Giliran pidato
Zahra saja belum sampai, Pak Catur sudah memberi tugas baru. Jam pelajaran
Bahasa Indonesia siang itu diisi dengan pembentukan kelompok drama,
dilanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai drama yang akan ditampilkan.
Seperti biasa,
Zahra lebih banyak diam dalam diskusi kelompok seperti ini. Sementara
kawan-kawan sekelompoknya sibuk mengoceh, Zahra mengisi waktu dengan
mencorat-coret halaman belakang buku tulisnya. Yang kian meyakinkannya bahwa ia
memang tidak punya bakat menggambar. Mendadak ia mendapati bahwa ia sudah
ketinggalan banyak informasi akibat tidak mengikuti jalannya diskusi. Sudah
mulai pembagian peran saja. Ceritanya sendiri entah bagaimana. Pikiran bahwa
setelah ini ia harus tanya-tanya teman sudah membuat Zahra malas duluan.
“Aing nu
jadi tokoh utama wae mun kitu[1]!”
“Aku jadi
istrinya!”
“Gua si Bundo,
si Bundo!”
“Kalau gitu saya
jadi tetangganya ajalah!”
Dan aku jadi pemegang lampu aja, nggak apa-apalah… batin Zahra. Ia
telan keresahan karena harus tampil di muka kelas lagi. Padahal urusan
perpidatoan saja belum usai. Ia berharap mendapat peran yang tidak terlalu
banyak tampil, kalau tidak boleh berada di balik layar saja. Zahra lekas
menepis kenangan saat ia tampil dengan penuh kegugupan dalam penampilan drama
masa SMP.
“Eh, biar adil
diundi aja yuk!” inisiatif seseorang yang akhirnya disetujui semua anggota
kelompok. “Zahra, bantu nyobekin kertas dong…”
Zahra mencabut
bagian tengah buku tulisnya dan menjalankan perintah tanpa banyak bicara.
Teman di sebelahnya yang menulisi sobekan-sobekan kertas yang Zahra buat.
Teman-teman lain bantu menggulung. Gulungan-gulungan kertas itu kemudian
ditaruh di telapak tangan seorang anak lalu dikocok-kocok dengan kedua belah
tangan. Saat kedua belah tangan itu terbuka, berebutanlah mereka mengambili
gulungan kertas. Zahra tak buang-buang tenaga. Ia mengambil gulungan kertas
yang terjatuh saja. Dibukanya. Dan didapatinya kata “BUNDO.”
Satu per satu
gulungan kertas yang lain juga dibuka. Masing-masing anak menyebutkan peran
yang didapatnya. Ada yang senang. Ada yang kecewa. Ada yang biasa-biasa saja.
Zahra tidak termasuk ketiganya, karena ia adalah golongan orang-orang yang
resah, mau dapat peran apapun juga. Akan makin besar keresahannya kalau
peran yang ia dapatkan ternyata menuntutnya tampil banyak.
“Eh, siapa yang
dapet peran si Bundo?”
Ragu, Zahra
mengacungkan tangan. Anak-anak memandangnya takjub.
“Woaa… Rifan,
kamu dapet ibu baik hati. Bisa-bisa nggak jadi dikutuk kamu!” seru Unan, bakal
tetangga si ibu baik hati dengan anaknya yang terkutuk.
Zahra terenyuh.
Ia dibilang baik hati. Tapi begitu melihat wajah Rifan, perasaan itu raib.
Raut Rifan sama tengil dengan Dean. Dan sepertinya Rifan anak BASTARD—komunitas
cowok bengal SMANSON yang selalu Zahra hindari.
“Tuker ajalah,
tuker sama si Iin!”
“Eh, jangan ah.
Udah adil pembagiannya kayak gini!”
“Iya, iya…”
“Tapi si Zahra
bisa nggak?”
Harga diri Zahra
tersentil. Lebih-lebih saat ia menyadari bahwa, berdasar pengalaman-pengalaman
sebelumnya, kemampuan beraktingnya memang amat buruk. “Ganti aja nggak
apa-apa, kok…”
“Udah, tenang
aja. Entar kita latihan bareng-bareng. Pasti bisa kok.”
Zahra tidak
merasa telah ditenangkan. Tapi ia malas menambah ribut.
Mereka yang
tidak terima Zahra jadi Bundo akhirnya kalah suara dengan mereka yang
menganggap undian adalah sistem teradil di dunia. Yang mereka diskusikan kini
adalah siapa yang hendak menggarap skenario dan penentuan waktu latihan. Baru
setelah Pak Catur mengumumkan bahwa sesi diskusi kelompok usai (jantung Zahra
kontan berdebar karena itu artinya sebentar lagi sesi pidato), keputusan
kilat didapat. Zahra tidak kebagian tugas apa-apa selain menunggu skenario
selesai dibuat dan ikut latihan pada jadwal yang disepakati.
Saat
mengembalikan bangku ke tempat semula, Zahra memberanikan diri bertanya pada
salah satu anggota kelompok dramanya, “Drama kita tentang apa?”
“Kita mau
marodiin Malin Kundang. Kamu tadi nggak merhatiin, Zahra?”
Zahra menggeleng
malu. Dalam kepalanya tadi hanyalah keresahan akan tampil di muka kelas serta
pikiran buruk akan betapa tidak berbakatnya ia dalam menggambar. “Terus Bundo
itu perannya ngapain?”
“Si Bundo itu,
ya ibunya Malin Kundang.”
Zahra berhenti
menyeret bangku kala menyadari bahwa ibu adalah seorang tokoh penting dalam
legenda Malin Kundang. Si penentu nasib tokoh utama. Peran yang menjadi
tanggungan Zahra adalah peran vital yang bermain di adegan-adegan utama. Zahra
lemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar