Hari-hari Zahra
kini bagai tak lepas dari iringan tembang “Misty” milik Ella Fitzgerald yang
melantun ke luar dari gramofon Nenek. Dari mula ketakberdayaan Zahra bagai
seekor anak kucing di atas pohon yang selalu digantungi mendung, hingga
persuaannya kembali dengan sesosok lama yang telah menjadi lain. Tempat kini ia
bisa menggantungkan tangan dan petunjuk ke mana melangkah. Mereka bahkan sudah
masak nasi goreng bersama, sambil mengkaji sebab-sebab yang melatarbelakangi
cara mendidik Papa-Mama sehingga lahir individu-individu seperti mereka.
Zia memang tak
pernah cerita apa-apa lagi tentang Mas Imin pada Zahra. Namun melihat Zia
membuat Zahra ingat pada Mas Imin. Dan mengingat Mas Imin membuat Zahra tahu.
Ada seseorang yang pasti mau membantunya memberdayakan diri.
Terkuak satu
kebenaran dalam cerita Zia. Memang jeli kemampuan Mas Imin dalam membaca orang
lain. Tidak pernah ada kesepakatan di antara mereka bahwa salah seorang menjadi
pemberdaya dan yang lain menjadi yang diberdayakan. Zahra tak perlu membuat
yang seperti itu. Mas Imin sepertinya sudah tahu sejak lama apa saja yang harus
diberikan pada Zahra. Di sela kebiasaan-kebiasaan buruk lamanya yang tak
lekang, Mas Imin menyelipkan saran dan dukungan.
Ketika datang
kesempatan lagi untuk mereka berbagi, Mas Imin menanyakan kunjungan ke rumah
Zia yang lampau. Zahra tersenyum sambil mengangguk-angguk. Lalu ia mulai
bercerita mengenai kemajuan-kemajuan yang dialaminya. Tak perlu pakai banyak
paragraf seperti cara Zia bercerita. Zahra cukup melaporkannya dalam beberapa
kalimat saja, “Kemarin juga Zahra main ke rumah temen, dua kali. Trus pulangnya
diajakin ngobrol sama supir angkot.”
“He, supir
angkotnya curhat apa aja?”
“Ya, gitulah…
Banyak…”
“Zahra sendiri berani nggak, ngajak ngobrol
orang nggak dikenal?”
“Ih, ngapain?”
“Ya nggak
apa-apa. Kadang ada aja orang yang butuh perhatian, walaupun cuman sedikit, dan
asalnya dari orang nggak dikenal sekalipun.”
“Masak sih?”
Zahra ingat perasaan senangnya saat disenyumi atau disapa orang lain. Itu pun
dari mereka yang dikenalnya di sekolah, meskipun tak terlalu dekat. Pernah ia
ditegur orang tak dikenal, seperti pengalaman di angkot kemarin itu, dan itu
malah membuatnya canggung. Ia juga tidak suka orang yang SKSD tapi oportunis
macam Dean, dan lemparan basa-basi tak penting yang dilontarkan orang-orang sok
ramah lainnya. Mungkinkah suatu saat ia malah bakal membutuhkan yang semacam
itu?
“Orang-orang
kesepian macam itu, dapat sms yang isinya sekadar ‘halo?’ atau ‘SEMANGAT!’ aja
bisa seneng banget loh,” kata Mas Imin lagi dengan nada meyakinkan. “Tapi
mungkin tergantung dari siapa juga sih smsnya, he. Yah, banyak faktor... Bahkan
cuman ngedengerin orang ngomong aja, itu juga termasuk salah satu bentuk
perhatian.”
Zahra terpana.
Tuh kan, persis sekali dengan apa yang ia pikirkan di angkot kemarin. Zahra
hendak menguji kebenaran lainnya. “Ng… Mas Imin tuh suka ngamatin orang ya?”
“Emangnya Zahra
nggak pernah ngamatin orang juga?”
“Ya pernah sih…
Tapi kan, nggak sampe ngedeketin orang itu, trus ya… ngasih motivasi atau
dorongan untuk berbuat sesuatu, gitu? Sesuai dengan potensinya?” Hati-hati
Zahra bicara, khawatir Mas Imin tidak mengerti maksudnya.
“Ya kalo mau
ngasih yang gituan ya tinggal kasih aja. Apa susahnya?”
“Tapi kan nggak
semua orang kayak gitu.”
“Ya itu
tergantung seberapa besar perhatiannya aja.”
“Terus kenapa
Mas Imin perhatian? Sampai mau berbuat kayak gitu?”
“Karena Allah
nggak bakal ngubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri.
Makanya itu kita harus kasih tau dia buat ngubah nasibnya. Kalau nggak kayak
gitu, gimana kehidupannya mau jadi lebih baik?” Mas Imin terdiam sejenak, lalu
mengubah posisi duduknya menjadi lebih condong. “Darimana kamu tau kalo Imin
suka ngamatin orang dan seterusnya? Trus kenapa tadi sempet ngarahnya ke soal
potensi?”
Cengiran
menghiasi muka Zahra. Menerka-nerka apakah ia telah berbuat salah. Memang ia
tidak pernah melihat Mas Imin mengamati orang secara langsung. Tidak pernah
pula mereka bicara soal potensi orang lain dan semacamnya, selain tentang diri
Zahra sendiri. Sekarang ganti ia yang diamati Mas Imin. Zahra jadi salah
tingkah. “Ng… Denger-denger ceritanya orang aja sih… Dean… Mbak Zia…” Suara
Zahra memelan.
Tak disangka,
Mas Imin malah mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul. “Oh iya. Imin emang
suka sih ngobrol-ngobrol ama mereka sih.”
Zahra lega. Mas
Imin melanjutkan lagi, “Sebetulnya bukan masalah potensi aja sih. Kalau kita
suka ngamatin perilaku orang lain, trus ngerasa ada yang salah dengan dia,
lantas kita nggak suka, kadang kita malah milih buat ngejauhin mereka. Atau
ngediemin aja. Ya nggak?”
“Ng… Ya?” Zahra
malas mengingat-ingat Dean lagi, seakan tak ada contoh buruk lainnya saja. Ah,
tentu saja ada! Zahra baru ingat kalau tahun kemarin ia masih melakukan hal
demikian pada Mas Imin.
“Tapi kalau Imin
sendiri sih kasihan kalau cuman ngebiarin aja. Apalagi kalau sikapnya ampe
ngerugiin orang lain juga, nggak cuman ke dirinya aja. Kalau orangnya bisa
dikasih tau, ya kasih tau. Kalau nggak, ya entah gimana caranya, diusahakan
supaya dia nyadar sendiri. Dengan begitu, manfaatnya kan nggak cuman buat dia
aja, tapi buat diri kita juga. Bukannya sebaik-baik manusia adalah mereka yang
ngasih manfaat buat orang lain? Kita kan diciptakan buat jadi rahmat bagi
semesta alam?” Mas Imin menutup penjelasannya, masih dengan mengangguk-angguk
sambil tersenyum simpul.
Zahra terkesima.
Mas Imin mestilah tidak termasuk golongan orang-orang yang tidur saat khotbah
Jumat.
“Dan kalau soal
potensi, Zahra…” Zahra terperangah saat kemudian Mas Imin melanjutkan dengan
kalimat, “Sebenernya kita semua punya potensi buat ngelakuin apa pun”. Terkuak
lagi satu kebenaran dari cerita Zia. Zahra sudah tahu apa isi penjelasan
selanjutnya, hingga Mas Imin mengakhir penjelasannya itu dengan, “Maka, nikmat
Allah manakah yang kamu dustakan, Zahra? Kalau kamu masih bilang diri kamu
nggak punya potensi apa-apa, bukannya itu sama aja kayak mengingkari
nikmat-Nya? Jangan dikira kamu suka jutek itu bukan potensi loh, Zahra. Justru
yang dipakai jadi pemakai sinetron itu yang bisa jutek kayak kamu itu…”
Ukh. Lagi-lagi
soal jadi pemain sinetron! Zarah mesem-mesem. Seandainya saja ada lebih banyak
orang seperti Mas Imin, tentu akan ada lebih banyak pula orang bermasalah
seperti Zahra yang terbantu. Zahra mengangkat kedua lengan dan melipatnya di
belakang kepala. Menerawang ke langit-langit. “Coba ada ya, Mas, sekelompok
orang di sekolah kita yang sadar buat kayak gitu.”
“Kayak gimana?”
“Sadar buat
ngebantu orang lain, meskipun itu bukan temen deketnya. Apa seseorang harus
punya temen deket dulu, baru dia bisa dapet pertolongan, dukungan, dan
semacamnya?”
“Ya, makanya itu
fungsinya berteman, Zahra.”
“Tapi kadang ada
aja orang yang nggak tau caranya berteman. Seharusnya ada yang ngasih tau
mereka gimana caranya.”
Mas Imin
tersenyum saja mendengar ocehan Zahra itu.
“Eh, kalo gitu
Mas Imin cocoknya jadi psikolog dong?”
“Haha… Nggak tau
juga… Emang menurut Zahra gitu?”
Zahra menurunkan
lagi lengannya. “Ya… Cocok aja… Kan entar Mas Imin bisa nolong orang-orang yang
kesulitan dengan dirinya sendiri. Entah itu karena dia belum nemuin potensinya,
atau gara-gara kelakuannya, atau kenapa…”
Seperti
terdengar Zia berbisik di telinganya, “Kalau
Mas Imin masuk ITB, dia nggak ada ubahnya sama ribuan anak SMA favorit lainnya
yang berlomba-lomba masuk sana, dengan tujuan pragmatis, untuk prestise dan
kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Tapi kalau dia tetap
bertahan sama potensinya, bakal ada lebih banyak hal berguna yang bisa dia
kasih buat lebih banyak orang.
“Kasih tau tuh sama dia!”
Zahra
membayangkan, Mas Imin yang sudah jadi psikolog handal akan mampu membantu
Zahra memperbaiki kualitas kehidupan sosialnya, menghilangkan sikap intimidatif
Mama, menurunkan kecenderungan autis pada Mas Ardi, mengurangi kebandelan
Mayong, mengobati depresi Papa (kalau nanti perusahaannya benar-benar sudah
tewas), menciptakan sifat altruis dalam diri Kakek, membetulkan korsletnya Om
Bahar, mengentaskan absurditas Zia, meminimalisir keeksentrikan Zaha, dan
lain-lainnya… Mungkin juga mengubah Dean agar mampu mengerjakan PR-nya sendiri?
Dalam pemahaman Zahra, psikolog adalah seorang montir jiwa yang mampu
memperbaiki segala macam perilaku manusia.
“Sebetulnya itu
tergantung pada individunya masing-masing sih, Zahra. Meskipun Mas Imin bisa
ngasih saran ke kamu buat ini itu, tapi semua itu balik ke kamunya sendiri,
kepengaruh apa nggak, mau berubah apa nggak. ”
Zahra
manggut-manggut. Namun telah terpatri dalam benaknya akan kalimat Zia, kadang kita hanya membutuhkan seseorang
untuk memotivasi diri kita terus menerus… Dan Mas Imin adalah orang yang
bisa, Zahra masih tetap pada keyakinan itu.
“Berarti Mas
Imin entar mau ke Psikologi?”
“Hee… Ya entar
liat ajalah!”
“Mau masuk
Psikologi mana, Mas? UI? UGM? UNPAD?”
“Haha, gimana
entar ajalah. Ngomong dulu sama Papa-Mama…”
“Bukannya
sekarang teh udah mulai pendaftaran
yang kayak gitu-gitu ya?” Berkat kemajuan dalam kehidupan sosialnya akhir-akhir
ini, Zahra jadi pernah mendengar selentingan yang macam begitu. Sering juga ia
dengar dialog para orang tua di rumah tentang masa depan Mas Imin. Tapi yang
paling sering mereka sebut hanya ITB.
“Hehehe…. Kalo
Zahra sendiri gimana? Entar lagi kan penjurusan? Mau masuk IPA atau IPS?”
“Mmm…” Mungkin
sekaranglah saat yang tepat untuk minta pendapat Mas Imin. Ada suatu gagasan di
kepalanya akhir-akhir ini yang ia sendiri belum yakin. “Kalau menurut Mas Imin,
IPS tuh kayak gimana sih?”
“Baik-baik aja
tuh.”
“Iiiih…”
“Kenapa
emangnya? Mau masuk IPS?”
“Menurut Mas
Imin gimana?”
“Ya terserah
Zahra aja. Kirain selama ini Zahra minatnya ke IPA. Kan katanya dulu pingin
jadi dokter?”
Ah, semua anak
kecil pun akan menjawab hal yang sama kalau ditanya cita-cita, Mas Imin ini
seperti yang tidak tahu saja. Zahra mencibir.
“Kenapa? Pingin
masuk IPS?” tanya Mas Imin lagi.
Karena mayoritas
anak IPS adalah anak gaul dan Zahra ingin ketularan gaul. Gaul dalam hal ini
bukan berarti hobi main dan mengikuti tren, melainkan gaul dalam konteks banyak
teman dan komunikatif. Bukannya anak IPA tidak, tapi Zahra kira ia akan lebih
terberdayakan di IPS. Zahra kini jadi minat pula pada objek yang bernama
manusia, ditinjau dari aspek sosialnya, karena itu terkait dengan dirinya
sendiri. Ia bahkan mempertimbangkan untuk kelak berkuliah di Komunikasi atau
Psikologi.
Tapi Zahra
merasa malu hendak mengungkapkannya pada Mas Imin. Ia belum siap untuk
mengumbar kekurangan dirinya lagi. Jadi ia hendak mencoba jalur diplomasi. “Mas
Imin tahu Bu Leni nggak?”
“Tahu. Yang guru
Fisika itu kan?”
“Waktu itu, Bu
Leni pernah cerita. Katanya dia tuh pas SMA sebetulnya nggak suka banget sama
Fisika. Nilai Fisikanya jelek-jelek terus. Dia juga nggak suka ama gurunya.
Tapi akhirnya dia malah masuk ke IKIP, jurusan Fisika.”
“Kenapa?” tanya
Mas Imin, seolah-olah ia sendiri belum tahu.
“Soalnya, dia
pingin bisa Fisika. Makanya masuk sana.”
“Kenapa dia
pingin bisa Fisika?”
“Nilai-nilainya
yang lain pada bagus. Cuman Fisika aja yang jelek. Makanya dia penasaran pingin
bisa.”
“Kenapa dia
nggak belajar Fisikanya dari dulu-dulu aja, waktu pas masih SMA? Jadi nilai
Fisikanya nggak harus ikut-ikutan jelek kan?”
“Iiiih… Ya, mana
tahu ah!” tukas Zahra sebal. Pertanyaan-pertanyaan Mas Imin malah
melencengkannya dari maksud semula.
“Hehe, ngambek.”
Zahra sebisa
mungkin menahan nafsu ngambeknya itu kendati ia sudah sampai melipat tangan dan
membalikkan badan. Amarahnya menyurut seiring dengan berkatanya ia, “Aku juga
pingin bisa…”
“Pingin bisa
Fisika?”
“Bukan...” Zahra
mendadak kelu. Berharap Mas Imin dapat membaca pikirannya tanpa harus susah
payah ia ucapkan sendiri. Ia terlalu malu untuk mengatakannya. Dirasanya telah
terlalu lama ia bungkam, namun Mas Imin tampak masih menungguinya lanjut bicara
dengan sabar.
“Kalau kamu
emang minatnya ke sana, ya kenapa nggak?” ucap Mas Imin akhirnya.
“Tapi aku nggak
punya potensi…” Zahra membayangkan dirinya berada di tengah keriuhan yang
diciptakan oleh para teman sekelasnya di kelas IPS, kelak. Selain gaul, imej
bandel juga melekat pada mereka. Zahra jadi tidak yakin apakah ia akan betah di
kelas IPS. Toh ia tidak harus masuk sana kalau hendak mengambil jurusan berbau
sosial di bangku perkuliahan. Ia bisa ambil jalur IPC saat seleksi masuk,
meskipun jadinya harus belajar dua kali.
“Punya… Nggak
boleh kufur nikmat, Zahra. Inget tadi Imin ngomong apa? Cuman mungkin aja
potensi kamu yang itu kurang berkembang. Makanya kamu pingin masuk IPS supaya
bisa ngembangin itu kan?”
Zahra
mengangguk-angguk penuh semangat. Ia dapatkan apa yang ia cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar