarkan hasil psikotesnya kemarin juga… blablabla… Zahra cocoknya masuk
IPA. Zahra meringis.
“Gimana, Zahra?”
Mama menoleh pada Zahra, lalu kembali pada wali kelas. “Kemarin sempet
kepikiran masuk IPS.”
“Ooh… Ya nggak
apa-apa. Bisa… Cuma ya, mau ke IPA atau IPS, mungkin Zahra harus lebih aktif
di kelas aja, ya, Bu…”
Zahra menunduk.
Semalam ia telah memikirkannya, masa depan macam mana yang terbaik untuknya.
Pertama, ia
membayangkan dirinya sebagai peneliti yang mengeram diri di laboratorium. Ia
hanya harus fokus mengerjakan risetnya saja, dengan tabung-tabung percobaan
yang berisi cairan menggelegak, para mencit yang tersudut ketakutan dalam
kotak kaca, denting pipet pada cawan petri, tetes cairan yang sedang dititrasi,
dan nyala api yang berkobar dari birunya spirtus. Sesekali mungkin ia harus
bertemu dengan orang baru dan menunjukkan ini itu, tapi itu tidak sering kan?
Kedua, ia
membayangkan dirinya harus berpenampilan pantas sepanjang waktu (sementara
sampai saat ini ia belum menemukan gaya berpakaian yang benar-benar cocok untuknya
selain seragam sekolah). Profesinya mengharuskannya berinteraksi dengan
macam-macam orang beserta tabiatnya masing-masing setiap hari, setiap saat.
Terbiasa dengan tuntutan tersebut, ia dapat menempatkan rasa percaya dirinya
agar selalu berada di permukaan. Segala kecemasan, kegagapan, dan gemetaran tak
perlu telah berhasil dientaskannya. Ia mampu menebar senyum tanpa canggung,
aktif berkata tanpa banyak jeda…
IPA atau IPS,
sebenarnya sama saja, pikirnya. Dengan usaha keras, ia tetap bisa masuk Kedokteran
atau Biologi atau Teknik meskipun ia anak IPS—pernah ada cerita seperti itu.
Dan masuk Komunikasi atau Hukum atau HI meskipun ia anak IPA. Apapun
profesinya nanti, semuanya membutuhkan keterampilan sosial yang memadai. Yang
akan selalu menjadi PR baginya.
Lantas, apa
gunanya penjurusan saat SMA kalau begitu?
“Jadi, Zahra mau
ke IPA atau IPS?” tanya wali kelas.
Atas segala yang
telah ia lalui selama ini, dan perasaannya pada Mas Imin terutama, maka Zahra
memutuskan. Ia membisikkannya pada telinga Mama yang terselubung jilbab batik.
-akhir-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar