Bukan lagi jurus
S yang Mas Imin berikan padanya. Zahra merasa dirinya kini sudah seharusnya
naik tingkat. Mas Imin mewariskannya sebuah kitab karangan Mpu Sean Covey.
Kitab itu menjabarkan kebiasaan-kebiasaan remaja paling efektif. Ada satu di
antaranya yang paling Zahra suka, yaitu: PROAKTIF.
Membaca kitab
tersebut, juga beberapa bacaan dari rak buku Mas Imin lainnya (ternyata
sebagiannya adalah milik Zia yang sudah lama tidak dikembalikan), mendorong
Zahra untuk segera membiasakan satu hal baru dalam hidupnya: terbuka pada orang
lain.
Agak bimbang ia
pada mulanya. Sesungguhnya masih ada takut untuk mengungkap sesuatu tentang
dirinya. Apapun berpotensi untuk menjadi bahan ejekan. Ia mengingatkan dirinya
bahwa ia sudah tidak berada di masa kanak-kanak lagi. Lingkungannya pun tidak
demikian. Orang-orang di sekitarnya sudah lebih tahu bagaimana caranya bersikap
pada orang lain—semestinya. Mereka yang dimaksud Zahra adalah anak-anak
sekelasnya, pada khususnya. Selama lima hari berturut sebagian harinya harus
dilewatkan bersama mereka.
Semakin dipikir,
semakin ia ragu untuk melakukan. Zahra mengingatkan dirinya untuk tidak pikir
panjang lagi begitu kesempatan itu datang.
Bernuansa reuni,
kelompok tugas itu akhirnya bersatu lagi untuk pertama kalinya di semester
baru. Acil, Salman, dan Rani—rasanya sudah lama Zahra tidak bersama mereka,
padahal setiap hari bersua di kelas. Kadang ada saja hari damai di sekolah,
yaitu hari di mana Dean, si bocah sakit-sakitan, tidak masuk sekolah. Hari ini
adalah hari itu. Kedamaian membuat antusiasmenya membuncah. Namun tak teraba
tiga sekawan lain yang mulai larut dalam obrolan.
Kali ini mereka
harus membuat penelitian sederhana tentang lingkungan hidup di sekitar mereka.
Alih-alih memutuskan hendak meneliti pengaruh perubahan pH terhadap kecepatan
pernafasan ikan, atau pola aliran energi pada makhluk hidup di pohon, atau
eutrofikasi di perairan, diskusi tiga sekawan malah melenceng pada pengalaman hiking mereka liburan kemarin di Gunung
Puntang. Selama itu, Zahra memikirkan kapan saat yang tepat untuk menyela
mereka. Ia juga ingin bicara. Sekarang? Atau nanti? Zahra memutuskan untuk
tidak berpikir sama sekali. “Kapan-kapan aku boleh ikut?”
“Wah! Ya
bolehlah…” sambut Salman dengan lagak khasnya. Ia membuka kedua belah
lengannya. “Because we are friends!”
“Boleh aja,
Zahra. Kenapa nggak?” ujar Rani.
“Iya, malah kita
pikir kamu yang nggak mau diajak-ajak,” imbuh Acil.
“Ho oh. Waktu
itu kita kan pernah ngajakin kamu mancing di deket rumahnya Rani. Tapi kamunya
nggak mau, tho?” kata Salman lagi.
Zahra nyengir.
Waktu itu ia menolak ikut supaya tidak ketinggalan menonton drama Asia pada
sorenya. Zahra yang sekarang tidak ingin mengulangi hal sama. Apalah artinya
satu episode yang terlewat ketimbang kesempatan untuk bersosialisasi— menoreh
pengalaman menyenangkan dalam memori?
“Ya… Itu kan
dulu. Besok-besok insya Allah aku bisa deh.”
Mereka bertukar
senyum. Baru kali ini Zahra merasa aura kelompoknya semenyenangkan ini. Katanya
lagi, “Kalau boleh, besok pas ada giliran presentasi lagi, kalo aku yang jadi
presentatornya gimana?”
Itu pun
diucapkannya tanpa pikir panjang. Sudah lama Zahra kepikiran untuk keluar dari
zona aman atau memperluas zona nyamannya. Kata Mas Imin, yang Zahra butuhkan
agar lancar bicara di muka kelas adalah pembiasaan. Dan kesempatan itu harus
dicari. Syukur-syukur kalau datang sendiri. “Tapi bisa habis waktu kita kalo
cuman dipakai buat menanti. Akhirnya kita nggak dapet apa-apa sama sekali,”
tutup Mas Imin malam itu.
Zahra menekan
kuat keinginan untuk memikirkan kemungkinan apapun yang dapat mengurungkan
ucapan. Bagaimana kesusahannya menjelang eksekusi nanti, perkara nantilah!
Belajar susah itu memberdayakan, yakinnya.
“Ya nggak
apa-apa,” ucap Acil. Menggaruk pipinya. Menoleh pada Zahra lagi. “Tumben?”
“Iya, biasanya
kamu tuh suka nolak kalau disuruh ngomong. Padahal kan kamu yang paling ngerti
cara ngerjainnya, Zahra,” sambung Salman, hal Zahra yang selalu menyiapkan slide presentasi untuk penampilan
kelompok mereka. Zahra kerap menambahkan poin-poin pikirannya ke dalam slide. Namun saat dituding anggota
kelompoknya untuk bantu menjelaskan di depan kelas, ia bergeming.
“…kalau lagi
diskusi kelas juga, diem… aja.” Acil menirukan gaya Zahra saat dalam situasi
yang sedang diungkitnya. Zahra terpana, ternyata Acil suka memerhatikannya.
Memang saat ada
guru menunjuknya untuk bersuara, Zahra selalu menghindari bicara banyak. Semula
kalimat-kalimat terkait diskusi berkecamuk dalam pikirannya, namun begitu pusat
perhatian mengarah padanya, buyarlah semua. Kecemasan tak beralasan
menguasainya. Ia benci saat-saat seperti itu. Saat ia harus menyuarakan sesuatu
padahal ia lebih suka menyimpannya sendiri atau bahkan tidak memikirkannya sama
sekali. Ia lebih suka menjadi bisu. Tak seorang pun berhak menuntutnya untuk
bersuara karena ia bisu. Jadi ia tidak usah merasakan kecemasan semacam itu.
Namun Tuhan tidak menghendakinya bisu. Itulah sebab mengapa ia harus
mengoptimalkan ketidakbisuannya.
Zahra memainkan
jemarinya. Saatnya mengaku, memberi umpan untuk memulai sesi berbagi, “Habisnya
aku suka grogian sih…”
“Aku juga.
Tanganku dulu masih suka gemetaran kalau harus ngomong di depan,” tanggap
Salman.
Zahra menggali
ingatan dan tidak menemukan kebenaran kalimat Salman. Penampilan Salman selalu
setenang embun pagi. Sewaktu MOS saja ia sudah berani menyanyi di depan ratusan
peserta dan panita.
“…pas SMP aku
masih kayak gitu kok. Tapi lama-lama nggak lagi. Kamu juga pasti bisa kok,
Zahra! Asal sering-sering aja ngomong di depan!”
Acil
mengangguk-angguk saja sambil mengorek salah satu lubang telinganya. Penampilan
Acil di muka kelas juga tidak kalah menarik. Ia suka mengeluarkan
kalimat-kalimat yang tidak umum, kadang memancing tawa audiens namun lebih
sering menggaring, kadang pula ia terlihat lebih seperti berorasi. Rani
apalagi. Dalam kondisi apapun, air mukanya sedatar permukaan tripleks. Jadi
jarang bisa diketahui apakah ia sedang senang, gugup, panik, atau frustasi.
Mendadak Zahra
merasa malu. Sepertinya hanya dirinya yang bermasalah. Apakah ia harus terbuka
juga mengenai ini? Diliputi kenaifan, ia nyengir lagi. “Mohon bantuannya ya
teman-teman…”
Adalah senyum
dan tawa mereka memulihkan lagi perasaannya.
“Nggak papa
kali, nyante aja,” kata Acil.
“Justru bagus tho, yang paling ngerti kan harusnya
yang ngejelasin.” Salman menatap Acil yang membalasnya dengan anggukan.
“Huu, tapi entar
semua aku yang ngerjain dong?”
“Pasti aku bantu
kok, Zahra.” Senyum Rani tidak pernah lebar, namun tetap dapat menguatkan.
“Dengan
demikian, ketua kelompok Ragil Setyo Joharman memutuskan bahwa buat presentasi
kali ini yang maju Zahra. Hal-hal yang menyangkut formasi lainnya diatur
kemudian dalam tempo waktu tergantung gurunya mau kita presentasi kapan.
Setuju?”
“Sah!” sahut
Salman. Acil mengetokkan tempat pensilnya ke bangku tiga kali. Zahra masih
diliputi rasa malu, tapi kali ini bercampur dengan haru.
☺
Satu lagi kata
yang Zahra suka, diambil dari bacaan yang disarankan Mas Imin, adalah: ASERTIF.
Kata tersebut menunjukkan sifat percaya diri dan penuh kekuatan. Zahra menanti
dan mencari kesempatan untuk dapat mengaplikasikan kata tersebut dalam
kehidupannya. Sebetulnya kesempatan itu mengiringinya hampir setiap hari,
bahkan sebelum ia menemukan kata tersebut. Namun baru pada kali ke sekian ia
menyadarinya. Dan dosis yang ia gunakan terlalu besar rupanya. Ia malah
kelepasan menggertak.
“NYONTEK PR
TERUS! KAPAN KAMU MAU NGERJAIN SENDIRI?”
Dean terhenyak.
Sontak ia memegang dadanya, seolah-olah ia punya penyakit jantung.
Berpasang mata
mengarah pada mereka berdua. Zahra lekas menunduk malu. Ditambah panas dingin
dan deg-degan, lemas pula ia. Ternyata menggertak orang membutuhkan energi yang
tidak sedikit. Ia mengangkat kepalanya sedikit untuk mengecek apakah ada malu
juga tersirat pada wajah Dean karena digertak begitu. Ternyata tampang Dean
sudah biasa-biasa saja, seolah gertakan Zahra tidak berarti apa-apa untuknya.
Zahra mendesah. Tentu saja Dean begitu. Sewaktu diminta guru ke luar kelas
karena membuat kegaduhan pun, bocah itu masih bisa cengar-cengir.
Dan kalau bocah
itu ditanya apakah ia pernah merasa malu, kemungkinan besar ia akan balik
tanya, “Malu? Malu apa? Emangnya apa yang mau dipalu?”
“Ya ampun,
Zahra, selamat ya, udah kesampaian cita-cita kamu jadi anak pemberani!” Dean
hendak menyalaminya. Zahra buru-buru menangkis. Pandangnya menyapu sekitar.
Mereka sudah tidak jadi pusat perhatian lagi, namun tetap saja ia merasa malu.
Memangnya siapa yang pernah bercita-cita jadi anak pemberani?
Kendati sudah
digertak Zahra, tetap saja Dean masih tebal muka untuk mengerahkan rengekan.
“Ayo, Zahra… Kalo gua ampe nggak ngerjain lagi kali ini, entar Bu Elly bilang
nyokap gua… Ya Zahra, ya Zahra, ya Zahra, ya? Ya?”
Kali ini Zahra
ingat untuk menggunakan dosis yang tepat. Akhirnya sampai juga kesempatannya
untuk dapat berkata-kata keji pada seseorang. Rasanya seperti dendam yang
terbalaskan. “Ya bagus malah kalau kamu
sampai dimarahi ibu kamu. Biar kamu berubah!”
Dean tercengang.
“Zahra… Zahra… Zahra…”
Zahra
melemparkan tatapan pergi-jauh-jauh-kamu-dari-sini!
“…elo kok…”
Zahra tahu
status Dean sebagai anak kesayangan satu sekolah—bahkan oleh para guru yang
sering memintanya ke luar kelas sekalipun. Namun Zahra tidak peduli setelah ini
Dean bakal sebal padanya. Bahkan jika Dean mengerahkan pasukan gaulnya untuk
menindas Zahra hingga lulus SMA sekalipun. Yang penting sekarang adalah,
kebenaran harus ditegakkan! Kebenaran pasti akan menang! Puas ia karena telah
menerapkan ajaran Mas Imin untuk memberitahu seseorang agar berubah.
“…MIRIP BANGET
SIH AMA NYOKAP GUA?!”
Ganti Zahra
terperanjat. Dari mana miripnya?! Amit-amit punya anak seperti Dean!
Dean beringsut
mundur dari bangku di hadapan Zahra. Ia mengambil buku PR-nya dan berkata
dengan sedih, “Baiklah kalau Mamih Zahra nggak berkenan untuk kali ini, nggak
apa-apa…”
Zahra merapatkan
dirinya ke dinding. Tubuhnya merinding. Dilepasnya Dean yang mungkin hendak
memburu mangsa baru dengan jaminan mutu serupa. Dean pergi ke luar kelas. Zahra
menghembuskan nafas. Ia memperbaiki posisi duduknya. Menyeret buku pelajaran
Sosiologi tepat ke hadapan untuk dibacanya lagi. Zahra telah mempertimbangkan
gagasannya untuk meneruskan ke IPS. Semakin dipikirkan, semakin ia bergerak ke
garis positif. Ia harus mendapat nilai yang bagus untuk mata pelajaran berbau
IPS saat UTS dan UAS nanti.
Hawa di kelas
mendadak berubah. Seperti ada semerbak kharisma yang merawankan hati
mengawang-awang di udara. Asalnya dari pintu kelas. Telah datang sebuah
selingan menawan pada jam istirahat—sesuatu yang jarang terjadi. Sesaat Zahra
tak bisa bergerak. Bisa ia rasakan penghuni kelas lainnya pun terpaku.
Dengungan lebah itu kini senyap, sejenak, sebelum berputar kembali dengan irama
kehati-hatian.
Dean akhirnya
berhasil menyeret Arderaz masuk ke dalam kelas. Agak terkesima Zahra, karena
cowok itu menyandang gitar di punggungnya. Zahra bukannya tidak tahu kalau
Arderaz juga anak band. Sudah beberapa kali Komunitas Band SMANSON, alias
KOMBAS, menyelenggarakan gig di area
sekolah. Karena tak suka keramaian, Zahra tak pernah tuntas menyaksikan
penampilan Arderaz. Namun yang ada dalam pikiran Zahra kali ini adalah Arderaz
yang baru selesai mengamen.
“Katanya kemarin
nggak ada PR?” terdengar suara Arderaz. Cengkeraman tangan Dean masih
bertengger pada pergelangan tangannya.
Zahra jadi tak
bisa berkonsentrasi pada bacaannya. Diam-diam kupingnya awas, sambil sesekali
kepalanya terangkat untuk mengamati.
Rengekan Dean,
“Ih, gua juga baru taunya barusan tadi… Ayo dong, Yaz… Pelajarannya Bu Elly
nih! Habis ini pula! Mampus gua kalo entar sampe nggak ngerjain PR-nya lagi…”
Awas aja kalo dia sampe ngungkit-ngungkit aku juga... batin Zahra.
“…temen gua yang
biasa udah nggak mau bantuin lagi…” Dean menambahkan argumen untuk semakin
mengenyahkan keengganan Arderaz. “Ayo, Yaz… Keburu jam istirahatnya habis…”
Meskipun Dean
tidak menyebutkan namanya, tetap Zahra dongkol. Ia mencoba untuk berkonsentrasi
pada bacaannya lagi, namun tidak bisa. Ia penasaran apakah Arderaz akan
berhasil ditaklukan oleh Dean. Jangan,
Arderaz, jangan… pintanya dalam hati, demi
kebaikan saudaramu sendiri! Ia tahu Arderaz tak mungkin dapat mendengarnya,
tapi siapa tahu saja kekuatan pikiran memang nyata.
Dean berhasil
mendudukkan Arderaz di bangku terdekat. Ia membentangkan PR-nya di hadapan
Arderaz. Beberapa orang cowok yang Zahra kenali sebagai bukan teman sekelasnya
melongok dari balik pintu. Melihat Arderaz di sana, mereka masuk. Dean
tertawa-tawa sebentar bersama mereka. Lalu para cowok itu berkerumun di sekitar
bangku yang diduduki Arderaz. Sesekali menunjuk sesuatu di atas pekerjaan
Arderaz. Arderaz mengguncang-guncangkan tipe-X
yang disodorkan Dean padanya. Para penghuni kelas sesungguhnya yang baru masuk
ke dalam kelas berjengit saat mendapati kerumunan Arderaz cs di bangku dekat
pintu masuk. Kehadiran para tamu tersebut membuat suasana kelas terasa lebih
cemerlang, entah mengapa. Mungkin karena mereka semua populer di sekolah. Suram
yang kerap menggelayuti kelas paling pojok itu pun tergusah.
Sementara itu,
Zahra tengah sibuk mencela-cela Arderaz dalam hati. Ia protes mengapa Arderaz
mau-maunya diperbudak oleh Dean. Sudah begitu, sebelum Arderaz menyusul
teman-temannya minggat karena PR Dean sudah tuntas digarap ramai-ramai, Dean
masih saja mencegat. “Boleh minta goceng nggak, Yaz? Uang jajan gua kayaknya
ketinggalan di mobil tadi, hehe…”
Mau-maunya dipalak…!
Zahra tak bisa
terima melihat Arderaz begitu saja menyerahkan uang dari dalam saku seragamnya
ke tangan Dean. Warnanya biru pula! Di matanya kini, Dean laksana setan dan
Arderaz adalah abdinya yang tanpa daya. Hiish…
Zahra
mendapatkan satu pelajaran baru. Untuk mengubah seseorang, ternyata tidak cukup
hanya dengan memberitahu yang bersangkutan. Melainkan juga orang-orang di
sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar