Sejak memaknai
silaturahmi sebagai suatu kegiatan yang membuat hidup lebih hidup, Zahra
menanti-nanti kesempatan untuk dapat bersilaturahmi lagi. Bukan rumah Zia lagi
yang ingin ia sambangi. Ia ingin merasakan hal baru. Itu bisa jadi rumah
saudaranya yang lain (“nanti aja, pas libur atau Lebaran,” kata Mama, karena
sanak saudaranya rata-rata berdomisili di tempat yang jauh dari Bandung), atau
rumah temannya, atau rumah siapapun yang ia kenal. Namun ia belum sampai
seberani itu menyengajakan diri untuk datang ke rumah siapa pun, karena
sesungguhnya tidak ada yang benar-benar ia kenal. Ia menginginkan kunjungannya
didasari oleh suatu alasan yang kuat.
“Ya udah,
silaturahmi ke tempat Kakek aja. Deket kan, cuman ke sebelah?” usul Mama. Zahra
menanggapi dengan menggumam malas.
Menurut The Secret, jika kita menginginkan
sesuatu, maka semesta akan berkonspirasi untuk mewujudkannya. Menurut sebuah
kata mutiara di bagian bawah kertas buku tulis, where there is a will, there is a way. Menurut Zahra, semua itu
adalah bagian dari sunatullah, rajinlah berdoa maka Allah SWT akan memudahkan
jalan.
Ketika
kesempatan itu datang, Zahra tak ingin menyia-nyiakannya. Ia harus
memanfaatkannya. Dan kesempatan itu datang tidak hanya dengan begitu saja
dinanti, tapi juga karena ada usaha mencari. Tidak butuh waktu singkat untuk
menyadari itu, hingga Zahra memberanikan diri untuk berkata, “Unan, kita main
ke rumah kamu, yuk.” Alih-alih mengiyakan, Unan malah mengajaknya main ke mal
sepulang sekolah. Kali ini mereka pergi beramai-ramai dengan kawanan Unan yang
tidak terlalu Zahra akrabi. Tria cs ributnya bukan main dan mereka begitu
gaulnya sehingga Zahra kerap merasa tidak akan bisa klop dengan mereka. Namun
demi perbaikan kehidupan sosialnya, ia coba bertahan meskipun hampir selalu
diam. Hampir sore dan Zahra sudah berada di puncak ketidakbetahan. Ia ingin
lekas pulang supaya tidak ketinggalan sajian drama Asia di TV. Namun sekali
lagi demi perbaikan kehidupan sosialnya, dengan berat hari Zahra tidak menolak
ketika kawanannya memutuskan untuk singgah di rumah salah seorang dari mereka. Ini silaturahmi, Zahra, ayo, ayo, kamu bisa,
kamu kuat… Zahra coba memotivasi dirinya.
Maka Zahra terus
melangkah dan terus mendengarkan dan terus mengikuti setiap laku kawanannya
hingga rumah yang dituju. Ia berharap suatu saat bisa seramai mereka. Lalu ia
ikut masuk ke dalam rumah dan ikut duduk saat dipersilahkan dan ikut menjelajah
ke ruangan lain dan ikut mengambil penganan yang disediakan dan ikut menonton
drama Asia.
Tidak semua dari
kawanan itu menggemari tayangan tersebut. Namun ada beberapa di antaranya yang
jelas-jelas terpikat. Sesekali terdengar desah kekaguman mereka akan keindahan
paras tokoh utama pria. Lalu sedikit tinjauan mengenai episode yang telah
silam. Zahra akhirnya merasa punya sesuatu untuk dikatakan. Disambungnya
perkataan yang lain. Mereka menyambutnya. Dan ia bisa menanggapinya balik. Dan
begitu seterusnya. Maghrib tiba dan ucapan “main-main ke sini lagi ya” dari
pemilik rumah menyenangkan hati Zahra. Ia merasa telah melewati hari itu dengan
baik.
Keesokan
harinya, teman mengobrolnya bukan hanya Syifa atau Unan atau kaum oportunis.
Obrolan tentang drama Asia merembet pada topik-topik lain yang membuat Zahra
mau tak mau membuka dirinya. Bertambah pula informasi yang diketahuinya tentang
orang lain. Zahra merasa seperti cewek kebanyakan.
Puas dengan
kemajuan kecil yang telah dilewati membuatnya ingin melaju ke tahap selanjutnya.
Ia menanti-nanti kesempatan lain untuk bersilaturahmi. Ia belum ingin ke rumah
temannya itu lagi untuk sekadar menumpang nonton drama Asia. Ia menginginkan
jenis kesempatan yang lain. Apa lagi? Apa lagi? Apa lagi? Tidak ada yang
terjadi sampai Zahra sempat lupa bahwa ia masih dalam masa pemberdayaan diri
dan mandeg pada jurus silaturahmi.
Zahra merasakan
sebuah kemajuan lagi saat muncul inisiatifnya untuk bertanya pada kawan
sebangku Syifa hal absennya Syifa beberapa hari ini. Ternyata dirinya masih menyimpan
kepedulian pada orang lain. Toh Syifa termasuk salah sedikit yang juga
perhatian padanya—entah apakah memang itu tuntutannya sebagai anak DKM. Kabar
pun sampai padanya. Syifa kena DB.
Suatu kemunduran
dirasakan Zahra kemudian. Ia tidak menawarkan diri untuk ikut serta saat
kawanan Syifa berunding soal rencana menjenguk Syifa. Ia tidak terlalu dekat
dengan kawanan Syifa, kendati mereka gabungan anak-anak alim satu kelas,
sehingga rasanya aneh saja kalau tahu-tahu ia nimbrung. Meskipun mereka tahu bahwa
Syifa pernah jadi kawan sebangkunya semester lalu. Zahra melarikan diri dari
rasa bersalahnya dengan menguatkan alasan akademis. Ia bersyukur minggu ini
sedang banyak-banyaknya ulangan dan PR—bukannya minggu-minggu lain tidak.
Zahra kian
terusik kala esok-esok hari mendengar laporan dari mereka yang sudah menjenguk
Syifa. Sebagai mantan kawan sebangku, Zahra merasa ia juga harus melakukan
sesuatu. Setidak-tidaknya ia ikut memberi perhatian pada Syifa dalam bentuk apa
begitu… Sms? Telepon? Maukah Unan diajak menjenguk Syifa ke rumah sakit? “Ah,
bentar lagi juga masuk sekolah lagi,” kata Unan. “Bukannya dia udah nggak di
rumah sakit lagi ya?”
…main ke
rumahnya? Zahra sadar ia punya alasan kuat untuk itu. Ayo, Zahra, mumpung Syifa masih dalam pemulihan dan belum diizinkan
bersekolah! Kendati sebetulnya tidak harus menunggu Syifa sakit dulu untuk
dapat berkunjung ke rumahnya. Orang seperti Syifa pasti tidak akan menolak jika
ada kawannya hendak bersilaturahmi, apalagi jika mantan kawan sebangku. Mengapa
tidak dari dulu-dulu, Zahra? Iya ya,
batin Zahra. Karena kelamaan berpikir, tahu-tahu Zahra sudah berada di rumahnya
lagi pada petang itu. Dengan kekhawatiran bahwa Syifa sudah akan masuk sekolah
lagi besok pagi, lalu hilanglah kesempatan menjenguknya.
Kalau main ke rumah Syifa di saat Syifa sedang tidak sakit,
itu namanya bukan menjenguk dong?
Memang apa masalahnya kalau begitu, toh prinsipnya sama-sama
bersilaturahmi kan?
Zahra tidak
mengerti mengapa ia harus sampai sebegitu ribetnya memikirkan hal ini. Luruskan niat! titahnya pada diri
sendiri. Dengan begitu, tanpa mau diribetkan pikirannya lagi, ia menelepon
Syifa. Menanyakan kabar sekaligus di mana alamat rumahnya. Jauh ternyata. Zahra
lekas menekan pikirannya untuk membatalkan niat semula. Keinginan untuk
berkunjung ke rumah Syifa sudah kuat mendesaknya. Setelahnya, Zahra kembali
diribetkan dengan urusan buah tangan apa yang bisa ia bawa. Ia mengaduk-aduk
kulkas dan kecewa berat karena tidak menemukan apapun yang layak. Apakah itu
kembali mengurungkan niatnya? Tidak. Tiadanya Mas Imin yang mungkin rela
dimintanya mengantar juga tidak menggentarkannya. Begitupun dengan Mama yang
coba menghalangi karena hari sudah mulai gelap dan sekian alasan masuk akal
lainnya. Tidak peduli pada akhirnya Mama mengatainya keras kepala, Zahra tetap
ingin pergi.
Di dalam angkot
yang meremang-remang, Zahra kepikiran lagi oleh kata-kata Mama yang ada
benarnya juga. Tapi inilah cara untuk mewujudkan sesuatu yang mulanya enggan
dilakukan: membuatnya jadi terlanjur. Zahra terlanjur memasuki sisi lain
Bandung. Zahra terlanjur berada di muka sebuah kompleks perumahan. Zahra
terlanjur naik ojek menuju rumah Syifa. Zahra terlanjur masuk ke dalam rumah
Syifa dan menghambur ke arah orang yang paling dicarinya. “Maaf, aku nggak bawa
apa-apa... Aku cuman pingin ketemu kamu!” kata Zahra cepat-cepat, sebelum
kegugupannya menghambat. Setelahnya ia merasa malu karena ada ibu dan abangnya
Syifa dalam ruang yang sama.
Keluarga Syifa
menjamu Zahra dengan sangat ramah—mungkin mereka terkesan dengan kenaifannya.
Kebetulan ia datang saat jam makan malam. Mau tak mau ia diajak membaur di
ruang makan. Azan Isya terdengar jelas—sepertinya rumah tersebut terletak dekat
sekali dengan masjid, Zahra sadar untuk segera undur diri. Padahal ia belum
lama di situ, tapi ia takut kemalaman. Keluarga Syifa pun tak bisa memaksanya
menginap karena besok hari sekolah dan Zahra belum mempersiapkan apa-apa. Zahra
diantar ibunya Syifa dengan motor sampai jalan raya. Ibunya Syifa menungguinya
sampai ia mencegat angkot.
Kembali di dalam
angkot yang meremang-remang, Zahra merasa telah melakukan suatu hal bodoh lagi
konyol. Namun entah mengapa ia merasa puas dengan itu, sejenak. Jenak kemudian
adalah ketakutannya karena menyadari bahwa ia hanya sendirian di angkot
tersebut. Masih jauh pula jarak menuju rumahnya. Macam-macam hal buruk melintas
di kepala Zahra.
“Baru pulang
kerja, Neng?”
Refleks Zahra
menutup mulut agar tidak kelepasan menjerit. Tubuhnya makin merapat ke pojok
belakang angkot. Menimbang-nimbang apakah ia perlu pindah duduk ke dekat pintu
masuk supaya kalau terjadi apa-apa ia bisa langsung loncat ke luar. Dan
ditabrak mobil dan tewas di tempat. Zahra serasa dicengkeram es. Supir angkot
mengintipnya lewat spion atas. Zahra sadar setidaknya ia harus menjawab sesuatu.
“Ng… Nggak, Mang…”
“…dari rumah
temen,” kata Zahra lagi, entah mengapa ingin saja menambahkan keterangan. Ia
kurang senang dianggap lebih tua dari umur yang sebenarnya, meski bukan sekali
ini ia dibegitukan.
“Oo… Masih
sekolah?”
“…iya.”
“Di mana?”
“SMAN
Selonongan, Mang.”
“Ooo… Anak saya
juga ada yang baru masuk SMA. Yaa, segede si Neng lah.”
“Oh..”
Supir angkot
menyebut sebuah SMA negeri di kawasan lain Bandung. Bukan kawasan yang sering
dilalui Zahra. Zahra mengiyakan saja dengan pelan.
“Ari di SMAN Selonongan teh bayarannya berapa, Neng?”
“Ng…”
Zahra tidak
menyangka, supir angkot sanggup tak putus mengajaknya bicara sampai tiba
waktunya turun. Selama itu angkot hanya berisi mereka berdua dan supir angkot
mengeluhkan betapa makin sulitnya mencari duit. Sudah tahu kota sudah penuh
dengan angkot, tetap saja orang-orang lebih memilih untuk memakai kendaraan
pribadi. Zahra tak tahu ia harus menanggapi apa—ia baca koran hanya
sekali-sekali saja. Jadi ia hanya menjawab dengan “oh” atau “iya” atau
kata-kata lainnya kalau diperlukan.
Zahra merasa
supir angkot tersebut sepertinya hanya ingin berbagi. Didengarkan. Sebagaimana
Zahra ingin didengarkan juga oleh orangtuanya, Mas Imin, dan lain-lainnya.
Mendengarkan adalah satu bentuk perhatian. Siapapun yang sadar bahwa ia Homo socius tentu ingin diperhatikan.
Mungkin kalau suatu saat tidak ada lagi orang yang mau memerhatikannya, Zahra
akan mengajak ngobrol orang tak dikenal juga. Zahra jadi terinspirasi: tahap
lanjut dari masa pemberdayaan kehidupan sosialnya adalah mengajak ngobrol orang
tak dikenal!
Mengingat
kecemasannya kala harus menghadapi orang baru, Zahra mempertimbangkan lagi
untuk melakukan hal tersebut saat ia sudah jadi nenek-nenek saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar