Orang bilang,
hidup bagai rollercoaster. Zahra
merasa telah mengerti makna dari perumpamaan klise tersebut. Setelah serentetan
kemajuan yang menyenangkan hatinya, kini ia merasakan kesenduan lagi.
Semula ia
menganggap Unan sebagai anugrah Tuhan untuknya. Namun kini terasa tidak lagi.
Unan lebih suka nongkrong dengan teman-temannya yang lain. Yang lebih gaul.
Yang lebih banyak memberikan keuntungan baginya. Zahra sendiri sesungguhnya
lebih suka berduaan saja, ketimbang ramai-ramai. Namun ia juga sadar.
Sebetulnya Unan sudah mengajaknya untuk ikut ramai-ramai, ia saja yang masih
kerap menarik diri. Teman-teman Unan
tidak selalu memberikan kenyamanan baginya, sebagaimana membicarakan
drama Asia tidak selalu menarik.
Pernah suatu
kali Unan mengajak Zahra ke BIP sepulang sekolah bersama teman-teman lainnya.
Padahal sebelumnya mereka berdua sudah janjian hendak membeli suatu benda yang
mereka incar sejak lama di BSM, pada hari yang sama. Unan bilang, mereka bisa
ke BSM lain kali, seolah tidak penting lagi artinya benda incaran mereka berdua
itu. Maka Zahra merasa Unan lebih memilih teman-teman lainnya itu ketimbang
persahabatan mereka. Pada akhirnya Unan mengalah untuk jalan berdua saja ke
BSM. Tapi suasana yang tercipta kemudian jadi terasa tidak enak. Zahra merasa
Unan jadi angin-anginan. Tapi Unan bilang Zahra saja yang aneh.
Bertambah lagi
sakit hatinya, saat tahu bahwa Unan pergi ke Bazaar SMANSON tanpa mengajaknya.
Memang ia agak menjaga jarak dengan Unan akhir-akhir ini karena rasa sebalnya
itu. Tapi bagaimanapun juga, ia kan masih kawan sebangku Unan? Sebagai
permintaan maaf, Unan mengajak Zahra jalan-jalan ke suatu tempat berdua saja.
Namun Zahra yang kadung marah jadi makin ingin menjauhi Unan. Ia tidak percaya
lagi pada Unan. Ia tidak peduli seandainya Unan berhenti jadi kawan sebangkunya
sekalipun.
Untuk
menciptakan interaksi sosial yang baik ternyata harus banyak makan perasaan.
Zahra lelah dengan itu. Ia ingin cemberut saat perasaannya tidak enak, dan itu
sering terjadi. Tapi demi menjaga perasaan orang lain agar mau berteman
dengannya, ia harus sekuat mungkin menahan. Zahra tidak tahu sampai kapan ia harus
menahan. Kapan ia dapat terbiasa untuk tersenyum, bahkan di kala sedang kesal
sekalipun? Apakah suatu proses harus berjalan selama ini?
Kini Zahra
merasakan suatu kemunduran. Ia jadi tidak ingin ke mana-mana lagi sepulang
sekolah, selain ke rumahnya sendiri. Sesampainya di rumah, ia hanya ingin
bergelung di tempat tidur, menunaikan pekerjaan rumah tangga yang jadi
tugasnya, menonton drama Asia, atau melarikan diri ke pelajaran sekolah. Ia
bahkan tidak merasakan semangat sekuat sebelumnya saat membuka buku pelajaran
sosial. Ia menguat-nguatkan diri dengan memikirkan kemungkinan besar ia tidak
akan bertemu Unan di kelas IPS. Unan kan ingin jadi ilmuwan Bosscha.
Zahra bahkan
tidak kepikiran untuk minta motivasi dari Mas Imin. Sampai ia sadar bahwa
keadaannya sekarang tidak ada bedanya dengan keadaan sebelum hubungannya dengan
Mas Imin membaik. Keadaan di mana perhatian Mas Imin mulai tumbuh untuknya, dan
ia malah menafikan itu. Keadaan sebelum ia ingin terberdayakan. Masak mau mundur lagi? Pertanyaan itu terdengar seperti Mas Imin yang
mengajukan.
Ke mana Mas Imin? pikirnya. Mas Imin memang makin jarang di rumah. Lagi
intensif bimbel, kata Mama. Atau mungkin belajar bersama di rumah temannya.
Atau entah. Tapi bukan itu yang membuat Zahra merasa ada sesuatu yang tiba-tiba
hilang dari hidupnya. Sejak awal tahun, Mas Imin sudah begitu, tapi hubungan di
antara mereka berdua malah kian membaik.
Zahra tersadar.
Sudah berapa lama ia tidak mengobrol lagi dengan Mas Imin? Intensitas hubungan
mereka berkurang drastis sejak… Apa karena Mas Imin UN? Ah, Zahra pun
disibukkan dengan UTS—apalagi karena ia ingin yang terbaik untuk aneka mata
pelajaran sosialnya. Namun sesudah UN dan UTS pun, tetap belum ada obrolan lagi
di antaranya dan Mas Imin. Zahra mengingat-ingat.
Sebuah ingatan
melayang-layang dari kejauhan dan sampailah pada pikirannya. Malam di mana ia
terbangun karena suara Mama dan Mas Imin yang baru pulang dari menjemput Mayong
di kantor polisi. Mayong terjaring razia balapan liar rupanya. Malam itu Zahra
terlelap dengan luapan amarah Mama pada Mayong sebagai pengantar tidurnya.
Beberapa hari
setelahnya, ketika sedang berjalan-jalan di suatu pusat perbelanjaan, Papa
memergoki Mas Ardi berpakaian wanita. Sebetulnya saat itu Mas Ardi sedang
ikutan cosplay. Namun Papa tak suka
itu. Sebelum kembali ke Jakarta, Papa sempat mengobrol dengan Mas Imin. Zahra
sebetulnya tidak niat menguping. Kebetulan saja terdengar dari dapur, karena ia
sedang membereskan perabot bekas Mama masak.
“…apa nggak
krisis gender dia nanti...”
“…nggak kok, Pa.
Anak-anak sekarang banyak yang ikutan gitu juga, normal-normal aja kok. Lagian
kan Papa tau sendiri Ardi udah punya pacar…”
“…nah, itu lagi,
pacaran!”
Zahra lekas
menjauh dari dapur agar percakapan tersebut tak terdengar jelas lagi. Kalau
sudah perkara Mas Ardi dan pacarnya, Zahra malas mendengarkan. Dan Zahra eneg membayangkan Mas Ardi dengan rambut
palsu, gaun berenda, dan tongkat plastik mainan. Zahra akan bersikap sama
dengan Papa seandainya ia jadi orangtua Mas Ardi. Bahkan ia akan memarahi Mas
Ardi sekalian karena ikut berperan dalam mempercepat kiamat. Sudah begitu,
prestasi akademis Mas Ardi tergolong biasa-biasa saja pula, dibanding dirinya
dan Mas Imin.
Dan sejak itulah
Mas Imin tidak pernah mendekatinya lagi untuk maksud tertentu. Interaksinya
dengan Zahra seperlunya saja, misalnya minta diambilkan ini atau itu. Pun
Zahra, yang terlalu larut dalam gelombang perasaannya. Itulah yang hilang dari
kehidupannya yang baru, Zahra telah menemukannya. Mendadak perasaan sendunya
hilang. Digantikan oleh semangat kebangkitan.
Mungkin Mas Imin
juga membutuhkan perhatian, pikir Zahra. Bagaimanapun juga, Mas Imin adalah
manusia—tidak ada ubahnya dengan objek yang kerap dibicarakannya. Lalu Zahra
ingat bahwa seharusnya ia juga menyemangati Mas Imin. Mas Imin kan bakal
menghadapi serentetan ujian yang menentukan masa depannya. Wajar juga kalau Mas
Imin hendak fokus belajar dulu hingga tidak sempat banyak mengobrol dengan
Zahra lagi.
Zahra masih
menyimpan sisa bahan dan perkakas dari tugas prakarya semester lalu.
Diturunkannya kotak berdebu tersebut dari atas lemari. Ia keluarkan segala yang
mungkin dapat digunakannya untuk membuat sesuatu. Namun karena tak terbayang
hendak membuat apa, akhirnya ia hanya membuat sebuah kartu dari karton biru dengan
tulisan:
SEMANGAT! JANGAN MENYERAH!
CHAYO F. PSIKOLOGI!
Zahra juga akan
balas memberi gambar pada Mas Imin. Tidak seperti Mas Imin yang punya
kecenderungan pada dedemit, yang akan Zahra gambar adalah seorang peri cantik.
Tapi berkali-kali membuat sketsa, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Ternyata
Mas Imin masih lebih pandai menggambar darinya, Zahra sebal. Akhirnya ia
menambahkan berikut di bawah tulisan sebelumnya:
dari: peri baik hati X9
Zahra
membayangkan Mas Imin akan tertawa terbahak-bahak saat menemukan kartu ini di
meja belajarnya. Ah, tapi biarlah, Mas Imin membutuhkan penyegar di sela
kesibukannya belajar.
Sejenak
kemudian, Zahra sadar bahwa ia harus membuat kartu yang semacam untuk dirinya
sendiri. JANGAN MENYERAH!—kata itu menggema dalam rongga kepalanya.
Mengingatkannya bahwa ia sendiri masih berada dalam suatu proses, janganlah
sampai itu putus di tengah jalan. Kata-kata lain mulai melayang-layang di
kepalanya. Mulai dari satu per satu elemen jurus S hingga PROAKTIF.
Mengingat kata
yang disukainya itu, Zahra jadi tercenung. Saking sukanya ia pada kata
tersebut, ia ingin menjadikan itu sebagai bagian dari karakternya. Gara-gara
gelombang perasaannya kemarin, hampir
saja hal itu tak terwujud. Maka, Zahra pun berniat untuk segera melupakan segala
hal tak mengenakkan kemarin dan memperbaiki sikapnya pada Unan mulai besok.
Semoga Unan masih mau berteman dengannya. Zahra kira ia akan menangis kalau
Unan tidak mau jadi kawan sebangkunya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar