Kesenduan
sehari-hari Zahra biasanya agak sirna oleh kehadiran Papa di akhir pekan.
Kalau Papa bawa oleh-oleh, biasanya Zahra yang duluan ditawari. Papa juga yang
duluan menanyakan apa kebutuhan Zahra saat mereka hendak belanja. Kalau ada
permintaan Zahra yang tidak dikabulkan Mama, Zahra akan memintanya pada
Papa—tidak mesti dikabulkan juga, memang. Kalau Zahra ada keperluan di luar
rumah pun, Papa akan mengantarnya. Dan Papa selalu memberi Zahra hadiah kalau
Zahra mendapat ranking tinggi di kelas.
Seperti yang
Papa lakukan pada akhir pekan ini. “Kita ke Ciwalk yuk…” ujar Papa saat kebetulan
anak-anaknya sedang berseliweran di sekitarnya, di ruang tengah lantai bawah.
“Beli baju buat Zahra.”
Zahra
mengangguk-angguk dengan semangat.
“Ya, dari
kemarin Zahra minta terus tuh,” Mama menimpali.
Memang barang
yang paling sering Zahra minta belikan pada orangtuanya adalah pakaian, atau
apapun khas perempuan, yang membedakannya dari para saudara lelakinya. Tetapi
Zahra sering merasa pakaian yang telah ia beli ternyata hanya terlihat bagus
saat dipakai manekin. Makanya Zahra sering minta dibelikan. Ia harap ia tidak
salah pilih lagi pada kesempatan berikut.
Namun turun juga
mood Zahra malam itu. Papa menolak
membelikannya sebuah teenlit.
“Papa nggak bawa
uang banyak, Zahra. Udahlah Zahra beli baju aja. Mayong juga nggak minta
apa-apa kok.”
Pantas saja
Mayong bisa diam. Papa sudah membelikannya raket baru minggu lalu. Jadi ia
kini bisa dengan santai menelusuri pertokoan sambil memerhatikan benda-benda
yang dipajang di etalase tanpa secuil pun pinta.
“Kemarin pas Mas
Imin lagi ada duit, dibeliin buku nggak mau…” Makin rusak saja suasana hari
Zahra mendengar perkataan Mas Imin tersebut. Membuatnya jadi menyalahkan
diri sendiri. Padahal tempo hari ia bisa memanfaatkan kebaikan Mas Imin
untuk membelikannya beberapa buku yang ia ingin. Mengapa pula emosinya harus
begitu mudah tersulut.
“Ya udah,
langsung turun ke bawah aja yuk,” ajak Mama.
Berbondong-bondonglah
mereka mengikuti ajakan Mama. Mama langsung menggiring Zahra ke tujuan. Tak
hanya Mama sebetulnya, yang serba salah bila Zahra mulai merengut di tengah
acara keluarga. Kepekaan seorang ibu yang membuatnya merasa bertanggung jawab
untuk sebisa mungkin mengantisipasi hal ini terjadi. Seringnya ia gagal. Zahra
sudah terlanjur merengut. Kalau sudah begitu, susah sekali mengambil hati
Zahra. Tidak jelas apa maunya anak itu. Dibaik-baiki, tetap merengut.
Lama-lama Mama pun tidak tahan untuk ikut melampiaskan emosi. Tambah
merengutlah Zahra.
Untung kali ini
Mama cukup berhasil. Kekeruhan yang menghias muka Zahra sejak dari atas
memudar seiring dengan didorongnya Zahra masuk ke bagian pakaian remaja
putri. Perhatian Zahra teralih. Ia mulai mengamat-amati pakaian.
Memilah-milah. Ia tanya pendapat Mama. Mama menyuruhnya minta pendapat Papa
juga. Hingga dua stel pakaian ia bawa ke hadapan Papa yang sedang mengobrol
bersama Mas Imin.
“Satu aja,
Zahra…” Belum apa-apa Papa sudah memelas.
“Cuma nanya kok,
cocokan yang mana…” Padahal sebetulnya Zahra memang ingin minta dibelikan
dua-duanya.
Baru saja Papa
hendak menjawab, Mas Imin menyela, “Asal Zahra nggak cemberut gitu terus,
sebenernya Zahra cocok kok pake yang mana juga!”
Papa tidak jadi
lega. Dan tidak terpikir juga untuk menegur sulungnya itu, karena sesungguhnya
Papa sepaham.
Zahra
meninggalkan kedua lelaki tersebut dalam dengusan sebal.
Kembali Zahra
memilah-milah. Ia tak pernah bisa benar-benar yakin akan pilihannya. Mama
selalu bilang “bagus” saat ditanya. Papa tetap pada jawaban “terserah…”. Mas
Imin pasti mencela. Mas Ardi biasanya mengangkat bahu. Sedang Mayong, anak itu
malah akan balik tanya, “Mbak, mending ini, atau ini ya?” Tak ada satupun
anggota keluarganya itu yang juga bisa benar-benar ia percaya.
Sekilas pandang
Zahra teralih ke pintu masuk. Ia menangkap seseorang yang ia kenal. Tak hanya
satu ternyata, tapi dua. Sosok yang kedua yang bikin Zahra buru-buru
mengalihkan pandang. Ia tak ingin sampai berinteraksi dengan sosok itu di
tengah suasana hatinya sedang buruk seperti ini. Bisa makin jatuh harga
dirinya. Zahra makin sok sibuk saja memilah pakaian. Ia menjauh dengan punggung
membelakangi jalan yang kira-kira akan dipakai sosok-sosok itu lewat.
“ZAHRA!”
Sekilas ia
menangkap keterkesimaan pada raut wajah Mama di depannya, sebelum ia sendiri
berbalik. Ia dapati keceriaan teman sekelasnya nan periang, yang sepertinya
membawa anggota keluarganya lengkap, sama saja dengan keadaan Zahra
sekarang. Bedanya, keluarga Zahra tidak memancarkan sinar seperti keluarga
Dean. Setidaknya begitulah di mata Zahra.
“Zahra, ngapain?
Mau beli baju yah?”
Belum sempat
Zahra menjawab, tangan itu mendorong pundaknya. Risih Zahra disentuh begitu,
oleh cowok pula. Tapi kali ini Zahra tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan
merengut sekali pun!
“Bunda, ini
Zahra, yang suka bantuin Dean ngerjain PR…” ucap Dean seakan Zahra memang
ikhlas melakukannya—membiarkan PR-nya disalin Dean! Dean mendorong pelan
pinggang wanita yang berdiri di sampingnya.
“Makasih, Zahra,
udah bantuin Dean ngerjain PR. Maaf ya, anak Tante suka rewel...” Tangan itu
begitu halus dalam genggamannya. Terhirup harum lembut kala punggung tangan
itu menyentuh keningnya. Wanita yang Dean sebut “Bunda” bak pesohor jelita
yang Zahra suka lihat di acara TV. Tidak hanya penampilannya yang tampak awet
muda, lebih-lebih wajahnya. Begitu segar. Tahulah Zahra, dari mana Dean
mewarisi wajah yang halus tanpa cela.
Bahkan kiranya
masih lebih tinggi badan wanita tersebut dibandingkan Papa. Lebih-lebih lagi
ayahnya Dean, yang yakin Zahra adalah pria tegap di belakang Arderaz itu—raut
wajah cowok itu dan ayahnya hampir serupa. Pantas saja Dean dan Arderaz
menjulang begitu.
Zahra merasakan
telapak tangan nan lembut itu sekilas menyentuh pipinya. Malulah Zahra, ia
tengah berjerawat. Tapi lebih malu lagi ia, karena melihat Arderaz tersenyum
padanya. Ingin Zahra memekik keras-keras atau sembunyi.
Masih hangat
dalam ingatannya, kebersamaan dengan cowok tersebut kala mereka satu gugus di
MOS. Di tengah teriakan para senior yang menyuruh mereka terus berlari
(“Sigap, Dek, SIGAAAAP!”, “Jangan lembek kalian! Kayak tai aja!”), Arderaz
menyodorkan tangannya pada Zahra yang terjatuh. Dalam keadaan seperti itu,
Zahra menyambut saja pertolongan tersebut. Lalu Arderaz kembali berlari ke
tempatnya semula, jauh di depan barisan. Arderaz juga kerap memberinya
perhatian. Saat anggota gugus mereka berkumpul untuk menggarap tugas bersama,
Arderaz mendekatinya hanya untuk menanyakan apakah ia mengalami kesulitan.
Esok-esok harinya, Arderaz pun selalu menanyakan apakah tugasnya sudah lengkap
atau belum. Kendati, tidak hanya kepada Zahra saja Arderaz begitu. Memang
itulah kewajiban Arderaz sebagai ketua. Namun sebagai sosok yang sering
disampingkan, Zahra merasa amat tersentuh.
Tak bisa hilang
debar dalam hati Zahra kala melihat Arderaz, sampai sekarang. Arderaz bagai
pangeran berkuda putih dari kerajaan antah berantah. Mungkin kutukan dari
kerajaan musuh yang menyebabkan pangeran tampan nan baik hati itu sampai harus
memiliki saudara kembar berperangai setan. Malang nian nasib sang pangeran
sekeluarga.
Ketika Zahra
kembali ke alam nyata, kagetlah ia mendapati tidak hanya ia dan Mama saja yang
tengah bersua dengan keluarga Dean. Tapi juga anggota keluarganya yang lain.
Dean mengenalkan Mas Imin pada bundanya. Papa dan ayahnya Dean bersalaman.
Arderaz mengenali Mas Ardi. Zahra melirik pada lawan bicara Mayong, yang
tampaknya sepantaran dengan adiknya itu. Agak risih ia, mendapati cewek itu
mengenakan blus longgar dan celana pendek. O, lihatlah tungkai kaki putih mulus
nan jenjang itu. Pantas Mayong bertingkah sok akrab pada cewek yang Zahra
tengarai adalah adiknya Dean dan Arderaz.
Dalam perjalanan
pulang ke rumah, keluarga Zahra masih tenggelam dalam pancaran pesona keluarga
Dean. Tak henti mereka mengumbar kesan masing-masing akan keluarga tersebut selama
setengah perjalanan. Memberi Zahra beberapa informasi yang baru kali itu ia
ketahui.
“Ibunya Dean
yang suka tampil di acara TV itu…!”
“Ayahnya Dean
yang kadang ada di koran itu…!”
“Saudaranya Dean
yang pernah masuk di majalah itu…!”
Namun tidak ada
satupun yang ingat untuk mengomentari Deannya itu sendiri, selain Zahra. Yang
masih merutuki bocah itu dalam hati. Menyesali kenapa Dean harus menyapanya
tadi. Kan bisa saja bocah itu pura-pura tidak melihatnya. Melengos saja
bersama keluarganya, langsung pergi ke tempat tujuan berupa restoran mahal
atau apalah. Setidaknya hal itu tidak akan membuat Zahra merasa begitu rendah
diri malam ini. Tidak saja merasa rendah karena dirinya, tapi juga karena
keluarganya. Keluarganya yang bukan apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar