Mereka pernah
(terlihat) rukun pada suatu waktu. Terekam dalam lembaran-lembaran foto yang
lengket menempel pada sebuah album foto.
Luthfi Muhaimin
lahir pada bulan pertama di suatu tahun, satu digit angka sebagai tanggalnya.
Dua puluh bulan kemudian, saat daun pada pepohonan di belahan bumi utara lepas
dari dudukannya, Ardian Yogaswara menyusul kakaknya ke dunia. Lima belas
bulan setelah itu, selang beberapa hari dengan ulang tahun ketiga si sulung,
Zahra Maulana lahir. Dalam salah satu lembar foto, tampak bayi perempuan itu
dicium dua abangnya, masing-masing di pipi kiri dan pipi kanan.
Foto-foto pada
beberapa lembar album sesudahnya diambil pada rentang dua-tiga tahun setelah
itu. Salah satunya menampilkan pendatang baru di keluarga itu yang dinamai
Mayong Nugroho. Di atas kasur, bayi berwajah bengong itu berbaring dirubungi
ketiga kakaknya. Kakak pertama mengapit dirinya di sebelah kanan dengan
mimik ekspresif khas bocah nakal. Kakak kedua tiduran di sebelah kirinya
dengan pandangan mata tak fokus. Kakak ketiga—satu-satunya perempuan—bersimpuh
di atas kepalanya dengan senyum malu-malu.
Selepas
pengambilan gambar, Imin kecil mencubit pipi adik bayinya dengan gemas—entah
mengajak main atau menangis. Mama mendorong Papa agar tak menghalanginya.
Padahal Papa baru saja hendak mengambil gambar lagi. Imin dimarahi. Semua
anak disuruh menyingkir dari kasur agar Mama mendapat ruang yang lega untuk
memungkas tangis Mayong dengan ASI.
Di luar kamar,
sasaran kejahilan Imin berpindah pada Zahra. Zahra memekik ketika sebelah
pipinya ditarik keras sekali. Ia ingin menangis kencang juga seperti Mayong.
Tapi ia lebih takut dimarahi Mama. Mama pernah memarahinya karena tangisannya
membangunkan Mayong.
“Ardi… Pipinya
Zahra enak lo…” Imin tersenyum sumringah pada Ardi sambil memain-mainkan pipi
Zahra dengan dua jarinya. Mata Zahra berkaca-kaca. Apalagi ketika tangan Ardi
pelan-pelan mulai menggapai pipinya yang sebelah lagi. Hampir saja lima jari
itu menyentuh kenyal kulitnya, saat Papa memanggil mereka untuk menghabiskan
sarapan. Ardi berlari ke arah Papa. Tanpa melepaskan cubitannya dari pipi
Zahra, Imin menyusul. Zahra terseret. Pipinya makin perih.
☺
Elok boneka itu.
Sepasang mata kelerengnya bersinar. Rambut cokelat artifisialnya panjang
halus bergelombang. Zahra tak berhenti menyisirinya. Seakan tak pernah rapi
benar rambut itu bagi Zahra. Sesekali ia benahi juga gaun renda-renda sang
boneka. Zahra memeluk hadiah ulang tahunnya yang keempat itu.
Beberapa menit
kemudian boneka itu lenyap dari pelukan. Zahra terpana. Sebagian ujung
rambut Si Manis berada dalam genggaman tangan Imin. Bersama seorang anak sepantarannya—tetangga
satu RT, Imin menaiki pagar beranda.
“Eh, sekarang
pilotnya perempuan…” Imin merebut kapal-kapalan besar dari tangan temannya
itu. Ia dudukkan boneka Zahra di atas benda tersebut.
“Terbangin ke
sana aja.” Cetus Rizal, si anak tetangga. Imin mengangguk-angguk. Ia terbangkan
(kalau bukan melempar) kapal-kapalan yang dipiloti sebuah perempuan cantik
itu ke arah pohon rambutan samping beranda. Zahra menjerit histeris kala
keduanya menancap di tajuk pohon. Imin dan Rizal meloncat dari pagar beranda
lalu dulu-duluan berlari ke lantai bawah. Bahu membahu mereka mengevakuasi
kapal-kapalan yang katanya dibelikan ayahnya Rizal dari Taiwan itu. Kembalilah
dua bocah itu ke rumah Rizal.
Seekor ulat
hitam berbulu dengan corak totol-totol putih menjuntai dari balik daun. Hewan
itu menengok ke sana ke mari sebelum bersalto dan mendarat tepat di puncak
hidung boneka Zahra. Zahra duduk lemas
di sudut beranda. Ia tak mau menyentuh boneka itu lagi. Hilang sudah teman
mainnya, ditawan ulat.
☺
Imin, 8 tahun. Ardi, 7 tahun. Zahra, 5 tahun.
Imin dan
komplotannya ramai berdiskusi di teras. Mereka duduk melingkar dikepung beragam
sandal dan model sepeda yang menimpa titik-titik air dan lumpur—buah tangan
hujan yang baru selesai bertandang.
“Mun ka
jalan nu eta mah sok loba
budak kampung[1]!”
cerocos Budi.
“Takut pisan atuh ketemu budak kampung
aja…” komentar Sahir.
Rizal memutus, “Atau
nggak ke gang yang mau ke sawah aja. Kalau ketemu anak kampung yang di sana
juga da kita mah nggak kenal ini atuh.”
“Tapi jangan
lewat jalan bawah. Lewat yang nanjak, biar rame…”
Solusi Imin
sontak disetujui kawan-kawannya.
Celetukan Adi
membuat sorakan mereka putus lagi. “Tapi sepedanya si Samsul bocor tadi. Bisi nggak kuat.”
Para bocah mendesah
kecewa. Mereka tak ingin kehilangan keasyikan ini, tapi tak enak juga kalau
sampai harus meninggalkan seorang kawan. Samsul menelusupkan kepalanya ke
balik lutut. Siap dikorbankan.
“Eh, ya udah,
pake sepeda adik saya aja!” cetus Imin.
“Trus si Ardi
pake yang mana atuh?” Sahir menuding
Ardi, yang sedari tadi diam saja. Tidak menyangka pula masih ada yang
memerhatikan dirinya.
“Kan adik saya
banyak. Tenang…” Imin melangkah ke garasi. Ia keluar lagi dengan menggiring
sepeda mini. Kendati tidak didominasi dengan warna pink, tetap kentara
kalau itu sepeda cewek. Kawan-kawan Imin mengernyit jijik.
“Kamu aja yang
pake!” Samsul tak kuasa sembunyikan rasa terhina.
“Aahahaha, si
Imin make sepeda awewe[2]!”
Meletuplah berbagai ledek, tawa, dan cemooh.
Imin
tersenyum-senyum saja. Ia menunjuk Ardi. “Di, sepeda kamu pinjemin ke Samsul
yah. Kamu yang pake sepedanya Zahra.”
Kepala Ardi tegak.
Para bocah bersorak. Lekas mereka tunggangi sepeda masing-masing—kecuali
Samsul, yang dipinjami sepeda Ardi tanpa persetujuan resmi dari pemiliknya.
Pedal-pedal dikayuh untuk melesatkan laju. Konvoi sepeda bergerak ke arah
yang dituju. Meninggalkan Zahra yang baru sadar akan apa yang terjadi. Ia
baru saja ke luar dari kamar mandi. Pekik jerit Zahra melepas kepergian mereka,
“MAS IMIN, BALIKIN SEPEDA ZAHRA! MAS IMIIIIN…!”
Air mata mulai
merebak dari balik pelupuk mata Zahra. Jongkok ia di atas karpet teras.
Membenamkan sedu sedannya di balik lutut.
Cepat-cepat ia
mendongak ketika mendengar derit roda sepeda mendekat. Ardi muncul dari balik
pagar sembari menuntun sepeda mini Zahra. Abangnya itu menunduk saat tanpa
intonasi berucap, “Rantainya putus.”
☺
Imin, 9 tahun. Ardi, 7 tahun. Zahra, 6 tahun.
Begitu bel
pulang sekolah berdering, Ardi dan Zahra biasanya tidak main ke mana-mana.
Keduanya belum memiliki banyak teman dekat. Mereka akan bertemu di gerbang
sekolah lalu pulang bersama ke rumah tanpa banyak cakap.
Sesudah ganti
baju, Ardi dan Zahra menikmati makan siang sambil mengerjakan PR. Sesekali
mata mereka tertuju pada layar TV. Mayong tertidur di atas lantai dengan
menggenggam prakarya yang ia buat di TK. Pembantu mereka menyetrika pakaian
sambil sesekali memindah saluran TV.
Menjelang ashar,
terengah-engah Imin memasuki rumah. Tersungkur ia di atas lantai keramik yang
dingin. Terdengar keluhannya, “Aduh, gerah banget…”
Imin melepas
seragam atasnya. Ia buang ke sembarang arah. Hanya bersinglet dengan celana
merah penuh noda tanah, mendekatlah Imin pada pembantu mereka. “Mbak, beliin
es teh dong, di warung Tante Rima…”
“Nggak liat Mbak
belum selesai ngelicin apa?” semprot si Mbak.
Imin tak putus
asa. Ada objek pesuruh yang lebih lemah posisinya. Kepalanya berhenti
bergerak saat ia dapati Zahra. “Zahra, beliin es dong. Haus nih.”
Zahra
menggeleng.
“Ayo, Imin kasih
duit nih…”
Zahra tetap
menggeleng-geleng. “Nggak mau. Nggak mau!”
Membelalak mata
Zahra ketika sebelah tangan Imin teracung. Tersenyum Barbienya dalam
genggaman itu. Itu Barbienya yang ketiga. Yang pertama masih tersangkut di
pohon cengkeh milik Tante Ani—ibunya Budi. Yang kedua rusak disambar petir
karena terlempar sampai ke atap rumah. Semua berkat Imin. Kalau sampai Barbie
yang kali ini rusak juga, Mama tidak akan membelikannya Barbie lagi. Barbie
yang kali ini saja sudah pernah tahu rasanya hidup di dasar tong cadangan air
selama lima hari—sengaja Imin tenggelamkan.
“Kalau nggak
mau, bonekanya Mas kentutin loh!”
“Jangaaaan…”
rengek Zahra.
“Beliin nggak?”
“Nggak mauuu…”
tangis Zahra.
“Ya udah…”
“Aaaaaah!”
Beberapa menit
kemudian, punggung Zahra turun naik di bawah siraman sinar mentari. Punggung
tangannya sendiri tak bisa jauh dari kedua matanya yang terus mencucurkan
air. Muncul ragam pikiran tak enak dalam kepalanya. Bagaimana kalau ia belum
berhenti menangis begitu sampai di warung Tante Rima? Bagaimana kalau
orang-orang di sana bertanya kenapa mukanya sembap begitu? Bagaimana kalau
mereka menanyainya macam-macam yang lain? Bagaimana kalau Zahra tak bisa
menjawab satu pun di antaranya? Bagaimana kalau kejadian ia menangis
sampai warung Tante Rima ini ketahuan Mama?
Zahra duduk di
bawah sebatang pohon peneduh jalan. Ia berusaha menghentikan isak
tangisnya. Menghabiskan sisa-sisa kepiluannya. Tidak memedulikan tanda tanya
di wajah mereka yang melihatnya sepanjang jalan tadi. Derit rantai sepeda
yang dikayuh mendekat. Zahra bertahan untuk tidak mengangkat wajahnya kendati
suara itu terdengar familiar.
“Zahra.” Barulah
Zahra mengangkat wajah saat mendengar nada tanpa intonasi itu terlantun.
Telapak tangan Mas Ardi terbuka. “Mana uangnya?”
Ia berikan apa
yang Mas Ardi minta.
“Ikut nggak?”
Mas Ardi menuding bagian belakang sepeda dengan kepalanya yang serta merta
disambut gelengan kepala Zahra.
Lama Zahra
menunggu. Mas Ardi kembali dengan seplastik es teh menggantung di salah satu
setang sepedanya. Ia mengayuh sadel sepeda dengan santai agar adiknya yang
mengekor tidak jauh tertinggal. Sesekali masih terdengar sisa sengguk dari
belakang daun telinganya.
☺
Bukannya Mama
membiarkan segala kenakalan Imin. Tiap kali ketahuan, Mama memarahi Imin.
Diam-diam Zahra menikmati bentakan-bentakan itu, meski kadang menyakiti
pendengarannya juga. Apalagi kalau Papa yang marah, makin puaslah Zahra. Yang
mereka tidak tahu, respon reaktif orangtua malah akan menyulut kebangkitan
setan dalam diri anak.
Zahra tidak
pernah berhenti disiksa Imin, meski intensitas dan frekuensinya lama-lama
makin turun, hingga berhenti sama sekali. Bukan karena Imin telah di-ruqyah, bukan, melainkan karena Imin
ingin meneruskan SMA di Bandung.
Kakek yang
paling mendukung Imin bersekolah di Bandung. Apalagi Imin adalah cucu
pertamanya. Laki-laki pula. Paling disayang! Dan Kakek sudah bertahun-tahun
hidup sendirian, sepeninggal Nenek. “Biar ada yang nemenin Kakeklah di rumah.
Lagian SMA di Bandung mutunya pasti lebih bagus daripada di Sumedang!” tandas
Kakek yakin.
Hijrahlah Imin
ke Bandung. Dan damai di bumi!
Tidak ada yang
iseng mencubiti pipi Zahra lagi. Tidak ada yang memaksanya untuk membuatkan
mi lagi. Tidak ada yang menyembunyikan barang-barang kesayangannya lagi.
Tidak ada yang gencar meledekinya lagi. Dan saingannya dalam berebut remot TV
berkurang. Baru kali ini Zahra merasa hidup begitu indah.
Awalnya Imin
masih ingat pulang seminggu sekali ke Sumedang. Lalu lama-lama frekuensinya
makin jarang, sampai akhirnya Mama mengancam tidak akan memberi Imin uang
saku kalau Imin tidak pulang barang sebulan sekali.
Konsekuensi dari
malas pulangnya Imin ke Sumedang adalah, ganti mereka sekeluarga yang
menjenguk Imin ke Bandung. Seringnya Zahra menawarkan diri untuk menjaga
rumah saja. Ia tidak sudi bertemu Imin. Ia malas bertemu Kakek—yang jarang
menyengajakan diri berakrab-akrab dengan para cucunya yang lain. Ia juga tidak
dekat dengan sanak saudara lainnya yang berdomisili di Bandung. Namun
keluarganya selalu berhasil memaksanya ikut. Yang membuat Zahra sepanjang
jalan merengut.
Tahun
berikutnya, ganti Ardi yang ditarik bersekolah di Bandung. “Ardi daftar ke
sekolah Imin aja, sekolah favorit lo di Bandung!” Kali ini Imin ikut unjuk
usaha meyakinkan.
Zahra merasa ada
yang hilang dalam kehidupannya. Untungnya, Ardi masih lebih ingat pulang
ketimbang Imin. Sampai akhirnya Ardi punya pacar.
Sementara itu,
sumber penghasilan Papa selama ini, sebuah perusahaan swasta di Jakarta, kian
menunjukkan tanda-tanda akan tewas dalam waktu relatif dekat. Papa
kelimpungan. Perubahan harus dilakukan. Sudah beberapa tahun ini mereka tidak
lagi mempekerjakan pembantu di rumah—selain karena anak-anak sudah mulai
besar dan harus belajar mengurus diri mereka sendiri. Kebiasaan belanja ke
Bandung hampir di setiap akhir pekan juga mulai dikurangi. Dan kini rumah mereka
di Sumedang yang akan dikorbankan—dikontrakkan untuk menambah penghasilan
yang makin berkurang.
Papa dan Mama
tidak menunggu sampai tahun berikutnya saat mereka memutuskan untuk
sekalian pindah rumah ke Bandung. Menempati bangunan utama di sebidang lahan
milik orangtua Papa, lebih tepatnya. Pada sebidang lahan tersebut terdapat
tiga bangunan: bangunan utama yang ditempati Kakek-Nenek sebelum Nenek
meninggal; paviliun; dan persewaan studio musik.
Sepeninggal
Nenek, Kakek rasa bangunan utama terlalu besar untuk ia tinggali sendiri.
Kakek pun membenahi paviliun agar dapat difungsikan sebagai rumah seutuhnya
lalu ia pindah ke sana. Bangunan utama dibiarkan kosong tak terurus.
Diurus orang lain, Kakek terlalu pelit untuk menggaji. Diurus sendiri, Kakek
terlalu malas untuk bersih-bersih. Kakeklah yang lebih dulu minta agar bangunan
utama diisi. Sehingga, dengan pindahnya keluarga tersebut ke sana, bangunan
utama tak lagi jadi rumah berperabot tak berpenghuni lagi tak terurus.
Kondisi finansial
keluarga mau tak mau bikin Zahra setuju untuk pindah ke Bandung. Selain itu,
ia pikir kualitas sekolah favorit tujuannya di Bandung lebih baik dari yang
ada di Sumedang. Mayong apalagi. Meski sedih harus berpisah dengan
teman-temannya di Sumedang, ia ingin memperluas pergaulannya.
Ukuran bangunan
yang akan mereka tempati di Bandung lebih besar dari rumah mereka di
Sumedang. Bagi anak kecil yang sedang senang-senangnya menjelajah, bangunan
tersebut adalah lahan bermain yang cukup memadai. Setidaknya ketiga anak
laki-laki tidak lagi harus berbagi satu kamar. Baik Papa-Mama maupun Zahra,
masing-masing akan mendapat kamar yang lebih lega.
Rencana pindah
rumah ditangguhkan sampai Zahra lulus SMP. Sementara itu, Mama memproses izin mutasi
ke Bandung dan Papa tetap memperjuangkan perusahaannya di Jakarta.
Zahra lulus dari
SMP-nya dengan NKU terbaik. Namun apalah artinya, berkat sistem kuota, ia
tidak jadi mengincar SMAN Bilatung—SMA negeri favorit nomor 1 di Bandung.
Tidak bisa, kalau mau aman. Dengan terpaksa, SMAN Selonongan jadi tujuan.
Zahra tidak punya pilihan lain. Ia tidak berminat mendaftar ke lain SMA,
sebab SMAN Selonongan (kata Imin) adalah SMA negeri favorit nomor 2 di
Bandung. Dekat dengan rumah yang akan mereka tempati pula.
Jadi kini, tidak
hanya Zahra harus kembali serumah dengan Imin, tapi mereka juga bakal
bersekolah di tempat yang sama. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah satu
sekolah. Entah apa pertimbangan orangtua mereka saat menyekolahkan Ardi,
Zahra, dan Mayong di sekolah swasta, padahal sebelumnya Imin mereka
sekolahkan di sekolah negeri. Tidak hanya SD, tapi juga SMP.
Zahra merasa
kembali berkubang dalam neraka dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar