Masih terhunjam
dada Zahra oleh angka itu. Enam-dua, dalam lingkaran. Rasanya bagai dihempas ke luar Iglo oleh
sekawanan Eskimo saat kesasar di Kutub Utara. Padahal ia sudah mempersiapkan
ulangan itu dari jauh hari. Begini saja hasilnya? Zahra tak terima. Apalagi
ketika tahu bahwa masih ada orang yang bernasib lebih baik darinya. Mendapat
angka enam-delapan dalam lingkaran.
Zahra tahu,
hanya ia dan orang itu di kelas yang mendapatkan nilai di atas enam puluh untuk
ulangan Fisika kali ini.
Zahra juga tahu
untuk tak lantas tercelup dalam derita kala melihat orang lain senang.
Terimalah itu dengan hati lapang. Larutlah bersamanya, niscaya rasa senang
akan meliputimu juga. Zahra berusaha membuktikan itu dengan coba melontar
senyum pada oknum penjatuh nilai. Tapi sepertinya yang keluar malah sebuah
senyum kecut. Seperti tercekat ekspresi orang itu kala bertemu muka Zahra. Tidak
cukup hanya dengan senyum, Zahra melengkapi usaha pembuktian itu dengan ucapan
yang Zahra berusaha mati-matian agar tak terdengar sinis.
Memang bukan
kali ini saja ada yang mendapatkan nilai ulangan lebih besar darinya. Maka
Zahra tambah sedih. Mengapa pelajaran di SMA susah sekali? Lebih mudah
mendapat nilai tertinggi di kelas saat SMP dan SD dulu.
Sebagaimana
siang-siang sebelumnya, pulanglah ia ke rumah dengan lunglai. Hari ini kembali
ia pamerkan kemampuan sosialnya yang buruk itu pada teman sekelas. Sungguh ia
malu. Kapankah perubahan akan terjadi? Ia tak tahu.
Pantas saja
begitu dalam kecewa Zahra. Ia merasa yang bisa ia lakukan hanya rajin belajar—orang
lain pun bisa melakukan asal ada kemauan. Kemahiran melakukan beberapa
pekerjaan rumah tangga juga tidak membuatnya lebih percaya diri. Itu bukan
suatu kemampuan yang dapat dibanggakan. Itu adalah keterampilan dasar yang
harus dimiliki semua perempuan.
Hasil psikotes
yang dibagikan tempo hari juga tidak memuaskannya. Secarik kertas itu sama
sekali tidak menginformasikannya potensi-potensi unik yang barangkali ia
miliki. Seni, kek, apa, kek. Ia juga ternyata tidak secerdas yang ia sangka.
IQ-nya biasa-biasa saja. Saran untuk memperluas pergaulan dan berkecimpung
dalam organisasi malah terasa mengintimidasinya. Seolah makin menekankan
bahwa yang ia miliki hanyalah kelemahan dan kelemahan.
Saat melintas
garasi, Zahra berusaha tidak melirik pada Mas Imin dan temannya yang tengah
melakukan sesuatu pada si Bambang—bukan orang, melainkan kijang biru langit
hadiah Kakek untuk ulang tahun Mas Imin ketujuh-belas.
“Hibur adik saya
dong, Det,” suara Mas Imin.
Yang ditanggap
oleh Kang Detol, “Ayo sini Zah, Akang dongengin.”
Gejolak
kesenewenan dalam dada mendorong Zahra untuk menampik ajakan bernada sok
serius itu. “Nggak mau,” ucapnya pelan tapi ketus pada teman Mas Imin yang
paling sering main ke rumah itu. Anak SMANSON juga.
Dan Zahra tidak
mau tahu lagi apa yang terjadi di garasi sesudah ia pergi.
Sesampainya di
kamar, terbenam ia dalam kasur. Ia terdiam sampai merasa baikan untuk kembali
keluar kamar dan menunaikan rutin siang. Setelah itu ia berencana latihan
pidato lagi. Siang ini ia kembali luput dari eksekusi. Diselamatkan oleh
anak Pak Catur yang sedang sakit.
Selain Mas Imin
dan Kang Detol di garasi, serta Zahra yang wira-wiri kamar mandi-kamar-ruang
makan-kamar, tak ada penghuni lain di rumah itu. Mama baru pulang petang,
sedang Papa akhir pekan. Kakek, kalau sedang tidak ada maunya, tidak singgah
ke bangunan utama. Mayong pasti sedang keluyuran sepulang sekolah seperti
biasa. Mas Ardi masih rapat di sekolah.
Zahra baru tahu
Mas Ardi salah seorang kepala divisi di ekskul Jejepangan. Usai
mendendangkan bel pulang sekolah, terdengar panggilan dari speaker kelas bagi para aktivis ekskul untuk berkumpul atau apa.
Salah satunya adalah ekskul Jejepangan akan mengadakan rapat divisi.
Disebutlah nama Mas Ardi. Sudah bukan korban bully lagi cowok itu kini, melainkan kepala divisi!
Dengan demikian,
karena rumah sepi, Zahra merasa begitu aman untuk berlatih. Jarak antara
kamarnya dengan garasi cukup jauh. Mas Imin dan Kang Detol tidak akan sampai
mendengar suaranya, asal ia pun tidak melafalkan isi naskah pidatonya itu
sambil teriak-teriak.
Seandainya saja
naskah pidatonya ini boleh dibaca saat tampil di depan, tentu Zahra akan
melakukannya. Tapi karena Pak Catur menghendaki pidato tanpa teks, mau tak mau
Zahra harus berlatih.
Pak Catur
mengalokasikan setengah jam terakhir pelajarannya untuk prak-tik pidato siswa,
sehingga tiap minggu hanya beberapa siswa yang ditunjuk maju. Hingga minggu
kesekian, tidak kunjung juga Zahra dapat giliran. Padahal Zahra sudah berkeringat
dingin sepanjang pelajaran. Setelah pelajaran berakhir, ia lega. Namun
kelegaan itu hanya sesaat. Jauh di dalam jiwanya adalah kecemasan yang
bertumpuk dari minggu ke minggu. Ia tak pernah merasa ada kemajuan dari
latihannya yang memang jarang itu.
Zahra menatap
bayangnya di cermin. Bahkan terhadap bayangnya sendiri saja kepercayaan
dirinya surut. Zahra mengingatkan diri untuk tidak sering-sering mengintip ke
cermin.
“…seandainya
kita mau membacanya, maka karya sastra dapat membukakan mata kita untuk
mengetahui realitas sosial, politik, budaya…”
Zahra mendadak
lupa apalagi yang mau ia katakan ketika lagi-lagi pandangnya menyapu cermin.
Mungkin seharusnya ia tidak usah menghadap cermin.
“Sastra dapat
memperhalus jiwa… memberikan motivasi bagi masyarakat… uh, untuk berpikir
dan berbuat… demi pengembangan diri—pengembangan dirinya dan masyarakat…
melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa…”
Zahra merasa tak
ada semangat dalam dirinya kala menguar kata-kata tersebut. Ia bayangkan Pak Catur
akan menyelanya sejenak. Memberi koreksi bahwa ia harus lebih “bernyawa”. Zahra
akan mengeluh dalam hati sambil menunduk-nunduk. Lalu ia akan mulai lagi
membaca teksnya dari awal. Tanpa melirik naskah. Zahra memindahkan kertas
lecek dari tangannya ke atas meja. Tapi lalu ia ambil lagi. Lagi-lagi lupa ia
apa saja yang mau dikatakan. Padahal ia sudah membaca ulang teks tersebut
lebih banyak dari jumlah lapisan yang ada di wafer. Dan kini yang ia hadapi
hanya lemari.
“Zahra…”
Zahra berjengit
karena suara itu dan ketokan di pintu. Mas Imin merusak suasana latihan saja!
“Ikut nganterin
Detol yuk?”
Apa peduliku dengan si sabun antiseptik itu? pikir Zahra
jengah.
“Abis itu
temenin Mas Imin ke toko buku. Mau nggak?”
Jawaban “nggak
mau” hampir meloncat dari mulut Zahra. Tapi ia berpikir ulang. Pergi ke toko
buku mungkin bisa menyulut gairah dalam jiwanya. Dengan demikian ia bisa
memberi “nyawa” bagi pidatonya yang bertemakan minat baca masyarakat Indonesia
itu. Tentu saja ia harus bawa dompet sendiri. Siapa tahu ia nanti tergiur
untuk membeli sesuatu. Sisa uang jajannya beberapa minggu ini kiranya cukup
untuk dibelikan sebuah buku.
“Ya bentar.
Ganti baju dulu,” sahut Zahra akhirnya.
☺
Kang Detol
ternyata hanya minta diantar balik ke SMANSON. Sepanjang perjalanan yang
pendek itu, rongga tubuh si Bambang ramai oleh ragam banyolan, Mas Imin pada
Kang Detol dan Kang Detol pada Mas Imin, yang tak ada lucu-lucunya. Entah
kenapa itu tetap menggelitik Zahra—sekuat mungkin ia menahan untuk tidak ikut
tertawa. Alih-alih isi banyolan, yang bikin Zahra geli sesungguhnya lagak
dua orang itu. Turunnya Kang Detol menyapu gelak tawa dan menggantikannya
dengan hening.
“Mau ke Gramed
apa Palasari, Zah?” Mas Imin mengintip Zahra yang duduk di jok tengah dari
kaca spion.
“Terserah.”
“Palasari aja
yah. Imin lagi pingin hemat.”
Huh, lagaknya, kayak entar mau ngebeliin aja… Zahra
mendengus.
Tidak butuh lama
untuk mencapai Palasari dari SMANSON. Dua tempat tersebut berada dalam satu
wilayah. Zahra mengekor saja ke mana Mas Imin melangkah. Sesekali pandangnya
ia alihkan ke kanan kiri. Ia coba meresapi ruh dari para buku yang memenuhi
rak setiap lapak. “Ayo… Sini… Belilah aku…” Buku-buku itu seakan punya daya
menggoda. Zahra pura-pura tak melihat setiap para penjaga lapak menanyainya,
buku apa yang ia perlukan.
Mas Imin rupanya
tidak hendak menuju lapak tertentu di bagian tengah sentra penjualan buku
diskon tersebut. Ia masuk ke gang belakang. Di sana berderet tidak saja toko
buku, tapi juga warung makan dan lainnya. Masuklah mereka ke sebuah toko yang
terlihat paling ramai. Padat nian toko tersebut oleh rak-rak panjang dan
buku-buku yang berjejalan di dalamnya. Zahra bingung harus ke mana dulu. Mas
Imin tahu-tahu sudah lenyap saja. Semoga Mas Imin tidak lupa kalau ia ke sini
tidak sendiri, tapi membawa adiknya yang paling teraniaya, harap Zahra sambil
memasuki salah satu jalan yang terapit dua rak. Sesekali ia harus berhenti
untuk memberi jalan bagi orang yang menuju arah sebaliknya. Setelah putar-putar
tak tentu arah, dan terpukau oleh ragam judul yang ada, sampailah Zahra di
ranah fiksi. Yang membuatnya ingin berteriak, “Yippi!”
Segera ia
tenggelam dalam keasikan membaca sinopsis belakang sampul. Ia pilah mana yang
lebih menarik hati hingga mendorongnya untuk membeli. Andai saja orangtuanya
tidak sepelit itu dalam mengeluarkan uang untuk membeli buku. Mereka tidak
tahu pentingnya buku sebagai hiburan, bukan semata untuk pelajaran. Zahra jadi
ingin membacakan pidatonya itu di depan orangtuanya.
“Hei, hei,
Zahra.”
“Huh?”
Sebuah buku
tergantung vertikal beberapa senti dari mata Zahra. Warna merah mendominasi
sampulnya. Lalu biru. Rangkaian huruf yang font-nya
paling besar terbaca, Seni Berbicara dan
Berkomunikasi.
“Mau nggak?”
“Ya kalau Mas
Imin mau beli mah ya beli aja,” acuh
tak acuh Zahra menanggapi. Ia ingin lekas kembali pada keasyikkannya semula.
“Kalau emang
mau, entar Mas Imin beliin buat Zahra.”
Zahra terpekur.
Tak sengaja, tersapu juga oleh matanya beberapa buku pada satu lagi lengan
Mas Imin. Ngeh akan arah mata Zahra, Mas Imin memperlihatkan judul-judul
lain dalam dekapannya itu. Zahra menangkap sekilas kata semacam “bicara”,
“pidato”, dan “komunikasi” pada judul-judul itu.
Jangan-jangan
selama ini Mas Imin tahu kala Zahra latihan pidato di kamar? Jangan-jangan
sekarang Mas Imin sedang meledeknya?
“Yang dibaca tuh
buku-buku yang kek gini, biar kalo ngomong nggak payah kek gitu!” Zahra serasa
mendengar ucapan Mas Imin menyambar telinganya. Padahal senyatanya mulut Mas
Imin menyimpul senyum saja. Lalu para pengunjung toko buku ini, termasuk para
karyawan di balik meja dan yang berseliweran di gang-gang, tahu kalau kemampuan
verbal Zahra amat sangat payah. Dan Zahra terhujani oleh tatap dan bisik
prihatin, kalau bukan cibiran.
“Zah? Heh, mau
nggak? Mas Imin yang beliin, sok.”
Zahra menatap
Mas Imin tajam. Ia mendadak asing dengan sosok itu. Selama ini yang
mendominasi otaknya adalah kenangan-kenangan buruk bersama Mas Imin. Zahra yang
dikira hendak merampas mainan Mas Imin, padahal ingin membereskan. Zahra yang
pernah dicubit Mas Imin yang gemas karena Zahra tidak bisa henti menangis.
Zahra yang sebetulnya ingin tidur, tapi Mas Imin terus menerus mengganggunya.
Zahra yang tidak pernah berbuat apa-apa pada teman-teman Mas Imin, tapi mereka
tiru-tiru Mas Imin mengoloknya. Dan lain sebagainya yang jadi menyakitkan
kalau Zahra sengaja mengingat.
“Zah? Zahra?
Mumpung lagi baik nih!”
Zahra terusik.
Zahra tidak mau. Zahra mendadak hanya ingin pulang.
Sesampainya di
rumah, ia langsung mendekam di kamar. Ia baru keluar saat perasaan buruknya
mereda, kalau bukan karena terpaksa.
Saat ia kembali,
ia dapati buku-buku itu di meja belajarnya. Sudah bersampul plastik
semua—bagian dari pelayanan toko. Ia rengkuh tumpukan buku itu. Ia taruh di
kamar Mas Imin. Ia tidak butuh buku-buku itu. Zahra tidak mau lihat mereka
lagi. Mereka semua membuatnya merasa tambah hina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar