Rabu, 14 Juli 2010

14

Sejak memaknai silaturahmi sebagai suatu kegiatan yang membuat hidup lebih hidup, Zahra menanti-nanti kesempatan untuk dapat bersilaturahmi lagi. Bukan rumah Zia lagi yang ingin ia sambangi. Ia ingin merasakan hal baru. Itu bisa jadi rumah saudaranya yang lain (“nanti aja, pas libur atau Lebaran,” kata Mama, karena sanak saudaranya rata-rata berdomisili di tempat yang jauh dari Bandung), atau rumah temannya, atau rumah siapapun yang ia kenal. Namun ia belum sampai seberani itu menyengajakan diri untuk datang ke rumah siapa pun, karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar ia kenal. Ia menginginkan kunjungannya didasari oleh suatu alasan yang kuat.

“Ya udah, silaturahmi ke tempat Kakek aja. Deket kan, cuman ke sebelah?” usul Mama. Zahra menanggapi dengan menggumam malas.

Menurut The Secret, jika kita menginginkan sesuatu, maka semesta akan berkonspirasi untuk mewujudkannya. Menurut sebuah kata mutiara di bagian bawah kertas buku tulis, where there is a will, there is a way. Menurut Zahra, semua itu adalah bagian dari sunatullah, rajinlah berdoa maka Allah SWT akan memudahkan jalan.

Ketika kesempatan itu datang, Zahra tak ingin menyia-nyiakannya. Ia harus memanfaatkannya. Dan kesempatan itu datang tidak hanya dengan begitu saja dinanti, tapi juga karena ada usaha mencari. Tidak butuh waktu singkat untuk menyadari itu, hingga Zahra memberanikan diri untuk berkata, “Unan, kita main ke rumah kamu, yuk.” Alih-alih mengiyakan, Unan malah mengajaknya main ke mal sepulang sekolah. Kali ini mereka pergi beramai-ramai dengan kawanan Unan yang tidak terlalu Zahra akrabi. Tria cs ributnya bukan main dan mereka begitu gaulnya sehingga Zahra kerap merasa tidak akan bisa klop dengan mereka. Namun demi perbaikan kehidupan sosialnya, ia coba bertahan meskipun hampir selalu diam. Hampir sore dan Zahra sudah berada di puncak ketidakbetahan. Ia ingin lekas pulang supaya tidak ketinggalan sajian drama Asia di TV. Namun sekali lagi demi perbaikan kehidupan sosialnya, dengan berat hari Zahra tidak menolak ketika kawanannya memutuskan untuk singgah di rumah salah seorang dari mereka. Ini silaturahmi, Zahra, ayo, ayo, kamu bisa, kamu kuat… Zahra coba memotivasi dirinya.

Maka Zahra terus melangkah dan terus mendengarkan dan terus mengikuti setiap laku kawanannya hingga rumah yang dituju. Ia berharap suatu saat bisa seramai mereka. Lalu ia ikut masuk ke dalam rumah dan ikut duduk saat dipersilahkan dan ikut menjelajah ke ruangan lain dan ikut mengambil penganan yang disediakan dan ikut menonton drama Asia.

Tidak semua dari kawanan itu menggemari tayangan tersebut. Namun ada beberapa di antaranya yang jelas-jelas terpikat. Sesekali terdengar desah kekaguman mereka akan keindahan paras tokoh utama pria. Lalu sedikit tinjauan mengenai episode yang telah silam. Zahra akhirnya merasa punya sesuatu untuk dikatakan. Disambungnya perkataan yang lain. Mereka menyambutnya. Dan ia bisa menanggapinya balik. Dan begitu seterusnya. Maghrib tiba dan ucapan “main-main ke sini lagi ya” dari pemilik rumah menyenangkan hati Zahra. Ia merasa telah melewati hari itu dengan baik.

Keesokan harinya, teman mengobrolnya bukan hanya Syifa atau Unan atau kaum oportunis. Obrolan tentang drama Asia merembet pada topik-topik lain yang membuat Zahra mau tak mau membuka dirinya. Bertambah pula informasi yang diketahuinya tentang orang lain. Zahra merasa seperti cewek kebanyakan.

Puas dengan kemajuan kecil yang telah dilewati membuatnya ingin melaju ke tahap selanjutnya. Ia menanti-nanti kesempatan lain untuk bersilaturahmi. Ia belum ingin ke rumah temannya itu lagi untuk sekadar menumpang nonton drama Asia. Ia menginginkan jenis kesempatan yang lain. Apa lagi? Apa lagi? Apa lagi? Tidak ada yang terjadi sampai Zahra sempat lupa bahwa ia masih dalam masa pemberdayaan diri dan mandeg pada jurus silaturahmi.

Zahra merasakan sebuah kemajuan lagi saat muncul inisiatifnya untuk bertanya pada kawan sebangku Syifa hal absennya Syifa beberapa hari ini. Ternyata dirinya masih menyimpan kepedulian pada orang lain. Toh Syifa termasuk salah sedikit yang juga perhatian padanya—entah apakah memang itu tuntutannya sebagai anak DKM. Kabar pun sampai padanya. Syifa kena DB.

Suatu kemunduran dirasakan Zahra kemudian. Ia tidak menawarkan diri untuk ikut serta saat kawanan Syifa berunding soal rencana menjenguk Syifa. Ia tidak terlalu dekat dengan kawanan Syifa, kendati mereka gabungan anak-anak alim satu kelas, sehingga rasanya aneh saja kalau tahu-tahu ia nimbrung. Meskipun mereka tahu bahwa Syifa pernah jadi kawan sebangkunya semester lalu. Zahra melarikan diri dari rasa bersalahnya dengan menguatkan alasan akademis. Ia bersyukur minggu ini sedang banyak-banyaknya ulangan dan PR—bukannya minggu-minggu lain tidak.

Zahra kian terusik kala esok-esok hari mendengar laporan dari mereka yang sudah menjenguk Syifa. Sebagai mantan kawan sebangku, Zahra merasa ia juga harus melakukan sesuatu. Setidak-tidaknya ia ikut memberi perhatian pada Syifa dalam bentuk apa begitu… Sms? Telepon? Maukah Unan diajak menjenguk Syifa ke rumah sakit? “Ah, bentar lagi juga masuk sekolah lagi,” kata Unan. “Bukannya dia udah nggak di rumah sakit lagi ya?”

…main ke rumahnya? Zahra sadar ia punya alasan kuat untuk itu. Ayo, Zahra, mumpung Syifa masih dalam pemulihan dan belum diizinkan bersekolah! Kendati sebetulnya tidak harus menunggu Syifa sakit dulu untuk dapat berkunjung ke rumahnya. Orang seperti Syifa pasti tidak akan menolak jika ada kawannya hendak bersilaturahmi, apalagi jika mantan kawan sebangku. Mengapa tidak dari dulu-dulu, Zahra? Iya ya, batin Zahra. Karena kelamaan berpikir, tahu-tahu Zahra sudah berada di rumahnya lagi pada petang itu. Dengan kekhawatiran bahwa Syifa sudah akan masuk sekolah lagi besok pagi, lalu hilanglah kesempatan menjenguknya.

Kalau main ke rumah Syifa di saat Syifa sedang tidak sakit, itu namanya bukan menjenguk dong?

Memang apa masalahnya kalau begitu, toh prinsipnya sama-sama bersilaturahmi kan?

Zahra tidak mengerti mengapa ia harus sampai sebegitu ribetnya memikirkan hal ini. Luruskan niat! titahnya pada diri sendiri. Dengan begitu, tanpa mau diribetkan pikirannya lagi, ia menelepon Syifa. Menanyakan kabar sekaligus di mana alamat rumahnya. Jauh ternyata. Zahra lekas menekan pikirannya untuk membatalkan niat semula. Keinginan untuk berkunjung ke rumah Syifa sudah kuat mendesaknya. Setelahnya, Zahra kembali diribetkan dengan urusan buah tangan apa yang bisa ia bawa. Ia mengaduk-aduk kulkas dan kecewa berat karena tidak menemukan apapun yang layak. Apakah itu kembali mengurungkan niatnya? Tidak. Tiadanya Mas Imin yang mungkin rela dimintanya mengantar juga tidak menggentarkannya. Begitupun dengan Mama yang coba menghalangi karena hari sudah mulai gelap dan sekian alasan masuk akal lainnya. Tidak peduli pada akhirnya Mama mengatainya keras kepala, Zahra tetap ingin pergi.

Di dalam angkot yang meremang-remang, Zahra kepikiran lagi oleh kata-kata Mama yang ada benarnya juga. Tapi inilah cara untuk mewujudkan sesuatu yang mulanya enggan dilakukan: membuatnya jadi terlanjur. Zahra terlanjur memasuki sisi lain Bandung. Zahra terlanjur berada di muka sebuah kompleks perumahan. Zahra terlanjur naik ojek menuju rumah Syifa. Zahra terlanjur masuk ke dalam rumah Syifa dan menghambur ke arah orang yang paling dicarinya. “Maaf, aku nggak bawa apa-apa... Aku cuman pingin ketemu kamu!” kata Zahra cepat-cepat, sebelum kegugupannya menghambat. Setelahnya ia merasa malu karena ada ibu dan abangnya Syifa dalam ruang yang sama.

Keluarga Syifa menjamu Zahra dengan sangat ramah—mungkin mereka terkesan dengan kenaifannya. Kebetulan ia datang saat jam makan malam. Mau tak mau ia diajak membaur di ruang makan. Azan Isya terdengar jelas—sepertinya rumah tersebut terletak dekat sekali dengan masjid, Zahra sadar untuk segera undur diri. Padahal ia belum lama di situ, tapi ia takut kemalaman. Keluarga Syifa pun tak bisa memaksanya menginap karena besok hari sekolah dan Zahra belum mempersiapkan apa-apa. Zahra diantar ibunya Syifa dengan motor sampai jalan raya. Ibunya Syifa menungguinya sampai ia mencegat angkot.

Kembali di dalam angkot yang meremang-remang, Zahra merasa telah melakukan suatu hal bodoh lagi konyol. Namun entah mengapa ia merasa puas dengan itu, sejenak. Jenak kemudian adalah ketakutannya karena menyadari bahwa ia hanya sendirian di angkot tersebut. Masih jauh pula jarak menuju rumahnya. Macam-macam hal buruk melintas di kepala Zahra.

“Baru pulang kerja, Neng?”

Refleks Zahra menutup mulut agar tidak kelepasan menjerit. Tubuhnya makin merapat ke pojok belakang angkot. Menimbang-nimbang apakah ia perlu pindah duduk ke dekat pintu masuk supaya kalau terjadi apa-apa ia bisa langsung loncat ke luar. Dan ditabrak mobil dan tewas di tempat. Zahra serasa dicengkeram es. Supir angkot mengintipnya lewat spion atas. Zahra sadar setidaknya ia harus menjawab sesuatu. “Ng… Nggak, Mang…”

“…dari rumah temen,” kata Zahra lagi, entah mengapa ingin saja menambahkan keterangan. Ia kurang senang dianggap lebih tua dari umur yang sebenarnya, meski bukan sekali ini ia dibegitukan.

“Oo… Masih sekolah?”

“…iya.”

“Di mana?”

“SMAN Selonongan, Mang.”

“Ooo… Anak saya juga ada yang baru masuk SMA. Yaa, segede si Neng lah.”

“Oh..”

Supir angkot menyebut sebuah SMA negeri di kawasan lain Bandung. Bukan kawasan yang sering dilalui Zahra. Zahra mengiyakan saja dengan pelan.

Ari di SMAN Selonongan teh bayarannya berapa, Neng?”

“Ng…”

Zahra tidak menyangka, supir angkot sanggup tak putus mengajaknya bicara sampai tiba waktunya turun. Selama itu angkot hanya berisi mereka berdua dan supir angkot mengeluhkan betapa makin sulitnya mencari duit. Sudah tahu kota sudah penuh dengan angkot, tetap saja orang-orang lebih memilih untuk memakai kendaraan pribadi. Zahra tak tahu ia harus menanggapi apa—ia baca koran hanya sekali-sekali saja. Jadi ia hanya menjawab dengan “oh” atau “iya” atau kata-kata lainnya kalau diperlukan.

Zahra merasa supir angkot tersebut sepertinya hanya ingin berbagi. Didengarkan. Sebagaimana Zahra ingin didengarkan juga oleh orangtuanya, Mas Imin, dan lain-lainnya. Mendengarkan adalah satu bentuk perhatian. Siapapun yang sadar bahwa ia Homo socius tentu ingin diperhatikan. Mungkin kalau suatu saat tidak ada lagi orang yang mau memerhatikannya, Zahra akan mengajak ngobrol orang tak dikenal juga. Zahra jadi terinspirasi: tahap lanjut dari masa pemberdayaan kehidupan sosialnya adalah mengajak ngobrol orang tak dikenal!

Mengingat kecemasannya kala harus menghadapi orang baru, Zahra mempertimbangkan lagi untuk melakukan hal tersebut saat ia sudah jadi nenek-nenek saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain