Sejak
terorientasinya Mas Imin pada ITB, perlahan-lahan energi negatif mulai
menguasai Zahra kembali. Zahra jadi malas dekat-dekat Mas Imin. Mas Imin juga
sudah tidak berusaha mendekati Zahra. Di rumah, ia selalu terlihat berkutat
dengan buku kumpulan soal. Ia seakan hendak menunjukkan pada Zahra bahwa
keinginannya masuk ITB bukan sekadar untuk menyenangkan para orang tua di
rumah. Saat Zahra mengingatkannya akan pendaftaran SNMPTN pun, Zahra kaget
dengan jawaban Mas Imin, “Oh iya ya! Buat jaga-jaga kalo Imin nggak tembus
USM, eh, audzubillahimindzalik…”
Kehadiran Dean
beberapa kali seminggu di rumah semakin memperburuk suasana hatinya. Entah jin
mana kali ini yang merasuki bocah itu hingga sadar untuk tidak mangkir kerja
kelompok lagi. Memang bagus seperti itu, tapi tidak baik juga kalau akibatnya
Dean jadi ketagihan datang ke rumah. Alasannya sih mau belajar bareng. Zahra
sampai dititipi langsung oleh ibunya Dean via telepon. Kemudian Zahra tahu
semua itu kamuflase belaka. Alih-alih belajar, Dean malah lebih sering
nongkrong di paviliun Kakek. Zahra tak mau tahu apa yang dikerjakan Dean di
sana, melibatkan Mas Imin pula. Bikin Zahra tambah keki. Yang jelas, akibat
dititipi oleh ibunya Dean yang tinggi ia sanjung itu, ia jadi terbebani untuk
mengubah gaya belajar Dean. Setidaknya kini Zahra jadi punya sarana untuk melampiaskan
emosi labilnya. Dean adalah objek yang enak untuk dibentak-bentak.
Kehidupan sosial
Zahra di sekolah kena juga. Zahra seolah tak ingat bahwa ia telah mengalami
kemajuan. Hanya karena alasan kelelahan batin, ia sudah tidak peduli lagi
akan itu. Hubungannya dengan Unan sudah hampir membaik padahal. Hingga
pada suatu kesempatan jalan ke mal ramai-ramai, Zahra tahu-tahu kabur. Zahra
lebih membela perasaan tidak nyamannya ketimbang usaha untuk berbaur.
Lama-lama Unan pun pindah ke lain bangku. Setelah kosong untuk beberapa
lama, lain-lain orang mengisinya secara paruh waktu. Namun tak ada seorang pun
yang bisa menggantikan peran Unan.
Ia bahkan tidak
bersemangat saat Zia main ke rumah dan menyampaikan salam Zaha untuknya.
Melihat-lihat isi Facebook Zaha malah membuat Zahra teriritasi. Malas
jadinya ia berhubungan dengan cewek tersebut. Ia iri mengapa sepupunya itu bisa
terlihat begitu gaul dan berbakat, padahal kakaknya hanya seorang Zia—seorang
cewek urakan yang agak sinting, menurut Zahra—bukannya cowok usil namun
memberdayakan macam Mas Imin!
Namun Mas Imin
sudah tidak memberdayakannya lagi. Melempem pula semangat pemberdayaan diri
Zahra. Buku-buku pelajaran sosial tidak lagi sering dibukanya. Ia menertawakan
gagasannya semula yang hendak meneruskan ke kelas IPS, lalu lanjut ke jurusan
Komunikasi atau Psikologi di bangku kuliah. Bisa-bisa terintimidasi terus ia
setiap hari dengan kegaulan dan keaktifan para mahasiswa di sana.
Hingga Zahra
sungguh lupa akan usaha memberdayakan dirinya dulu yang memberi imbas pada
dirinya kini. Zahra baru ingat kalau ia pernah mengajukan diri sebagai
presentator, M-5 menuju presentasi.
Turunnya
kelompok sebelumnya mendatangkan giliran maju bagi kelompok mereka. Sebagai
ketua kelompok, Acil langsung sigap memberi instruksi. “Dean, kamu jadi
moderator yah kayak biasa? Rani, kamu gantiin Zahra jadi notulen yah? Yang presentasi
Zahra. Berarti entar yang jawab pertanyaan saya sama Salman. Eh, nggak deng,
saya jadi operatornya aja.”
Zahra tidak
mendengar. Ia masih sibuk membenahi slide
presentasi di laptop Salman. Beginilah jadinya kalau ia mempercayakan pengerjaan
slide pada orang lain, ia
misuh-misuh. Sambil membawa laptop Salman, ia pindah duduk ke salah satu
kursi yang telah dipindahkan ke depan kelas. Rani menyusul. Acil dan Salman
menyambungkan kabel proyektor ke laptop. Setelah kawan-kawan sekelompoknya
duduk, Dean ambil posisi di depan mereka. Siap untuk membuka. Belum juga
ambil vokal, anak-anak sudah tertawa melihatnya. Kalau kata Acil, tanpa perlu
dibantu mulut, muka Dean sudah jago melawak dengan sendirinya.
“…udah ah, tong seuri wae, gandeng[1]! Eh,
maaf, Pak Bagod, itu di luar teks… Ya udah, langsung ajalah ya, kita tampilnya…
presentator kita tercinta… Profesor Zahra Maulana…”
Rani menepuk
lengan Zahra. Zahra tersadar. “Apa?”
“Presentasi!”
Acil memperingatkannya tanpa suara.
Kontan wajah Zahra
bagai maling tertangkap. “Kok aku?”
Acil kaget,
dengan berbisik, “Loh, kan kamu yang waktu itu minta?”
“Iya, Zahra.
Katanya kamu pingin biasa ngomong di depan? Kapan lagi?” dukung Salman.
Suaranya pelan namun penuh semangat.
Zahra menggeleng
gelisah. Kalaupun ia masih peduli akan hal tersebut, tentu ia tetap
membutuhkan persiapan sejak lama. Ia berbisik keras, “Nggak ah! Nggak! Aku nggak mau!”
Wajah Acil dan
Salman diliputi kebingungan.
“Tapi kan kamu
yang paling ngerti isi slide-nya!”
bisik Salman lagi.
“Tapi kan kamu
yang nyelesein slide-nya terakhir
kali!” tukas Zahra.
“Lo? Ya nggak! Lha, tadi kamu ngutak-ngatik laptopku
tuh ngapain tho?”
Zahra bungkam.
Menyesali dirinya yang selalu kalah dalam setiap adu mulut. Kembali ia
merengek. “Nggak… Jangan aku, plis…”
Bangkitlah Rani.
Prinsip hidupnya adalah Talk Less Do
More. Baru saja ia hendak mengucap salam, Pak Bagod selaku guru Biologi
memotong. “Tunggu… Tunggu… Daripada kalian bingung-bingung, biar Bapak aja
yang ngatur formasinya. Kamu, yak, kamu yang udah berdiri, bukan kamu Dean,
Zahra ya? Eh? Maharani? Yak, kamu yang jadi moderator. Buka lagi presentasi
kalian dari awal. Terus, operatornya kamu yang rambutnya kayak rambut ketiak
itu. Yang jadi presentatornya, yang perempuan satu lagi… Yak, Zahra.
Notulennya…”
“DEAN, PAK!”
Sebuah suara muncul dari bangku paling belakang.
“Ya udah, Dean
aja.”
Salman buru-buru
bangkit karena didorong Acil. “Wah, jangan, Pak. Saya aja! Tulisan saya masih
lebih kebaca dari tulisannya si Dean!”
Acil menambahkan,
“Iya, Pak. Setuju, Pak. Tolong, Pak, demi kemaslahatan bersama! Saya ngalah
deh, Pak, biar Dean yang jadi operator!”
Pak Bagod
meneruskan, “Yang jawab pertanyaan Salman. Tapi nanti boleh dibantu yang lain.
Sudah, sudah, jatah waktu presentasi kalian entar habis.”
Acil dan Salman
duduk lagi dengan lesu. Acil menggeser duduknya ke depan layar komputer. Dean
duduk di salah satu kursi yang kosong sambil cengar-cengir. Dengan
ogah-ogahan, Salman menyodorkannya kertas folio dan alat tulis. Rani maju ke
depan. Zahra berkeringat dingin.
Zahra bangkit
dari kursi. Tatap nanarnya menyapu audiens. Mereka semua diam. Bermuka
datar. Ke mana keriuhan yang tadi mengisi? Mana antusiasme mereka karena
melihat siapa yang di depan? Oh, tentu saja ia bukan Dean. Ragam prasangka
berkecamuk dalam pikiran Zahra. Apa yang orang-orang itu harapkan darinya?
Apa yang hati mereka bisikkan tentangnya? Apakah berisi cemoohan untuknya?
Zahra menoleh ke belakang. Pandangnya menyapu wajah para kawan sekelompoknya.
Berharap bantuan. Mungkin Acil bisa coba melobi Pak Bagod untuk
menggantikannya? Tapi raut muka mereka semua memancarkan penantian. Dan rasa
optimis bahwa Zahra bisa. Selagi ia menoleh lagi ke depan, dilihatnya wajah
Pak Bagod menyiratkan hal yang sama. Kembali Zahra menatap audiens. Rasa
tidak percaya diri masih bercokol kuat dalam dada.
Padahal sudah
berkali-kali ia mendapat kesempatan bicara di depan orang banyak, tapi mengapa
rasa macam ini tidak pernah pudar? Kali ini tanpa persiapan apa-apa pula. Berhenti mikir! Teriaknya dalam hati.
Mengingatkannya akan satu hal yang ia sadari dalam perjalanan silaturahmi ke
rumah Syifa. Cara untuk mewujudkan
sesuatu yang mulanya enggan dilakukan adalah membuatnya jadi terlanjur.
Berhentilah mencemaskan hal yang tidak perlu, Zahra!
“Ayo? Zahra?”
tegur Pak Bagod.
Bismillahirahmanirrahim… ucapnya dalam hati. Ia memejamkan
mata. Ketika dibukanya lagi, dibayangkannya mereka semua adalah paduan
garis-garis hitam di atas latar putih. Tidak begitu indah wujud mereka, karena
begitulah karakter gambar Mas Imin. Dan karena ini siang hari, mereka tidak
terlihat seperti sekelompok siswa dedemit.
Zahra lupa
mengucap salam. Ia ingin langsung pada hal pokok yang hendak ia sampaikan.
Tapi sebelumnya ia harus melalui dulu bagian latar belakang, rumusan
permasalahan, dan seterusnya. Ia merutuki dirinya saat tanpa sengaja menoleh
ke belakang. Sesekali ia lupa pada apa yang hendak ia ucapkan sehingga ia harus
menyontek slide yang terpampang di viewer. Dan ia tidak suka menyontek. Sudah terlanjur… sudah terlanjur…
biarlah... hibur hatinya yang lain.
Sesekali tawa
pelan dari audiens saat ia salah ucap. Entah mengapa, itu tidak terdengar lagi
sebagai cemoohan kini dalam pendengarannya. Malah ia merasa dirinya telah
menghibur mereka. Tawa itu adalah bentuk perhatian mereka padanya. Mereka memerhatikan ucapannya.
Sebagaimana Dean yang acap ditertawakan teman-temannya, namun Zahra tidak
merasakan itu sebagai cemooh untuk Dean. Dean malah terlihat menikmatinya. Sadarlah
Zahra, justru itu yang membuat Dean tidak pernah kekurangan perhatian karena
Dean menghargai segala bentuk perhatian orang untuknya. Bahkan jika itu berupa
bentakan Zahra sekalipun. Dean tak pernah kelihatan tersinggung. Ia
menerimanya seolah-olah itu adalah suatu hal yang wajar bagi seseorang untuk
melampiaskan kebutuhannya.
Perasaan senang
menelusupi diri Zahra, meskipun terasa getar di tangan dan kakinya, panas
dingin badannya, dan agak gagap lisannya sesekali. Di luar itu, ia tidak percaya
bahwa kata-kata dapat mengalir dari mulutnya selancar Curug Dago. Ia terus
berusaha menyambung kalimat-kalimatnya, tidak peduli bahwa mereka dalam keadaan
berhamburan di kepala. Ia bahkan bisa menciptakan kalimat-kalimat yang pokoknya
tak termuat dalam slide. Ia yakin
bahwa ia mulai bisa menikmati ini. Padahal sudah lama ia tidak berinteraksi
secara khusus dengan Mas Imin, namun ia merasakan satu kemajuan lagi dalam
hidupnya. Zahra merasa tidak membutuhkan dukungan Mas Imin lagi untuk maju.
Masih ada orang lain yang mau mendukungnya. Ia bisa melanjutkan pemberdayaan
dirinya sendiri tanpa harus minta petuah Mas Imin dulu sebelumnya. Ia bisa, ia
pasti bisa!
“Huahahahahahha…”
Sebuah tawa yang
entah muncul dari mana—terdengar main-main dan bukan pertanda hati yang
terhibur—memadamkan penerangan dalam ruang kata di otak Zahra. Zahra jadi tidak
bisa mengambil kalimat untuk ia keluarkan dalam bentuk lisan. Entah ke mana
mereka semua. Tidak teraba. Zahra diam. Mendadak terasa kosong dan gelap dalam
kepala.
“…presentasi
akan dilanjutkan oleh teman saya…” Zahra bingung hendak pilih siapa. Ia balik
kanan lalu duduk di kursi yang kosong. Menunduk. Kawan-kawan sekelompok
memandanginya dengan bingung. Zahra tidak mau tahu bagaimana ekspresi
orang-orang lainnya dalam kelas tersebut. Dadanya berdebar kencang. Tangannya
masih gemetaran, terasa dingin dan lembap. Ia tidak percaya apa yang telah
dilakukannya tadi. Hal itu pasti terjadi di luar kesadarannya.
“Tinggal
kesimpulan, Zahra…” bisik Acil. Zahra menggeleng kuat-kuat.
Tanpa lebih lama
lagi menunggui usaha kawan-kawan sekelompoknya untuk membujuk Zahra, dengan
sigap Rani berdiri. Ia bacakan kesimpulan presentasi kelompok mereka,
menutupnya, lalu membuka sesi tanya jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar