Kendati masih
pagi, layar PC rumah tetap membutuhkan waktu lebih dari semenit untuk
menampilkan halaman utama Facebook. Tersadar Zahra dari lamunan. Ia ketik
e-mail dan password lalu kembali
melamun. Dan pagi itu, Zahra kembali membuktikan bahwa Facebook tak pernah
dapat menyalakan gairah hidupnya. Angka di Pemberitahuannya tidak pernah
lebih dari satu digit—kalau tidak ada sama sekali. Begitupun dengan jumlah
temannya, tidak pernah beranjak dari dua digit. Jarang ada yang menulis di
dindingnya, mengomentari statusnya, mengajaknya chatting, menautkannya dengan sesuatu, apalagi mengunggah foto yang
ada sosok suram dirinya. Zahra heran sendiri, kenapa ia harus ikut-ikutan tren
zaman sekarang—membuat akun Facebook—yang malah semakin menambah kekecewaan
dalam hidupnya. Mas Imin saja, yang pasti jauh lebih gaul darinya, tidak
punya akun Facebook. Boro-boro Twitter.
Zahra malas
membuka-buka situs lain dengan kecepatan akses yang selambat bekicot sekarat
ini. Ia lebih suka ke warnet kalau harus mencari tugas di internet. Lagipula
biasanya kan Mas Ardi memonopoli pemakaian PC. Diam-diam Zahra menanti kapan
Mas Imin akan bergerak untuk mengganti modem internet yang ada dengan modem
yang kecepatannya jauh lebih kencang.
Setelah
mematikan PC, kembalilah ia ke kamarnya. Mendapati Zia masih nyenyak dalam
tidurnya. Padahal ini sudah jam setengah enam lebih. Semua saudara
laki-lakinya saja sudah pada bangun dan mandi. Zahra sendiri sudah pakai seragam.
Tinggal menunggu sarapan siap dan memakai jilbab saja.
Zahra
mengguncang betis Zia pelan. “Zia, Zia, Mbak Zia, bangun…”
Zia sekitar
setahun lebih tua dari Zahra. Sepupunya itu tidak mau dipanggil dengan
embel-embel “Kak”, “Teteh”, “Mbak”, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa ia
lebih tua dari siapapun. Namun Zahra kadang masih kelepasan.
Zia menggeliat.
Mengucek-ucek matanya. “Jam berapa nih?”
“Setengah enam
lebih…” Zahra sudah siap dengan nyaring keterkejutan Zia karena lagi-lagi
bangun terlambat. Juga karena ia lupa bawa seragam baru untuk ia pakai hari
ini. Kemarin Zia bilang sendiri bahwa seragam yang sedang ia pakai itu belum
dicuci dua hari. Sudah tahu begitu, ia malas pulang ke rumahnya sendiri.
Beginilah kalau sekolah lebih dekat rumah saudara daripada rumah sendiri—apalagi
kalau memang akrab dengan saudara tersebut. Untung Zia tidak lupa menebeng cadangan
pakaian dalam dan peralatan mandi di lemari Zahra. Sudah seperti rumah sendiri
saja Zia di rumah tersebut, apalagi sejak ada Mas Imin.
“Mas, aku lupa
bawa seragam lagi…” Zia cengengesan ketika ia bertemu Mas Imin dalam
perjalanannya menuju kamar mandi.
“Pinjem punyanya
Zahra aja,” sahut Mas Imin yang tengah menyendok kuah sayur sisa kemarin
malam. “Sekalian mulai kerudungan aja, Zia.”
“Mau pake
seragam yang kemarin aja ah!” suara Zia dalam kamar mandi.
“Ih, geuleuh[1]!
Jorok!”
Tawa Zia
diredam gebyuran air.
Entah mengapa
Zahra merasa tidak senang mendengar keakraban itu. Zia memperlakukan Mas Imin
seolah-olah mereka adalah saudara kandung. Zahra saja yang jelas-jelas adik
kandung Mas Imin dan sudah belasan tahun tinggal serumah, tidak pernah
berinteraksi seakrab itu dengan Mas Imin. Zahra merasa aneh mengapa sampai
terbersit perasaan seperti itu dalam dirinya.
Zahra mematut
penampilan pada cermin kamar. Ia tak puas pada kedua belah pipi
tembemnya—yang selalu ia klaim sebagai bukti kejahatan Mas Imin di masa lalu.
Selebihnya memang ia tidak pernah merasa berwajah rupawan.
Sudah rapi
jilbabnya. Ia coba mengulas senyum selebar mungkin, mengaplikasikan apa
yang pernah ia baca di suatu tabloid. Tersenyum pada diri sendiri setelah
bangun tidur tidak hanya dapat mengencangkan kulit wajah dan membuat tampak
awet muda, tapi juga dapat mengalirkan energi positif. Mungkin ada baiknya
juga kalau ia mulai menebar senyum pada teman-teman sekelasnya nanti.
Zahra ngeri
melihat bayangannya sendiri di cermin. Senyumnya lebih menyerupai seringaian.
Ia membayangkan kernyitan aneh yang akan menghias wajah teman-temannya kala
melihat senyumnya itu. Zahra menghembuskan nafas. Ia coba lagi mengatur kedua
belah bibirnya agar membentuk senyum yang tidak akan membuat teman-temannya
lari. Lalu ia teringat akan senyum tiga jari yang diajarkan para senior saat
MOS kemarin. Ia praktikkan pula yang satu itu.
Zahra belum
bosan berlatih senyum sampai terdengar cekikikan dari sudut kamar. Zahra
terkesiap. Sejak kapan Zia sudah berada di sana lagi?!
“Kamu ngapain
sih, Zah?”
Sudah jelas
cekikikan itu muncul karena Zia memerhatikan Zahra sedari tadi. Kali ini Zahra
tidak mau tersenyum lagi.
☺
“Eh, liat nggak
teteh yang kacamataan itu? Yang pas upacara kemarin diumumin menang lomba
debat yang di SMAN Air Amplas itu? Dia tahun kemarin udah nyampe Brunei juga.
Padahal pas sebelum SMA-nya tuh dia biasa aja. Tapi emang katanya ngomongnya
cepet banget. Pas kemarin ngobrol sama dia sih, dia bilang dia emang dulu
orangnya gugupan. Kalau ngomong pelan-pelan tuh, dia malah lupa apa yang mau
diomongin. Sampai pas SMA, dia ketemu orang yang ngedorong dia buat masuk
ekskul debat. Orang debat kan emang ngomongnya harus cepet banget kan. Eh,
ternyata kepake banget dong kebiasaannya ngomong cepet itu. Dan karena udah
biasa mentas, dia sekarang udah jarang gugupan lagi.
“Nah, kalau
akang yang itu, yang pake topi ijo itu, dulunya mantan geng motor. Percaya
nggak, dia udah beberapa kali nginep di kantor polisi? Sangar ya? Emang si
akang itu kalau ngomong kasar bet. Sampai sekarang juga hewan peliharaannya
masih suka dibawa-bawa kalau ngomong. Dia bilang, banyak yang nggak suka dia
gara-gara kebiasaannya itu. Tapi mau gimana lagi. Udah berenti dari geng
motor juga, namanya kebiasaan mah
susah ngilanginnya. Udah gitu, dia pernah juga hampir nggak naik kelas.
Terutama gara-gara nilai bahasa Inggrisnya jeblok. Sampai suatu hari, ada
yang nyaranin dia buat belajar hip hop supaya dia bisa tetep ngomong kasar,
sekaligus belajar bahasa Inggris. Dan supaya ada temen belajar, akhirnya dia
ngediriin komunitas hip hop deh di SMANSON.
“Akang yang
barusan nyapa kita itu, iya, Kang Ajat, alias Kang CP, itu juga orangnya dulu
minderan banget. Kata dia sih, pas awal-awal masuk SMA, mau ikut ekskul apa
gitu, atau mau dateng ke acara apa, harus ada yang nemenin. Kalau nggak ada
temennya, biarpun dia pingin banget ikutan, dia pasti nggak bakal jadi dateng
akhirnya. Tapi, dia tuh jago banget main bridge. Cuman, karena waktu itu di
ekskul bridge orangnya dikit banget, temen-temennya juga nggak nambah banyak.
Tapi untungnya dia punya temen deket, yang terus-terusan ngedorong dia buat
ngajak main bridge ke orang-orang yang nggak bisa main bridge. Terutama ke
orang-orang bekennya SMANSON. Ya jelaslah, dia menang terus. Tapi akhirnya
orang-orang jadi pada kagum gitu sama dia, dan minta diajarin. Trus lama-lama
dia jadi punya kepercayaan diri deh, dan menyadari pentingnya bridge untuk pergaulan
dan menambah pesona diri. Atas dasar itulah, akhirnya dia bisa ngehidupin
ekskul bridge lagi. Makanya, ekskul bridge di SMANSON punya jargon: untuk
kepercayaan diri Anda yang tertindas!”
Jika jawaban
“iya, percaya” adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari
keceriwisan Dean, maka itulah yang akan Zahra lakukan, meski dengan amat berat
hati. Dan sekarang ia menghadapi kebuntuan bagaimana mengusir Dean dari
dekatnya. Sejak ia masih bersama Syifa saat keluar kelas, ke Karunia (anak-anak
lebih fasih menyebut “Karunya” pada kantin yang lebih menyerupai warung
itu), melewati masjid, sampai kembali ke kelas, ocehan Dean masih berdenging
di kuping Zahra. Seharusnya Zahra ikut kumpul DKM[2]
saja bersama Syifa tadi di masjid. Dean pasti bakal kepanasan hanya karena
menginjak lantai teras.
“Kalau gua,
potensi gua apa ya? Hehe… Belajar nggak bisa, olahraga nggak kuat, nyanyi
malah disuruh diem… Gua juga pingin didorong dan dikasih saran kayak mereka
itu sama Kang Lutung. Kalau kata Kang Lutung sih, sesepele apapun potensi
kita, yang penting kita bisa berguna bagi orang lain. ”
Sama. Zahra juga
tidak pernah merasa memiliki potensi apapun yang menonjol dari dirinya. Ia
tidak punya potensi apapun, malahan.
Jadi semua yang
diocehkan Dean tadi merujuk pada Mas Imin? Zahra makin ilfil.
Sebagaimana SMAN
Selonongan dikenal sebagai SMANSON, Mas Imin juga beken dipanggil “Lutung” di
SMA itu. Tapi mau dipanggil Lutung, Munyuk, atau malah Surili, bagi Zahra sama
saja. Zahra mengakui, tindak-tanduk Mas Imin sama hiperaktif dengan segala
jenis primata. Namun Zahra sama sekali tidak minat ikutan memanggil Mas Imin
demikian. Kesannya seperti ia juga mau mengakrabkan diri dengan orang paling
ia benci itu. Selain itu, kemungkinan Mama akan marah karena nama anaknya
diubah sembarangan—pakai nama hewan pula. Saking terbiasa mendengar Mas Imin
dipanggil “Lutung” oleh kawan-kawannya sekolahnya, kata “Lutung” jadi tak
terasa sebagai nama hewan lagi dalam pendengaran Zahra. Begitu pula menurut
pengakuan orang-orang yang memanggil Mas Imin demikian. Zahra jadi sebal
mengapa ini sampai harus terjadi. Sudah bagus Mas Imin diidentifikasikan
dengan hewan yang memang mirip dengannya.
Zahra tahu Mas
Imin cukup tenar di SMANSON. Apalagi dengan Mas Imin jadi peserta penyusup
saat MOS lalu, tenar pulalah monyet itu di kalangan anak-anak kelas X. Dan
ternyata sebab lain ketenaran Mas Imin, juga karena ia ketua suatu ekskul,
adalah karena ia suka mendorong orang untuk masuk ke suatu komunitas? Bahkan
kalau Mas Imin pernah mendorong seseorang masuk jurang pun, Zahra tak peduli.
Dean tidak ada topik lain apa?
“Pasti seneng punya
kakak kayak Kang Lutung, di rumah ketawa mulu.”
“Nggak.” Zahra
menghempaskan tubuh di atas bangkunya yang keras.
Dean duduk di
sebelahnya. “Atau, bukan seneng, tapi seneng banget?”
“Nggak.”
Zahra sendiri
heran setiap menyaksikan Mas Imin begitu disenangi di SMANSON. Zahra hampir
tidak pernah melihat Mas Imin dalam sendiri dan sunyi. Biasanya selalu ada
gelak tawa atau ocehan bernas yang mengiringi.
“Zahra ikut
ekskul apa aja?”
“Nggak ikut
apa-apa.”
Zahra sebetulnya
tertarik dengan banyak ekskul. Namun bayangan akan ketidaknyamanan saat harus
berkumpul dengan orang-orang yang belum dikenal lebih mencemaskannya.
“Zahra nggak
suka ama Dean ya?”
Tadinya Zahra
mau menjawab “nggak” lagi. Namun ia memutuskan untuk diam saja. Ia memang
tidak suka Dean. Ia tidak suka setiap Dean meminjam PR-nya. Ia tidak suka saat
Dean lagi-lagi tidak ikut kumpul kelompok. Ia tidak suka kala Dean mangkir
dari tugas piket, di mana mereka lagi-lagi sekelompok. Ia tidak suka waktu
Dean dan anak-anak sejenisnya bikin gaduh di kelas, ada atau tiada guru.
Saking tidak sukanya pada Dean, Zahra lebih suka menganggap Dean sebagai bukan
Dean, melainkan sebagai saudara kembar cowok itu—sang rupawan lagi menawan,
Arderaz Haykal—dalam versi kekanak-kanakkan. Kendati itu malah membuatnya jadi
agak ilfil pada Arderaz.
Pokoknya tidak
ada satu hal pun dari Dean yang ia suka, bahkan jumper gaul Dean sekalipun! Tapi ia lebih tidak suka lagi kalau
ia nanti menjawab, maka pertanyaan Dean akan kembali memberondonginya tanpa
henti.
“Kenapa, Dean
jelek ya?”
“Nggak.”
Sial.
Bisa-bisanya mulutnya refleks menjawab. Pasti latihan senyum tadi pagi yang
membuat mulutnya jadi licin begini!
“Bener? Soalnya,
gua heran aja, kok Zahra bisa-bisanya mikir kalau Dean jelek. Padahal
orang-orang bilangnya Dean ganteng gitu…”
Dan kini ia
tidak bisa tidak tersenyum juga rupanya. Latihan senyum bertuah. Ia mempertimbangkan
untuk tidak melakukan itu lagi sering-sering.
Mungkin
sebetulnya Dean tulus ingin berteman dengannya. Mungkin tidak ada rugi berteman
dengan peramah macam Dean ini. Mungkin Zahra bisa ketularan banyak teman.
Betapa seulas senyum spontan telah meneteskan optimis dalam pikiran Zahra.
Ia usahakan agar
senyum itu bertahan di bibir. Zahra menoleh pada Dean. Memunculkan
pemberitahuan bahwa permintaan pertemanan Dean telah dikonfirmasi. Mungkin
setelah ini Dean akan menyarankan beberapa teman untuknya.
Terhias pula
wajah Dean dengan cengiran. Dengan penuh kehati-hatian cowok itu bertanya
lagi, “Udah ngerjain PR Kimia belum? Gua boleh liat nggak?”
Lima menit lagi
bel mengakhirkan jam istirahat dan menggantikannya dengan pelajaran Kimia
untuk kelas X-7, kelas mereka. Dan Dean datang terlambat tadi pagi. Pantas
saja sedari tadi Dean mengejar-ngejarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar